• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.6 Metode Penelitian

1.6.3 Metode Analisis Data

Peneliti-peneliti terdahulu kebanyakan tidak memberikan secara eksplisit kriteria untuk mengidentifikasi bentuk lingual pembentengan dalam kajian mereka (lihat, mis. Hyland, 1996a, 1998; Myers, 1989; Salager-Meyer, 1994; Varttala, 2001). Mereka kebanyakan mengandalkan intuisi dan definisi pembentengan yang mereka anut untuk menentukan bentuk-bentuk tersebut sehingga sulit untuk diterapkan pada penelitian lain. Akan tetapi, berbeda dengan peneliti-peneliti lainnya, Crompton (1997: 282) mencoba menawarkan kriteria berikut untuk menguji kehadiran pembentengan dalam sebuah proposisi:

“Can the proposition be restated in such a way that it is not changed but that the author’s commitment to it is greater than at present? If “yes” then the proposition is hedged. (The hedges are any language items in the original which would need to be changed to increase commitment.)”

‘Dapatkah proposisi tersebut dinyatakan ulang sedemikian rupa sehingga isinya tidak berubah tetapi komitmen penulis terhadap proposisi itu menjadi lebih tinggi tingkatannya? Jika “ya” maka proposisi tersebut dibentengi. (Bentengnya adalah sembarang bentuk bahasa dalam aslinya yang harus diubah untuk meningkatkan komitmen.)’

Kriteria ini menonjolkan komitmen penulis sebagai unsur utama untuk menentukan ada-tidaknya bentuk lingual pembentengan di dalam sebuah kalimat. Hal ini wajar mengingat Crompton (1997), sejalan dengan Hyland (1996a), menganggap pembentengan sebagai bagian dari modalitas epistemis sebagaimana didefinisikan oleh Lyons (1977: 797). Crompton (ibid.: 281) mendefinisikan bentuk pembentengan sebagai “an item of language which a speaker uses to explicitly qualify his/her lack of commitment to the truth of the proposition he/she utters” ‘suatu butir bahasa yang digunakan oleh seorang penutur untuk menyatakan kurangnya komitmen penutur terhadap kebenaran proposisi yang diucapkannya’. Kriteria di atas tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam penelitian ini karena pembentengan dalam penelitian ini dianggap sebagai strategi untuk mengungkapkan bukan hanya tingkat komitmen penulis melainkan juga tentatifitas dan/atau ketidakpastian proposisi yang disampaikan oleh penulis. Oleh sebab itu, diperlukan kriteria tersendiri untuk menentukan kehadiran sebuah bentuk pembentengan dalam sebuah proposisi. Pendekatan semantis-pragmatis digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi apakah sebuah ungkapan dapat dikategorikan sebagai bentuk pembentengan atau tidak. Artinya, sebuah ungkapan yang berpotensi digunakan sebagai bentuk pembentengan ditentukan berdasarkan isi semantis dan pragmatis proposisi di mana ungkapan tersebut ditemukan yang dapat ditafsirkan dari konteks

pemakaian kalimat tersebut. Dengan kata lain, dalam penelitian ini sebuah ungkapan dalam suatu proposisi dianggap sebagai bentuk pembentengan apabila parafrasa atas proposisi tersebut tidak mengubah isinya, namun tingkat komitmen penulis terhadap proposisi tersebut menjadi lebih tinggi, atau tingkat tentatifitas dan/atau ketidakpastian informasi tersebut berkurang atau bahkan menjadi tidak ada sama sekali. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan beberapa contoh identifikasi bentuk pembentengan.

(15) (…) but our results may not be generalizable to samples of large firms with a rich information environment or small, neglected firms. (EE07D) “(…) tetapi hasil-hasil penelitian kami mungkin tidak dapat digeneralisasikan pada sampel firma-firma besar dengan lingkungan informasi yang kaya atau firma-firma kecil yang terabaikan.”

(16) DeCapua and Huber (1995: 128) argue that “advice is perhaps one of the most ubiquitous speech acts precisely because it is often an integral part of normal conversational interaction.” (HE04I)

“DeCapua dan Huber (1995: 128) berargumentasi bahwa “nasihat mungkin merupakan salah satu tindak tutur yang paling banyak ditemukan di mana tepatnya karena seringkali nasihat merupakan bagian tak terpisahkan dari interaksi percakapan pada umumnya.”

(17) Finally, we suggest that understanding organizational change requires closer investigation of OI, OL, leadership, organizational culture and their interplays. (EE02D)

“Akhirnya, kami menunjukkan bahwa memahami perubahan organisasi membutuhkan penelitian lebih mendalam mengenai OI, OL, kepemimpinan, budaya organisasi dan keterkaitannya.”

