• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENDESAIN MEKANISME WHISTLEBLOWER YANG SESUAI DENGAN PERUSAHAAN

Dalam dokumen pengauditan manajemen CH 23 24 (Halaman 30-34)

Dalam mengatasi dan menginvestigasi adanya indikasi penyimpangan, perusahaan sangat memerlukan pengelolaan yang baik di dalam perusahaan. Dalam banyak kasus penyimpangan yang terjadi, biasanya manajemen puncak perusahaan atau pejabat tinggi perusahaan merupakan pihak yang menjadi sorotan utama, namun sebenarnya penyimpangan perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi. Penyimpangan pengelolaan perusahaan ini dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Selain itu, secara tidak langsung penyimpangan ini juga dapat membangun budaya yang tidak baik, bukan hanya pada hubungan internal organisasi perusahaan, namun juga terhadap hubungan eksternal dengan para pihak yang menjadi mitra kerja perusahaan. Oleh sebab itu, dapat dilihat bahwa dampak yang terjadi sangat signifikan bagi perusahaan jika penyimpangan ini dilakukan secara terus menerus tanpa adanya suatu usaha perbaikan pengelolaan perusahaan.

Seiring dengan semakin meningkatnya perhatian berbagai pihak terhadap tata kelola suatu perusahaan, kini banyak organisasi di beberapa negara yang telah membuat saluran pengaduan tanpa nama, atau yang dikenal dengan sebutan “Whistleblower Mechanism”.

Kenapa mekanisme Whistleblower dianggap penting?

Selain karena di beberapa negara, sistem tersebut diwajibkan oleh peraturan, faktanya, informasi dugaan (“tips”) merupakan metode yang dianggap paling berhasil dalam menemukan adanya fraud dibandingkan dengan metode lainnya. Hal ini dibuktikan oleh Association of Certified Fraud Examiner yang melakukan survey di perusahaan-perusahaan Amerika pada tahun 2004-2006.

Sebenarnya di Indonesia mekanisme di atas sudah diterapkan, bukan hanya di perusahaan, namun juga

dipemerintahan, yaitu dengan adanya beberapa institusi yang memang menerima pelaporan dari masyarakat, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pedoman tata kelola perusahaan yang baik di Indonesia juga merekomendasikan agar Negara harus dapat menciptakan situasi kondusif untuk melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan untuk melindungi saksi pelapor yang memberikan informasi mengenai suatu kasus yang terjadi pada suatu institusi, baik perusahaan maupun bentuk lain.

Memang saat ini belum ada peraturan yang mewajibkan keberadaan mekanisme “Whistleblower” dalam sebuah organisasi, namun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No.13/2006) untuk menjamin perlindungan kepada saksi korban dalam semua tahap proses peradilan pidana walaupun memang perlindungan ini belum mencakup saksi pelapor dan tidak memberikan insentif seperti pengurangan hukuman bagi pelapor yang terlibat dalam sebuah tindakan fraud.

Selain sebagai salah satu alat untuk mendeteksi fraud, sebenarnya mekanisme

whistleblower juga bermanfaat sebagai alat untuk mendeteksi berbagai permasalahan yang ada dalam organisasi, seperti diskriminasi, pelecehan, atau penyimpangan perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan standar etika yang berlaku di organisasi. Sehingga, jika diimplementasikan dengan serius, mekanisme whistleblower ini juga dapat berfungsi sebagai salah satu alat pengendalian dan pengawasan, yang dapat membantu meningkatkan perilaku etis dalam organisasi, yang juga dapat mendorong perubahan kultur organisasi ke arah yang lebih baik. Si pemberi informasi ini dapat berasal dari

manajemen, karyawan sebuah organisasi, ataupun pihak lain yang memiliki interaksi dengan perangkat organisasi.

Terdapat beberapa pilihan model mekanisme whistleblower yang dapat diterapkan pada organisasi, yang tentu saja harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi. Mekanisme whistleblower adalah suatu sistem yang dapat dijadikan media bagi saksi pelapor untuk menyampaikan informasi mengenai tindakan penyimpangan yang diindikasi terjadi di dalam suatu organisasi.

Pedoman GCG Indonesia merekomendasikan kepada dunia usaha untuk melaksanakan fungsi ombudsman yang dapat menampung informasi penyimpangan yang terjadi pada perusahaan, dan fungsi ombudsman ini dapat dilaksanakan bersama pada suatu kelompok usaha atau sektor ekonomi tertentu.

