• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada 105º – 108º BT dan 03º

30” LS. Memiliki luas total wilayah 81.582 km2 terdiri dari wilayah daratan 16.281 km2 meliputi dua pulau besar, yaitu Pulau Bangka dengan luas 11.481 km2 dan Pulau Belitung dengan luas 4.800 km2 serta 950 buah pulau-pulau kecil. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai sekarang (2012) masih merupakan salah satu produsen biji timah terbesar dunia.

Penambangan bijih timah oleh PT. Timah, Tbk dan PT. Kobatin di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah sejak lama dilakukan. Konsekuensi dari kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lobang bekas galian penambangan timah berbentuk cekungan besar, dalam dan terisi air yang menurut istilah lokal wilayah Bangka Belitung adalah kolong atau lubangcamuy (danau).

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT. Timah, Tbk di tahun 2000, jumlah kolong pasca penambangan timah oleh PT. Timah di Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 ha. Terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 ha di pulau Bangka dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 ha di pulau Belitung. Dari jumlah tersebut, baru 108 kolong di pulau Bangka dan 54 kolong di pulau Belitung yang telah dilakukan reklamasi. Jumlah kolong-kolong tersebut masih terus bertambah dengan pesat seiring dengan semakin maraknya aktivitas tambang inkonvensional yang dikelola oleh masyarakat Bangka Belitung.

Salah satu karakteristik dari kolong ialah tidak mempunyai aliran masuk dan aliran keluar. Debit air kolong dan kondisi air secara fisik dan kimia sangat dipengaruhi oleh proses evapokonsentrasi, dimana tinggi-rendahnya permukaan air cukup berfluktuasi pada musim kering yang mengakibatkan terkonsentrasinya kandungan bahan yang ada di air tersebut. Kondisi galian umumnya berukuran panjang dan lebar sekitar 75-200 m, dengan kedalaman berkisar 2-50 m. Sifat fisikokimia air kolong memiliki perbedaan karakter yang sangat menonjol. Secara umum keberadaan perairan kolong ini masih dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, namun hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa

tidak seluruhnya dapat dikembangkan untuk budidaya ikan konsumsi, karena menurut hasil analisa menunjukkan adanya pencemaran logam berat sampai diatas ambang batas (Lamidi 1997).

Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada mahluk hidup (Palar 1994).

Berdasarkan sudut pandang toksikologi, Wahyu Widowati et al. (2008) membagi logam berat kedalam dua jenis. Pertama, logam berat esensial, yakni logam dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme, tapi dalam jumlah berlebihan logam tersebut dapat menimbulkan efek toksik, contoh : Zn,Cu, Fe, Co, Mn dan sebagainya. Besi dalam jumlah tertentu merupakan logam yang dibutuhkan dalam pembentukan pigmen darah dan zink merupakan kofaktor untuk aktifitas enzim (Wilson 1988). Kedua, logam berat tidak esensial, yakni logam yang keberadaannya didalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, contohnya : Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Tabel 1 berikut ini menunjukkan urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong.

Tabel 1 Urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong

Tingkatan Toksik LB

1 2 3 4 5 Sumber

Bagi Hewan Air Hg Cd Zn Pb Cr Wahyu Widowati et al. (2008) Bagi Manusia Hg Cd Ag Ni Pb Wahyu Widowati et al. (2008) Tingkatan Jumlah

Kandungan LB

1 2 3 4 5 Sumber

Logam di Air Kolong Fe Mn Zn Pb Cu Brahmana et al. (2004) Logam di Sedimen

Kolong

Mn Fe Pb Al Zn Cynthia Henny (2009)

