• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji R-Squared (R2) dilakukan untuk mengukur besarnya keragaman variabel terikat yang mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang terdapat di dalam model. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Nilai R2 yang semakin mendekati 1 menunjukkan semakin baik keragaman variabel terikat yang mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas tersebut.

32

33

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia di Pasar ASEAN Berdasarkan Metode RCA

RCA dalam penelitian ini didefinisikan bahwa jika pangsa ekspor sektor industri prioritas Indonesia di dalam total ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor sektor industri prioritas negara-negara ASEAN di dalam total ekspor negara-negara-negara-negara ASEAN ke kawasan ASEAN, diharapkan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dalam periode tahun 2001-2013, terlihat bahwa lima dari delapan industri yang tergolong ke dalam sektor industri prioritas Indonesia yang meliputi industri Makanan dan Minuman, industri Tekstil, industri Pakaian Jadi, industri Kulit dan Barang dari Kulit serta industri Logam Dasar memiliki nilai RCA rata-rata di atas satu (RCA>1). Hal ini memiliki arti bahwa produk-produk dari kelima sektor industri prioritas tersebut memiliki keunggulan komparatif di pasar ASEAN dibandingkan dengan daya saing untuk jenis produk dari sektor industri yang sama di negara-negara ASEAN lainnya.

Sementara itu, untuk industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur memiliki nilai RCA rata-rata kurang dari satu (RCA<1) yang artinya produk-produk dari ketiga industri tersebut tidak memiliki daya saing secara komparatif di pasar ASEAN. Hal ini dikarenakan ekspor produk-produk dari industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur dari negara ASEAN lainnya ke pasar ASEAN memiliki nilai yang jauh lebih besar. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan oleh industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur Indonesia kurang memilki kontribusi yang besar terhadap total ekspor ASEAN untuk komoditi yang sama, walaupun produk tersebut merupakan produk unggulan ekspor Indonesia.

Tabel 3 Nilai RCA rata-rata sektor industri prioritas negara-negara ASEAN tahun 2001-2013

Makanan dan

Minuman Tekstil Pakaian Jadi Kulit dan Barang dari Kulit Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Logam

Dasar Perlengkapannya Mesin dan Furnitur Indonesia 1.48 1.79 1.80 1.34 0.87 2.48 0.57 0.98 Malaysia 1.06 0.71 0.48 0.54 0.96 0.93 0.71 1.67 Singapura 0.35 0.56 1.01 0.77 1.10 0.76 1.40 0.90 Philipina 0.82 0.29 0.72 0.75 0.36 0.87 0.37 0.34 Thailand 1.91 1.76 0.82 1.58 1.24 0.74 1.00 0.64 Kamboja 0.73 1.91 5.00 0.86 0.11 2.03 0.65 0.51 Vietnam 3.10 2.55 2.11 3.30 0.42 1.16 0.30 0.83

34

Industri Makanan dan Minuman

Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa dari hasil nilai RCA, tercatat rata-rata tahunan (2001-2013) nilai RCA Indonesia terhadap ASEAN untuk industri Makanan dan Minuman adalah sebesar 1.48. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki daya saing terhadap industri Makanan dan Minuman ASEAN. Nilai RCA rata-rata yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa industri Makanan dan Minuman Indonesia masih memiliki daya saing terhadap negara pesaingnya.

Bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, daya saing Indonesia di pasar ASEAN untuk industri Makanan dan Minuman ini masih relatif unggul bila dibandingkan pesaing utamanya Malaysia dan beberapa negara lainnya, seperti Kamboja, Philipina dan Singapura. Sementara itu, daya saing industri Makanan dan Minuman Indonesia masih di bawah Thailand sebesar 1.91 dan Vietnam sebesar 3.10 yang merupakan negara di ASEAN dengan daya saing paling unggul (RCA tertinggi). Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) menunjukkan bahwa peringkat daya saing industri Makanan dan Minuman Indonesia berada di peringkat 50, masih jauh di bawah negara kompetitor utamanya di kawasan ASEAN, yaitu Malaysia di peringkat 25 dan Thailand di peringkat 38. Meskipun demikian, pemerintah yakin prospek industri Makanan dan Minuman cerah karena diprediksi pada tahun 2030 nilai pasar makanan dan minuman di Indonesia bakal mencapai 1.8 triliun USD, jauh di atas Thailand dan Malaysia7.

