• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUKIR MASA DEPAN

Dalam dokumen Pitutur Guru untuk Para Dokter (Halaman 167-173)

PITUTUR GURU UNTUK PARA DOKTER

MENGUKIR MASA DEPAN

Eddy Rahardjo

aya dilahirkan ditengah kancah peperangan Aksi Polisionil ke 2 dan berbagai pemberontakan diawal kemerdekaan Indonesia. Di tahun 1948. Itu adalah masa sulit untuk berjuang hidup. Ayah ibuku tidak pernah cerita betapa berat perjuangan itu, dari pengungsian ke pengungsian. Di tahun 1954 saya masuk SR (sekolah rendah) swasta. Di tahun tahun itulah ayah dan ibu mulai mengutarakan doa dan harapannya agar saya jadi dokter. Dan karena kami tinggal di pinggiran timur kota Surabaya maka sering kami lewati gedung Aula FK. Di hari minggu pagi, kami naik sepeda dengan saya membonceng dibelakang. Beliau sering berhenti sebentar dan menunjuk ke Aula, bergumam, “nanti kalau sekolah dokter tempatnya disini”.

Ada konflik dihati saya karena yang saya inginkan sebenarnya sekolah tehnik untuk jadi insinyur membuat roket. Entah dari mana datangnya idee itu. Saya lulus SR lalu didaftarkan ke SMP Swasta. Tetapi jalan takdir berbeda. Waktu petugas membaca salinan raport dan ijazah saya, dia bilang :”Pak sayang kalau anaknya masuk disini. Ini nilainya tinggi sekali. Lebih baik masuk sekolah negeri.” Ayah saya bingung. “SMP negeri yang mana ?” “SMP 6. Bapak cepat bawa ini kesana”. Masuk SMP 6 kelas 1C aku dapat kelas berdinding bambu (gedek) yang berlubang2. Teman2 di 1A dan 1B enak kelasnya tembok jendela kaca.. Perjuangan kali ini mulai berat.Aljabar dapat 5 pada triwulan pertama. Saya memang tidak mengerti ini ilmu apa. Tetapi hari2 sedih berlalu. Saya lulus SMP dengan nilai raport rata2 9. Dan nilai ujian bahasa Inggris 10 bulat. Saya masuk SMA 5 atas dasar nilai ujian yang lebih dari cukup. Untung belum ada berbagai aturan zonasi dsb. Sehingga saya dapat masuk di “SMA Kompleks” sebutan populernya waktu

142

itu. SMA berjalan lancar sekali dan saya tiba2 jadi sangat menguasai ilmu ukur ruang dan Ilmu kimia. Soal2 di buku kimia Schermerhorn sudah selesai saya kerjakan di satu triwulan sebelumnya. Dan dengan melenggang bersyukur masuk FK UnAir satu kali datang untuk daftar dan beberapa minggu kemudian namanya ada di papan tulis. Mengapa sekarang hidup jadi susah ?

Sekolah kedokteran memang berat. Apalagi waktu itu ada banyak dosen senior FK yang baru pulang dari tugas belajardi Amerika.

Amerikanisasi makin membuat belajar makin berat sehingga separo dari mahasiswa tingkat Propadeuse dinyatakan gagal studi dan jadilah judisium hujan tangis. Untuk ujian sekelas ECFMG diperlukan penataan pembelajaran yang sesuai. Saya merasakan bahwa apa yang saya peroleh selama dua semester itu tidak akan membuat kami lulus. Maka dengan penuh keprihatinan kita said goodbye kepada teman2 yang harus berpisah. Namun pelajaran ini tidak berakhir disini.

Situasi ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang terjadi ketika pada gilirannya kita mengajar sebagai dosen. Dan kita harus meluluskan mereka menjadi dokter. Apapun kondisinya. Whatever it takes !!

Bagaimana roda nasib bisa berputar secepat itu ? Apakah teman-temanku yang filtered-out dulu itu salah karena mereka lahir di jaman yang salah ? Lahir terlalu cepat ?

