• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menulis Itu Melatih Saya Untuk Jujur

Dalam dokumen publikasi e-penulis (Halaman 51-55)

Ya, menuliskan apa saja ke selembar kertas berarti saya sebenarnya sedang berusaha keras untuk jujur kepada diri saya sendiri. Menulis adalah sebuah aktivitas yang sangat personal. yang terlibat hanyalah diri sang penulis, meskipun dia menuliskan tentang persoalan-persoalan besar yang melingkupi dirinya.

Memang betul bahwa pada saat menulis, saya dibantu oleh banyak hal. Pertama, mungkin, adalah pengalaman saya berinteraksi dengan orang lain. Ini jelas sesuatu yang membuat saya memunyai bahan untuk dituliskan. Saya tidak dapat -- atau akan mengalami kesulitan -- menulis apabila bahan-bahan yang ingin saya tuliskan tidak atau belum menjadi bagian dari pengalaman saya.

Kedua, mungkin, saya dibantu atau, bahkan, didorong oleh gagasan hebat milik orang lain sehingga saya harus menuliskan sesuatu. Gagasan hebat ini bisa saja saya

temukan di buku-buku yang saya baca, atau saya peroleh dari menonton film, sinetron, atau saya gaet dari irama musik yang saya dengarkan. Kadang-kadang gagasan yang mampu mendorong saya menulis datang bagaikan kilat. Dan ini, kadang, tidak bisa saya duga sebelumnya.

Ketiga, mungkin saja, saya dibantu oleh ketidakstabilan emosi saya akibat gangguan orang lain. Misalnya saja saya dibuat kesal oleh seseorang atau saya dipuji habis-habisan oleh seseorang sehingga diri saya limbung. EQ atau kecerdasan emosi biasanya sangat sering saya gunakan pada saat-saat awal akan menulis.

Tentu, tidak hanya tiga hal itu yang membantu saya sehingga saya dapat menuliskan sesuatu. Saya kira saya masih bisa menyebutkan banyak hal. Dan saya kira, orang lain bisa menyebut lebih banyak hal lagi ketika dia dapat menuliskan sesuatu. Saya

cukupkan tiga hal itu sekadar untuk menunjukkan bahwa meskipun menulis itu merupakan kegiatan yang sangat personal, tetap saja banyak faktor di luar sang diri personal yang membantunya dapat menulis.

Namun -- lagi-lagi saya harus cepat-cepat menambahkan sesuatu di sini -- semua itu tetap harus dikembalikan kepada diri sendiri pada saat kita mau menuliskan sesuatu. Apapun faktor di luar diri Anda yang dapat memengaruhi atau menggerakkan Anda untuk bisa menulis, faktor-faktor dari luar itu tetap tidak ada gunanya apabila tidak Anda pertemukan dengan totalitas diri Anda. Apabila kita tidak dapat berkompromi dengan, atau tidak mau memahami, atau tidak jujur kepada diri kita sendiri, ada kemungkinan kita tidak dapat menulis secara lancar, mengalir, dan menyenangkan.

Apa yang saya maksud dengan "jujur kepada diri sendiri"? Tidak mudah memang membicarakan soal jujur ini. Bagaimana kita mengukur sebuah kejujuran? Apabila kejujuran dikaitkan dengan kegiatan menulis, ada kemungkinan kita dapat mengukur soal jujur ini dari seberapa jauh seorang penulis tidak menjiplak atau menelan mentah-mentah gagasan orisinal orang lain.

Apakah di dunia ini ada gagasan orisinal milik seorang penulis, misalnya? Bukankah setiap penulis itu tentu, ujung-ujungnya, hanya merakit gagasan-gagasan banyak orang dan kemudian sedikit diimbuhi dengan gagasannya sendiri? Bagaimana menentukan bahwa sebuah gagasan adalah milik atau merupakan temuan orisinal seorang penulis? Bagaimana pula dengan sosok seorang Chairil Anwar yang -- pada awal mencipta sajak, menurut beberapa pengamat, beliau belajar banyak dari sajak-sajak orang lain? Bagaimana pula dengan Buya Hamka yang pernah diisukan menciptakan sebuah novel yang juga, menurut beberapa pengamat, mirip dengan novel yang diciptakan oleh penulis asing? Bagaimana kita mendudukkan soal-soal seperti ini?

Saya tidak ingin membawa persoalan "jujur kepada diri sendiri" itu melebar-lebar. Saya akan mencoba menunjukkan saja kepada para pembaca tulisan saya tentang pendapat saya. Bisa jadi, pendapat saya ini masih belum sempurna atau banyak memiliki

kekurangan. Namun, yang ingin saya harapkan adalah semoga saya dapat membantu Anda untuk memecahkan sendiri persoalan-persoalan berkaitan dengan kejujuran dalam menulis.

Pertama, saya kok sangat yakin bahwa setiap manusia termasuk di sini para penulis -- punya ciri khasnya sendiri--sendiri yang tidak mungkin sama persis dengan orang lain. Saya kira, pada suatu saat kelak, entah kapan, setiap manusia bisa menemukan sendiri ciri khas tersebut. Apalagi seorang penulis. Seorang penulis diberi kemampuan lebih oleh Sang Penciptanya untuk lebih cepat, lebih kukuh, dan lebih percaya diri dalam menemukan ciri-ciri khas yang dimilikinya.

Jadi, bagi saya, pada tahap sangat awal, seorang penulis layak meniru gaya penulis lain. Bahkan di sini, saya ingin mengatakan secara tegas dan lantang: harus! Harus meniru lebih dahulu. Dahulu, waktu masih kanak-kanak, kita meniru cara bicara orang tua kita. Juga, kita meniru cara berjalan orang-orang di sekeliling kita. Sekarang, sesudah dewasa, kita punya ciri khas sendiri dalam berbicara. Juga, mungkin, dalam berjalan. Jadi tidak apa, pada saat awal meniru, bukan?

