Buat pengusaha, istilah gulung tikar sungguh menakut kan. Namun, tidak bagi Ali Usman. Maklum, bidang usa ha nya di bawah PT Wonorejo Makmur Abadi (WMA) ada lah menggulung tikar hasil produksi usaha nya. Jadi, ka lau tiap hari ada aktivitas menggulung ti kar,
menge pak, lalu mengirimnya ke berbagai kota, ber arti bisnis nya justru lancar.
Tikar plastik adalah produk andalan WMA selama em pat tahun lebih. Diproduksi di pabriknya yang ber lo kasi di Jalan SoloPurwodadi Km 6,3, Solo, Jawa Te ngah, produk WMA kini merambah hampir ke selu ruh Ja wa. Omzetnya mencapai miliaran rupiah per bu lan. Produ sen tikar bermerek Mawar, Gadjah, dan Raja wali ini kini merupakan perusahaan tikar terbesar di Jateng.
Saat memulai usahanya pada 1996, omzet WMA ti dak lah seberapa. Kualitas produknya masih tergolong se der hana dan harga jualnya masih Rp7 ribu sampai de ngan Rp10 ribu per lembar. Untuk memasarkan pro duk nya, dia mendatangi dan menawar kan langsung ke peda gang kecil di pasar. Dengan sabar, Ali melayani pem beli an kecil. Masa prihatin dija laninya sampai lima bulan. “Beberapa orang yang kenal saya, mencemooh
pekerja an itu. Wah, MBA, kok, jualan tikar ke pasar. Nggowo klasa lima thok, ora mbejaji (Ba wa tikar cuma lima biji, tidak pantas). Begi tu lah komentar mereka. Tapi, saya cuek saja,” kenang penyandang Master of Business Ad mi nis tration itu.
Pilihannya terjun ke bisnis tikar plastik tidak lepas da ri pengalaman kerja sebelumnya. Sebelum memegang ken dali WMA, lima tahun ia menjadi manajer di PT Tri jaya Group, Solo, produsen barangbarang plastik, salah sa tu nya, jas hujan Gadjah. Sebelum keluar dari perusa ha an ini, Ali memang berniat membangun usaha sendiri. Pilihannya adalah produk tikar plastik. Alasan nya, tikar dipa kai setiap orang di berbagai tempat. Setiap wa rung, pengajian, sampai kebutuhan rumah tangga hampir pasti menggunakan tikar. Pasar tikar masih terbuka lebar de ngan kompe tisi yang tidak begitu ketat, sehingga kemung kinan me raih untung cukup besar.
Namun, Ali menemukan kendala psikologis. Sebagian masyarakat menganggap tikar merupakan kebutuhan kelas bawah. “Dulu, kalau lihat orang bawa tikar, kesan nya miskin. Ada istilah gulung tikar, lalu ada syair lagu tidur beralaskan tikar. Itu yang mem per kuat kesan bah wa tikar identik dengan orang mis kin,” papar man tan aktivis lulusan Fisipol Universitas Ga djah Mada yang suka membaca buku politik dan filsafat itu. Oleh Ali, ci tra kelas bawah tikar diubah dengan desain se de mi kian rupa sehingga menjadi konsumsi masyarakat kelas atas. Promosinya pun dirancang begitu elegan.
Pada 1996, Ali mewujudkan impiannya membangun pabrik tikar di atas tanah seluas 5 ribu m2. Modalnya Rp1,6 miliar, hasil patungan dengan ayah dan dua saha
bat nya plus pinjaman bank sebesar Rp300 juta. Dana itu untuk membeli tanah dan bangunan, bahan baku, ser ta mesin dari Taiwan.
Ketika Ali hendak membeli mesin, dia buta sama se kali mengenai mesin pembuat tikar. Kedutaan Jepang dan Taiwan dia datangi untuk memperoleh informasi ten tang me sinmesin ini. Setelah memperoleh infor masi, ia pergi ke Taiwan. Sesampai di bandara, ia sem pat ditangkap po lisi karena disangka TKI gelap.
Seperti pendatang baru, pertama masuk bisnis ini ia menghadapi banyak tantangan. Pertama, produk se jenis sudah beredar di pasar. Ali harus me yakinkan para distributor agar mau menyalurkan produknya. Ini bukan pe kerjaan mudah karena distri butor harus berani meng ambil risiko putus hubungan dengan pro dusen yang se lama ini memasoknya.
Kedua, waktu itu sekitar 80% distributor barang di Solo dikuasai pedagang Cina. Jika ingin tikarnya laku, Ali harus mampu masuk dalam komunitas distributor. Ber bagai cara promosi ditempuh, termasuk bertaruh me lawan para engkoh Solo itu. Taruhannya, mengadu ke kuat an tikar produknya melawan merek lain, de ngan dijemur di atas genteng selama seminggu untuk meng uji kualitasnya. Yang tidak rusak keluar sebagai peme nang. Cara lainnya, pendekatan kultural, yakni de ngan belajar tradisi dan bahasa Mandarin serta ber gaul de ngan mereka. Dengan beragam cara itulah, produk Ali lambat laun bisa diterima kalangan pedagang maupun dis tributor.
