• Tidak ada hasil yang ditemukan

I Gusti Ayu Lani Triani1, Soemarno2 , Bambang Tri Rahardjo3 Elok Zubaidah4

1)PS. Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali

2)Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian

3)Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian 4)Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur Korespondensi email : lanitriani@yahoo.com

Pendahuluan

Produksi hortikultura merupakan usaha yang mampu meningkatkan produksinya sehingga sangat baik untuk dikembangkan lebih jauh. Bali selain merupakan daerah tempat wisata dan budaya, juga memiliki sentra penamanan hortikultura terbesar, yaitu di Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan memiliki 6 kecamatan, Kecamatan Baturiti merupakan daerah tempat penghasil hortikultura terbesar, salah satunya yaitu wortel, dengan luas panen 204 Ha dan produksi 24.291 Ku (Distan, 2019). Selama penanaman wortel, petani memiliki kendala terbesar dalam budidaya sayuran tersebut yaitu masalah hama dan penyakit. Dalam rangka untuk memberantas hama dan penyakit yang mudah, ampuh dan cepat dikalangan petani sayuran dengan menggunakan pestisida dari golongan organofosfat yang banyak digunakan saat ini.

Petani terkadang berada dalam situasi di mana mereka menghadapi kerugian parah akibat penyakit, hama dan rumput liar, jika mereka tidak melakukan perlindungan terhadap tanaman, maka mereka mengalami kerugian. Pestisida selalu menjadi alat penting dan mudah diperoleh dalam budidaya sayur dan buah. Pestisida tersedia yang terdaftar atau diizinkan, bersama dengan larutan non pestisida, dievaluasi untuk kesesuaian secara keseluruhan dalam hal penanggulangan hama terpadu, resistensi, residu, periode pemotongan, kemanjuran, perdagangan, keselamatan manusia dan masalah lingkungan (HAL, 2014). Penelitian yang dilakukan Munarso et al. (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida endosulfan sebesar 0,11 ppm pada wortel. Hasil penelitian ini cukup berada di atas batas baku mutu residu

55

(BMR) untuk sayuran sebesar 0,1 ppm (BSN., 2008). Hasil penelitian Setiyo et al. (2016), lahan pertanian di dataran tinggi Desa Bedugul, Kecamatan Baturiti, Bali yang dibudidayakan kentang mengandung residu insektisida kelompok profenofos sebanyak 0,02 – 0,043 ppm dan umbi kentang mengandung residu rata-rata 10 % dari kandungan residu insektisida di tanah.

Untuk mengatasi penggunaan bahan kimia dalam budidaya sayuran, diterapkan teknologi ramah lingkungan yang dikenal dengan pertanian organik. Bentuk prosesnya bervariasi tergantung pada keadaan lokal lahan pertanian (FAO, 2015). Petani telah lama menyadari pentingnya biologi tanah, mereka melihat peran rhizobia, mikoriza, organisme pengendali biologis, dan seluruh nutrisi tanah dalam menjaga kualitas tanah untuk produksi tanaman. Rhizobacteria tanaman adalah sekelompok bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman serta mengurangi penyakit atau kerusakan akibat serangan serangga, yang dikenal dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (McMillan, 2007). Penggunaan PGPR terus meningkat pada pertanian dan menawarkan cara yang menarik untuk mengganti pupuk kimia, pestisida, dan suplemen. Manfaat utama dari PGPR adalah untuk menghasilkan senyawa antibakteri yang efektif melawan patogen dan hama tanaman (Ashrafuzzaman et al., 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bakteri pemicu pertumbuhan yang terangkum dalam plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) selama budidaya serta karakteristik wortel (Daucus carota L.) yang dihasilkan. Hasil budidaya menggunakan aplikasi PGPR dibandingkan dengan hasil budidaya dari petani konvensional, untuk melihat sejauh mana perbedaannya, sebagai salah satu langkah penerapan teknologi ramah lingkungan dalam budidaya untuk menghasilkan produk yang aman dan berkualitas.

