• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA

B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga

Hampir tidak didapati sebuah keluarga yang terbebas dari segala macam permasalahan dan perselisihan. Namun, setiap keluarga berbeda-beda persoalan dan permasalahan yang dihadapi. Islam sangat menganjurkan suami-istri untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang mendera mereka berdua dan

120

Ibid., h. 190. 121

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga. Penerjemah M. Abdul Ghoffar, cet.V, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 177.

memecahkan segala aral melintang yang menghadang bahtera mereka, dan Islam juga membimbing masing-masing dari suami-istri agar menempuh solusi terbaik, sebagaimana juga menganjurkan agar sesegera mungkin menempuh solusi terbaik bila muncul benih-benih perpecahan dan perbedaan persepsi.122

Berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, bisa jadi memang termasuk bagian dari bumbu kehidupan keluarga. Akan tetapi, bila bumbu itu berlebihan maka masakan pun tak enak dan bisa jadi malah mengancam keutuhan keluarga. Oleh karena itu, sekalipun pada beberapa kondisi tertentu ketegangan masih bisa dinilai sebagai sesuatu yang wajar, tetap harus diwaspadai.

Pengabaian atas sikap memperhatikan masalah-masalah ketegangan suami-istri semacam itu pada hakekatnya hanyalah menunda klimaks dari konflik yang terus terbangun. Klimaks dari konflik yang berkepanjangan seringkali tidak mengenakkan. Ia akan membawa rasa sakit dan trauma pada seluruh pihak: suami, istri serta anak-anak.

Untuk mencegah munculnya konflik yang berkepanjangan dan mengatasi berbagai ketegangan dalam kehidupan suami-istri, beberapa hal berikut layak diperhatikan:

1. Mengembalikan seluruh masalah pada aturan Allah dan Rasul-Nya

Di sinilah letak pentingnya memulai kehidupan keluarga dengan niat ibadah, berangkat karena perintah serta tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika ada masalah, maka kembalinya kepada pihak yang memberi perintah dan tuntunan. Berbeda dengan mereka yang tidak meniatkan pernikahan sebagai

122

ibadah, tetapi sekedar pemuasan nafsu atau sekedar tuntutan kewajaran hidup belaka. Mereka ini sulit kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, karena berangkatnya tidak dari keduanya.

Allah SWT telah berfirman:

0=‹qc ˆk

BΠ#KV0

( )*X

( *7o U

KV0

( *7o U

p*nsJ 0

Avˆ ‰

´ µ. 0

\ ,

(

3_ R

| ¶  i , 

A3B

YL¤

 2J R

A v34

¤V0

Žp*nsJ 0

34

| ¶X l

*, 7

¤V003

I * o& 0

gJ S. 0

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman pada Allah dan hari kemudian...”

(QS. An-Nisa’, 4:59)

Hendaknya keluarga muslim menyadari bahwa permasalahan tidak bisa selesai hanya dengan pertengkaran dan kekerasan. Cara-cara semacam itu hanya akan memperuncing dan memanaskan situasi saja. Hanya dengan cara mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, segala permasalahan bisa diselesaikan secara proporsional.123

2. Mendahulukan menunaikan kewajiban daripada menuntut hak

Salah satu penyebab ketegangan adalah apabila suami dan istri berlomba menuntut hak masing-masing dengan melalaikan kewajibannya.

123

Padahal, saling menuntut hak itu sesungguhnya perbuatan yang tidak bertanggung jawab.

Sikap menuntut hak semacam itu kadang justru semakin memperuncing permasalahan suami-istri. Apalagi ketika diberi bumbu-bumbu egoistis (sikap ingin menang sendiri) dan tak mau bersikap empati pada pihak lain, maka yang terjadi hanyalah menambah sakit hati dan rasa dendam.

Islam telah menetapkan batas-batas hak serta kewajiban dengan adil dan bijaksana. Jika semua pihak menetapi kewajiban-kewajibannya, tentu akan tertunaikan pula hak dengan sendirinya. Apabila suami telah menunaikan kewajiban terhadap istri dengan sebaik-baiknya, maka hak istri telah tertunaikan. Demikian juga apabila istri telah menunaikan kewajiban terhadap suami, maka hak suami pun telah tertunaikan. Suasana harmonis akan lebih mudah dibangun dalam kondisi seperti ini.124

3. Memperhatikan masalah-masalah yang dianggap kecil

Salah satu bagian kemesraan dalam keluarga, ia dibangun di atas verbalitas (kata-kata). Istri memerlukan ungkapan verbal atas kasih sayang dan perhatian suami terhadapnya. Hal semacam ini sering terbaikan oleh para suami. Suami merasa menunaikan kewajiban dengan baik apabila telah memberikan kecukupan materi.

