• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERTARUNGAN SURAT KABAR HARIAN RAKJAT VERSUS

C. Isu-isu Menjelang Pemilihan Umum 1955

Persaingan atau saling serang antar surat kabar semakin memanas khususnya semakin mendekati tahun pemilu 1955. Kurun waktu 1951-1955 merupakan tahun dimana surat kabar Harian Rakjat dengan surat kabar Abadi saling menyerang lewat berita dan artikel yang mereka buat demi kepentingan partai. Lebih khusus lagi di tahun 1954 berita dan artikel yang dimuat diantara dua surat kabar tersebut semakin memanas, karena telah diketahui kalau ditahun 1955 akan diselenggarakan pemilu untuk pertama kalinya RI pada masa Perdana Menteri Burhanuddin Harahap yang merupakan tokoh dari Partai Masyumi.

Saling serang diantara kedua surat kabar ini tidak hanya pada topik utama berita, tetapi juga terlihat dalam konten-konten yang mereka buat. Contohnya seperti konten komentar kecil (Harian Rakjat), Bisikan (Harian Rakjat), catatan sepekan (Harian Rakjat), tadjuk rencana (Abadi), koran ketjil pak djenggot (Abadi). Khusus untuk tjatatan sepekan merupakan konten yang berbentuk gambar karikatur yang sarkastik dan menyentil.

Bagi partai Masyumi, PKI merupakan musuh bebuyutan mereka yang sangat berbahaya untuk kelangsungan eksistensi partai mereka. Karena, hingga tahun 1950, PKI yang lolos dari pelarangan pasca kegagalan revolusi Madiun melaksanakan kegiatannya secara legal sekaligus klandestin. PKI illegal memimpin di bawah

tanggan PKI legal beserta partai-partai binaannya, yakni Partai Buruh Indonesia, dan Partai Sosialis (organisasi peninggalan Amir Sjarifuddin). Pada Januari 1951, sebuah kelompok baru yang digerakkan oleh tiga pemimpin muda, yakni D.N.Aidit, M.H.Lukman, dan Njoto mengambil alih kendali politburo hingga tahun 1965 itu melakukan reorientasi politik partai dengan menerapkan aksi penggalanggan massa serta strategi penggalangan front persatuan dengan kekuatan-kekuatan anti-imperialisme lainnya.12

Pesatnya pekembangan partai komunis (hanya beberapa ribu anggota saat itu) menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan Masyumi. Sejak Januari hingga Agustus 1951, gelombang aksi pemogokan besar, sekalipun dilarang, berhasil melumpuhkan seluruh negeri. Di samping itu, terdapat kelompok-kelompok bersenjata pro-komunis yang disinyalir berada di kawasan pegunungan Jawa Tengah. Menyusul serangan bersenjata di Pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta), pemerintahan Soekiman yang menuduh ada persekongkolan yang mengancam keamanan negara melancarkan operasi penahanan mendadak terhadap ribuan pengikut komunis. Karena tak ditemukan bukti, sebagian besar tersangka segera dibebaskan kembali. Akan tetapi, PKI terus bertahan setengah klandestin selama berbulan-bulan setelah itu. Peristiwa tersebut memperuncing perseteruan antara komunis dan Masyumi. Selama kemunduran terpaksa itu, para pemimpin komunis menyadari kebutuhan mutlak untuk menjalin persatuan dengan kekuatan-kekuatan progresif yang dianggap dapat

12Remy Madinier, Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, (Jakarta: Mizan, 2013), Hal.137-138.

melindungi mereka dari serangan-serangan dua musuh utama mereka, Masyumi dan PSI.13 Untuk tujuan itu, maka PNI dan Presiden Soekarno, serta dalam kadar lebih kecil NU, langsung dilirik sebagai calon-calon sekutu. Dengan maksud itulah PKI berupaya keras menampilkan wajah yang lebih toleran terhadap agama. D.N.Aidit mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi “taman di mana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan bersama-sama berjuang bahu-membahu untuk menghancurkan imperialisme.14