Keberadaan logam berat dalam lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama, dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan yang membusuk. Kedua, dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah industri (Connel & Miller 1995). Wittmann (1979) menambahkan, salah satu penyebab terbesar masuknya

pencemar logam berat kedalam cekungan-cekungan perairan adalah melalui kegiatan pertambangan. Eksploitasi timbunan bijih timah membongkar permukaan batuan baru dan sejumlah besar sisa batuan atau tanah untuk mempercepat kondisi pelapukan. Kegiatan proses pengambilan, pemisahan maupun peleburan bijih timah dapat menyebabkan hamburan dan penimbunan sejumlah besar logam runutan seperti Pb, Zn, Cu, As dan Ag ke dalam saluran pembuangan sekelilingnya atau pengeluaran langsung kedalam lingkungan perairan. Cynthia Henny (2007) juga menyatakan aktivitas pembukaan lapisan tanah dalam proses penambangan telah membuat mineral di dalam tanah terbuka. Akibatnya terjadi oksidasi mineral sulfida (pirit-FeS2) yang membawa kandungan-kandungan logam berat berbahaya, seperti timah hitam (Pb), seng (Zn) bahkan arsenik (As).

Wardoyo et al. (1998) dan Cynthia Henny (2007), mengelompokkan kolong pasca tambang timah berdasarkan usia menjadi dua. Pertama, kolong muda dengan usia 0-20 tahun. Kedua, kolong tua dengan usia > 20 tahun. Karakteristik secara fisik dan kandungan pencemar kimia di air maupun sedimen kolong, serta kualitas air kolong hampir sama untuk masing-masing kelompok umur kolong, terutama kolong tua. Penelitian Brahmana et al. (2004), kualitas air kolong muda menunjukkan kualitas air yang buruk dengan pH berkisar 2,9 – 4.5. Kandungan logam berat seperti Fe, Al, Pb, dan Mn sangat tinggi. Dalam hasil penelitian tersebut juga dikatakan bahwa, umur kolong sangat berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar logam tersebut. Menurut Puslit Biologi LIPI ditambah data penelitian lain dari Lamidi (1997), ada kecendrungan bahwa pada kolong yang sudah ditinggalkan dari kegiatan pertambangan bijih timah lebih dari 25 tahun, konsentrasi logam berat pada air menurun sampai dibawah ambang batas aman untuk manusia.

Beberapa penelitian telah dilakukan berbagai pihak sebagai alternatif usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong (terutama di kolong muda). Di antaranya penerapan teknologi sederhana in situ treatment, menggunakan

limestone (pengapuran) ataupun passive treatment yang dapat menaikkan pH air. Diharapkan dengan penaikan pH air kolong akan berdampak terhadap menurunnya kandungan beberapa logam berat berbahaya pada air kolong.

Penggunaan phytoplankton sebagai penyerap alami logam berat (Cynthia Henny 2007) dan penggunaan tumbuhan air sebagai penyerap logam berat di kolong oleh Wike et al. (2009).

Semua rangkaian penelitian yang telah dilakukan merupakan usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong pasca tambang timah, agar kolong dapat lebih berdaya guna dan memiliki nilai potensial lebih. Akan tetapi, sifat unsur logam berat yang tidak dapat didegradasi dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia, akan menjadi pekerjaan rumah besar sekaligus pertanyaan mendasar pada hasil penelitian terdahulu dan peneliti mendatang. Sistem pengkapuran yang memakan banyak biaya, kesulitan pengaturan debit air untuk penerapan passive treatment, atau kembali masuknya logam berat ke dalam badan perairan, jika phytoplankton dan tumbuhan air yang dimanfaatkan sebagai penyerap logam berat mati atau habis siklus hidupnya. Arti sebenarnya adalah, belum ditemukannya teknologi yang benar-benar dapat menyelesaikan masalah kolong ini, sehingga perairan kolong terus menerus dalam kondisi tercemar logam berat.