Dengan kekuatan daya saing yang dimilikinya, meskipun ekspor industri Makanan dan Minuman menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam beberapa tahun terakhir, diberlakukannya MEA tentu menjadi peluang yang potensial bagi Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan ekspor industri Makanan dan Minuman lebih lanjut dengan melakukan diversifikasi pasar maupun diversifikasi produk. Selain itu, diperlukan juga upaya untuk mendorong peningkatan produksi makanan dan minuman di dalam negeri guna mengimbangi kemungkinan peningkatan konsumsi di dalam negeri. Upaya ini pada gilirannya juga dapat mendorong peningkatan daya saing industri Makanan dan Minuman Indonesia.

Industri Tekstil

Dalam kelompok industri ini, Indonesia memiliki daya saing di pasar ASEAN dengan nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) yang lebih besar dari satu (RCA>1). Meskipun telah masuk dalam jajaran sepuluh besar dunia, tetapi peringkat Indonesia untuk industri Tekstil masih berada di bawah Thailand dan juga Vietnam yang menjadi negara dengan industri tekstil terbesar di kawasan ASEAN (Kemenperin 2013) sekaligus sebagai negara di ASEAN dengan daya saing paling unggul (RCA tertinggi). Meskipun demikian, daya saing Indonesia masih unggul bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, yaitu Philipina, Malaysia dan Singapura.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia/API (2011) menyatakan bahwa di kawasan ASEAN hanya dua negara yang yang struktur industrinya lengkap dari hulu ke hilir, yakni Indonesia dan Thailand. Kapasitas produksi yang paling besar masih

7 Kemenperin. http://www.kemenperin.go.id/artikel/4664/Peringkat-Industri-Makanan-Rendah (diakses 7 Juli 2015)

35 dimiliki oleh Indonesia, baru kemudian Thailand dengan kapasitas 30 persen dari kapasitas Indonesia. Adapun Vietnam dan Kamboja lebih banyak industri Pakaian Jadi.

Dalam hal ekspor ke kawasan ASEAN, Vietnam sebagai negara dengan RCA tertinggi, memiliki nilai ekspor terbesar dengan nilai sebesar 14.5 miliar USD pada tahun 2014, sedangkan Indonesia hanya mencapai 13 miliar USD. Meskipun demikian, pasar dalam negeri Indonesia hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan Vietnam dengan nilai mendekati Rp 90 triliun8.

Industri Pakaian Jadi

Industri Pakaian Jadi merupakan salah satu sektor industri prioritas yang menjadi salah satu penyumbang devisa ekspor tertinggi ke kawasan ASEAN, dimana nilai ekspornya dalam kurun waktu lima tahun terakhir mencapai 4.5 milyar USD. Sementara itu, pada tahun 2013 nilai ekspor industri Pakaian Jadi ke ASEAN mencapai 7.30 milyar USD atau 60 persen dari total ekspor TPT nasional.

Terkait dengan daya saing, untuk industri Pakaian Jadi, Kamboja menjadi negara yang memiliki daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi). Sedangkan untuk daya saing Indonesia, meskipun mengalami penurunan dari sekitar 1.78 pada tahun 2009 menjadi 1.28 pada tahun 2013, tetapi industri Pakaian Jadi Indonesia masih dapat dikatakan berdaya saing di pasar ASEAN karena memiliki RCA>1 bila dilihat dari nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013), yaitu sebesar 1.80. Penurunan daya saing tersebut disebabkan oleh makin menurunnya share ekspor pakaian jadi terhadap total ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN, yaitu dari 0.53 persen di tahun 2009 menjadi 0.41 persen di tahun 2013.