Pada edisi selanjutnya, Harian Rakjat menuliskan berita tentang komunisme bukanlah musuh Indonesia menyambut berita yang dikeluarkan Pedoman dalam tajuk rencananya yang merupakan surat kabar pembawa suara PSI yaitu partai yang berkoalisi dengan Masyumi. Berita ini menyebut Amerika dengan mesin-mesin propagandanya lah yang menjadi dalang anti komunis dengan mengatakan kalau komunisme mengancam keberlangsungan demokrasi. Harian Rakjat menuduh kalau PSI dan Masyumi merupakan antek-antek Amerika. Surat kabar ini mengklaim bahwasanya kaum komunis mempunyai platform nasional dan membantu pemerintah dalam pelaksanaan program pemerintah untuk memulihkan keamanan dan mempertinggi kemakmuran bagi rakyat. PKI sendiri bahkan memberikan keleluasaan

13

Opcit., Hal.138

14

Aidit, untuk membuktikan niat baiknya, mengatakan bahwa pada hari Raya Lebaran para pemimpin komunis datang mengunjungi para pemegang otoritas Muslim dan ia sendiri merayakan Natal bersama

kepada golongan selain golongan komunis seperti golongan agama, golongan nasionalis, golongan tani, maupun golongan buruh.15

Harian Rakjat memberitakan tentang keterlibatan tokoh Wali Alfatah Masyumi

bernama Jusuf Wibisono ke dalam pemberontakan DI/TII. Berita ini dibenarkan oleh Buchori seorang anggota pucuk pimpinan GPII yang lebih dulu dijatuhi hukuman 6 tahun karena hubungannya dengan DI/TII. Berita keterlibatan Jusuf Wibisono dalam kegiatan DI/TII membuat ia dipanggil Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda yang bernama Mutalib Moro belum memberi keterangan kepada wartawan Harian Rakjat terkait apakah benar Jusuf Wibisono terlibat atau tidak.16

Menyambung berita Harian Rakjat tersebut yang menuduh Jusuf Wibisono terlibat dalam gerakan DI/TII ia berpidato yang disampaikan di Tanjung Priok pada Maret 1954, mengisahkan pengalamannya – perjalanan ke Moskow “pusatnya komunisme” – dan menyimpulkan kemustahilan kompromi antara agama dan komunisme.17 Para pemimpin Masyumi juga menyerukan warganya untuk mewaspadai usulan-usulan PKI yang ingin mengganti sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama, suatu langkah pertama menuju peresmian “kebebasan propaganda antiagama”.18 Konten komentar ketjil dengan nyeleneh mengatakan di Sumatera Barat Masyumi membuat propaganda bahwa

15Komunisme Bukan Musuh Indonesia, Harian Rakjat, 16 Januari 1954.

16 Djuga Jusuf Wibisono Dimintai Keterangan Oleh Kedjaksaan?, Harian Rakjat, 7 Januari 1954, Hal.2.

17

Abadi, 30 Maret 1954.

18Lihat pernyataan terkait hal itu dari Badan Koordinasi Organisasi Islam, BKOI, yang dekat dengan Masyumi (Abadi, 18 Januari 1955).

