• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUNGKAP MAKNA KOTA

Dalam dokumen Konservasi ARSITEKTUR Kota Yogyakarta (Halaman 142-150)

Kota sebagai arsitektur dipahami sebagai jalinan (tissue) antara massa dan ruang, sebagai suatu entitas fisik-spasial konkret, yang terdiri dari elemen bangunan, pohon, tiang listrik, sungai, jalan, jembatan. Bangunan dibuat sebagai artefak yang bermakna sehingga selalu dibuat dengan maksud tertentu. Dengan demikian, tatanan fisik-spasial dapat dipergunakan sebagai titik masuk pendekatan arsitektur ke dalam masalah citra kota.

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

Kevin Lynch (1979) mengungkap citra kota melalui pengamatan lima elemen kota, yaitu: path, edges, nodes, districts, dan landmark. Lynch berhasil mengungkap citra yang bersifat umum berupa kesenangan dan kepuasan dalam arti tertib, aman dan lancar. Namun, ia mengaku gagal untuk mengungkap makna dibalik citra itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini melengkapi cara tersebut dengan “collective unconsciousness” dari arketipe yang dapat mengungkap citra, idea, dan perilaku.

Arketipe sebagai elemen yang mampu memunculkan citra, idea, dan perilaku merupakan konsep dasar masa lampau yang tetap bertahan dan teruji oleh jaman. Dalam kebudayaan suatu kota, arketipe dapat ditelusuri melalui mitos atau wahyu. Kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian ini masih memiliki masyarakat yang menghayati mitos dengan kesadaran. Hal ini tercermin dari adanya mitos keberadaan penguasa Laut Selatan dan Gunung Merapi, serta mitos-mitos lainnya yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan keberadaan Kraton Yogyakarta, kampung-kampung, dan bangunan tradisional. Kepercayaan ini pula yang membentuk garis sumbu kota yang memanjang antara Laut Selatan, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu, Gunung Merapi. Dari garis sumbu tersebut dapat ditemukan arketipe Kota Yogyakarta.

Arketipe memiliki peran memuat makna yang dapat diungkap kembali dengan cara mengumpulkan memori dari kesadaran kolektif warga kota, maka diperlukan suatu interpretasi memori warga kota untuk memperoleh kesamaan arketipe dan ragam maknanya diantara warga kota. Arketipe merupakan citra masa lalu yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif manusia. Dengan kata lain, arketipe hanya berasal dari ketidaksadaran (unconscious).

Menurut Jung (1987), simbol membentuk kesatuan yang konkret antara apa yang nyata dan yang semu, antara gagasan dan perasaan, antara roh dan materi. Kesatuan dari simbol-simbol ini tidak dapat diciptakan oleh alam kesadaran sebab alam kesadaran

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

pada hakikatnya bersifat memisahkan, membedakan, dan memilih sesuatu secara terbatas. Sedangkan kesatuan simbol berasal dari alam tak sadar, di mana fungsi psikis masih berada dalam suatu kesatuan tanpa ada pemilahan dan pembedaan. Sedangkan alam kesadaran merupakan apa yang selama ini menjadi perhatian seseorang. Sebagai contoh, seseorang sadar atas apa yang menjadi maksud dan tujuan orang tersebut, tetapi tidak sadar atas apa yang tidak menjadi maksud dan tujuannya. Seseorang dapat saja menjadi sadar terhadap sesuatu dengan mudah yaitu jika mengalihkan perhatian pada sesuatu itu. Kondisi semacam ini disebut prasadar. Seseorang mungkin secara aktif berusaha menghindari perhatian terhadap hal-hal tertentu karena tahu hal-hal tertentu tersebut mungkin dianggap mengganggu sehingga pikiran tak sadar menjadi direpresi. Dengan demikian, jika seseorang kurang perhatian atau tidak punya perhatian terhadap sesuatu, hal itu dapat digolongkan sebagai unconscious atau preconscious. Dengan pendekatan ini, dapat dipilahkan antara ingatan kolektif masyarakat yang tergolong sadar (conscious), mana yang tidak sadar (unconscious) dan mana yang prasadar (preconscious).

Seseorang tidak dapat berhubungan langsung dengan realitas. Hubungan dengan realitas dilakukan melalui bermacam-macam tanda. Oleh karena itu, bagaimana manusia menciptakan dan menggunakan tanda-tanda (semiotika) merupakan hal penting. Arsitektur sebagai salah satu disiplin ilmu yang akrab dengan tanda-tanda memerlukan alat bantu semiotika untuk mengungkap tanda tanda dalam objek arsitektural.