Apakah upaya untuk sukses tidaknya hidup kita harus memperhitungkan juga untuk memperlambat langkah jangan terlalu cepat lulus ? Waktu saya mendaftar ppds anestesi, peraturan waktu itu mengharuskan wamil untuk lulusan langsung yang sehat. Mereka yang lulus mengulang tidak terkena peraturan ini sebab jadwal intakenya tidak sesuai.

143

Menghadapi ini saya menghadapi rekomendasi kemungkinan terkena wamil. Apakah bisa dibantu rekomendasi untuk prioritas jadi ppds karena bidang Anestesi masih sangat sedikit jumlahnya. The answer was no. Artinya aku harus atur agar jangan sampai lulus langsung. Tapi ini kan merusak track record saya …….?

Dalam kebingungan itu datang berita yang sebenarnya kurang baik tetapi dia jadi penyelamat. Aku harus mengulang IKK. Waktu itu ujiannya visum et repertum.. Jelas aku tidak jadi dapat hadiah dan tidak jadi masuk 10 besar. Tapi aku masuk anestesi langsung dan sekarang masih mengajar S2 Forensik. Roda nasib, ada peribahasa: “God answer your prayer in 3 ways. He says yes and gives you what you want; He says no and gives you something better; He says wait and gives you the best, in His own time.

Disuatu hari masa ppdsku, waktu itu sudah jam 16. Saya sedang mengasembling mesin anestesi yang bantuan Univ of California yang rusak. Dr Karijadi lewat. Saya lapori soal mesin itu dan bahwa saya berhasil memperbaikinya hingga bisa dipakai. Tidak ada tepuk tangan. Beliau berkata, bagaimana jika saya memakai waktunya untuk melakukan aktifitas lebih banyak untuk mendidik. Saya katakan bahwa saya canggung untuk mendidik karena saya lebih bisa mengerjakan sendiri dengan baik daripada mendidik orang lain untuk bekerja baik. “Ya tapi cobalah dulu,” kata beliau tanpa berkedip. Saya kerjakan juga meski awalnya berat. Ternyata makin lama makin banyak “murid saya”. Ada ribuan perawat, dokter, mahasiswa kedokteran, mahasiswa keperawatan yang saya ajar dan bimbing., bahkan tingkat Sp-1, S2, Sp2 dan 9 Doktor S3. Tahun 1975 saya dikirim ke Nederland di akhir bulan Desember ketika salju dan es turun, sementara di lapangan terbang Schiphol saya mendarat dengan uang hanya 100 Gulden di saku dan pesan bahwa uang saku akan diserahkan nanti di stasiun kereta api Nijmegen. Bagaikan perploncoan

144

yang tidak habis-habis. Tapi semua itu menempa pribadi saya dan menghasilkan powerful change yang sangat saya syukuri. Setelah saya jadi Sp-Anestesiologi, saya memajukan Prodi SpAn dari ppds yang dulu hanya 5-10 orang, sekarang jadi ratusan orang. Tahun 1995 saya menyelesaikan disertasi dan menjadi SpAn pertama di Indonesia yang berhasil jadi Doktor, S3. Institusi pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dari 4 centre berkembbang menjadi 12 centre. Mulai banyak teman sejawat SpAn meninggalkan Comfort Zone dan ikut mencoba jadi Doktor. Sekarang, sudah puluhan SpAn yang Doktor. Tahun 2000 saya mendapat anugerah Gelar Guru Besar. Prodi Anestesiologi FK Unair pernah menjadi prodi dengan Guru Besar paling banyak se Indonesia, 7 orang. Tetapi roda nasib berputar, sekarang kita hampir nol guru besar aktif.