politik Masyumi itu politik Islam, dengan kata lain politik Tuhan. Konten ini mempertanyakan, apakah pengembalian tambang minyak Sumatera Utara kepada BPM itu politik Tuhan? Razia Agustus terhadap orang-orang PKI itu politik Tuhan? Penandatanganan MSA itu politik Tuhan? Larangan mogok kerja itu politik Tuhan? Konten ini menambahkan, baru Harian Rakjat yang protes atas tindakan Masyumi yang hobi bermain-main dengan Tuhan, belum seluruh umat Islam yang protes terhadapnya.19Konten bisikan menambahkan dalam tulisan kecilnya yang dibuat oleh redaksi Harian Rakjat dengan mengabarkan dalam Konferensi Alim Ulama partai Masyumi menegaskan agar jangan membahas tentang pengacauan PUSA di Aceh dari sudut Agama. Tulisan ini menyindir kalau anggota-anggota DI/TII ketika memotong kepala dengan menggunakan Agama tidak bilang apa-apa dan tidak ada masalah.20 Putusan PKI untuk menerima Pancasila sebagai Dasar Negara RI hanya suatu siasat untuk mengambil hati orang yang gemar akan Pancasila dan membawa mereka kepada Atheisme. Demikian diterangkan oleh Mr. Kasman Singodimedjo Wakil Ketua II DPP Masyumi dalam konferensi pers di Jambi. Menurut Kasman selanjutnya, jika PKI konsekuen dengan Komunisme menurut ajaran-ajaran Marxisme, maka untuk mengatakan, bahwa mereka menerima Pancasila sebagai Dasar Negara RI adalah menertawakan orang, karena Pancasila mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, demikian pula jika Pancasila secara konsekuen dijalankan, maka

tidak ada tempat untuk Atheisme, tapi di Indonesia sekarang Pancasila tidak tegas dijalankan dan masih kabur-kabur, demikian menurut Kasman.21

Ada hal yang lebih menarik lagi, adalah ketika berita yang dimuat Harian

Rakjat membahas mengenai “hasutan berbisa” yang dilakukan oleh Masyumi dan

BKOI terhadap rakyat terkait isu tentang penghinaan Agama yang dilakukan oleh PKI. Hasutan ini dilakukan tidak hanya lewat surat kabar Abadi, tetapi dengan cara membuat perkumpulan di lapangan merdeka setiap hari Minggu. Bahkan, dalam sebuah demonstrasi yang dilakukan oleh BKOI yang dibentuk oleh Masyumi di jalan Merdeka Selatan dan menuju gedung Parlemen menyebabkan meninggalnya Kapten Suparta. Selain itu, masa Masyumi ini menyerbu rumah Kapten Prodjo dan Mayor Aminin dari Markas Besar Angkatan Darat. Ketiga anggota TNI ini menjadi korban para demonstran Masyumi yang membabi buta dikarenakan kebetulan sedang berada di tempat dan mencoba melakukan pengamanan agar tidak terjadi bentrokan antar massa. Harian Rakjat menuduh kalau aksi ini seperti penyeludupan “bandit DI/TII” dari berbagai basis kekuatan gerakan tersebut. PKI sangat menyayangkan kalau Agama digunakan untuk kepentingan politik.22 Pasca kejadian berdarah tersebut, Kapten Suparta diangkat menjadi Mayor. Dan ketiga panitia aksi tersebut (Ali Imron

21

Mr. Kasman Singodimedjo: PKI terima Pancasila hanya siasat untuk ambil hati orang, Abadi, 3 Desember 1954. Hal.4. (Lihat Lampiran 42).

Kodir, Hussein, Moh.Alatas) ditangkap oleh aparat dengan tuduhan sebagai dalang aksi berdarah di jalan Merdeka Selatan23.

Dalam berita Harian Rakjat yang dilansir dari surat kabar Berita Indonesia dan dimuat tanggal 7 Januari 1954 beranggapan bahwasanya Masyumi gunakan jabatan penting untuk kepentingan partainya yang terjadi di Serang, Banten.