Metode

Penelitian dilakukan pada lahan Di Desa Mayungan, untuk hasil dari petani konvensional diperoleh dari lahan di Desa Pancasari, Bali. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Universitas Udayana. Waktu penelitian dari Bulan Februari sampai Juli 2019.

Bahan penelitian adalah tanah, wortel dari lahan di Desa Mayungan dan Desa Pancasari, pupuk kandang (kotoran ayam/sapi), Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan endofit yang diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Universsitas Brawijaya. Bahan laboratorium adalah aseton, petroleum eter, sodium sulfat, silica gel, aseton, heksana, etanol, iodin, natrium bikarbonat, amilum, standar beta karoten dan NaSO4. Peralatan analisis yang dipergunakan adalah blender, gelas ukur (ukuran 100 ml dan

54

KARAKTERISTIK WORTEL (DAUCUS CAROTA L.) HASIL APLIKASI

BAKTERI PEMICU PERTUMBUHAN SALAH SATU LANGKAH

MENUJU BUDIDAYA RAMAH LINGKUNGAN

I Gusti Ayu Lani Triani1, Soemarno2 , Bambang Tri Rahardjo3 Elok Zubaidah4

1)PS. Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali

2)Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian

3)Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian 4)Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur Korespondensi email : lanitriani@yahoo.com

Pendahuluan

Produksi hortikultura merupakan usaha yang mampu meningkatkan produksinya sehingga sangat baik untuk dikembangkan lebih jauh. Bali selain merupakan daerah tempat wisata dan budaya, juga memiliki sentra penamanan hortikultura terbesar, yaitu di Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan memiliki 6 kecamatan, Kecamatan Baturiti merupakan daerah tempat penghasil hortikultura terbesar, salah satunya yaitu wortel, dengan luas panen 204 Ha dan produksi 24.291 Ku (Distan, 2019). Selama penanaman wortel, petani memiliki kendala terbesar dalam budidaya sayuran tersebut yaitu masalah hama dan penyakit. Dalam rangka untuk memberantas hama dan penyakit yang mudah, ampuh dan cepat dikalangan petani sayuran dengan menggunakan pestisida dari golongan organofosfat yang banyak digunakan saat ini.

Petani terkadang berada dalam situasi di mana mereka menghadapi kerugian parah akibat penyakit, hama dan rumput liar, jika mereka tidak melakukan perlindungan terhadap tanaman, maka mereka mengalami kerugian. Pestisida selalu menjadi alat penting dan mudah diperoleh dalam budidaya sayur dan buah. Pestisida tersedia yang terdaftar atau diizinkan, bersama dengan larutan non pestisida, dievaluasi untuk kesesuaian secara keseluruhan dalam hal penanggulangan hama terpadu, resistensi, residu, periode pemotongan, kemanjuran, perdagangan, keselamatan manusia dan masalah lingkungan (HAL, 2014). Penelitian yang dilakukan Munarso et al. (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida endosulfan sebesar 0,11 ppm pada wortel. Hasil penelitian ini cukup berada di atas batas baku mutu residu

55

(BMR) untuk sayuran sebesar 0,1 ppm (BSN., 2008). Hasil penelitian Setiyo et al. (2016), lahan pertanian di dataran tinggi Desa Bedugul, Kecamatan Baturiti, Bali yang dibudidayakan kentang mengandung residu insektisida kelompok profenofos sebanyak 0,02 – 0,043 ppm dan umbi kentang mengandung residu rata-rata 10 % dari kandungan residu insektisida di tanah.