Selain dengan Kamboja, daya saing industri Pakaian Jadi Indonesia juga masih kalah dengan Vietnam. Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekspornya yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor industri Pakaian Jadi Vietnam, dimana di Indonesia rata-rata pertumbuhannya hanya 10 persen per tahun antara 2009-2013, jauh lebih lambat dibandingkan Vietnam yang per tahunnya tumbuh lebih dari 30 persen pada periode yang sama. Tak heran jika saat ini Vietnam melampaui Indonesia dari segi ekspor pakaian jadi (Harian Rakyat Merdeka 2014).

Industri Kulit dan Barang dari Kulit

Pada industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia, pelaku industri kulit mengeluhkan minimnya pembinaan pemerintah sehingga menyebabkan daya saing industri lokal tertinggal dari negara ASEAN. Menurut data dari Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia/APKI (2015), di tahun 2015 kinerja industri Kulit dan Barang dari Kulit nasional merosot, mulai dari 50 sampai 70 persen. Masalah pasokan bahan baku, inovasi desain hingga ketersediaan pasar menjadi penyebab utamanya. Dengan adanya pembatasan impor bahan baku, daya saing Indonesia tertandingi dari Thailand dan Vietnam yang bebas mengimpor bahan baku dari seluruh negara, sehingga pasokan bahan bakunya menunjang peningkatan kinerja industri. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3, nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) untuk industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia, menunjukkan

8 http://edisicetak.joglosemar.co/berita/industri-tpt-indonesia-mampu-bersaing-di-kawasan-asean-59648.html (diakses 18 Oktober 2015)

36

bahwa daya saing Indonesia dengan nilai RCA sebesar 1.34 memang lebih rendah dibandingkan nilai RCA Thailand sebesar 1.58 dan Vietnam yang merupakan negara dengan daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi) dengan nilai RCA sebesar 3.30.

Industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia mengalami kelangkaan bahan baku sejak tahun 1998 akibat dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 46/1997 pada 1 November 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit. Hambatan industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia dalam mengimpor bahan baku kulit mentah dikarenakan mahalnya harga kulit mentah dari negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku.

Permasalahan tidak hanya berada pada bahan baku, inovasi desain produk kulit juga menjadi kendala daya saing. Padahal, kualitas kulit yang dihasilkan di Indonesia dapat bersaing dengan produk kulit dari negara lain (Harian Info Publik 2015).

Industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia

Industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia tidak berdaya saing di pasar ASEAN. Hal ini ditunjukkan oleh nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) yang lebih kecil dari satu. Meskipun ekspornya ke kawasan ASEAN untuk industri ini mengalami peningkatan, namun nilai ekspornya masih rendah bila dibandingkan dengan Singapura dan Thailand yang memiliki daya saing di pasar ASEAN (RCA>1). Misalnya saja di tahun 2009 dan 2013, nilai ekspor produk kimia Indonesia ke kawasan ASEAN meningkat dari 1.75 miliar USD menjadi 3.70 miliar USD. Namun, nilai ini masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura (8.67 miliar USD di tahun 2009 menjadi 14.37 miliar USD pada tahun 2013) dan Thailand sebesar 3.67 miliar USD di tahun 2009 menjadi 7.27 miliar USD pada tahun 2013 (WITS 2015). Hal ini merupakan salah satu penyebab industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia menjadi tidak berdaya saing di pasar ASEAN. Negara lainnya yang industri kimianya juga tidak berdaya saing (RCA<1) adalah Malaysia, Philipina, Kamboja dan Vietnam.