“Anggota2 dari Masjumi jang duduk dalam Djawatan Penerangan kabupaten Serang dan didalam 26 Djawatan penerangan ketjamatan jang ada dalam wilajah itu telah mempergunakan badan2 pemerintah itu untuk kepentingan partai mereka, demikian harian BI mewartakan. Hal2 jang tidak semestinja ini sudah berulang-ulang terdjadi diseluruh ketjamatan2 Serang. Seperti diketahui dewasa ini hampir seluruh pegawai djawatan penerangan di ketjamatan adalah anggota2 Masjumi, begitu pula pamong diketjamatan2 mulai dari tjamatnja sampai pada pedjabat bupatinja sendiri. Seterusnja diwartakan bahwa pedjabat2 jang tidak mau mempergunakan kedudukannja untuk kepentingan Masjumi telah mengalami kesukaran2 dalam pekerdjaan sehari-hari.”24

Masyumi kembali membuat ulah ketika Harian Rakjat memberitakan mengenai pembentukan panitia pemungutan suara di daerah Jatibarang, Jawa Barat yang mayoritas berisikan wakil dari Islam tetapi sama sekali tidak ada wakil dari marxis (PKI). Hal ini disebut tidak adil menurut Pemuda Rakjat Djatibarang.25Menyambung berita sebelumnya yang membahas tentang partai Masyumi memanfaatkan jabatan penting di Serang, ada salah satu Camat di Serang lebih khususnya daerah Anyer ditangkap kepolisian setempat atas tuduhan menjual 1 pistol beserta pelurunya. Camat tersebut bernama Mantjak yang merupakan anggota Masyumi kota Serang.

23

Panitia Demonstrasi BKOI-Masyumi ditahan dan Kapten Suparta Widjadja diangkat Djadi Major, Harian Rakjat, 2 Maret 1954.

Selain Mantjak pembantunya pun ditangkap yang bernama Bani.26 Di Jakarta, beberapa anggota dari partai Masyumi berencana mengadakan demonstrasi. Rencana tersebut dibenarkan oleh polisi dan kotapradja setempat menurut wawancara yang dilakukan wartawan Harian Rakjat. Alasan mengapa Masyumi berkeinginan mengadakan demonstrasi adalah karena Masyumi tidak duduk di dalam beberapa panitia Pemilihan Umum di daerah. Tuntutan tersebut akan dilayangkan kepada presiden dalam demonstrasi ini. Menurut wartawan Harian Rakjat motif demonstrasi yang ingin dilakukan Masyumi adalah karena perwakilan mereka didalam Panitia Pemilihan Umum Jakarta Raya yang dibentuk oleh Samsuridjal dibatalkan oleh Sudiro, karena dalam Panitia tersebut sebagian besar kursi diborong Masyumi yang mana menurut sebagian besar partai politik adalah tidak demokratis.27

Masyumi cabang Sukabumi kembali menorehkan tinta hitam dalam dunia perpolitikan tanah air menurut penuturan yang dilansir dari Harian Rakjat ketika 4 pemimpin Masyumi ditangkap pihak Tentara Nasional Indonesia dengan tuduhan melakukan pemerasan kepada penduduk untuk perbekalan gerombolan terlarang TII (Tentara Islam Indonesia). Berita ini dimuat dalam surat kabar Harian Rakjat yang dilansir dari surat kabar Berita Indonesia.28

26

Berita Daerah, Harian Rakjat, 9 Februari 1954. 27Harian Rakjat, 10 Februari 1954. (Lihat lampiran 22).

Harian Rakjat melaporkan kalau cara kerja oposisi semakin bobrok. Berita

yang dilansir dari Suluh Indonesia ini menyiarkan banyak tuduhan dari golongan-golongan oposisi kalau pemerintahan pada masa itu dipengaruhi oleh komunis. Oposisi yang dijalankan pada masa itu tidak lagi mencari-cari kelemahan pemerintah di dalam tindakan-tindakannya, tetapi dengan melempari banyak tuduhan-tuduhan kepada pemerintah semacam itu. Selanjutnya, maksud lain yang menurut konten kata mereka & kata kita ialah bahwa golongan-golongan oposisi mencoba mematikan arti dan pengaruh Indonesia di luar negeri. Kasarnya, pihak oposisi seperti tidak ingin Indonesia mendapat bantuan dari negara komunis.29 Menyambung hal tersebut serangan gencar terhadap PKI masih terus dan tak berhenti hanya sebatas persoalan agama. Jusuf Wibisono, dalam sebuah pertemuan di Yogyakarta bulan Juli 1954, berusaha meyakinkan hadirin betapa rezim Uni Soviet merupakan sebuah “negara diktator” dan mencela pembungkaman oposisi dan tiadanya kebebasan pers.30