Untuk mengatasi penggunaan bahan kimia dalam budidaya sayuran, diterapkan teknologi ramah lingkungan yang dikenal dengan pertanian organik. Bentuk prosesnya bervariasi tergantung pada keadaan lokal lahan pertanian (FAO, 2015). Petani telah lama menyadari pentingnya biologi tanah, mereka melihat peran rhizobia, mikoriza, organisme pengendali biologis, dan seluruh nutrisi tanah dalam menjaga kualitas tanah untuk produksi tanaman. Rhizobacteria tanaman adalah sekelompok bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman serta mengurangi penyakit atau kerusakan akibat serangan serangga, yang dikenal dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (McMillan, 2007). Penggunaan PGPR terus meningkat pada pertanian dan menawarkan cara yang menarik untuk mengganti pupuk kimia, pestisida, dan suplemen. Manfaat utama dari PGPR adalah untuk menghasilkan senyawa antibakteri yang efektif melawan patogen dan hama tanaman (Ashrafuzzaman et al., 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bakteri pemicu pertumbuhan yang terangkum dalam plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) selama budidaya serta karakteristik wortel (Daucus carota L.) yang dihasilkan. Hasil budidaya menggunakan aplikasi PGPR dibandingkan dengan hasil budidaya dari petani konvensional, untuk melihat sejauh mana perbedaannya, sebagai salah satu langkah penerapan teknologi ramah lingkungan dalam budidaya untuk menghasilkan produk yang aman dan berkualitas.

Metode

Penelitian dilakukan pada lahan Di Desa Mayungan, untuk hasil dari petani konvensional diperoleh dari lahan di Desa Pancasari, Bali. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Universitas Udayana. Waktu penelitian dari Bulan Februari sampai Juli 2019.

Bahan penelitian adalah tanah, wortel dari lahan di Desa Mayungan dan Desa Pancasari, pupuk kandang (kotoran ayam/sapi), Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan endofit yang diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Universsitas Brawijaya. Bahan laboratorium adalah aseton, petroleum eter, sodium sulfat, silica gel, aseton, heksana, etanol, iodin, natrium bikarbonat, amilum, standar beta karoten dan NaSO4. Peralatan analisis yang dipergunakan adalah blender, gelas ukur (ukuran 100 ml dan Email : lanitriani@yahoo.com

54

KARAKTERISTIK WORTEL (DAUCUS CAROTA L.) HASIL APLIKASI

BAKTERI PEMICU PERTUMBUHAN SALAH SATU LANGKAH

MENUJU BUDIDAYA RAMAH LINGKUNGAN

I Gusti Ayu Lani Triani1, Soemarno2 , Bambang Tri Rahardjo3 Elok Zubaidah4

1)PS. Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali

2)Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian

3)Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian 4)Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur Korespondensi email : lanitriani@yahoo.com

Pendahuluan

Produksi hortikultura merupakan usaha yang mampu meningkatkan produksinya sehingga sangat baik untuk dikembangkan lebih jauh. Bali selain merupakan daerah tempat wisata dan budaya, juga memiliki sentra penamanan hortikultura terbesar, yaitu di Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan memiliki 6 kecamatan, Kecamatan Baturiti merupakan daerah tempat penghasil hortikultura terbesar, salah satunya yaitu wortel, dengan luas panen 204 Ha dan produksi 24.291 Ku (Distan, 2019). Selama penanaman wortel, petani memiliki kendala terbesar dalam budidaya sayuran tersebut yaitu masalah hama dan penyakit. Dalam rangka untuk memberantas hama dan penyakit yang mudah, ampuh dan cepat dikalangan petani sayuran dengan menggunakan pestisida dari golongan organofosfat yang banyak digunakan saat ini.

Petani terkadang berada dalam situasi di mana mereka menghadapi kerugian parah akibat penyakit, hama dan rumput liar, jika mereka tidak melakukan perlindungan terhadap tanaman, maka mereka mengalami kerugian. Pestisida selalu menjadi alat penting dan mudah diperoleh dalam budidaya sayur dan buah. Pestisida tersedia yang terdaftar atau diizinkan, bersama dengan larutan non pestisida, dievaluasi untuk kesesuaian secara keseluruhan dalam hal penanggulangan hama terpadu, resistensi, residu, periode pemotongan, kemanjuran, perdagangan, keselamatan manusia dan masalah lingkungan (HAL, 2014). Penelitian yang dilakukan Munarso et al. (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida endosulfan sebesar 0,11 ppm pada wortel. Hasil penelitian ini cukup berada di atas batas baku mutu residu

55

(BMR) untuk sayuran sebesar 0,1 ppm (BSN., 2008). Hasil penelitian Setiyo et al. (2016), lahan pertanian di dataran tinggi Desa Bedugul, Kecamatan Baturiti, Bali yang dibudidayakan kentang mengandung residu insektisida kelompok profenofos sebanyak 0,02 – 0,043 ppm dan umbi kentang mengandung residu rata-rata 10 % dari kandungan residu insektisida di tanah.