Dalam contoh (15) di atas, pemakaian kata may dalam klausa tersebut mengungkapkan ketidakpastian penulis tentang mungkin-tidaknya hasil penelitian mereka digeneralisasikan di luar sampel yang mereka teliti. Penggantian ungkapan

may (…) be dengan kata are akan meninggikan tingkat kepastian penulis terhadap proposisi yang terdapat dalam klausa tersebut. Oleh karena itu, may dalam contoh (15) dapat dikategorikan sebagai bentuk pembentengan. Dalam contoh (16), pemilihan verba argue oleh penulis artikel untuk melaporkan pernyataan DeCapua dan Huber mengungkapkan bahwa penulis tidak ingin berkomitmen terhadap kebenaran pernyataan DeCapua dan Huber tersebut. Apabila sebagai ganti argue, penulis menggunakan verba state, maka penulis dapat ditafsirkan setuju dengan kedua peneliti tersebut dan oleh karenanya dapat dianggap berkomitmen terhadap kebenaran proposisi yang terdapat dalam klausa terikat that “advice is perhaps one of the most ubiquitous speech acts precisely because it is often an integral part of normal conversational interaction.” Dengan demikian, verba argue dalam kalimat-kalimat seperti contoh (16) di atas dalam penelitian ini dapat digolongkan sebagai bentuk pembentengan meskipun beberapa peneliti tidak menganggapnya sebagai bentuk pembentengan (lihat, mis., Crompton, 1997; Sanjaya, 2013). Berbeda dengan argue dalam (16), verba suggest bersama-sama dengan pronomina persona pertama jamak we yang mengisi fungsi subjek dalam contoh (17) digunakan oleh penulis artikel untuk menandai bahwa proposisi yang terkandung dalam klausa terikat that lack of health insurance is associated with more use of informal services merupakan pandangan pribadi dan oleh karenanya masih berstatus tentatif. Penggantian verba tersebut dengan verba show bukan hanya akan meningkatkan komitmen penulis terhadap kebenaran proposisi yang terdapat dalam klausa terikat tersebut, melainkan juga akan menurunkan tingkat tentatifitas proposisi tersebut. Oleh sebab itu, seperti

halnya argue, verba suggest di sini juga dapat dianggap sebagai bentuk pembentengan.

Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dua lapis analisis perlu dilakukan terhadap data yang telah ditemukan. Dalam lapis pertama, data dianalisis berdasarkan ciri-ciri formal-lahiriah dari bentuk-bentuk pembentengan yang digunakan dalam artikel penelitian. Analisis ini dapat memberikan bukti empiris bagi sebuah kerangka pemikiran untuk menyingkirkan gagasan-gagasan impresionistik tentang kehadiran bentuk-bentuk tertentu yang kemungkinan ditemukan dalam karya tulis ilmiah. Selanjutnya dalam lapis kedua, data dianalisis secara pragmatis berdasarkan fungsi-fungsi serta motivasi pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian. Analisis ini dapat menunjukkan bahwa bentuk-bentuk kebahasaan memiliki makna yang terbatas dalam konteks tertentu dan sekaligus mengungkapkan adanya berbagai pilihan pragmatis maupun retoris yang dapat digunakan oleh penulis artikel (bdk. Hyland, 1998: 98-99). Untuk memahami pandangan “orang dalam” mengenai bagaimana mereka menggunakan dan menafsirkan bentuk-bentuk pengungkap pembentengan, Hyland (ibid.) menyarankan lapis ketiga, yaitu wawancara lisan bersama informan ahli mengenai penggalan-penggalan artikel terkait dengan pemakaian bentuk-bentuk pembentengan serta kemungkinan alasan-alasan yang melandasinya. Seperti telah di sebutkan sebelumnya, analisis data lapis ketiga ini tidak dilakukan dalam penelitian ini.

Selanjutnya, kalimat-kalimat yang telah memenuhi kriteria sebagaimana telah disebutkan di atas kemudian dianalisis dan diklasifikasikan pertama-tama berdasarkan bentuk leksikal maupun bentuk sintaktis-gramatikal pengungkap pembentengan yang terdapat di dalamnya, baik yang berupa kata, frasa, klausa maupun kalimat. Seperti terlihat dalam uraian dan contoh-contoh di atas, analisis data di sini dilakukan dengan menggunakan metode agih atau metode distribusi (Sudaryanto, 1993) beserta teknik-tekniknya seperti teknik lesap, teknik ganti dan teknik parafrasa. Selanjutnya, data diklasifikasikan berdasarkan fungsi bentuk pembentengan yang ditemukan di dalamnya. Analisis fungsi bentuk pembentengan dilakukan dengan menggunakan model pembentengan yang dibangun berdasarkan model Hyland (1996ab, 1998) dan Myers (1989).