Abadi membalas begitu keburukan model pemerintahan Soviet bisa diungkap,

maka selanjutnya tinggal meyakinkan publik Indonesia betapa besar daya tarik mereka bagi PKI, dan di balik “lagu lama” bahwa PKI memperjuangkan tujuan yang sesuai dengan kepentingan negara, tersembunyi sosok totalitarianisme yang amat

mengerikan.31 Salah satu argumen yang kerap digunakan untuk menjelaskan hal itu adalah pemajangan potret tokoh-tokoh komunis dunia di setiap acara pertemuan PKI.

Dalam suara pers memainkan peran untuk memberitakan lawan politik mereka yang diangap melakukan tindakan penyerangan dan pengrusakan dalam rapat raksasa PKI yang diselenggarakan di Kota Malang. Kekacauan terjadi pada saat beberapa orang naik ke podium yang berusaha mengganti foto-foto para pemimpin komunis dengan foto Soekarno dan Hatta. Berita yang dilansir dari Suluh Indonesia ini mengabarkan beberapa orang yang disebut “pengacau” ini datang dari Surabaya. Tidak dapat disangkal, bahwa terjadinya insiden di Malang ini adalah salah satu akibat dari meruncingnya pertentangan politik pada masa itu. Surat kabar ini pula memberitakan pertentangan politik yang lantas memperalat sentimen-sentimen agama. Landasan mengapa dikatakan memperalat sentimen-sentimen agama terlihat dari teriakan takbir pada insiden tersebut seakan-akan sedang menjalankan jihad. Bisa dikatakan insiden ini sebagai akibat dari semboyan kampanye PKI yang sangat siap mengalahkan Masyumi dan PSI dalam pemilu. Hal ini memunculkan jika Masyumi dan PSI berkeinginan menggagalkan semboyan PKI tersebut dengan melakukan tindakan ini. Berikut fakta yang diambil dari surat kabar Harian Rakjat yang dilansir dari Suluh Indonesia yang merupakan surat kabar yang berafiliasi langsung dengan PNI sebagai kawan politik terdekat PKI.

3110 November 1955, Abadi menyiarkan pernyataan D.N.Aidit yang menegaskan bahwa PKI tidak menginginkan Republik Proklamasi diubah menjadi Negara Islam atau Negara Darul Islam dan bahwa ia juga tidak berniat untuk mendirikan Negara Komunis. Harian Musli, itu menambahkan, “itulah lagu lama dari para pemimpin komunis, padahal kita semua jelas tahu apa yang sebenarnya diinginkan PKI”.

“Hari Minggu kemarin di Malang terdjadi satu insiden. Rapat Raksasa PKI dikatjau dari luar. Podiumnja diserbu! Sjukurlah tidak lantas terdjadi perkelahian antara rakjat dengan rakjat, berkat tindakan polisi jang tjepat dan tepat. Pengatjauan rapat raksasa itu tentu telah direntjanakan lebih dulu. Buktinja para pengatjau tadi telah membawa gambar Bung Karno dan Bung Hatta untuk menggantikan gambar2 para pemimpin komunis jang dipasang di podium tadi. Sedang jang ikut serta dalam pengatjauan tadi antaranja datang dari Surabaja. Tidak dapat disangkal, bahwa terdjadinja insiden di Malang ini adalah salah satu akibat dari meruntjingnja pertentangan politik dimasa ini. Sebagai djuga halnja insiden lapangan Banteng tempo hari. Pertentangan politik jang lantas memperalat sentimen2 agama. Sebagai ternjata dari takbir “Allahu Akbar” jang diserukan dalam insiden2 tadi. Seakan-akan dalam peristiwa itu mereka menjalankan djihat. Kongres Nasional PKI baru-baru ini telah memutuskan akan memulai kampanje pemilihan umum. Sedang sembojannja: untuk mengalahkan Masjumi-PSI. Karenanja dapat kita pahamkan, djika Masjumi lantas berusaha untuk menggagalkan terlaksananja sembojan PKI tadi.”32

