• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Membran Cair ( Liquid Membrane, LM)

Mulder (1996) membagi membran menjadi tiga jenis berdasarkan pada struktur dan prinsip pemisahannya antara lain adalah membran berpori, membran tidak berpori, dan membran cair. Beberapa peneliti mengklasifikasikan membran cair menjadi lima tipe, yaitu membran cair ruah (BLM, Bulk Liquid Membrane), membran cair emulsi (ELM, Emulsion Liquid Membrane), membran cair berpendukung (SLM, Supported Liquid Membrane), membran cair terisi (CLM) dan electrostatic pseudo liquid membrane (ESPLIM) (Kocherginsky et al., 2007, Yang et al., 2003, Venkateswaran dan Palanivelu, 2006), sedangkanWang et al.

(2000) dan Klisik (2010) juga menyebutkan lima jenis membran cair lainnya yaitu membran cair emulsi (ELM), membran cair berpendukung gel (gelled supported liquid membrane, GSLM), membran cair polimer (polymer liquid membrane,

PLM), BLM dan SLM.

Proses membran cair merupakan penggabungan tahap ekstraksi cair-cair dengan tahap penerimaan dalam satu kali proses yang berkelanjutan. Senyawa yang terekstraksi merupakan larutan yang larut dalam air, stagnan atau mengalir di antara dua larutan air yang berada di fasa sumber dan fasa penerima. Fasa sumber dan penerima merupakan larutan cair dan fasa membran merupakan larutan organik, akan tetapi sistem yang berkebalikan juga pernah dilakukan. Polimer atau membran pendukung berpori dapat juga digunakan sebagai pembawa (sebagaimana yang digunakan dalam SLM) atau penghalang (dalam BLM) atau tidak digunakan, sebagaimana dalam sistem ELM dan BLM berlapis. Perbedaan ketiga jenis membran ini terlihat pada Gambar 2.1. Membran cair ruah biasanya terdiri dari fasa sumber dan fasa penerima yang dipisahkan oleh fasa organik yang tidak dapat bercampur dengan keduanya dalam suatu pipa U. Sistem BLM biasanya digunakan untuk mempelajari sifat transpor senyawa dengan luas permukaan yang kecil. Oleh karena itu, penggunaan BLM hanya terbatas pada skala laboratorium. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gardner et al. (2006) yang meninjau dari aspek ekonomis, bahwa BLM tidak dapat digunakan dalam skala industri.

Gambar 2.1 Tiga tipe dari membran cair, yaitu (a) BLM, (b) ELM dan (c) SLM. (F : fasa sumber, R : fasa penerima dan E : fasa membran) (Kislik, 2010)

Metode ini telah digunakan oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah Leon dan Guzman (2007) mempelajari transpor Cu(II) menggunakan metode BLM dengan asam di-2-etilheksil posfat (D2EHPA), Cyanex 272 dan LIX 984N sebagai senyawa pembawa. Dewi (2010) menggunakan metode BLM untuk memurnikan etanol dengan senyawa pembawa polieugenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi etanol pada fasa sumber maka kecepatan transpor etanol semakin meningkat. Waktu transpor yang semakin lama akan meningkatkan jumlah etanol yang ditranspor menuju fasa penerima. Konsentrasi membran polieugenol yang semakin kecil, dapat meningkatkan kecepatan transpor etanol. Selain itu disebutkan juga, bahwa jika konsentrasi etanol pada fasa sumber semakin tinggi, konsentrasi membran polieugenol yang semakin kecil serta pada waktu transpor yang semakin lama maka etanol yang dapat ditranspor menuju fasa penerima akan semakin banyak.

La Harimu (2010) memisahkan logam, di antaranya Cu(II) dan Fe(III) dengan senyawa pembawa dari tiga turunan polieugenol, yaitu poli(asam eugenil oksiasetat), poli(etil eugenil oksiasetat) dan poli(2-metil piridin eugenil oksiasetamida). Hasilnya bahwa dengan metode BLM pengemban ion dari ketiga senyawa pembawa tersebut dapat digunakan untuk memisahkan ion Fe(III) dari ion-ion Cu(II), Cr(III), Co(II), Ni(II) dan Pb(II) dengan urutan selektivitas Fe(III) > Cr(III) > Pb(II) > Cu(II) > Ni(II) > Co(II). Tahun 2010, Kiswandono et al. juga menggunakan metode ini untuk transpor fenol 60 ppm menggunakan senyawa pembawa polieugenol dengan hasil persentase transpor fenol sebesar 72,6% pada waktu 72 jam.