Jika bentuk dalam arsitektur dianggap sebagai simbol, semiotika dalam arsitektur berguna untuk mengidentifikasi dan memahami makna bentuk dalam arsitektur itu sendiri. Dengan kata lain, setiap bentuk dalam arsitektur mewakili makna tertentu. Oleh sebab itu, pendekatan semiotika dalam arsitektur merupakan cara komunikasi visual yang berhubungan erat dengan estetika dan semiotika objek. Cara

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

pandang pendekatan ini menganggap bahwa bentuk arsitektur dapat dipahami sebagai sebuah teks. Pandangan yang menganggap bentuk dalam arsitektur sebagai sebuah teks yang tidak dapat dilepaskan dari teks lain dalam suatu kalimat tersebut mirip dengan pandangan para penganut paham strukturalis yang meyakini bahwa hakikat yang benar dari suatu benda tidak berada dalam benda itu sendiri, namun di dalam pertalian-pertalian antara benda-benda yang dibangun (construct).

KAMPUNG NDALEM SEBAGAI PEMBENTUK

SKEMATA

Masyarakat yang tinggal di kampung ndalem di Yogyakarta sebagian relatif mudah menyesuaikan terhadap pengaruh dari luar (global) dan sebagian masih memegang tradisi. Masyarakat setempat yang sebagian masih bersifat tradisional (melestarikan tradisi) belum dapat lepas dari irama kosmik, sedangkan bagi masyarakat pendatang ada yang mampu berhubungan dengan ciri masyarakat profan. Bagi masyarakat lokal, kosmos memiliki sejarah yang tidak terikat waktu dan diwariskan turun temurun dalam bentuk arketipe. Sebagai contoh, bangunan ndalem sebagai objek arsitektural di kampung tradisional ndalem merupakan media berkomunikasi, menyampaikan pesan budaya setempat. Oleh sebab itu, penting untuk memberi perhatian terhadap bangunan ndalem sebagai simbol sosial budaya.

Kampung ndalem tumbuh dari keberadaan bangunan ndalem. Pada masa kini, perkembangan ruang terbangun yang berlangsung di kampung ndalem diwarnai oleh gaya bangunan yang cenderung seragam, tidak memberi ruang berimajinasi, serta unsur lokal yang cenderung terabaikan. Di sisi lain, arsitektur bukanlah produk massal yang diekspor ke seluruh tempat. Arsitektur merupakan karya dan cermin semangat jaman, serta memiliki keunikan, jati diri dan karakter setempat.

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

Penolakan terhadap tradisi yang menyebabkan pemiskinan baha-sa visual dan dibaha-sain yang terlampau rasional pada bangunan-bangunan baru di kawasan kampung ndalem sebenarnya tidak perlu terjadi karena pada hakikatnya manusia adalah juga makhluk yang emosional. “High tech” seyogyanya juga diperkaya dengan “high touch”. Nalar dan rasa harus diolah menjadi satu dan bukan dipilih salah satu. Pilihan seharusnya bukan yang bersifat “either-or” melainkan “both-and” (Venturi, 1977). Demikian pula, kolaborasi antara “new” and “old” sehingga dua kutub ekstrim “modern” dan “tradisional” yang semula bersifat kontradiktif, menjadi pasangan yang bersifat komplementer ini dapat diperpanjang mencakup “rasional dan romantik”, “empirik dan intuitif”, “objektif dan relatif”, “sadar dan bawah sadar”, “universal dan partikular”, “mekanistik dan organik”.

Membaca peran kampung ndalem sebagai elemen pembentuk identitas arsitektural salah satunya dengan mengikuti paham strukturalis dalam filsafat, dengan mendudukkan ndalem sebagai karya arsitektur yang membentuk suatu konstruksi dari tanda-tanda. Keterkaitan tanda-tanda dalam struktur itulah yang akan mampu memberi makna yang tepat. Ndalem sebagai bagian penting dari kampung tradisional ndalem merupakan objek arsitektur yang senantiasa berubah, baik dalam fungsi bangunan, lahan, struktur kampung, maupun detailnya. Pada bagian tertentu, melalui suatu mekanisme kontrol yang ketat dapat terhindar dari aneka perubahan dan relatih bertahan (persistent), yang berpeluang menjadi salah satu unsur pembentuk makna dan citra kota.

Setiap warga kampung tradisional ndalem (dimungkinkan juga masyarakat di luar kampung ndalem) memiliki hubungan emosional dalam waktu yang cukup lama dengan beberapa unsur dalam kampung tradisional ndalem itu sendiri. Gambaran tentang kampung tradisional tersebut terpateri ke dalam memorinya dan memunculkan makna tertentu dalam dirinya. Sering kali pemaknaan terhadap citra sebuah

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

lingkungan terbangun tidak utuh dan tidak berlanjut, kadangkala hanya berupa potongan-potongan (fragmen).