Untuk mengatasi penggunaan bahan kimia dalam budidaya sayuran, diterapkan teknologi ramah lingkungan yang dikenal dengan pertanian organik. Bentuk prosesnya bervariasi tergantung pada keadaan lokal lahan pertanian (FAO, 2015). Petani telah lama menyadari pentingnya biologi tanah, mereka melihat peran rhizobia, mikoriza, organisme pengendali biologis, dan seluruh nutrisi tanah dalam menjaga kualitas tanah untuk produksi tanaman. Rhizobacteria tanaman adalah sekelompok bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman serta mengurangi penyakit atau kerusakan akibat serangan serangga, yang dikenal dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (McMillan, 2007). Penggunaan PGPR terus meningkat pada pertanian dan menawarkan cara yang menarik untuk mengganti pupuk kimia, pestisida, dan suplemen. Manfaat utama dari PGPR adalah untuk menghasilkan senyawa antibakteri yang efektif melawan patogen dan hama tanaman (Ashrafuzzaman et al., 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bakteri pemicu pertumbuhan yang terangkum dalam plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) selama budidaya serta karakteristik wortel (Daucus carota L.) yang dihasilkan. Hasil budidaya menggunakan aplikasi PGPR dibandingkan dengan hasil budidaya dari petani konvensional, untuk melihat sejauh mana perbedaannya, sebagai salah satu langkah penerapan teknologi ramah lingkungan dalam budidaya untuk menghasilkan produk yang aman dan berkualitas.

Metode

Penelitian dilakukan pada lahan Di Desa Mayungan, untuk hasil dari petani konvensional diperoleh dari lahan di Desa Pancasari, Bali. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Universitas Udayana. Waktu penelitian dari Bulan Februari sampai Juli 2019.

Bahan penelitian adalah tanah, wortel dari lahan di Desa Mayungan dan Desa Pancasari, pupuk kandang (kotoran ayam/sapi), Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan endofit yang diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Universsitas Brawijaya. Bahan laboratorium adalah aseton, petroleum eter, sodium sulfat, silica gel, aseton, heksana, etanol, iodin, natrium bikarbonat, amilum, standar beta karoten dan NaSO4. Peralatan analisis yang dipergunakan adalah blender, gelas ukur (ukuran 100 ml dan

54

KARAKTERISTIK WORTEL (DAUCUS CAROTA L.) HASIL APLIKASI

BAKTERI PEMICU PERTUMBUHAN SALAH SATU LANGKAH

MENUJU BUDIDAYA RAMAH LINGKUNGAN

I Gusti Ayu Lani Triani1, Soemarno2 , Bambang Tri Rahardjo3 Elok Zubaidah4

1)PS. Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali

2)Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian

3)Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian 4)Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur Korespondensi email : lanitriani@yahoo.com

Pendahuluan

Produksi hortikultura merupakan usaha yang mampu meningkatkan produksinya sehingga sangat baik untuk dikembangkan lebih jauh. Bali selain merupakan daerah tempat wisata dan budaya, juga memiliki sentra penamanan hortikultura terbesar, yaitu di Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan memiliki 6 kecamatan, Kecamatan Baturiti merupakan daerah tempat penghasil hortikultura terbesar, salah satunya yaitu wortel, dengan luas panen 204 Ha dan produksi 24.291 Ku (Distan, 2019). Selama penanaman wortel, petani memiliki kendala terbesar dalam budidaya sayuran tersebut yaitu masalah hama dan penyakit. Dalam rangka untuk memberantas hama dan penyakit yang mudah, ampuh dan cepat dikalangan petani sayuran dengan menggunakan pestisida dari golongan organofosfat yang banyak digunakan saat ini.