Untuk memahami variasi pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah yang ditulis dalam bahasa Inggris, data dianalisis berdasarkan frekuensi pemakaian bentuk dan fungsi pembentengan yang ditemukan di dalamnya. Di samping itu, analisis akan dilakukan pula untuk mengkaji kemungkinan adanya variasi pemakaian pembentengan dalam berbagai bidang ilmu. Selanjutnya, data juga dianalisis untuk mengetahui distribusi pemakaian pembentengan dalam keempat bagian (pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan) dari artikel penelitian ilmiah.

Untuk menguji sejauh mana variasi pemakaian bentuk pembentengan dalam kelima bidang ilmu yang diteliti digunakan uji signifikansi chi-kuadrat, yaitu metode yang digunakan untuk membandingkan perbedaan antara frekuensi hasil pengamatan (frekuensi observasi) dan frekuensi yang diharapkan terjadi (frekuensi harapan).

Semakin kecil selisih antara frekuensi harapan dan frekuensi observasi, maka semakin besar kemungkinannya bahwa frekuensi observasi itu terjadi karena kebetulan. Sebaliknya, semakin besar selisih di antara keduanya, maka semakin besar pula kemungkinannya bahwa frekuensi observasinya tidaklah terjadi karena kebetulan melainkan karena faktor-faktor lain. Metode ini dipilih terutama karena telah banyak digunakan dalam linguistik korpus dan, menurut McEnery & Wilson (2001: 84), memiliki keunggulan sebagai berikut: (a) lebih sensitif dibandingkan, misalnya, uji-t; (b) tidak mengasumsikan datanya memiliki distribusi normal; dan tidak terlalu rumit untuk menghitungnya. Dalam penelitian ini penghitungan nilai chi-kuadrat maupun nilai probabilitas (nilai p atau nilai α) dilakukan dengan bantuan paket program Minitab 17. Nilai p di sini ditetapkan pada level p = 0,05, nilai yang umum digunakan dalam bidang linguistik (Gomez, 2002: 244; McEnery & Wilson, 2001: 85) maupun ilmu sosial (Sanjaya, 2013: 95). Nilai p, menurut Larson-Hall (2010: 48), adalah “the probability that we would find a statistic as large as the one we found if the null hypothesis were true” ‘probabilitas bahwa kita akan mendapatkan nilai statistik yang sama besarnya dengan nilai yang kita peroleh andaikata hipotesis nolnya benar’. Ini berarti bahwa nilai p di bawah 0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, sedangkan nilai p di atas 0,05 tidak.

Mengingat panjang artikel dalam masing-masing bidang ilmu yang diteliti berbeda-beda dalam hal hitungan jumlah kata, maka penghitungan jumlah token bentuk pembentengan yang digunakan dalam artikel penelitian dilakukan bukan berdasarkan frekuensi mentah atau absolut bentuk pembentengan yang ditemukan dalam artikel, melainkan berdasarkan frekuensi yang telah di‘normalisasi’kan agar

jumlah hasil penghitungannya dapat diperbandingkan. Yang dimaksudkan dengan normalisasi di sini adalah “a way to convert raw counts into rates of occurences, so that the scores from texts of different lengths can be compared” (Biber & Jones, 2009: 1299) ‘suatu cara untuk mengkonversi jumlah hitungan mentah menjadi angka kemunculan sehingga nilai dari teks dengan panjang yang berlain-lainan dapat dibandingkan’. Normalisasi jumlah bentuk pembentengan yang ditemukan dalam KARPING dilakukan per 10.000 kata dengan menggunakan formula berikut:

Frekuensi mentah x 10.000 Frekuensi normal =

Jumlah kata

Sebagai contoh, apabila dalam sebuah artikel dalam bidang ekonomi yang terdiri dari 7.818 kata (EE01) ditemukan sebanyak 150 bentuk pembentengan, maka frekuensi normalnya adalah 150 dikalikan 10.000 dibagi 7.818 sama dengan 191.9 (dengan pembulatan sampai satu desimal). Seperti halnya dalam Pho (2013), nilai konstan 10.000, bukan 1.000 (lihat, mis., Hyland, 1998; Varttala, 2001), dipilih dalam penelitian ini terutama untuk menghindari frekuensi harapan yang terlalu rendah sehingga uji chi-kuadratnya menjadi tidak andal. McEnery & Wilson (2001: 83-4) berpendapat bahwa tidaklah begitu penting berapa nilai konstan yang kita pilih. Yang lebih penting adalah menunjukkan berapa nilai konstan yang ditentukan.

Dokumen terkait