Setelah saya menjadi konsultan di Intensive Care (KIC), saya merintis 4-5 prodi KIC baru sehingga tercapai percepatan jumlah KIC. Berarti lebih banyak ICU bisa berdiri dan memberikan pelayanan. Siapa tahu kalau akan datang pandemi Covid-19 ? Don’t look back, it is history that you can not change. Always look forward because you can change the future. Kalau kita sempatkan pergi kepulau2 terluar dan perbatasan negara, ada banyak kesamaan yang harus kita fahami. Kesamaan itu adalah kemiskinan, kesukaran dan kesulitan untuk hidup layak.Paling tidak, harus ada fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sekarang pendidikan akan diterabas lebih cepat dengan internet everywhere dan digitalisasi komunikasi. Tetapi masih jauh untuk adanya dokter digital dan perawat digital. No way. Artinya, kita masih harus ada yang mau pergi kesana. Kalau tidak bisa banyak melayani, maka kita harus banyak melatih. Kita harus buatkan SPO dan Clinical pathway yang mudah dipelajari dan dilakukan di daerah jauh itu, bukan EBM buatan institusi menara gading yang tidak mengenal apa itu kemiskinan.

145

Kalau kita tidak bisa menjamin menolong persalinan patologis, maka kita harus bisa mencegah mereka tidak hamil agar tidak usah bersalin di rumahnya yang 6 jam dari Puskesmas terdekat yang tidak ada dokter atau bidannya. Dokter adalah mahluk sosial yang senantiasi bekerja dan berfikir untuk menolong kehidupan orang lain. Dokter juga harus dibantu agar produktif sebab hidup didunia itu tidak lama. Ada semboyan yang tajam tetapi benar, agar kita tidak buang buang waktu. Do something either lead, follow or get out of the way. Kalau dokter tidak bisa memimpin, fine, cobalah menurut arahan, menurut SOP dan CP. Tetapi kalau untuk menurut itu masih kesulitan, ya sudah, get out of the way, beri jalan dokter lain untuk maju, jangan menghalang-halangi.

Saya banyak bersyukur atas banyak kemudahan yang dilimpahkan Allah SWT. Sekolah keluar negeri sebelum usia 30 tahun. Menjadi Haji usia 40 tahun, lulus Doktor dan menjadi Guru Besar ke 209 Unair pada usia 52 tahun. Maha Besar Allah dan dalam kebesaran itu saya dianugerahi pula kesempatan yang luas untuk menyebarkan ilmu. Didampingi oleh isteri dan dua anak, dua menantu yang ikut berbakti bagi nusa dan bangsa, Indonesia !

Kita masih perlu puluhan ribu dokter baik dan puluhan ribu dokter spesialis yang baik. Rakyat kita terus bertambah pesat jika KB tidak lagi populer. Apa yang bisa kita wariskan buat masa depan Indonesia? Pendidikan! Pendidikan Dokter, Pendidikan Dokter Spesialis. Kita yang berada di Institusi Pendidikan bertanggung jawab untuk pewarisan atau legacy ini. Jadilah pendidik. Jika garis pewarisan ilmu terputus, maka ilmu itu bisa hilang. Kita tidak ingin kalau cucu kita jadi dokter dan bingung toleh kanan, toleh kiri sementara pasien sesak berat tidak bisa membuat diagnosis karena USG dan CT-scan rusak. Marie Curie pemenang hadiah Nobel mengatakaan “One can only see what has not been done. Many would not see what have

146

been done”. Jadi meskipun banyak yang sudah dilakukan bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan, masih banyak kerja besar yang belum kita selesaikan. Dimanapun kita berada, pelayanan profesional itu perlu.Tetapi pendidikan profesional itu lebih perlu karena multiplikasi ilmu dan multiplikasi pengamal ilmu itu lebih penting untuk menjamin kesinambungan pewarisan ilmu. Ini adalah tantangan yang harus kita emban bersama. Bersama berbaris untuk menata masa depan. Pandemi Covid mengancam interupsi pewarisan. Mari proses ini kita percepat. Penerus generasi tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Eddy Rahardjo

“Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country” JFK

147 BAB V KILAS BALIK

Dalam dokumen Pitutur Guru untuk Para Dokter (Halaman 167-173)