Terkait dengan kondisi industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia dalam negeri yang belum berdaya saing di pasar ASEAN, Direktur Industri Kimia Dasar Kemenperin dalam penjelasannya di Tabloid Kontan (2014) mengungkapkan bahwa industri Kimia Indonesia masih ketinggalan dari Thailand yang sudah selangkah lebih maju. Berbeda dengan Thailand yang cepat melakukan recovery pasca krisis ekonomi tahun 1998 silam, Indonesia malah sebaliknya. Pertumbuhan industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia baru tumbuh kembali mulai tahun 2012 lalu. Dengan begitu, ada jeda waktu yang cukup lama pasca krisis ekonomi tahun 1998 silam. Padahal, sebelum krisis industri kimia Indonesia terbilang ekspansif. Setelah sukses di sektor pertanian, kini Thailand semakin maju di industri kimianya, dengan kapasitas produksi tiga sampai empat kali lipat dari Indonesia.

Persoalan utama yang dihadapi industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Kebutuhan dasar industri kimia ini harus didatangkan dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Iran. Alhasil, produk industri kimia masih kalah jauh, dimana porsi impor bahan baku mencapai 60-70 persen dari kebutuhan produksi. Di sisi lain, produk industri kimia dari Singapura dan Thailand terus merambah ke pasar Indonesia. Hal ini disebabkan karena kapasitas produksi kimia Singapura dan

37 Thailand lebih besar dibandingkan Indonesia, sedangkan kebutuhan dalam negeri mereka masih kecil. Jika masalah bahan baku ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan pasar dalam negeri akan dibanjiri oleh produk kimia dari kedua negara tetangga itu (Tabloid Kontan 2014).

Ketergantungan pada bahan baku impor ini juga menyebabkan struktur industri kimia nasional rapuh. Pada saat nilai tukar Rupiah melemah terhadap Dollar Amerika Serikat, dampaknya sangat signifikan. Agar tidak merugi, terpaksa perusahaan kimia meningkatkan harga jual produk mereka yang berakibat ke penurunan daya saing.

Industri Logam Dasar

Industri ini diandalkan untuk memperluas pasar Indonesia di ASEAN. Hal ini dikarenakan kualitas produk dari industri Logam Dasar Indonesia, seperti baja, besi dan logam lainnya lebih baik dari negara ASEAN lainnya (Tabloid Kontan 2014). Selain itu juga disebabkan karena industri Logam Dasar ini berdaya saing di pasar ASEAN (RCA>1) bila dilihat dari nilai RCA rata-rata tahunannya pada periode 2001-2013 dan sekaligus menjadi negara yang memiliki daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi). Pesaing utama Indonesia untuk industri Logam Dasar adalah Kamboja dan Vietnam yang juga memiliki daya saing di pasar ASEAN (RCA>1). Sedangkan untuk Malaysia, Singapura, Philipina dan Thailand, industri Logam Dasarnya dikatakan tidak berdaya saing (RCA<1).

Pemerintah terus meningkatkan daya saing industri Logam Dasar Indonesia melalui program hilirisasi industri mineral. Dengan program hilirisasi tersebut, diharapkan investasi di bidang pengolahan berbasis mineral dan logam di Indonesia dapat mempercepat peningkatan daya saing industri logam nasional (Kemenperin 2013).

Industri Logam Dasar nasional memiliki peluang yang besar untuk berkembang, baik dari sisi pasar maupun bahan baku. Prospek pembangunan properti serta konstruksi yang terus berkembang perlu dimanfaatkan industri Logam Dasar nasional sebagai peluang pasar. Selain itu, potensi bahan baku dalam negeri yang melimpah dan belum dimanfaatkan optimal juga merupakan peluang yang baik bagi industri Logam Dasar Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk, khususnya ke pasar ASEAN.