Petani terkadang berada dalam situasi di mana mereka menghadapi kerugian parah akibat penyakit, hama dan rumput liar, jika mereka tidak melakukan perlindungan terhadap tanaman, maka mereka mengalami kerugian. Pestisida selalu menjadi alat penting dan mudah diperoleh dalam budidaya sayur dan buah. Pestisida tersedia yang terdaftar atau diizinkan, bersama dengan larutan non pestisida, dievaluasi untuk kesesuaian secara keseluruhan dalam hal penanggulangan hama terpadu, resistensi, residu, periode pemotongan, kemanjuran, perdagangan, keselamatan manusia dan masalah lingkungan (HAL, 2014). Penelitian yang dilakukan Munarso et al. (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida endosulfan sebesar 0,11 ppm pada wortel. Hasil penelitian ini cukup berada di atas batas baku mutu residu

55

(BMR) untuk sayuran sebesar 0,1 ppm (BSN., 2008). Hasil penelitian Setiyo et al. (2016), lahan pertanian di dataran tinggi Desa Bedugul, Kecamatan Baturiti, Bali yang dibudidayakan kentang mengandung residu insektisida kelompok profenofos sebanyak 0,02 – 0,043 ppm dan umbi kentang mengandung residu rata-rata 10 % dari kandungan residu insektisida di tanah.

Untuk mengatasi penggunaan bahan kimia dalam budidaya sayuran, diterapkan teknologi ramah lingkungan yang dikenal dengan pertanian organik. Bentuk prosesnya bervariasi tergantung pada keadaan lokal lahan pertanian (FAO, 2015). Petani telah lama menyadari pentingnya biologi tanah, mereka melihat peran rhizobia, mikoriza, organisme pengendali biologis, dan seluruh nutrisi tanah dalam menjaga kualitas tanah untuk produksi tanaman. Rhizobacteria tanaman adalah sekelompok bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman, dan meningkatkan pertumbuhan tanaman serta mengurangi penyakit atau kerusakan akibat serangan serangga, yang dikenal dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (McMillan, 2007). Penggunaan PGPR terus meningkat pada pertanian dan menawarkan cara yang menarik untuk mengganti pupuk kimia, pestisida, dan suplemen. Manfaat utama dari PGPR adalah untuk menghasilkan senyawa antibakteri yang efektif melawan patogen dan hama tanaman (Ashrafuzzaman et al., 2009).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan bakteri pemicu pertumbuhan yang terangkum dalam plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) selama budidaya serta karakteristik wortel (Daucus carota L.) yang dihasilkan. Hasil budidaya menggunakan aplikasi PGPR dibandingkan dengan hasil budidaya dari petani konvensional, untuk melihat sejauh mana perbedaannya, sebagai salah satu langkah penerapan teknologi ramah lingkungan dalam budidaya untuk menghasilkan produk yang aman dan berkualitas.

Metode

Penelitian dilakukan pada lahan Di Desa Mayungan, untuk hasil dari petani konvensional diperoleh dari lahan di Desa Pancasari, Bali. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Universitas Udayana. Waktu penelitian dari Bulan Februari sampai Juli 2019.

Bahan penelitian adalah tanah, wortel dari lahan di Desa Mayungan dan Desa Pancasari, pupuk kandang (kotoran ayam/sapi), Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan endofit yang diperoleh dari Laboratorium Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Universsitas Brawijaya. Bahan laboratorium adalah aseton, petroleum eter, sodium sulfat, silica gel, aseton, heksana, etanol, iodin, natrium bikarbonat, amilum, standar beta karoten dan NaSO4. Peralatan analisis yang dipergunakan adalah blender, gelas ukur (ukuran 100 ml dan

