• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

BAB II PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM HUKUM

C. Peraturan Perundangan-undangan Mengenai Diversi

1. Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 angka 7 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara konseptual, diversi adalah suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial. Diversi juga bermakna suatu upaya untuk mengalihkan anak dari proses yustisial menuju proses non-yustisial. Upaya untuk mengalihkan proses peradilan (pidana) anak menuju proses non-peradilan didasarkan atas pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam proses peradilan pada dasarnya telah melahirkan stigmatisasi.118

116 Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 201

117 Paulus Hadisoeprapto, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa

Datang, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hal. 230

118 Paulus Hadisoeprapto, Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penanggulangannya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 111 dikutip dari buku: Kusno Adi, Diversi Tindak Pidana

Pengalihan proses yustisial ke proses non-yustisial dalam penyelesaian perkara anak mempunyai urgensi dan relevansi sebagai berikut:119

a. Proses penyelesaian yang bersifat non-yustisial terhadap anak akan menghindarkan terjadinya kekerasan terpola dan sistematis, khususnya kekerasan psikologis terhadap anak oleh aparat penegak hukum. Terjadinya kekerasan terpola dan sistematis terhadap anak dalam proses pemeriksaan akan menimbulkan trauma yang sangat mendalam bagi anak. Oleh karenanya, penyelesaian yang bersifat non-yustisial melalui mekanisme diversi terhadap anak justru akan menghindarkan anak dari dampak negatif karena terjadinya kontak antara anak dengan aparat penegak hukum dalam proses peradilan.

b. Melalui mekanisme diversi anak tetap diberikan peluang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, tetapi melalui mekanisme yang lebih elegan menurut perspektif anak. Penyelesaian secara non-yustisial tidak dimaksudkan untuk membebaskan anak dari kemungkinan adanya pertanggungjawaban anak terhadap segala akibat perbuatannya. Oleh karenanya, melalui mekanisme diversi akan diperoleh keuntungan ganda. Di satu sisi anak terhindar dari berbagai dampak negatif akibat kontak dengan aparat penegak hukum, sementara di sisi lain anak tetap dapat mempertanggungjawabkan akibat perbuatannya tanpa harus terjadi tekanan terhadap mental anak.

c. Mekanisme diversi dapat dianggap sebagai mekanisme koreksi terhadap penyelenggaraan peradilan terhadap anak yang berlangsung selama ini. Mekanisme formal yang ditonjolkan dalam proses peradilan pidana termasuk terhadap anak sering menimbulkan dampak negatif yang demikian kompleks, sehingga menjadi faktor kriminogen yang sangat potensial terhadap tindak pidana anak.

d. Sebagai pengalihan proses yustisial ke proses non yustisial, diversi berorientasi pada upaya untuk memberikan pelayanan sosial kepada pelaku kejahatan, tetapi lebih dipandang sebagai korban yang membutuhkan berbagai layanan seperti, medis, psikologi, rohani. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka diversi hakekatnya merupakan upaya untuk menghindarkan anak dari kemungkinan penjatuhan pidana. Dengan demikian, diversi juga merupakan proses depenalisasi dan sekaligus dekriminalisasi terhadap pelaku anak.

Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-kasus seseorang, misalnya seorang anak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Tujuan memberlakukan diversi pada kasus seorang anak antara lain adalah menghindarkan proses penahanan terhadap anak dan pelabelan anak sebagai penjahat. Anak didorong untuk bertanggung jawab atas kesalahannya.120 Dalam pasal 6 UU SPPA, diversi memliki tujuan sebagai berikut:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Secara teoritis, penyelesaian perkara anak melalui mekanisme diversi akan memberikan berbagai manfaat sebagai berikut:121

a. Memperbaiki kondisi anak demi masa depannya;

b. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka perlindungan anak; c. Meningkatkan peran dan kesadaran orang tua dan lingkungan keluarga

anak;

d. Mengurangi beban kerja pengadilan.

Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa dilaksanakan. Kewajiban mengupayakan diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan maka tidak wajib diupayakan diversi. Hal ini memang penting mengingat kalau

121

Masguntur Laupe, Pengadilan Anak dan Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Pengadilan

Anak/Juvenile Justice di Hotel Intercontinental Mid Plaza, Jakarta, tanggal 11 Desember 2003, hal. 11 dikutip dari buku: Kusno Adi, Diversi Tindak Pidana Narkotika Anak, Op.cit, hal. 123

ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindakan pidana berat, dan merupakan suatu pengulangan, artinya anak pernah melakukan tindak pidana baik itu sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi. Pengulangan tindak pidana oleh anak, menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindakan pidana. Oleh karena itu, upaya diversi terhadapnya bisa saja tidak wajib diupayakan.122

Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.123

Tugas Pembimbing Kemasyarakatan menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah:124

a. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan Diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak selama proses Diversi dan pelaksanaan kesepakatan termasuk kepada pengadilan apabila Diversi tidak dilaksanakan;

b. Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS125 dan LPKA;

122

M. Nasir Djamil, Op.cit. hal. 139

123 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

c. Menentukan program perawatan Anak di LPAS dan pembinaan Anak di LPKA126;

d. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan; dan

e. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi127, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Selain itu juga, dalam hal diperlukan, musyawarah tersebut juga dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.128 Menurut Pasal 8 ayat (3) UU SPPA, proses diversi wajib memperhatikan:

a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan; e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Pada proses penegakan hukum pidana anak, maka aparat baik penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan diversi harus mempertimbangkan