Industri Mesin dan Perlengkapannya

Pada industri ini hanya Singapura dan Thailand yang memiliki daya saing di pasar ASEAN dengan nilai RCA rata-rata tahunannya yang lebih besar dari satu. Sedangkan untuk Indonesia, salah satu penyebab tidak berdaya saingnya industri Mesin dan Perlengkapannya di pasar ASEAN adalah rendahnya nilai ekspor bila dibandingkan dengan Singapura dan Thailand. Pada tahun 2013, nilai ekspor produk mesin Indonesia ke ASEAN adalah sebesar 1.77 miliar USD, jauh di bawah nilai ekspor produk mesin Singapura ke ASEAN sebesar 12.79 miliar USD dan nilai ekspor produk mesin Thailand ke ASEAN sebesar 5.17 miliar USD (WITS 2015). Pada industri ini, Singapura menjadi negara yang memiliki daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi) dengan nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) sebesar 1.40.

38

Meskipun industri mesin Indonesia belum berdaya saing di pasar ASEAN, namun industri ini merupakan hal yang penting dalam struktur perindustrian di Indonesia karena menjadi salah satu sektor fundamental untuk memasok mesin-mesin dan dan peralatannya bagi sektor manufaktur, konstruksi, pertambangan, energi, pertanian, transportasi dan sektor lainnya.

Industri Furnitur

Share nilai ekspor industri ini terhadap total ekspor Indonesia ke ASEAN masih relatif kecil, yaitu sekitar 0.7 persen. Di pasar ASEAN, industri ini dikatakan tidak berdaya saing karena sejak tahun 2007 sampai dengan 2013 nilai RCAnya di bawah satu (RCA<1), padahal beberapa tahun sebelumnya industri ini memiliki daya saing di pasar ASEAN (RCA>1). Daya saing ekspor Indonesia untuk industri ini juga terus mengalami penurunan, yaitu dari sekitar 0.96 di tahun 2009 menjadi 0.64 di tahun 2013. Hal ini disebabkan karena negara-negara tujuan ekspor utama industri furnitur Indonesia bukan ke kawasan ASEAN melainkan ke Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Australia, Belgia, Korea Selatan dan Taiwan (Kemenperin 2015). Mereka menyukai produk furnitur Indonesia karena memiliki ciri khas yang sangat menonjol, yaitu terdapat perpaduan antara bahan ramah lingkungan, keanekaragaman budaya, ketrampilan yang mumpuni, serta inovasi desain yang relatif maju sehingga tercipta produk Indonesia yang unik, inovatif, berkualitas dan standar internasional. Hal tersebut yang membuat produk Indonesia selalu menjadi produk berbeda dari produk negara-negara kompetitor lain. Negara yang memiliki daya saing paling unggul dalam ekspor industri Furnitur ke pasar ASEAN adalah Malaysia (RCA tertinggi) dengan nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) sebesar 1.67.

Meskipun saat ini industri Furnitur Indonesia belum berdaya saing di pasar ASEAN, namun para pengusaha furnitur Indonesia optimis bahwa industri ini akan terus mengalami pertumbuhan di tahun mendatang. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Sekertaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) bahwa jika potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sektor ini dapat dikelola dengan baik, Indonesia dapat menjadi leader untuk industri Furnitur di Kawasan Regional ASEAN. Dengan ketersediaan bahan baku hasil hutan yang melimpah, sumber daya manusia yang terampil dalam jumlah besar dan semakin kondusifnya iklim investasi di negeri ini, maka dengan dasar pertimbangan tersebut Indonesia diharapkan dapat meningkatkan target pertumbuhan ekspor produk furniturnya ke ASEAN mencapai 5 miliar USD dalam lima tahun ke depan (Harian Ekonomi Neraca 2015). Namun, pada kenyataannya adalah ketersediaan bahan baku hasil hutan yang melimpah tersebut terancam semakin berkurang jumlahnya akibat dari masih maraknya praktek illegal logging pada hutan alam dan illegal trade. Akibatnya, harga bahan baku menjadi mahal dan hal ini menjadi hambatan bagi industri Furnitur Indonesia dalam bersaing dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Sektor Industri Prioritas

Pada penelitian ini digunakan metode regresi data panel guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing pada sektor industri prioritas

