• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenai Penyelesaian Sengketa

Dalam dokumen BAB 2 PEMBAHASAN DAN ANALISIS (Halaman 54-59)

2.2 Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Minangkabau .1 Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 344 K/Pdt/2004

2.2.2 Analisa Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Harta Pusaka Tinggi

2.2.2.3 Mengenai Penyelesaian Sengketa

Pengadilan Negeri Padang, dalam Putusannya No. 44/Pdt/G/2002.PN.PDG menyatakan bahwa objek perkara yaitu tanah yang diatasnya berdiri rumah tergugat yang terbuat dari kayu terletak di Tanah Sirah Rt 02/Rw 04, dibenarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Padang sebagai Harta Pusaka Tinggi kaum

Penggugat yang Penggugat warisi dari Ninik dan Angku Penggugat secara turun-temurun, berdasarkan bukti P.3 dan P.4 serta pengakuan dari Tergugat.

Dengan dibenarkannya oleh hakim bahwa perkara ini mengenai harta pusaka, maka berlakulah pepatah minang dalam penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat adat itu yaitu: “Bajanjang Naiak, Batanggo Turun”.

Sebelum sampai di Pengadilan Negeri, sengketa ini melalui beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap penyelesaian Saparuik.

Sebelum perkara ini diselesaikan secara kaum, pihak penggugat sekeluarga telah membicarakan secara kekeluargaan dengan pihak tergugat sekeluarga mengenai pokok permasalahan. Namun menurut pengakuan penggugat, kata sepakat tidak dapat dicapai dalam permusyawarahan tersebut sehingga tidak ada jalan keluar dari permasalahan ini. Tahap pembicaraan ini di dalam adat Minangkabau disebut juga dengan tahap pembicaraan saparuik.

b. Tahap penyelesaian ditingkat Suku

Karena tidak ditemukan kesepakatan dalam pembicaraan saparuik, maka pada tahun 1994 Penggugat berupaya kembali agar Tergugat mempertebuskan tanah terperkara melalui ninik mamak suku Caniago Panyalai yaitu ninik mamak suku Melayu/ninik mamak Tergugat, akan tetapi Tergugat tidak mau. Tahap ini disebut juga dengan tahap penyelesaian tingkat suku, yang masing-masingnya diwakili oleh mamak kepala suku.

c. Tahap penyelesaian di tingkat Lurah.

Pada tahun 1996 masalah ini telah Penggugat ajukan kepada Lurah Tanah Sirah dengan harapan agar Tergugat mempertebuskan tanah terperkara, maka pada tanggal 19 dan 23 Juli 1996 dibuatlah persetujuan antara Tergugat dengan Penggugat isinya Tergugat bersedia membeli tanah terperkara dan uang gadaian akan diperhitungkan dengan harga jual beli tanah terperkara dan juga Tergugat bersedia memberi persekot jual beli tanah terperkara kepada Penggugat guna menyelesaikan sertifikat tanah terperkara.

d. Tahap penyelesaian di tingkat Camat.

Persetujuan yang telah dibuat di kantor Lurah Tanah Sirah tersebut tidak mau dilaksanakan oleh Tergugat, maka Penggugat membawa masalah ini ke Camat

Lubuk Begalung, akan tetapi Tergugat juga tidak mau mempertebuskan tanah terperkara.

e. Tahap Penyelesaian di Tingkat Pemerintah Kota.

Karena tergugat tidak mau mempertebuskan tanah perkara, Penggugat membawa masalah ini ke Pemerintah Kota Padang, dan setelah diadakan pertemuan antara Tergugat dengan Penggugat di kantor Pemerintah Kota Padang, maka pada tanggal 28 Januari 1997 dibuatlah musyawarah di hadapan Kabag Tata Pemerintahan Kodya Padang, yang intinya Tergugat bersedia mempertebuskan kembali tanah terperkara sesuai dengan kurs yang ditetapkan oleh Pemerintah (Bank Indonesia) dan Penggugat bersedia mengganti rumah milik Tergugat sesuai dengan penilaian dinas Pekerjaan Umum Kota Padang, akan tetapi hasil kesepakatan ini juga tidak dilaksanakan oleh Tergugat.

f. Tahap Penyelesaian ditingkat Nagari.