Bagaimana supaya kita tidak jatuh dalam bentuk plagiat? Jujurlah kepada diri Anda sendiri. Saya kira tidak usah orang lain yang memutuskan bahwa kita ini seorang plagiat dengan deretan bukti yang ditunjukkan oleh orang lain. Sebelum kita mau menerbitkan karya tulis kita, sebenarnya kita dapat bertanya kepada diri sendiri tentang apakah karya tulis kita merupakan hasil plagiat atau tidak.

Bagaimana kalau suara hati kita mengatakan itu bukan merupakan karya plagiat, namun di dalamnya ada beberapa tulisan yang meniru gagasan orang lain? Asal kita dapat mempertanggungjawabkan, mengapa kita harus takut? Sekali lagi, meniru tidaklah merupakan suatu cela pada saat kita memang mau belajar menulis. Meniru, ada kemungkinan, bisa membantu kita untuk menemukan karakter kita.

Kedua, saya kok juga yakin bahwa setiap orang dapat menuliskan sesuatu. Setiap orang tentu memunyai pengalaman, seberapapun sederhananya pengalaman yang

dimilikinya. Pengalaman inilah yang dapat dijadikan bahan untuk dituliskan. Apa gunanya pengalaman dituliskan? Ya untuk diseleksi, lewat kegiatan menulis, apakah pengalaman itu berharga untuk diri sendirinya atau tidak? Kalau tidak atau kurang berharga, ya dicoba dihargainya sendiri atau dicari jalan keluarnya agar pengalaman berikutnya dapat mengesankannya atau membuat dirinya berharga. Dan ini bisa dilakukan siapa saja lewat menulis.

Kadang-kadang, memang, ada orang yang sudah kebelet atau ingin menulis, tetapi macet atau kehabisan kata-kata. Saya ingin menunjukkan kepada orang ini bahwa sebenarnya bukan soal dia tidak bisa atau tidak mampu menulis. Tetapi yang membuat dirinya macet menulis adalah ketidaktersediaan bahan yang ada pada dirinya. Atau dalam kata lain, orang ini sebenarnya tidak punya banyak pengalaman mengenai apa yang ingin ditulisnya.

Nah, untuk memudahkan agar kita dapat menuliskan sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki, kita harus bersikap jujur kepada diri kita sendiri. Kalau kita menipu diri kita -- dengan mengatakan bahwa di dalam diri tersimpan banyak pengalaman berharga yang layak dibagikan kepada orang lain, padahal sebenarnya tidak ada -- ya, tentu, kita akan kesulitan dalam menuangkan pengalaman kita dalam bentuk tertulis. (Meskipun, ya meskipun, kita sudah dibantu oleh seorang penulis andal lain dalam menuliskan pengalaman kita itu.)

Agar kita dapat jujur dengan diri kita sendiri saat menuliskan pengalaman kita, saya sarankan menulislah lebih dulu untuk ditujukan kepada diri sendiri. Buatlah catatan harian yang diisi setiap hari secara kontinu dan konsisten. Buku catatan harian dapat menjadi alat bantu yang luar biasa -- dan saya sudah membuktikan keampuhannya -- dalam melakukan tes apakah kita punya pengalaman berharga atau tidak untuk kita bagikan kepada orang lain. Saya kira, buku catatan harian juga bisa lebih berperan dari sekadar alat bantu seperti itu. Buku catatan harian juga dapat menunjukkan siapa diri kita, apa ciri khas kita, dan apa sebenarnya keunikan yang kita miliki.

Sampailah kita pada batas akhir. Apakah kejujuran ini bisa menjadi kriteria baru untuk sebuah tulisan yang baik? Apa sebenarnya tulisan yang baik itu? Menurut saya, tulisan yang baik adalah tulisan yang bermanfaat bagi perkembangan diri orang lain. Apabila tulisan itu dibaca orang lain dan orang lain yang membacanya dapat memperbaiki dirinya akibat membaca tulisan itu, maka inilah yang saya maksud dengan tulisan yang baik.

Tulisan dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi dapat bertindak sebagaimana yang saya sebutkan sebelum ini. Tulisan dapat memengaruhi orang lain. Tulisan berbeda dengan penggambaran secara visual. Sebuah tulisan dapat mengajak seseorang untuk

merenungkan dirinya sendiri. Tulisan dapat berubah seperti cermin yang dapat

digunakan untuk berkaca -- baik itu menyangkut keadaan fisik maupun nonfisik orang yang membaca sebuah tulisan.

Nah, supaya setiap tulisan yang dilahirkan oleh seorang penulis dapat menjadi tulisan yang baik dan dapat memengaruhi pembacanya menjadi lebih baik, saya ingin

mensyaratkan bahwa tulisan tersebut harus ditulis secara jujur oleh penulisnya. Semoga apa yang saya gagas ini dapat dipahami. Dan saya ingin mengakhiri tulisan saya ini dengan kata-kata berikut ini.

"Saya hanya bisa mengeluarkan kata-kata dan merangkai kata-kata itu menjadi sesuatu yang berharga (atau kadang kata-kata itu "bertenaga") untuk diri saya -- dan semoga juga berharga untuk pembaca tulisan saya -- apabila saya menulis apa adanya tentang diri saya. Ini berarti saya harus jujur kepada diri saya sendiri."

Diambil dan disunting seperlunya dari: Nama situs: mifty.tripod.com

Penulis: Hernowo

Dalam dokumen publikasi e-penulis (Halaman 51-55)