Mekanisme whistleblower, umumnya harus dapat menerima informasi dari pelapor tanpa identitas (anonymous). Alasannya tentu saja agar pelapor dapat lebih bebas dan tidak takut untuk menyampaikan informasi. Namun walaupun tanpa identitas, diharapkan pelapor menyampaikan informasi secara obyektif dan bertanggung jawab. Oleh karena itu perlu ada sebuah sistem yang dirancang dengan baik, agar informasi yang dilaporkan dapat disaring dengan benar, sehingga tidak menimbulkan dugaan yang tidak beralasan atau bahkan rekayasa untuk menjatuhkan seseorang untuk kepentingan pribadi – serta untuk menjaga keamanan pelapor.

Pedoman tata kelola perusahaan yang baik (GCG) di Indonesia merekomendasikan kepada setiap perusahaan untuk menyusun peraturan yang menjamin perlindungan terhadap individu yang melaporkan terjadinya pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan. Idealnya, mekanisme “whistleblower” mencakup adanya “hotline” yang menyediakan akses 24 jam – 365 hari setahun yang dilengkapi dengan interviewer yang handal. Jadi tentunya hotline yang disediakan bukan hanya searah saja dalam penerimaan informasi, dan lebih dari sekedar pelaporan tertulis melalui surat, email, atau sms. Untuk hasil terbaik dan untuk menyederhanakan komunikasi, organisasi harus menyediakan hanya satu mekanisme untuk melaporkan berbagai permasalahan yang ada dalam organisasi, termasuk fraud, pelecehan, maupun diskriminasi. Dengan sentralisasi pelaporan, informasi kemudian akan disalurkan ke para pihak yang paling sesuai. Pedoman GCG Indonesia juga merekomendasikan bahwa Dewan Komisaris berkewajiban untuk menerima dan memastikan pengaduan atau pelaporan tentang pelanggaran terhadap etika bisnis, pedoman perilaku, peraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan, diproses secara wajar dan tepat waktu.

Agar sesuai dengan rekomendasi ini, Dewan Komisaris dapat saja mendelegasikan aktivitas ini kepada perangkatnya, misalnya kepada Komite Audit. Namun, ada baiknya

pelaporan tidak hanya diterima oleh satu pihak karena dapat mengurangi risiko penyembunyian informasi tertentu dengan sengaja dan tentu saja menjaga integritas mekanisme pelaporan.

Organisasi dapat memilih untuk menjalankan sendiri mekanisme whistleblower, mulai dari penerimaan pengaduan hingga tindak lanjutnya, atau melakukan outsourcing

fungsi penerimaan pengaduan tersebut kepada pihak eksternal yang independen. Pihak tersebut bertanggungjawab untuk menyampaikan laporan hasil pengaduan yang ada kepada Dewan Komisaris, melalui tim khusus yang dibentuk untuk menangani pengaduan yang ada. Tim khusus yang dibentuk untuk menangani pengaduan ini sebaiknya beranggotakan wakil dari Komite Audit dan wakil dari setidaknya 2 fungsi lain di organisasi yang memiliki keterkaitan dengan perilaku dan kepatuhan, misalnya Komite GCG, Bagian SDM, Bagian Hukum, Bagian Audit Internal/Kepatuhan. Aktivitas tindak lanjut tetap merupakan tanggung jawab dari organisasi yang bersangkutan.

Agar mekanisme whistleblower ini efektif, tentu perlu dilakukan sosialisasi. Sosialisasi mengenai keberadaan mekanisme whistleblower, juga dapat membantu menciptakan kondisi kerja yang dilandasi etika, melalui adanya deskripsi yang jelas mengenai berbagai jenis perilaku yang diharapkan untuk diterapkan di dalam organisasi. Mekanisme tersebut harus diinformasikan kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk karyawan, mitra kerja, dan investor.

Selain itu, jika dimungkinkan, tersedianya sistem yang dapat secara otomatis memberikan nomor secara acak kepada telepon yang dilakukan oleh pelapor akan sangat bermanfaat untuk memfasilitasi dilakukannya peneleponan kembali. Termasuk sangat berguna untuk melakukan dialog lebih lanjut dengan pelapor dalam proses investigasi. Namun demikian, tentu harus tetap dipastikan terjaminnya kerahasiaan identitas pelapor dan juga perlindungan terhadap pelapor, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan atau bahkan membahayakan pelapor. Tanpa adanya kepastian ini, mekanisme whistleblower

akan sama sekali tidak bermanfaat dan hanya akan menjadi pajangan saja, karena tidak akan ada orang yang mau melaporkan sesuatu jika tindakan tersebut akan membahayakan dirinya atau bahkan keluarganya.

Dalam dokumen pengauditan manajemen CH 23 24 (Halaman 30-34)

Dokumen terkait