Ungkapan kecil, seperti “terima kasih”, “jazakallah”, atau “thank you” memang sebuah verbalitas dari keinginan menyampaikan penghargaan.

124

Tetapi, walaupun verbal kalimat itu penting diucapkan oleh suami maupun istri. Demikian juga ucapan “maaf”, “afwan”, atau “sorry” dan sejenisnya, telah dianggap remeh oleh suami-istri. Sebaiknya, suami maupun istri meringankan lisan untuk mengungkapkan penghargaan terhadap penunaian kewajiban masing-masing pihak. Hal ini, insyaAllah akan menambah kadar keinginan untuk berbuat baik lagi.125

Hal kecil lainnya adalah saling memberi hadiah secara berkala, pada moment-moment tertentu, atau membawakan istri oleh-oleh saat suami datang dari bepergian jauh. Peristiwa semacam itu sangat menyenangkan istri yang merasa mendapat perhatian istimewa dari suami.126

4. Berduaan, mengasingkan diri dari rutinitas

Rutinitas pekerjaan sering membuat jenuh. Istri yang banyak berada di rumah merasa jenuh oleh dunia sempit yang mengurungnya, dari satu ruang ke ruang yang lain. Demikian juga suami, ia jenuh oleh rutinitas bekerja mencari kehidupan, sehingga kurang memperhatikan urusan rumah tangga.

Sesekali, suami-istri perlu pergi dari rumah berdua saja, meninggalkan anak-anak bersama pembantu rumah tangga atau anggota keluarga yang lain di rumah. Suami-istri bisa saling melakukan evaluasi berduaan terhadap perjalanan rumah tangga selama ini, tanpa diganggu keributan anak-anak. Perlu suasana-suasana baru yang sejuk dan nyaman, terbebas dari suasana

125

Ibid., h. 187. 126

rutinitas yang membosankan. Semua perasaan bisa diungkapkan. Dengan cara itu diharapkan pula akan terbentuk ingatan masa lalu waktu pengantin baru. Indahnya malam pertama, masa-masa perkenalan di hari-hari pertama pernikahan yang mengesankan, ataupun bersama mengingat peristiwa-peristiwa masa lalu yang membangkitkan kecintaan dan kesenangan.127

Dalam suasana seperti itu, suami-istri akan lebih dingin dalam menyelesaikan masalah, sehingga jika ada konflik tak akan berkepanjangan. 5. Jangan senantiasa berpikir hitam-putih

Setiap masalah bisa didudukkan secara proporsional. Ada pihak yang salah dan ada pula pihak yang benar. Akan tetapi, untuk menyelesaikan perselisihan suami-istri, tidak mesti dilihat dalam konteks benar-salah semacam itu.

Saling mendahului minta maaf merupakan langkah yang terbaik untuk meredakan ketegangan, daripada memulai dengan berpikir siapa yang bersalah. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan akibat tudingan kesalahan tersebut maka akan memperparah sakit hati yang bersangkutan.

Memang, dalam masalah tertentu yang berkaitan dengan hukum perlu kejelasan yang benar dan yang salah, untuk mendapatkan penyelesaikan secara tegas. Namun, dalam berbagai masalah keseharian (dalam hidup rumah tangga), tidak terlalu penting mencari siapa benar dan siapa salah. Saling

127

mendahului meminta maaf jauh lebih utama, untuk menjaga keharmonisan hubungan suami-istri.128

6. Berbohong, jika memang diperlukan untuk ishlah

Pada dasarnya, berbohong adalah perbuatan dosa dan terlarang. Sikap dasar setiap muslim adalah jujur, terpercaya, dan tidak berdusta. Akan tetapi, Islam memberikan “peluang” untuk menyimpang dari aturan dasar itu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

R 6 ی ی R-' ( $"o 4

<

= " 7 > ? 7 5 " 5 6

<

>C pq A]. 1&2یp

9mri

<

M ﺕo &% m, 2ی

s

A 2 >C A].

s

4 ' Z G A].