56

10 ml), pipet mikro, syrine (10 -l), timbangan (Mettler Toledo), GC-MS (Model 6890 N, serial number 62589 A (US44630702) MSD, oven pengering (Shimidzu), spektrofotometri (Biochrom), spektrofotometri (thermo scientific), timbangan analitik (Shimadzu), texture dan colour analyzer.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah lama perendaman benih dengan PGPR yaitu 0, 10, 20, dan 30 menit, sedangkan faktor kedua adalah pengunaan PGPR pada saat penyiraman pada tanaman di bedengan (umur tanaman 2 minggu) yaitu: 0; 1,25; 2,5 dan 3,75 cc/L. Perlakuan tersebut dikelompokan menjadi 3 kelompok sehingga diperoleh 48 satuan percobaan. Untuk melihat perbedaan penggunaan PGPR dengan hasil budidaya secara konvensional, dilakukan analisis meliputi analisis tanah, jumlah panen serta analisis kimia dan fisik wortel hasil budidaya.

Pelaksanaan dimulai dari budidaya wortel meliputi persiapan tanah, perlakuan PGPR sesuai dengan rancangan percobaan, pemeliharaan tanaman dan pemungutan hasil panen (Mishra et al. (2010), dan Heidari et al. (2011)). Tanah sebelum dipergunakan untuk budidaya digemburkan dahulu, lalu diberikan pupuk kandang (kotoran ayam/sapi) dengan takaran pada umumnya, kemudian didiamkan ± 4 hari, sebelum dipergunakan untuk budidaya wortel.

Bedengan untuk budidaya sayuran ukuran 100 x 600 cm. Jarak antar bedengan berukuran 30 cm. Panjang bedengan menurut panjangnya petakan kebun. Benih diberikan perlakuan perendaman dengan PGPR sebelum ditanam, setelah direndam benih ditiriskan, lalu ditanam pada bedengan. Benih wortel sebanyak ± ½ gelas (ukuran 250 ml) atau ± 50 g direndam pada larutan PGPR. Larutan PGPR dibuat dengan mencampurkan 5 ml PGPR ke dalam 1 L air, ditempatkan pada gelas (dibuatkan 4 gelas untuk masing-masing perlakuan), perlakuan waktu perendaman yaitu 0, 10, 20, dan 30 menit. Benih hasil perendaman ditiriskan terlebih dahulu. Budidaya wortel dilakukan pada lahan terbuka. Untuk tanaman wortel diperbanyak dengan biji langsung ditaburkan di lahan. Biji hasil perendaman, ditaburkan pada lahan bedengan, dengan dalamnya biji ± 1 cm dan ditutup tanah. Umur tanaman ± 14 hari, dilakukan penyemprotan dengan PGPR sesuai perlakukan yaitu 0; 1,25; 2,5 dan 3,75 cc/L, yang diaplikasikan pada tanaman di lahan sesuai dengan plot percobaan. Pengairan dilakukan secara intensif bila tidak ada hujan dan tanah menjadi kering. Selama budidaya, wortel mengalami serangan hama dan penyakit, untuk mengatasinya diberikan perlakuan penyemprotan dengan mempergunakan endofit (bahan dari bakteri untuk mengatasi jamur, dilakukan pada saat wortel berumur ± 16 hari, dilakukan 1 kali saja), sedangkan penyemprotan

57

dengan PGPR dilakukan sebanyak 2 – 4 kali tergantung serangan hama dan penyakit tanaman. Pemungutan hasil panen biasanya dilakukan pada saat tanaman berumur 4 bulan tergantung iklim setempat. Pemungutan umbi dilakukan saat umbi masih muda, sebab umbi yang sudah tua terasa keras. Tempat budidaya wortel pada lahan dapat di lihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lahan budidaya wortel dengan aplikasi PGPR

