• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Game Edukatif

4. Memilih Permainan Edukatif

Seorang guru, membutuhkan berbagai persiapan yang harus dilakukan sebelum kegiatan bermain dilakukan. Persiapan tersebut meliputi persiapan fisik dan mental. Persiapan fisik adalah persiapan yang harus dilakukan oleh guru untuk menyiapkan berbagai peralatan, tempat bermain, kondisi lapangan, siswa, dan lain sebgainya. Sementara itu, persiapan mental perlu dilakukan dari pelaku permainan, baik dari guru maupun siswa. Guru dan siswa sebaiknya berada dalam kondisi yang sehat atau memungkinkan untuk melakukan permainan. Untuk kegiatan di dalam kelas, kemungkinan besar tidak masalah bila ada anak yang sakit batuk atau flu (sakit ringan). Tetapi, jika kegiatan belajar ada di luar kelas, sebaiknya siswa yang sakit tidak perlu mengikuti kegiatan agar tidak memperpuruk kondisi kesehatannya. Oleh karena itu, sebaiknya guru memiliki batasan dan patokan kegiatan yang cocok untuk diterapkan sesuai keadaan siswa.

Memilih jenis kegiatan bermain yang cocok dengan keadaan siswa, menurut Iva Rifa (2012:26) guru harus mampu menentukan bentuk permainan yang dikategorikan edukatif maupun tidak.

a. Kategori Permainan Edukatif

Sebagai seorang guru, mengaplikasikan berbagai permainan dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan hal yang wajib dilakukan. Suatu kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan efektif apabila ada berbagai strategi yang digunakan, baik berupa metode, model, pendekatan, maupun teknik. Salah satunya adalah permainan.

Permainan atau game, akrab dijadikan sebagai salah satu aplikasi dalam strategi pembelajaran aktif.

Mel Silberman (1996), mengungkapkan berbagai macam strategi pembelajaran aktif, di antaranya ialah dengan game. Dalam penggunaan game, Mel Silberman (1996) menganjurkan agar menggunakan lathan lucu atau permainan kuis guna mendapatkan ide- ide, pengetahuan, atau ketrampilan siswa. Oleh karena itu, gunakan permainan yang membangkitkan energy dan keterlibatan. Permainan juga sangat berguna untuk membentuk poin-poin dramatis yang jarang siswa lupakan.

Tidak semua permainan dapat dikatagorikan sebagai permainan atau game edukatif. Nilai edukatif itu bisa didapatkan bila ada hal-hal yang bermanfaat bagi penggunanya, misalnya mampu merangsang daya pikir, kemampuan problem solving (memecahkan masalah), meningkatkan konsentrasi, dan lain sebagainya.

Berikut ialah beberapa hal yang dapat menjadi acuan permainan yang digunakan bersifat edukasi atau tidak:

1) Sesuai dengan Sasaran

Bila sasaran dari permainan adalah untuk mengembangkan kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa, maka permainan tersebut bisa dikategorikan sebagai permainan edukatif.

2) Multifungsi

Jika permainan itu tidak hanya mengembangkan kognitif, afektif, ataupun psikomotorik, melainkan pengembangan dari dua

atau seluruh ranah tersebut, maka permainan itu dapat dikategorikan sebgai permainan edukatif

3) Sesuai dengan Tujuan

Sebuah permainan dikategorikan sebagai permainan edukati apabila tujuan dari permainan tersebut jelas dan memiliki nilai edukatif. Misalnya, mengembangkan kemampuan problem solving, mengklarifikasi nilai, melatih kepemimpinan, ketangkasan, kemampuan berfikir cepat, mengasah berfikir kreatif, dan lain sebagainya.

4) Melatih Konsep-Konsep Dasar

Banyak permainan edukatif yang merangsang konsep tentang operasi hitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian), memilih strategi, menghargai pendapat, serta konsep yang lainnya. Bila permainan itu melatih konsep dasar, maka permainan itu dapat disebut permainan edukatif.

5) Merangsang Kreativitas

Permainan yang mampu mendorng anak berfikir kreatif, bisa dikatakan sebagai permainan edukatif. Ice breaking (memecahkan es) adalah salah satu jenis game yang dilakukan untuk memecahkan kebosanan peserta (dalam hal ini siswa). Ciri utama game ini ialah dilakukan dalam waktu yang relative singkat, tidak membutuhkan banyak persiapan, alat, dan bahan, serta berfungsi mengembalikan semangat siswa.

b. Faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Bermain

Anak lebih menyukai berbagai kegiatan yang bersifat aktif, bukan yang pasif. Agar tujuan dari kegiatan bermain dapat tercapai dan jalannya permainan bisa berlangsung dengan baik, maka ada berbagai faktor yang mempengaruhi kegiatan bermain yang dilakukan oleh siswa dan guru. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kegiatan bermain menurut Tedjasaputra (2007) adalah sebagai berikut:

1) Kesehatan

Anak yang memiliki fisik sehat akan mengikuti kegiatan bermain dengan lebih aktif bila dibandingkan dengan anak yang tidak sehat. Energi yang dimiliki anak dan remaja sangat banyak, sehingga perlu disalurkan dengan berbagai kegiatan permainan. Mereka ingin menyalurkan energy tersebut melalui kegiatan permainan yang sesuai dengan minat mereka.