Berbeda dengan BLM, maka pada ELM membran memiliki permukaan luas dan ketebalan yang tipis, sehingga membuat proses pemisahan dan pengumpulan emulsi menjadi cepat. ELM merupakan membran cair di mana fasa penerimanya merupakan fasa emulsi dari campuran membran cair. Biasanya pada sistem ELM, fasa penerima diemulsikan dalam membran cair, kemudian membran cair terdispersi ke dalam fasa sumber dan terjadi transfer massa dari fasa sumber ke fasa penerima. Membran cair biasanya berupa emulsi seperti air dalam minyak (Kislik, 2010).

Sistem ELM terbentuk dari dua pelarut yang tidak saling campur (fasa penerima dan fasa membran). Kedua fasa tersebut didispersikan ke dalam fasa ketiga (fasa sumber). Fasa sumber dan fasa penerima dapat saling campur. Ketiga fasa tersebut membentuk emulsi dengan tipe W/O/W. Emulsi distabilkan dengan menambahkan surfaktan dan agen penstabil. Surfaktan bekerja menurunkan tegangan antar muka, sementara agen penstabil seperti polimer ditambahkan ke dalam fasa membran untuk menambah viskositas membran sehingga tidak mudah pecah. Diharapkan dapat terbentuk globular emulsi yang banyak, sehingga luas permukaan membran semakin luas dan laju transpor solut dari fasa sumber ke fasa penerima melalui membran akan berlangsung optimal (Datta et al., 2003).

Mohapatra dan Manchanda (2009) menjelaskan bahwa dalam sistem dispersi (W/O/W) sebagai surfaktan cair pada sistem membran, stabilitas membran tergantung pada konsentrasi surfaktan per satuan luas antarmuka di bawah nilai kritis. Kebocoran pada fasa penerima (internal) umumnya dipengaruhi oleh viskositas emulsi globular, volume fraksi fasa penerima, dan konsentrasi surfaktan. Tingkat kebocoran sangat dipengaruhi oleh konsentrasi garam dalam fasa larutan sumber. Stabilitas membran cair yang terdiri dari n-dodekan dapat dibentuk dari dua lapisan molekul surfaktan teradsorpsi pada antarmuka minyak-air. Viskositas pelarut organik memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas membran. Koefisien permeasi air melalui membran cair mempunyai korelasi dengan konsentrasi surfaktan. Selanjutnya, kenaikan tetesan emulsi pada fasa sumber dalam sistem (W/O) sangat dipengaruhi oleh adanya elektrolit dalam larutan fasa sumber.

Membran cair emulsi telah digunakan oleh Kataoka (1989) dalam membuat model permiasi fenol dengan menggunakan kerosin yang mengandung 5% ECA4360J (poliamina) atau Span 80 dan paraffin cair pada fasa membran. Hasil penelitian merekomendasikan, bahwa model transfer massa untuk permiasi fenol menggunakan metode ELM dapat diaplikasikan dengan beberapa variasi kondisi seperti kecepatan pengadukan, viskositas dan jenis surfaktan ECA4360J dalam fasa membran serta variasi konsentrasi fenol. Hal ini diperlukan karena kebutuhan dari model yang akan dibuat untuk simulasi pada komputasi sehingga

dapat diperkirakan diestimasi kecepatan permiasi dari fenol. Tahun 2006 Park menggunakan metode ELM untuk memisahkan fenol konsentrasi tinggi (1000 ppm) serta Mortaheb et al. (2008) dengan menggunakan surfaktan baru dari polimer poliisobutilena (PIB) untuk memisahkan fenol. Kesimpulannya bahwa teknik ELM baik digunakan untuk ekstraksi fenol dan turunannya dengan konsentrasi tinggi (1000 ppm) dari limbah cair industri.

Gambar 2.2 Tiga skema transpor menggunakan membran cair (a) BLM, (b) ELM, (c) SLM (Pattilo, 1995)

Permasalahan dalam metode ini adalah senyawa pembawa emulsi dalam ELM tidak stabil, sehingga dapat merusak pemisahan (Li, 1968) kemudian emulsi harus dihasilkan sebelum proses pemisahan berlangsung dan harus stabil untuk menghindari kebocoran (Kocherginsky et al., 2007). Mohapatra dan Manchanda (2009) menambahkan bahwa ketidakststabilan pada metode ELM adalah pecahnya emulsi sehingga dapat mempengaruhi proses pemisahan.

Kekurangan metode BLM dan ELM dapat diatasi dengan menggunakan metode SLM. Membran cair berpendukung merupakan membran cair yang

di-impregnasi (atau di-immobilisasi) ke dalam pori atau mikropori dari padatan pendukung. Skema perbedaan transpor menggunakan metode BLM, ELM dan SLM ditunjukkan dalam Gambar 2.2.

Dokumen terkait