Pernyataan Mishra et al. (2010), perawatan dengan PGPR meningkatkan persentase perkecambahan, kekuatan bibit, kemunculan, tegakan tanaman, pertumbuhan akar, pertumbuhan tunas, total biomassa tanaman, berat biji, berbunga awal dan hasil buah. Telah ditetapkan bahwa Pseudomonas fluorescent meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan beberapa cara yaitu memproduksi regulator pertumbuhan tanaman, seperti giberelin, sitokinin dan asam asetat indol, yang bisa langsung atau secara tidak langsung memodulasi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Pengamatan dalam penelitian ini meliputi: analisis tanah (bahan organik dan unsur N, P, K) (AOAC, 1990), kadar residu insektisida (AOAC, 1990), kadar beta karoten (Apriyantono et al., 1989), jumlah panen wortel, vitamin C (dibaca pada spektrofotometri dengan panjang gelombang 695 nm) (Kannan et al., 2013), analisis tekstur (tipe tes ditekan, sensor yang digunakan adalah probe TA39 dengan kecepatan 20 mm/s) dan tingkat kecerahan (sensor yang ditempelkan pada sayuran dibaca angka pada display, warna yang terbaca tingkat kecerahan/L*). Data analisis laboratorium yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan analisis ragam atau analisys of variance (ANOVA), pengolahan data tersebut menggunakan program Minitab17 (Minitab, 2000).

600 cm

100 cm

56

10 ml), pipet mikro, syrine (10 -l), timbangan (Mettler Toledo), GC-MS (Model 6890 N, serial number 62589 A (US44630702) MSD, oven pengering (Shimidzu), spektrofotometri (Biochrom), spektrofotometri (thermo scientific), timbangan analitik (Shimadzu), texture dan colour analyzer.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah lama perendaman benih dengan PGPR yaitu 0, 10, 20, dan 30 menit, sedangkan faktor kedua adalah pengunaan PGPR pada saat penyiraman pada tanaman di bedengan (umur tanaman 2 minggu) yaitu: 0; 1,25; 2,5 dan 3,75 cc/L. Perlakuan tersebut dikelompokan menjadi 3 kelompok sehingga diperoleh 48 satuan percobaan. Untuk melihat perbedaan penggunaan PGPR dengan hasil budidaya secara konvensional, dilakukan analisis meliputi analisis tanah, jumlah panen serta analisis kimia dan fisik wortel hasil budidaya.

Pelaksanaan dimulai dari budidaya wortel meliputi persiapan tanah, perlakuan PGPR sesuai dengan rancangan percobaan, pemeliharaan tanaman dan pemungutan hasil panen (Mishra et al. (2010), dan Heidari et al. (2011)). Tanah sebelum dipergunakan untuk budidaya digemburkan dahulu, lalu diberikan pupuk kandang (kotoran ayam/sapi) dengan takaran pada umumnya, kemudian didiamkan ± 4 hari, sebelum dipergunakan untuk budidaya wortel.

Bedengan untuk budidaya sayuran ukuran 100 x 600 cm. Jarak antar bedengan berukuran 30 cm. Panjang bedengan menurut panjangnya petakan kebun. Benih diberikan perlakuan perendaman dengan PGPR sebelum ditanam, setelah direndam benih ditiriskan, lalu ditanam pada bedengan. Benih wortel sebanyak ± ½ gelas (ukuran 250 ml) atau ± 50 g direndam pada larutan PGPR. Larutan PGPR dibuat dengan mencampurkan 5 ml PGPR ke dalam 1 L air, ditempatkan pada gelas (dibuatkan 4 gelas untuk masing-masing perlakuan), perlakuan waktu perendaman yaitu 0, 10, 20, dan 30 menit. Benih hasil perendaman ditiriskan terlebih dahulu. Budidaya wortel dilakukan pada lahan terbuka. Untuk tanaman wortel diperbanyak dengan biji langsung ditaburkan di lahan. Biji hasil perendaman, ditaburkan pada lahan bedengan, dengan dalamnya biji ± 1 cm dan ditutup tanah. Umur tanaman ± 14 hari, dilakukan penyemprotan dengan PGPR sesuai perlakukan yaitu 0; 1,25; 2,5 dan 3,75 cc/L, yang diaplikasikan pada tanaman di lahan sesuai dengan plot percobaan. Pengairan dilakukan