Kolong tua mempunyai kualitas air yang lebih baik dengan kisaran pH 5.5

– 8 (Cynthia Henny 2009). Waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan kualitas air secara alami seperti pada kolong tua memakan waktu 20 – 30 tahun (Subardja et al. 2004; Brahmana et al. 2004). Hasil penelitian Cynthia Henny (2009) pada 40 kolong di Kabupaten Bangka (acak : kolong tua dan kolong muda) menunjukkan bahwa, masih ditemukannya kandungan logam berat dalam jumlah cukup tinggi pada air dan sedimen. Hasil penelitian Cynthia Henny (2009) ini juga menemukan bahwa, pada sedimen kolong tua masih ditemukan kandungan beberapa jenis logam berat (Pb, Al, Fe, Zn, Mn) diatas baku mutu. Walaupun kandungan logam berat di air pada kolong tua menunjukkan hasil yang tidak terukur.

Dari hasil penelitian tersebut, pemanfaatan kolong untuk budidaya ikan air tawar atau air minum tanpa pengolahan lebih dulu tidak direkomendasikan, sebab logam-logam berat di kolong diduga dapat terakumulasi di tubuh ikan dan tentu berdampak pada kesehatan manusia. Dampak secara sosial adalah tertanamnya

image masyarakat, tentang konsentrasi logam berat yang masih cukup tinggi di semua kolong (kolong tua dan kolong muda) diatas ambang batas aman untuk manusia. Selanjutnya berdampak pada kengganan masyarakat untuk melakukan

kegiatan budidaya perikanan tawar di kolong muda maupun di kolong tua, atau mengkonsumsi ikannya. Tentunya keberadaan perairan kolong di Bangka Belitung dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, terutama kolong tua yang berusia diatas 20 tahun.

Massa jenis logam berat yang lebih berat dari massa jenis air menjadikan logam berat lebih mudah mengendap dan tersimpan di sedimen daripada yang terlarut di air. Lamanya usia kolong ikut menjadi faktor tidak terukurnya logam berat dalam air tetapi ditemukan dalam jumlah banyak pada sedimen. Tersedianya bahan organik di dasar kolong tua juga dapat menyebabkan logam cendrung lebih banyak terikat didasar kolong daripada di air. Hal ini memperkuat hasil penelitian Connel dan Miller (1995) yang menyimpulkan bahwa pembentukan lapisan organik sangat mempengaruhi kapasitas penyerapan pada sedimen dan bahan yang mengikat. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya di kolong, hampir semua kolong tua masih mengandung logam berat di sedimennya tapi tidak terukur di air (tingkat sensitifitas AAS 0,030 mg/l) (Subardja et al.

2004; Brahmana et al. 2004; Cynthia Henny 2007). Hasil penelitian juga menemukan bahwa, selain jenis logam yang tercantum di Tabel 1, jenis logam berat Timbal (Pb) hampir ditemui di sedimen semua kolong-kolong tua, (Cynthia Henny 2009).

Mengingat salah satu program unggulan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yakni pengembangan sektor budidaya perikanan tawar dengan memanfaatkan kolong-kolong pasca penambangan timah, karena mulai melemahnya sektor pendapatan ekonomi daerah dari hasil bijih timah, maka pengembangan budidaya perikanan air tawar yang memanfaatkan kolong pasca tambang timah harus dikaji dan dikelola secara komprehensif. Pengembangan budidaya perikanan tawar bukan hanya terpusat pada peningkatan produksi, namun juga pada kualitas dan keamanan produk untuk konsumsi. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur jumlah akumulasi Pb dalam organ daging, insang, hati dan ginjal ikan selama proses budidaya hingga panen di kolong pasca penambangan timah berusia tua (diatas 25 tahun). Diharapkan hasil dari penelitian ini akan menambah produk penelitian kolong, berupa sistem teknologi dan manajemen budidaya ikan air tawar konsumsi yang aman, di kolong

tercemar logam berat. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi tentang keamanan produk yang dapat berdampak hilangnya kekhawatiran masyarakat untuk melakukan kegiatan budidaya dan mengkonsumsi ikan yang dibudidayakan di kolong.