Perseteruan antarkedua partai kadang kala meningkat lebih dari sekadar polemik. Mulai tahun 1954, insiden bentrokan fisik meletus berulang kali. Salah satu yang terbesar – dari sekian kejadian yang dilaporkan pewarta Masyumi – terjadi di Malang pada 28 April 1954. Saat itu, PKI sedang mengadakan rapat yang kemudian didatangi oleh para partisan Masyumi.33 Di muka podium, tempat Sekretaris I PKI tengah berpidato, tergelar spanduk bertulisan “Kutuk terror-perampok Masyumi-BKOI”. Menurut kisah versi harian Abadi, D.N.Aidit menjelaskan dalam pidatonya bahwa PKI anti-kapitalis dan anti-imperialis.

Dalam pernyataan tertanggal 30 Mei 1954, D.N.Aidit mengaku menjadi korban percobaan pembunuhan pada rapat pertemuan partai, yang “pertama kali terjadi di

32

Suara Pers, Harian Rakjat, 20 Maret 1954, Hal.4.

dalam kehidupan politik Indonesia.” Sekretaris I PKI itu menuduh “kelompok provokator yang dipimpin oleh Hasan Aidid dari Masyumi Cabang Surabaya.”34

Abadi pernah menuliskan tentang hal yang sangat curang dilakukan oleh PKI.

Sebagai contoh yang tertulis dalam Tajuk Rencana Abadi pada edisi hari Selasa tanggal 23 Januari 1955 dengan tema besar “PKI Tundjukan Bulunja” yang berisi tentang keinginan Amelz gabungan koalisi partai antara PPI-PKI-NU yang ingin membuat mosi tidak percaya didalam sidang Parlemen kepada Perdana Menteri pada masa itu yaitu Burhanuddin Harahap yang merupakan tokoh partai Masyumi yang notabene lawan politik PKI termasuk partai NU (Nahdlatul Ulama). Tulisan ini pun membahas mengenai arah politik yang dilakukan oleh partai NU dan keanehan partai NU yang lebih memilih berkawan politik dengan PKI ketimbang partai Masyumi yang sama-sama partai Islam walaupun beda golongan dan aliran Islamnya. Masyumi seperti menyarankan NU untuk segera insyaf dan tinggalkan PKI. Konten ini menambahkan, partai berlambang palu arit ini meletakkan kalimat “PKI dan Orang Tak Berpartai” di bawah logo resminya. Kalimat propaganda tersebut seperti yang ditulis di surat kabar Harian Rakjat dinilai sebagai upaya mengelabui mata rakyat. NU sebagai salah satu peserta pemilu mengajukan protes keras hingga akhirnya Menteri Dalam Negeri, Mr.Sunaryo menggelar pertemuan segi tiga. Pada pertemuan itu, Mendagri Sunaryo memanggil Soemitro Hadikusumo sebagai Ketua Pemilihan Umum, dan Idham Chalid mewakili partai NU. Sedangkan dari kubu PKI diwakili

D.N.Aidit, Sudisman, dan Sakirman. Mendagri Sunaryo membuka perundingan dengan mengatakan bahwa setiap tanda gambar partai dalam pemilu harus disepakati pemerintah juga seluruh partai peserta pemilu. Berhubung partai NU termasuk peserta pemilu dan sangat keberatan atas tanda gambar PKI, maka pemerintah perlu mengadakan perundingan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Pada akhirnya PKI harus menghapus slogan PKI dan orang tak berpartai di dalam tanda gambar PKI. Karena memang orang-orang yang diluar anggota partai berhak memilih partai manapun tanpa ada claiming orang tak berpartai merupakan pendukung PKI. Akhir kalimat tulisan dalam tajuk rencana ini menyatakan kalau PKI semakin menunjukkan bulunya, dan menyarankan untuk NU berpikir dua kali menggalang kekuatan atau berkawan dengan PKI.

