Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa
kehilangan karena rumah yang lama sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan
rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang
bagus. Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya telah di sita tuan tanah untuk
pengganti hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah di situ, entah untuk
siapa.
Mungkin untuk pegawai yang di percaya. Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan
semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Setelah tiba di depan
rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, sejak
berusia enambelas tahun, telah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk
dijadikan selir. Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki
rumah itu lewat pagar tembok di belakang, dengan maksud mencari encinya dan
minta bantuan encinya karena keluarga ayahnya kehabisan beras dan diancam
kelapan. Akan tetapi kakaknya itu ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa
sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri.
Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuanitu demikian mendesak hatinya.
Ingin sekali dia melihat keadaan encinya. Kalau encinya dalam sehat dan hidup
berbahagia, diapun akan merasa senang.
Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. disitu terdapat lima
orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua
membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang
dekat dia sudah menegur.
Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis, atau mau mencuri?
Hati Si Kong menjadi panas, akan tetapi dia menahan dirinya, bersabar karena demi
kebaikan encinya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu.
Si Kong melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang
dengan sombongnya itu dan berkata, Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri.
Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung
ini.
Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu dia yang berkumis
lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya. Encimu tinggal disini?
katanya tidak percaya. siapakah encimu itu? Jangan main-main kau!
Aku berkata benar. Enciku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal disini
menjadi selir Lui-wan-gwe.
Si Kiok Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja
disini dan tidak pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin
aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini.
Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enciku
Si Kiok Hwa itu.
Mau bertemu Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini
mana ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh, dan pergilah,
atau aku akan menghajarmu!
Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Jahanam-jahanam busuk.
Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras akan tetapi sebetulnya
kepalamu kosong!
Keparat! Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong. Si Kong
miringkan tubuhnya dan ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan
itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu
menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya bukan
kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan. Empat orang kawannya segera
mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan
tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang
demikian cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat,
tahu-tahu golok di tangan mereka terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh
mereka yang terpental oleh tendangan kaki maupun tamparan tangan Si Kong. Masih
untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu
hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tidak
mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia memasuki pekarangan itu,
terus menuju ke pintu depan.
Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan. Heii,
berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini! bentak seorang diantara mereka.
Kalian yang minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar! Lima
orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang berjaga diluar masih
merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau
pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka itu, dan dengan teriakan marah
mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong. Kembali Si Kong
berkelebatan dan sebentar saja lima orang itupun roboh malang melintang dan golok
mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka.
Mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong
memasuki rumah besar itu. Sesampainya diruangan depan, beberapa orang pelayan
wanita menyambutnya dengan heran dan seorang diantara mereka bertanya, Engkau
siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?
Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beritahu mana dia. Aku
akan menemuinya!
Para pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa para penjaga dibuat roboh
berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tidak berani menolak, akan tetapi juga tidak
berani membawa pemuda itu menhadap majikan mereka yang sudah tua.
Silakan tunggu diruangan depan, kami akan segera memberitahu majikan kami.
Si Kong mengangguk dan berkata, Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku,
sekarang juga.
Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebalah dalam dan Si Jong tetap
berdiri di tempat itu, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding
terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk,
mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan. Akan tetapi, ujar-ujar yang
suci itu digantung disitu hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuahpun yang
dilaksanakan oleh si hartawan!
Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong melihat kedalam dan muncullah
seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya sudah delapanpuluh tahun.
Jalannya saja dipapah oleh dua orang gadis cantik dan disampingnya berjalan seorang
laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata
mencorong. Sebatang pedang tergantung dipunggung orang itu. Tentu dia seorang
ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe!
Melihat kakek itu yang dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lalu
menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimanapun juga kakek ini adalah kakak
iparnya.
Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?
Dalam dokumen
CERITA SILAT.doc 902KB Mar 29 2010 05:00:34 AM
(Halaman 128-131)