Perumusan Masalah

Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa, perikanan mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumberdaya ikan.

Jumlah kolong di Bangka Belitung hingga saat ini (2012) terdata lebih dari 1000 kolong. Kolong hasil galian PT. Timah, Tbk tersebut baru sebagian kecil saja dilakukan reklamasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan air tawar. Berbagai jenis tanaman yang ditanam dalam kegiatan reklamasi adalah akasia, albasia dan jambu mete. Sedangkan sebanyak 142 kolong telah ditimbun kembali setelah diberlakukannya sistem penambangan back filling (1992-1998), dimana setiap galian harus ditimbun kembali. Sisanya, yakni sebanyak 583 kolong belum dimanfaatkan secara optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain purun, rumbia, gelam, nipah, ilalang, cemara, sungkai dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih, sebesar 15,9 persen atau sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai reservoir dan sumber air, termasuk mandi dan mencuci. Namun, masih sedikit atau sebesar 4,28 persen atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha perikanan, pertanian, sumber air baku PDAM, dan rekreasi. Sisanya yakni sebesar 79,82 persen belum termanfaatkan sama sekali. Jumlah kolong ini terus bertambah hingga sekarang. Ditambahkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN 2009), bahwa berdasarkan citra satelit tahun 2004, diketahui bahwa 378.042 hektar dari 657.510 hektar kawasan hutan di Bangka Belitung sudah tergolong lahan kritis. Dari yang tersisa tersebut,

kawasan hutan yang bervegetasi tinggal 17 persen dari luas daratan Bangka Belitung (1.642.414 hektar). Padahal, idealnya untuk satu pulau paling tidak luas kawasan hutan yang bervegetasi baik mencapai 30 persen.

Ditinjau dari luasnya lahan perairan umum yang berpotensi untuk dikembangkan, dan didukung juga dengan tingginya kebutuhan ikan air tawar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka Dinas Kelautan dan Perikanan dari tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, membangun kerangka kerja kedepan untuk memanfaatkan kolong- kolong tua pasca penambangan timah dengan meningkatkan produksi perikanan budidaya air tawar, menggunakan metode karamba jaring apung (KJA). Adapun gambaran kebutuhan akan ikan air tawar terutama Nila merah (Oreochormis niloticus) dan Patin jambal (Pangasius djambal) ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi kebutuhan jenis ikan air tawar ukuran konsumsi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2008

Jenis Ikan

Kebutuhan Ukuran Konsumsi Tiap Kabupaten di Bangka Belitung (2008-2009) (Kg/hari)

Total Kebutuhan (Kg)/hari Total Terpenuhi (Kg/hari) Kab. Bangka Kab. Bateng Kab. Basel Kab. Babar Pangkal Pinang Lele Dumbo 1.800 1.650 970 800 2.700 7.920 2.043 Nila 250 340 134 242 477 1.452 300 Gurame 130 120 100 80 166 596 - Patin 250 100 288 132 497 1.267 310 Mas 90 102 161 85 256 694 100

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008).

Walaupun dukungan dari setiap pemerintah daerah sangat besar dan memiliki potensi kondisi geografis daerah juga besar, kegiatan perikanan budidaya perikanan air tawar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih sangat minim. Penyebab utama lesunya kegiatan budidaya perikanan ikan air tawar adalah kekhawatiran masyarakat dengan perairan kolong yang mengandung logam berat.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan kolong-kolongnya, merupakan potensi besar untuk pengembangan perikanan air tawar dan perluasan kesempatan kerja, walaupun tidak dipungkiri dari hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan sebagian besar kolong-kolong tersebut mengandung unsur logam

berat yang sangat berbahaya jika terkonsumsi oleh manusia, terutama Pb. Akan tetapi jika permasalahan logam berat dapat diatasi, maka potensi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal, artinya akan terbuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Kalkulasi kesempatan kerja terhadap potensi perikanan daerah oleh Biro Kepegawaian Daerah dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008) ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Potensi berwiraswasta untuk mengoptimalkan nilai ekonomis budidaya perairan di Povinsi Kep. Bangka Belitung