Pada tahun 1998 Penggugat membawa masalah ini ke Kantor KAN Lubuk Begalung dan akhirnya KAN Lubuk Begalung mengambil kesimpulan yang membenarkan dan menerima gugatan Penggugat. Sampainya kasus ini di KAN, tenggugat masih merasa khawatir apabila sewaktu-waktu tergugat memindah tangankan tanah perkara ke pihak lain, sehingga akan menambah kerugian penggugat.

Penyelesaian Sengketa yang telah ditempuh oleh penggugat dalam beberapa tahapan sebelum sampainya ke Pengadilan Negeri tidak dilakukan secara berurut sesuai dengan hukum adat minangkabau. Seharusnya sesudah tahap

saparuik, tahap yang harus ditempuh adalah tahap penyelesaian ditingkat kaum

yang masing-masingnya diwakili oleh mamak kepala kaum atau lazimnya disebut dengan mamak kepala waris. Setelah tahap ini baru bisa dilanjutkan ke penyelesaian sengketa ditingkat suku, yang masing-masing diwakili oleh mamak kepala suku.

Setelah dari tingkat suku bisa langsung diajukan ke KAN, namun penggugat mengajukan terlebih dahulu ke tingkat Camat, Lurah, dan Pemerintah Kota. Pada prinsipnya hal ini diperbolehkan di dalam adat Minangkabau. Karena dalam adat Minangkabau, berlaku ketentuan pemberlakuan adatdisebut dengan ”Adat Salingka Nagari” yaitu ketentuan-ketentuan adat di dalam suatu nagari

hanya berlaku untuk nagari itu saja. Di dalam Nagari Lubuk Begalung, Nagari tempat subjek dan objek dari perkara ini, mengenal penyelesaian sengketa di tingkat Camat, Lurah dan Pemerintah Kota, sebelum diajukan ke KAN.

Di tingkat KAN Lubuk Begalung tetap membenarkan dan menerima gugatan Penggugat, namun tenggugat masih merasa khawatir apabila sewaktu-waktu tergugat memindah tangankan tanah perkara ke pihak lain, sehingga akan menambah kerugian penggugat. Disini terlihat bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh KAN lemah, sehingga tidak dapat mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk meletakkan sita tahan atas tanah perkara.

Selanjutnya Pengadilan Negeri Padang, dalam putusannya No. 44/Pdt/G/2002.PN.PDG, menyatakan Penggugat Nuzul Anin Gelar Rajo Sulaiman adalah sebagai Mamak Kepala Waris dalam kaum penggugat, menyatakan sah menurut hukum surat Pagang Badai tanggal 10 Mai 2603 (tahun Jepang) atau 10 Mai 1943, menyatakan tanah terperkara adalah harta pusaka tinggi kaum penggugat yang penggugat warisi dari ninik angku penggugat secara turun temurun, menyatakan sah menurut hukam Berita Acara Musyawarah tanggal 28 Januari 1997 yang dibuat dihadapan Kepala bagian tata pemerintahan Kodya Padang, menyatakan perbuatan tergugat yang tidak mau mempertebuskan tanah objek perkara kepada penggugat selaku pemilik yang sah atas tanah terperkara adalah merupakan perbuatan melawan hukum (Onrecht matigedaad) dan menghukum tergugat untuk mengosongkan tanah terperkara dan menyerahkannya kepada penggugat dalam keadaan kosong terlepas dari haknya dan hak orang lain yang diperdapat dan padanya, setelah Penggugat Konpensi membayar uang tebusan kepada Tergugat Konpensi sebesar Rp 20.000.000,- yang dihitung dengan harga emas = 80 emas x 2,5 gram = 200 gram emas bila engkar dengan bantun polisi dan pihak keamanan lainnya. Dalam mengambil beberapa putusan tersebut, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, Pengadilan Negeri Padang dalam mengambil keputusannya masih merujuk pada hukum adat minangkabau. Ini berarti Pengadilan Negeri Padang masih menjunjung tinggi hukum adat Minangkabau yang menjadi dasar hukum tanah di wilayah adat Minangkabau.

Berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Padang yang mengabulkan gugatan Nuzul Amin dan Anizar, maka Nurdiati mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Provinsi Sumatera Barat. Namun Pengadilan Tinggi Provinsi Sumatera Barat berpendapat bahwa dasar dan alasan yang dikemukakan sebagai pertimbangan hukum oleh Pengadilan Negeri Padang dalam memutus perkara sudah tepat dan sudah benar, sehingga putusan Pengadilan Negeri Padang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat tanggal 2 September 2003 No. 84/PDT/2003/PT.PDG.

Berdasarkan keputusan Pengadilan Tinggi Provinsi Sumatera Barat yang telah memenangkan Nuzul Amin dan Anizar, jelas Nurdiati merasa sangat terancam, karena dalam putusannya harus mengembalikan tanah dan meninggalkan bangunan yang berdiri diatas tanah perkara itu, bahkan kalau diperlukan menggunakan bantuan alat Negara. Oleh karena itu maka Nurdiati melakukan tindakan hukum selanjutnya yaitu Memori Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan alasan, keberatan atas Putusan Pengadilan Tinggi Provinsi Sumatera tanggal 2 September 2003 No. 84/PDT/2003/PT.PDG, yang telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Padang No. 44/Pdt/G/2002.PN.PDG.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa dengan mempertimbangkan surat pagang gadai tanggal 10 Mei surat pegang gadai tanggal 10 Mei Tahun 1943 yang berlaku selama 50 tahun yang didukung oleh bukti berupa Berita Acara musyawarah tanggal 28 Januari 1997 untuk pengembalian barang gadai karena lewatnya waktu gadai, serta tanah sengketa yang merupakan harta pusaka tinggi kaum Penggugat dan gadai tanah tersebut telah melewati 7 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Perpu No. 56 Tahun 1960 maka seharusnya Tergugat mengembalikan kepada Penggadai tanpa uang tebusan, tetapi membayar tebusan sebagai penggantian atas bangunan rumah Tergugat di atas objek sengketa. Mahkamah agung juga memutuskan bahwa judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : NURDIATI panggilan UPIK KATI tersebut harus ditolak.

Seharusnya Mahkamah Agung dalam putusannya tidak menyinggung pasal Pasal 7 ayat (1) Perpu No. 56 Tahun 1960 yang menyatakan gadai yang telah berumur 7 tahun atau lebih dapat diminta kembali oleh pemiliknya setiap waktu setelah panen, tetapi berumur kurang dari 7 tahun harus ditebus dengan uang tebusan berdasarkan rumus : (7 + ½) - waktu berlangsung hak gadai dikali uang gadai dibagi 7 (tujuh). Dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanahnya tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen. Karena pasal tersebut hanya berlaku untuk tanah pertanian, sedangkan tanah perkara bukanlah tanah pertanian melainkan tanah perumahan.

Sebaiknya putusan Mahkamah Agung memperhatikan dan menggunakan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 10 Januari 1957 No. 187/K/Sip/56 yang menyatakan bahwa: “terhadap tanah bukan tanah pertanian, tambak dan tanaman keras, hak untuk menebus tak mungkin lenyap karena daluwarsa, apabila pemilik meninggal, maka ahli waris tetap berhak untuk dapat menebus”. Sehingga lebih tepat rasanya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 10 Januari 1957 No. 187/K/Sip/56 dipakai sebagai pertimbangan hukum, daripada memakai Pasal 7 ayat (1) Perpu No. 56 Tahun 1960.

Dalam dokumen BAB 2 PEMBAHASAN DAN ANALISIS (Halaman 54-59)

Dokumen terkait