Gambar 3.26 Contoh salah satu gerbang menuju ndalem

Sketsa: Agus Madyana, 2013

Makna tempat terbentuk bukan hanya karena kejelasan tempat itu sendiri tetapi juga karena keunikannya. Ndalem, dalam konteks kampung tradisional ndalem dan Kota Yogyakarta, memiliki potensi untuk menjadi simbol yang kuat dari kompleksitas budaya masyarakatnya. Bila citra visual ndalem mudah ditangkap, hal itu dapat memberi ekspresi makna yang kuat. Kejelasan struktur dan identitas kampung tradisional ndalem yang salah satunya diungkap melalui keberadaan ndalem merupakan langkah awal dari penjelmaan

simbol-Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

simbol makna kampung tradisional ndalem itu sendiri (mezo) dan struktur Kota Yogyakarta (makro).

Identitas tidak bisa diciptakan secara seketika (instant). Pencapaiannya melalui hierarki tertentu yang teratur dan berulang. Identitas kampung tradisional ndalem merupakan jejak peradaban yang ditampilkan sepanjang sejarah kampung tradisional ndalem itu sendiri, selaras dengan pemikiran Schulz (1984). Membangun citra visual kampung tradisional ndalem dapat dimulai dengan mengindetifikasi identitas kampung tradisional ndalem itu sendiri, yaitu melalui keberadaan ndalem.

Identitas dan makna ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem tidak harus tunggal, tetapi didasarkan pada realitas masa kini dengan tetap mempertahankan kekhasannya sehingga memiliki keunikan. Dalam melakukan interpretasi citra visual ndalem (dalam konteks kampung ndalem), dapat memanfaatkan pengalaman meruang. Interpretasi dapat berperan menggugah, menghibur dan mungkin juga mengubah karakter. Fakta yang tersimpan diberbagai tempat tidak selalu menjadi informasi yang bermakna, sehingga perlu interpretasi yang tepat. Interpretasi atas ndalem dalam konteks kampung ndalem membantu membentuk keterkaitan dengan warisan masa lalu. Ndalem sebagai artefak dapat menceritakan kisahnya sendiri sepanjang waktu, sehingga apabila suatu kampung tradisional ndalem kehilangan bangunan-bangunan dan tempat-tempat bersejarahnya dapat disebut telah kehilangan memorinya. Menjadi catatan penting bahwa gejala ini telah menimpa beberapa bangunan ndalem di Yogyakarta.

Memori umumnya meninggalkan jejak (traces) yang berfungsi sebagai tanda (sign) atau sebagai petunjuk memori. Kampung tradisional ndalem sebagai permukiman tua banyak menyimpan memori masa lalu sehingga relasi antara arsitektur, bentuk permukiman dan sejarahnya harus selalu menjadi pertimbangan utama dalam “mengintervensi” bangunan ndalem maupun kawasan kampung tradisional ndalem.

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

Ekspresi kolektif arsitektur pada kampung tradisional ndalem merupakan rangkaian memori dari berbagai bentuk arsitektur masa lalu. Oleh karena itu, untuk dapat mengapresiasi maknanya, tidak cukup melihat dari sudut formal fungsional saja, tetapi dengan pengamatan bentuk dan penafsiran makna yang dikandungnya (Boyer, 1994). Ada bentuk yang tetap persisten dan permanen meski fungsinya berubah-ubah. Oleh karena itu, membuat suatu perencanaan dan perancangan baru pada ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem dapat dilakukan dengan meminjam bentuk lama, tetapi tanpa melibatkan makna lama karena makna telah berubah dengan berjalannya waktu.

Ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem merupakan gudang sejarah. Karena itu, sulit membayangkan untuk mempelajari fenomena yang berlangsung di dalamnya tanpa melalui sejarah, sebagaimana pernyataan Kostof (1991) “The more we know about cultures, about the structure of society in various of history in different parts of the world, the better we are able to read their built environment. Segi sejarah dapat dibaca dengan melihat ndalem dan kampung tradisional ndalem sebagai artefak fisik, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak. Dalam hal ini, ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem dilihat sebagai sintesis dari serangkaian nilai-nilai, ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem dilihat sebagai jalinan massa dan ruang, entitas fisik-spasial yang konkrit. Bangunan-bangunan (ndalem dan bangunan lain disekitarnya) didirikan dengan maksud tertentu, sehingga menjadi artefak yang bermakna.

Agar bisa sampai mengungkap makna ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem saat ini, salah satunya dapat dilakukan dengan mengungkap “collective unconsciousness” dari objek arsitektural yang dapat memunculkan citra. Bila seseorang kurang perhatian atau tidak punya perhatian terhadap sesuatu, ia dapat digolongkan sebagai unconscious atau preconscious. Dari pintu masuk ini, dapat dibuat kategori mana ingatan kolektif masyarakat yang

Kasus-Kasus Konservasi Arsitektur

tergolong sadar (conscious) dan mana yang tidak sadar (unconscious) atau setidaknya yang prasadar (preconscious) tentang ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem.

RAGAM ARKETIPE NDALEM SEBAGAI BAGIAN

Dalam dokumen Konservasi ARSITEKTUR Kota Yogyakarta (Halaman 142-150)

Dokumen terkait