Jenis Budidaya Satuan Potensi Lahan Peluang Usaha (orang/satuan) Jumlah (orang) Budidaya Laut Ha 12.000 2 24.000 Budidaya Payau Ha 10.000 2 20.000 Budidaya Tawar Ha 1000 5 5.000 Industri Bioteknologi Unit 30 50 1.500 Industri Pakan Unit 37 50 1.850

Jumlah Total 52.350

Sumber : Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kep. Bangka Belitung (2008)

Dari Tabel 3 tersebut diartikan bahwa, jika semua lahan perairan tawar (terutama kolong pasca penambangan timah) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan, maka kebutuhan ikan air tawar yang tinggi akan terpenuhi, sekaligus sebagai solusi bagi kebutuhan akan sumber mata pencaharian alternatif dan pengangguran. Potensi yang besar dapat dihubungkan menjadi terciptanya sumber peningkatan perekonomian masyarakat yang baru, untuk mengimbangi penurunan perekonomian masyarakat dari sektor tambang timah. Realitanya sekarang adalah sebesar 79,82 % atau 1.367.04 ha dari kolong peninggalan PT. Timah Tbk, belum termanfaatkan karena indikasi tercemar logam berat. Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk menghubungkan mata rantai yang terputus seperti yang telah dipaparkan diatas.

Maka beberapa permasalahan yang dihadapi adalah :

(1) Aspek ekologi, banyaknya genangan-genangan air berupa kolong belum termanfaatkan secara optimal untuk berbagai keperluan, termasuk kegiatan perikanan,

(2) Aspek biologi, adanya kandungan logam berat di air dan sedimen kolong diduga menyebabkan ikan hasil budidaya di kolong pasca tambang timah tercemar logam berat, yang jika ikan tersebut terkonsumsi manusia tentu akan sangat berbahaya,

(3) Aspek teknologi, hasil penelitian-penelitian sebelumnya belum memberikan dampak yang signifikan untuk diterapkan dalam pemulihan kualitas air kolong, belum adanya teknologi yang mudah (aplikatif) untuk diterapkan masyarakat, serta belum adanya kajian pemanfaatan kolong untuk kegiatan perikanan,

(4) Aspek ekonomi, keinginan masyarakat membeli ikan air tawar hasil budidaya di kolong sangat kurang, karena rasa takut ikan tercemar logam berat.

Dalam upaya memberikan kontribusi penelitian ilmiah aplikatif bagi masyarakat untuk pengembangan perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dan fokus penelitian. Beberapa pertanyaan (research questions) yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah :

(1) Berapa jumlah Pb yang terakumulasi ke dalam organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal selama proses pemeliharaan di kolong tua pasca penambangan timah hingga panen.

(2) Apakah ada pengaruh kandungan Pb yang bersumber dari sedimen kolong tua, terhadap jumlah akumulasi Pb di organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal.

(3) Apakah ada pengaruh akumulasi kandungan Pb di organ ikan nila merah dan patin jambal terhadap laju pertumbuhan (GR), tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju

food conversion rasio (FCR)

(4) Bagaimana menentukan waktu dalam proses manajemen (siklus) budidaya yang baik untuk mengurangi laju akumulasi unsur Pb pada organ ikan Nila merah dan Patin jambal.

Dari hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa akar permasalahan yang sangat mendasar dalam pengembangan perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah media ( kolong) budidaya mengandung logam berat (terutama Pb) yang selalu ada di setiap kolong) dan membahayakan kesehatan masyarakat secara

turun temurun, sehingga perlu dianalisis akumulasi Pb pada organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal setiap bulan pemeliharaan sampai panen dan membuat manajemen pola tanam budidaya perikanan yang aman dan dapat meminimalisir laju serapan logam berat kedalam organ-organ ikan tersebut serta mudah diterapkan oleh masyarakat.