2) Penerimaan sosial dari Kelompok Bermain

Jika anak diterima oleh kelompok bermainnya, maka ia cenderung akan menyukai permainan ini. Sebaliknya, bila ia merasa tidak diterima, diacuhkan, bahkan dibenci oleh kelompok bermainnya, maka ia cenderung tidak mau bermain dan terlibat aktif

3) Tingkat kecerdasan

Kecerdasan setiap anak berbeda-beda, sehingga cenderung menikmati permainan yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Tingkat kecerdasan itu juga bisa disesuaikan dengan tingkat perkembangan bahasa, moral, kognitif, maupun

fisik. Biasanya, anak yang pandai cenderung lebih aktif ddibandingkan dengan anak yang kurang pandai. Anak yang pandai juga lebih kreatif dan penuh rasa ingin tahu, sehingga kegiatan bermain secara lebih banyak dinikmati oleh anak yang pandai.

4) Jenis Kelamin

Dalam Susana di dalam kelas, umumnya guru membuat permainan yang dapat dinamakan secara bersama-sama, yaitu antara siswa putra dan putri secara bersama-sama, yaitu antara siswa putra dan putri secara bersamaan. Namun, terkadang, ada sekolah yang membatasi perbedaan gender tersebut, terutama di sekolah berbasis keagamaan. Maka, guru juga harus menyesuaikan hal itu dengan keadaan siswa, asalkan masih berada dalam batas-batas yang sewajarnya dan tidak menyinggung sara.

Umumnya, anak laki-laki menyukai kegiatan yang sifatnya aktif dan membutuhkan gerak seluruh anggota tubuh, seperti berlari, memanjat, berkejaran, dan lain sebagainya. Sementara itu, anak perempuan cenderung menyukai kegiatan yang konstruktif dan yang lebih tenang. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan anak laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan kesukaan. Oleh karena itu, guru perlu menyeimbangkan agar mereka memiliki porsi permainan yang sama dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki melalui kegiatan permainan edukatif.

5) Alat Permainan

Tidak semua alat permainan bisa didapatkan dengan mudah di lingkungan sekolah. Ketersediaan alat permainan juga penting agar kegiatan bermain berjalan lancer dan tepat sasaran. Oleh karena itu, guru dapat memilih permainan yang perlengkapannya mudah di peroleh di lingkungan sekolah ataupun rumah. Bila memungkinkan, guru juga bisa meminta setiap siswa untuk membawa sendiri peralatan bermain, sehingga tidak memperberatkan guru. Selain itu, guru harus kreatif mengganti barang yang tidak ada dengan benda yang dapat digunakan untuk bermain, sehingga permainan berjalan dengan baik.

6) Lingkungan

Sesuaikan lingkungan yang akan digunakan bermain dengan lingkungan yang tersedia. Jika memamang tidak memungkinkan untik dilakukan maupun untuk dimodifikasi, sebaiknya guru tidak menggunakan permainan tersebut. Lingkungan yang medukung membuat kegiatan bermain lebih menyenangkan dan maksimal.

c. Memilih Menurut Jenis Kelamin

Sebagaimana sudah diuraikan dalam pembahsan sebelumnya, anak laik-laki dan perempuan memiliki tingkat ketertarikan bermain yang berbeda. Tedjasaputra (2007), menyebutkan bahwa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukan perbedaan tersebut

terjadi secara alamiah dan ditentukan secara genetik. Jadi, apabila ada sesorang anak laki-laki memang lebih tertarik bermain bola basket, sedangkan anak perempuan lebih senang bermain monopoli, maka hal itu merupakan suatu kewajaran.

Meskipun demikian, ada juga penemuan yang menyatakan bahwa perbedaan tersebut muncul akibat adanya perbedaan perlakuan yang diterima oleh anak perempuan dan laki-laki sejak bayi. Orang tua memang membedakan perlakuan kepada anak laki-laki dan perempuan. Misal, apabila anak laki-laki diberi mainan bola, maka anak perempuan diberi mainan boneka, meskipun tidak ada yang mewajibkannya. Hal itu berjalan sebagai sebuah kewajaran. Padahal, orang tua yang memberikan anak perempuan sebuah bola, sebenarnya hal itu juga wajar. Hanya saja, menurut masyarakat, ini termasuk tidak wajar, sehingga bisa jadi orang tua dicap sebagai orang tua yang tidak bisa mendidik anak.