125

Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disingkat LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung lihat dalam: Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

126 Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disingkat LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya lihat dalam: Pasal 1 angka 20 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

127

128 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

kategori tindak pidana, umur Anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.129 Pasal 9 ayat (2) UU SPPA, kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya. Hal ini mengindikasikan bahwa harus ada keaktifan dari korban dan keluarganya dalam proses diversi, agar proses pemulihan keadaan dapat tercapai sesuai dengan keadilan restoratif. Kesepakatan diversi tersebut dapat dikecualikan untuk tindak pidana berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, dan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.130

Bentuk-bentuk hasil kesepakatan diversi antara lain dapat berupa:131 a. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. Penyerahan kembali pada orang tua/Wali;

c. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. Pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau tidak dilaksanakan, maka proses peradilan pidana anak dilanjutkan untuk setiap tingkatannya.132

Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian

129 Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

130

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

131 Pasal 11 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat dan dapat berbentuk:133

a. Pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. Rehabilitasi medis dan psikososial;

c. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

d. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS134 paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. Pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

2. Menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

Menurut pasal 1 angka 6 PP No. 65 Tahun 2015, diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang bertujuan:135

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. Mendorong masyarakat untuk berpatisipasi; dan

133 Pasal 10 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

134 Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang selanjutnya disingkat LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak lihat dalam: Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

135 Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim wajib mengupayakan Diversi dalam pemeriksaan perkara Anak. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan/atau orangtua/walinya, korban atau Anak korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

Proses diversi wajib memperhatikan:136 a. Kepentingan korban;

b. Kesejahteraan dan tanggung jawab Anak; c. Penghindaran stigma negatif;

d. Penghindaran pembalasan; e. Keharmonisan masyarakat; dan

f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Jika proses diversi tidak berhasil proses peradilan pidana Anak dilanjutkan. Proses diversi dikatakan tidak berhasil jika proses tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

136 Pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-undang No. 23 Tahun 2002 (yang telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.1

Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak.

1 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hal. 8-9

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek, yang pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak dan aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.2

Anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk.3 Mungkin terbukti anak melakukan tindak kenakalan, anak melanggar hukum positif, atas kelakuannya mungkin akan mengganggu tertib sosial karena kenakalannya membuat marah publik, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan mendatangkan kematian dan siksa orang lain. Namun, apapun alasannya, sesungguhnya dia adalah korban. Dia korban dari perlakuan salah orangtuanya, dia korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban kebijakan pemerintah lokal, dan dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum.4

Sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur mengenai perlindungan hukum pidana terhadap anak yang apabila anak sebagai pelaku

2 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 3

3 M. Joni, dkk, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1

tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan.5 Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.6

Sistem Peradilan Pidana Anak berbeda dengan Sistem Peradilan Pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan Pidana Anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Dalam Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa unsur yang saling terkait yaitu: Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, dan Petugas Permasyarakatan Anak. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Ini berarti bahwa peradilan pidana anak yang adil memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun sebagai terpidana/narapidana, sebab

5 Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hal. 25

perlindungan terhadap hak-hak anak ini merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak.7

Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice). Sedangkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Upaya penanggulan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya penanggulan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa. Konsep diversi dan restorative justice merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep diversi dan restorative

7 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana

justice merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah

berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.8

Anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia cukup memprihatinkan. Angka kejahatan seperti pencurian yang dilakukan anak di Indonesia setiap tahun berjumlah sekitar 7.000 anak. Sembilan dari sepuluh anak-anak ini akhirnya menginap di hotel prodeo (penjara atau rumah tahanan) karena pada umumnya anak yang berhadapan dengan hukum tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah, dalam hal ini dinas sosial.9

KOMNAS Anak pada Tahun 2011 menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku tindak pidana) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana.10

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Upaya pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah kebijakan

8

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan

Restorative Justice), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 17

9 Steven Allen, “Kata Pengantar,” dalam Purnianti, et.al. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, (Jakarta: Unicef, 2003), hal. 1 dikutip dari:

Hadi Supeno, Op.cit, hal. 70

10

Komisi Nasional Anak, 21-12-2011. “Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional

non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya dialihkan di luar jalur sistem peradilan pidana anak, melalui cara-cara pembinaan jangka pendek atau cara lain yang bersifat keperdataan atau administratif.11

Menurut Setya Wahyudi, Diversi sebagai bentuk pengalihan penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak kovensional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak.12

Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.13 Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana guna mewujudkan perlindungan hukum bagi anak, diperlakukan mengerti permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional dan terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana adalah suatu hasil interaksi adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi.14

11 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal. 58-59

12

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 59

13 Maidin Gultom, Op.cit, hal. 11

Tahun 2015 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun yang menjadi kebutuhan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis termotivasi untuk menulis dan membahas skripsi dengan judul “Pelaksanaan Diversi Dalam Peradilan Pidana Anak”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang dan sebagai pedoman agar permasalahan dapat dibahas secara sistematis serta tujuan yang hendak dicapai dapat jelas dan tegas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan diversi dalam sistem hukum peradilan pidana anak?

2. Bagaimanakah pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui tentang pengaturan diversi dalam sistem hukum peradilan pidana anak;

b. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak menurut Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini antara lain :

Dokumen terkait