Tujuan Penelitian

(1) Menjawab pertanyaan mengenai keamanan ikan yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung dari Pb untuk dikonsumsi oleh manusia.

(2) Menganalisis pengaruh kandungan Pb yang terakumulasi di organ daging, insang, hati dan ginjal serta pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan (GR), tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) ikan nila merah dan patin jambal.

(3) Menentukan waktu dalam proses manajemen (siklus) budidaya yang baik untuk mengurangi laju akumulasi Pb pada organ ikan Nila merah dan Patin jambal (4) Menganalisis kelayakan ekonomis budidaya ikan nila merah dan patin jambal

yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

(1) Bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan pengembangan dan pembangunan di sektor perikanan budidaya air tawar dan pemanfaatan kolong tua dengan sistem karamba jaring apung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

(2) Bahan masukan bagi perusahan tambang timah dan masyarakat dalam upaya pemanfaatan kolong pasca tambang timah.

(3) Sumber informasi bagi investor, masyarakat dan stakeholders terkait teknologi tepat guna dan sistem manajemen budidaya perikanan di kolong tua pasca penambangan, agar aman dari Pb, mudah diaplikasikan dan murah (hemat biaya).

(4) Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan menghasilkan produk perikanan bersih dari Pb walaupun dipelihara di media yang terdapat kandungan Pb.

Asumsi dan Hipotesis

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

(1) Tercemarnya air dan sedimen kolong oleh Pb akan menyebabkan ikan budidaya di kolong tersebut ikut tercemar Pb.

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(1) Ada perbedaan jumlah akumulasi Pb pada jenis ikan yang berbeda di setiap bulan pemeliharaan.

(2) Ada perbedaan jumlah akumulasi Pb pada organ daging, insang, hati dan ginjal antara ikan nila merah dan patin jambal.

(3) Keberadaan pencemar Pb akan mempengaruhi pertambahan bobot tubuh, tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) ikan nila merah dan patin jambal.

(4) Terdapat pola akumulasi terhadap depurasi terkait dengan kondisi kolong, yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan pola tanam.

Kerangka Pemikiran

Rangkaian proses penelitian ini disusun dalam sebuah kerangka berpikir yang akan menuntun dalam pencapaian semua tujuan penelitian tersebut. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran.

KOLONG

KARAKTERISTIK KELAYAKAN KOLONG UNTUK BUDIDAYA IKAN

KOLONG TUA -Kualitas Air/Kadar Pb -Kualitas Sedimen/Kadar Pb KOLONG MUDA -Kualitas Air/Kadar Pb -Kualitas Sedimen/Kadar Pb KOLONG TUA PERMASALAHAN :

1.Masih mengandung logam berat (terutama Pb) di sedimen diatas baku mutu 2. Pb merupakan logam berat non esensial yang hampir selalu ditemukan di sedimen

kolong tua

3.Image masyarakat (logam berat) dalam pemanfaatan kolong sebagai lahan budidaya perikanan

UJI BUDIDAYA IKAN NILA DAN PATIN

Manajemen budidaya

Analisis keterhubungan Pb di organ ikan terhadap

GR,SR,FCR.

Analisis kelayakan usaha

ANALISIS BIOAKUMULASI TIMBAL (Pb) PADA

IKAN NILA MERAH (O. nilotica) DAN PATIN JAMBAL (P. djambal)

YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH BANGKA BELITUNG

Menjawab pertanyaan tentang keamanan pangan

TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Morfologi Ikan Nila Merah (O. niloticus)

Menurut Saanin (1984) secara sistematika ikan nila merah (O. niloticus) adalah : dunia : Animalia filum : Chordata kelas : Pisces ordo : Perchomorphi famili : Perchoiaea genus : Oreochormis

spesies : Oreochormis niloticus

Dokumen terkait