“Apa jang sedjak semulanja diragu2kan dan dichawatirkan oleh para pengusul mosi Amelz kini telah mendjadi kenjataan. Sebagai diketahui, para pengusul mosi itu dalam sidang Parlemen hari Senin jbl. telah mendesak, agar usul-mosi mereka itu dibitjarakan djuga dalam sidang hari Selasa kemarin. Bukan sadja oleh karena hal ini sudah tertjantum dalam daftar atjara, melainkan djuga untuk memberikan pendjelasan2 apa maksud dan tudjuan mereka dengan mengadjukan usul-mosi itu dan disamping itu untuk meminta pendjelasan2 sekitar keputusan pertemuan segi-tiga mengenai dihapuskannja kata2 dan orang tak berpartai dari tandagambar PKI. Anggota Amelz mengatakan a.l., bahwa komunike PPI-PKI-NU tentang hasil pertemuan segi-tiga itu belum sama sekali mempunjai kekuatan hukum dan masih ada soal2 jang samar2 didalam komunike tsb. Maka oleh karena itulah, didesak agar usul-mosinja dibitjarakan, agar bisa diperoleh ketegasan2 jang pasti sekitar keputusan2 jang ditjapai dalam pertemuan segi-tiga itu. Tetapi karena sistim dongkrak jang selalu digunakan oleh fraksi2 pemerintah untuk menggoalkan keinginan2nja sadja, maka maksud para pengusul mosi Amelz itu tidak dapat terpenuhi dan pembitjaraan usul mosi tsb. dihapuskan dari daftar-pembitjaraan Parlemen buat minggu ini. Sekarang kechawatiran Amelz dkk. itu ternjata memang mempunjai dasar2 jang kuat. Sebab, fihak PKI kini ternjata mau memaksakan interpretasinja sendiri sadja

jl. itu. Sebagai diketahui, menurut komunike jang dikeluarkan setelah pertemuan PPI-PKI-NU itu, kesimpulan jang diperoleh ialah, bahwa didalam surat2 resmi nama daftar PKI dan orang tak berpartai selandjutnja disebut nama daftar PKI sadja, dengan pengertian bahwa isi dan maksudnja semula, jaitu diadjukannja tjalon2 tak berpartai jang mendjetujui program PKI, tetap berlaku sebagai sediakala. Bagaimanakah interpretasi jang sekarang mau dipaksakan oleh kaum komunis? Hal ini kita dapat ketahui dari tulisan dalam harian komunis Harian Rakjat. Harian tsb. a.l. mengatakan: Putusan (pertemuan segi-tiga – red. Abadi) inipun tidak mengenai siaran propaganda2 PKI seperti poster2, spanduk, papan2 dan lain2, karena sebagaimana ditegaskan dalam komunike itu, jang diubah hanja nama daftar didalam surat resmi. Djika tulisan dalam harian ini dianggap belum tjukup djelas, maka keterangan sekdjen CC. PKI, D.N.Aidit, kepada Berita Indonesia, seperti jang kita kutip dilain bagian, djuga menundjukan djiwa jang sama dengan maksud tulisan didalam Harian Rakjat ini. Sudah terang, bahwa jang dimaksudkan oleh fihak NU dengan keputusan dihapuskannja kata2 dan orang tak berpartai dari tandagambar PKI itu ialah bukan hanja dalam surat2 resmi sadja, melainkan dari semua tempat

Dokumen terkait