Pertengahan 1997, datanglah krisis ekonomi yang se ka ligus masa pahit bagi kalangan pengusaha, ter uta ma nonekspor. Hampir seluruh pabrik yang mengan dal kan
mo dal sempit, termasuk pabrik tikar di Solo, kolaps dan akhirnya tewas. WMA pun ikut terpukul, ta pi tak sam pai tutup.
Apa rahasia sukses di saat krisis moneter? Ke tika kurs mencapai Rp15 ribu/dolar AS, harga bahan baku bijih plastik ikut meroket dari Rp2.300 menjadi Rp15 ribu/kg. Padahal, untuk membuat satu lembar tikar dibutuhkan 2 kg bijih plastik. Kalau ditambah biaya te naga kerja dan listrik misalnya, harga jual selembar tikar bisa Rp 4050 ribu. Siapa mau beli? Meng ha dapi masalah ini, Ali lantas berburu plastik bekas di tempat pembuangan limbah. Harganya cuma Rp1.0001.500/ kg. Setelah terkumpul, limbah plastik ini dicuci, lalu didaur ulang untuk bahan baku tikar. Dari s egi kualitas memang kurang bagus, tapi pertim bangannya saat itu adalah bagaimana memproduksi dengan me nekan harga jual tikar sehingga perusahaan tetap ja lan.
Yang mengejutkan, pada saat krismon itulah perusa ha an justru bisa mencapai break even point. Bahkan se lama musim paceklik, perusahaan sempat menambah be berapa mesin buatan Taiwan. “Garagara mendaur plas tik, hidung saya sampai sekarang sering kambuh,” ke nang suami Asri Faida itu sembari mengusap hidung nya.
Tahun demi tahun roda perusahaan kian menggelin ding dengan mampu menambah mesin setiap bulan yang kini mencapai lebih dari 40 unit. Semuanya impor. Satu problem sejak awal adalah pengadaan bahan ba ku yang harganya mahal dan ba rang yang sulit dicari.
Keberadaan WMA juga didukung kedekatannya de ngan masyarakat yang dibangun sejak awal. Itu se bab nya, meski huruhara disertai penjarahan dan
peru sak an ter jadi di Solo dan akibatnya semua peru sahaan tutup be be rapa hari, WMA tetap buka seperti biasa. Massa me mang sempat merusak bangunan pabrik di kirikanan, bangunan yang dikelola Ali sama sekali tak disen tuh apa lagi dirusak. “Ikhtiar saya, bagaimana agar per usa haan ini tidak bermasalah pada siapa pun sehingga orang juga berpikir jika hendak berbuat buruk.”
Akhir 1999, ia menerima order sebanyak 6 truk da ri lembaga swasta. Nilanya kurang lebih Rp300 juta. Ko non, tikar sebanyak itu dikirim ke Timor Timur untuk pa ra pengungsi. Selain tikar, lembaga itu juga mengor der gelas plastik. “Saat itu, perasaan saya agak tersen tuh. Saya membayangkan kehidupan para pengungsi,” tutur lulusan Universitas Santo Thomas Filipina, yang belum lama ini ikut bursa calon Wali Kota Solo.
Sekarang WMA memiliki 30 distributor di seluruh Ja wa dengan dukungan 300 karyawan dan sampai sa at ini memiliki aset lebih dari ratusan miliar. Total pro duk si ra tarata 3 ribu tikar/hari. Margin keuntung an ber sih yang dipetik sekitar 20% dari total penjual an.
Untuk mengembangkan usahanya, selain meningkat kan kualitas produk, memperluas jaringan pemasaran, dan reinvestasi, WMA juga menjalin aliansi strategis de ngan rekanan bisnis. Jaringan pemasaran diperluas de ngan terus menjajaki pasar. Misalnya, melakukan pro mosi ke wila yahwilayah baru, termasuk pameran ke Bahrain dan Arab Saudi.
Selain pendekatan kekeluargaan terhadap para dis tri butor, WMA juga melakukan reinvestasi melalui manajemen ke untungan. Caranya, pertama, laba per usa ha an tidak seluruhnya dibagi ke pemegang saham,
me lainkan hanya 25% atau 50%nya. Sisanya untuk re inves tasi. Kedua, me nam bah aliansi strategis de ngan men cari mitra yang dapat berkontribusi terhadap ke lan car an bisnis. Misal nya, jika ada distributor yang te lah lan car memasar kan produknya, mereka bisa me na nam kan saham di WNA. De mi kian juga pemasok ba han baku. Jadi, bukan sem barang orang; asal punya uang di terima.
Sejak perusahaannya berdiri hingga sekarang, Ali tidak pernah memikirkan membangun outlet atau toko sendiri untuk memajang produknya. Dia beralasan, se lama ini urusan pemasaran tidak menjadi masalah. Bahkan, meski tan pa outlet, dia belum bisa memenuhi se mua pesanan.
Selain memimpin WMA, Ali disibukkan oleh lima per usa ha an miliknya yang didirikan tiga tahun lalu un tuk perluasan usaha, yakni pabrik karpet, pabrik ta lang, pabrik sepatu, pabrik ska te kayu, perdagangan umum, daur ulang limbah plas tik, dan toko grosir.