Hal tersebut berdampak pada konsep dasar siswa tentang perbedaan gender, bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang mencolok. Sering hal itu terbawa ke dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Misal, siswa laki-laki dengan siswa laki- laki berkelompok sendiri, sedangkan siswa perempuan juga berkelompok sendiri. Dalam kegiatan bermain pun, antara siswa laki- laki dan perempuan tidak mau bermain bersama. Bila sampai bermain bersama, siswa biasanya dianggap tidak wajar.

Oleh karena itu, seorang guru dituntut untuk menyediakan permainan yang tidak membatasi gender. Permainan akan berjalan dengan baik jika antara laki-laki dan perempuan saling membaur, tentu saja masih dalam batas sewajarnya.

Sebenarnya, kegiatan bermain bisa dilakukan secara bersama- sama antara laki-lahi dan perempuan. Tidak ada permainan yang secara khusus dibuat untuk laki-laki maupun perempuan. Namun, ada siswa yang cenderung sudah memiliki pandangan bahwa mainan ini untuk laki-laki dan mainan itu untuk perempuan, sehingga ia tidak mau memaikannya. Aktifitas fisik kadang juga membuat perempuan tidak imbang dengan laki-laki sehingg permainan fisik yang cenderung berlebihan hanya untik laki-laki. Selain itu, norma pada agama tertentu, terkadang membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan, sehingga hal iti harus diperhatikan oleh guru.

Cara terbaik yang harus dilakukan guru adalah melihat keadaan dan latar belakang siswa. Sesuaikan jenis permainan yang akan dimainkan dengan keadaan siswa, siswa merasa tidak bermasalah dengan perbedaan gender atau tidak. Bila siswa memiliki perbedaan dengan perbedaan gender, guru dapat memodifikasi permainan, misalnya dengan meminimalisir aktivitas fisik, tidak ada kontak fisik berlebihan, dan membagi kelompok secara homogen (satu jenis). Tidak ada permainan yang tidak bisa dilakukan oleh guru, jadi usahakan agar guru menjembatani perbedaan gender dengan bijaksana.

d. Memilih Menurut Usia

Usia seorang siswa mencerminkan perkembangan yang telah dilaluinya. Perkembangan tersebut meliputi perkembangan sosial, fisik, emosi, intelek (kognitif), bahasa, moral, maupun kepribadian. Karakteristik dan tugas perekembangan setiap usia berbeda-beda. Bila satu tugas perekmbangan telah terlaksana, maka dilanjutkan dengan tugas selanjutnya. Hal ini menuntut guru mampu menentukan permainan yang sesuai dengan karakteristik siswa dalam masa perkembangannya itu. Antara siswa SD, SMP, dan SMA, memiliki karakteristik perkembangan yang berbeda-beda, sehingga guru harus menyesuaikannya dengan jenis permainan yang akan dilakukan.

Beberapa hal berikut ini perlu dilakukan oleh guru dalam memilih permainan yang tepat sesuai usia siswa:

1) Permainan harus menyenangkan

Usia anak sekolah, terutama siswa SD cepat mengalami kebosanan. Oleh karena itu, guru harus mengemas permainan dengan efektif, terencana, dan tepat waktu, sehingga mereka tidak cepat bosan. Jangan menggunakan permainan yang sama berulang kali agar tidak bosan. Sebaiknya, gantilah permainan, atau buat permainan berselang-seling dari waktu ke waktu agar lebih menarik.

2) Tingkat kesulitan

Siswa yang merasa permainan tersebut mudah, cenderung menyepelekan atau merasa tidak tertarik. Jadi, guru pun harus menyesuaikan dengan tingkat kesukarannya. Bila terlalu sulit

atau terlalu mudah, siswa bisa cepat bosan dan tidak tertarik. Sebaiknya, tingkat permainan yang dilakukan sedang-sedang saja; tidak mudah dan tidak sulit.

3) Perkembangan

Perkembangan inteligensia antara siswa SD, SMP, dan SMA berbeda. Oleh karena itu, kita tidak menggunakan permainan untuk SD kepada anak SMA. Sebab, mereka akan cenderung menganggapnya mudah, sehingga bosan dan tidak tertarik. Jika pun digunakan, sebaiknya dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi siswa.

4) Keselamatan

Beberapa permaian ada yang cukup aman untuk dimainkan siswa SMA, namun tidak aman untuk siswa SD. Hal ini disebabkan perkembangan inteligensia yang berbeda. Siswa SD kadang tidak tahu sesuatu itu berbahaya atau tidak, berbeda dengan siswa SMA yang cenderung sudah tahu akibat dari hal yang piperbuatnya.

D. Media Puzzle

Dokumen terkait