h

-+

J

f] # T

L

129

Artinya : “Dari Asma’ binti Yazid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak halal berdusta kecuali dalam tiga perkara yaitu seorang bercerita kepada istrinya untuk menyenangkannya, berdusta dalam peperangan dan berdusta untuk mendamaikan antara orang yang bertikai.” (HR. at-Tirmizi)

Sekalipun berbohong antara suami dan istri diperbolehkan, tentu saja itu adalah sikap pengecualian. Nilai kejujuran dan saling percaya harus tetap dipegang teguh. Bohong hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, untuk melakukan ishlah (perbaikan) dan membuat suasana harmonis dalam rumah tangga, tetapi tidak untuk saling menipu, mendustai, dan mengkhianati.130 7. Mendatangkan pihak ketiga yang dipercaya keduanya

128

Ibid., h. 189. 129

Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah al-Termizi, Sunan al-Termizi, Penerjemah Moh. Zuhri, Jil.III, (Semarang : CV Asy Syifa’, 1992), h. 464.

130

Apabila ketegangan tak terselesaikan dengan cara-cara persuasif, bahkan semakin meningkat, maka bisa ditempuh cara menghadirkan seseorang yang dipercaya. Bahkan jika perlu, suami-istri datang kepada seseorang yang dipercaya keduanya. Bisa jadi seorang ustadz yang dikenal kearifannya, atau seorang shalih yang lebih tua dari mereka berdua, yang dipercaya bisa menyimpan rahasia.

Suami istri mengadukan masalah dan perasaan hatinya masing-masing, untuk didengarkan dan diselesaikan oleh pihak ketiga tersebut. Dengan izin Allah, pihak ketiga akan memberikan saran, pandangan, atau alternatif pemecahan masalah. Sekalipun pihak ketiga ini tidak mampu menyelesiakan masalah dengan tuntas, tetapi aspek pengaduan amat diperlukan untuk menumpahkan perasaan hati.131

Demikianlah, beberapa upaya preventif dan sekaligus solusi ringan dari konflik suami-istri. Namun, dalam kasus nusyuz, di mana pihak istri tidak berfungsi sebagai istri, tidak patuh atau melawan kebenaran, suami berhak bertindak dalam tiga tahapan, sebagaimana penjelasan Allah SWT:

YŽ| K 0

*7R0

˜“7• '*!m7—

˜“7•*¸! 7 R

} 7• J!‚ •0

A3B

“] 805t >& 0

} 7•* 3y 0

(

3_ R

!9 , 7 U

5L R

( *  C 

} ‹ y 

eLo39 n

< 34

KV0

qr#Ll

0b23 

,yJ395’

MgP

131 Ibid., h. 191.

Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisa’, 4:34)

Ketika istri sudah mulai membandel dan tidak taat, maka suami harus menempuh kiat-kiat penyelesaian yang telah ditawarkan oleh Islam132, yaitu: a. Menasehati istri dengan cara yang baik

b. Berpisah ranjang dengannya

c. Memukulnya dengan tangan atau benda ringan sebagai pelajaran baginya d. Jika semua ini tidak memberi hasil, maka solusi terakhir adalah

melakukan tahkim, yaitu mengangkat juru damai. Sebagaimana firman Allah SWT :

34

\.& S

º0 4 K

0 ¥‹P[ :

( *7Z 7 00 R

0•>

3 •

0•>

V0 13 •

34

V c gJ

0$ š34

P /R *

uV0

V0 >‘‹ [&2

< 34

KV0

#Ll

0e>23 

,yJ3C S

Mg3P

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa’, 4: 35)

132

Muhammad Ali al-Shabuni, Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri. Penerjemah: Muhammad Nurdin, cet.I, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000), h. 153-154.

Ayat di atas telah mengingatkan suami agar menasehatinya dengan baik-baik. Kalau istrinya tidak bisa dinasehati, suami disuruh berpisah ranjang dengan istrinya- maksudnya, tidak berhubungan intim. Kalau cara kedua ini tidak membawa hasil, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan ringan supaya istri sadar akan kekhilafannya lalu mengusir godaan dan rayuan setan yang sedang mempermainkannya. Apabila cara ketiga ini juga tidak berhasil, maka hakim harus meminta dari masing-masing pihak untuk mengirimkan juru damai atau penengah yang adil untuk menyelesaikan konflik dan mencari solusi terbaik bagi pasangan suami-istri itu.133

Dokumen terkait