39 Indonesia. Dalam regresi panel ini, nilai RCA akan digunakan sebagai variabel terikat dalam model persamaaan.

Pemilihan Model Regresi Data Panel

Model yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia yaitu model regresi data panel. Penggunaan data panel dalam regresi akan menghasilkan intercept dan slope yang berbeda pada setiap individu dan setiap periode waktu. Model regresi data panel yang akan diestimasi membutuhkan asumsi terhadap intercept, slope dan variabel gangguannya, sehingga memunculkan beberapa kemungkinan atas adanya asumsi terhadap intercept, slope dan variabel gangguannya. Berdasarkan kemungkinan tersebut, beberapa literatur menyebutkan bahwa untuk mengestimasi data panel terdapat tiga teknik (model) yang biasa digunakan, yaitu model common effect, fixed effect, dan random effect. Pada dasarnya, ketiga teknik (model) estimasi data panel dapat dipilih sesuai dengan keadaan penelitian, dilihat dari jumlah individu dan variabel penelitiannya.

Berdasarkan Uji Chow dan Uji Hausman yang dapat dilihat pada Lampiran 4, model terbaik yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM). Selain olah data dengan menggunakan FEM menghasilkan banyak variabel yang signifikan, koefisien dugaan yang dihasilkan dengan meggunakan model ini juga telah sesuai dengan teori. Pendekatan ini menggunakan gabungan seluruh data, sehingga terdapat N x T observasi, di mana N menunjukkan jumlah unit cross section, yaitu 8 (delapan) sub sektor industri manufaktur yang dikategorikan sebagai industri proritas dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yaitu tahun 2001-2013.

Model Fixed Effecf merupakan rnetode estimasi yang memperhitungkan adanya perbedaan antara setiap individu, yang dalam hal ini adalah 8 (delapan) industri prioritas. Pada model fixed effect ini diasumsikan bahwa slope adalah sama untuk semua industri, dengan kata lain pengaruh variabel bebas terhadap daya saing sebagai variabel terikat adalah sama untuk semua industri, sehingga tidak dapat dilihat pengaruh dari variabel-variabel bebas terhadap daya saing di masing-masing industri prioritas. Hal ini merupakan salah satu keterbatasan dari pendekatan fixed effect. Satu hal yang membedakan hanyalah pada nilai intercept -nya, dimana nilai intercept yang berbeda-beda ini diasumsikan berasal dari variabel yang tidak ikut masuk sebagai variabel bebas dalam persamaan regresi yang dikenal sebagai omitted variable.

Pada pengolahan data ini sengaja dilakukan pembobotan untuk mengantisipasi pelanggaran asumsi yang terjadi. Pembobotan yang dilakukan adalah dengan menggunakan General Least Square (GLS). Selain itu, pembobotan Seemingly Unrelated Regression (SUR) juga dilakukan guna mengantisipasi adanya masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi antara individu dalam data panel.

Deteksi Normalitas dan Uji Asumsi

Deteksi normalitas pada model bertujuan untuk menguji apakah residual terdistribusi secara normal atau tidak. Hasil regresi yang baik memerlukan residual yang normal dalam penarikan kesimpulan hasil estimasi. Adapun hipotesis pada deteksi normalitas adalah sebagai berikut:

40

H0: Residual menyebar normal H1: Residual tidak menyebar normal

Gambar 8 Deteksi normalitas pada Fixed Effect Model

Berdasarkan Gambar 8, nilai probability (0.480327) > 0.05 (taraf nyata 5 persen), maka keputusannya adalah terima Hipotesis Nol (H0) yang artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi.

Selain deteksi normalitas, juga dilakukan uji asumsi pada model. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi data panel adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate), maka ragam error harus konstan atau semua error mempunyai varians yang sama. Kondisi ini disebut homoskedastisitas. Adapun jika ragam error tidak konstan atau berubah-ubah, maka disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya

Dokumen terkait