• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. METODE PENELITIAN 1 Penelitian Pendahuluan

4. Metode Analisis

a. Berat jenis (BSN, 1998a)

Susu dihomogenkan dengan sempurna (dituangkan dari gelas piala satu ke gelas piala lainnya), kemudian dengan hati-hati dituangkan ke dalam tabung tanpa menimbulkan buih. Laktodensimeter dicelupkan ke dalam susu dalam tabung tadi dengan hati-hati, dibiarkan timbul dan ditunggu sampai diam. Skala yang ditunjukkan kemudian dibaca dan angka yang terbaca menunjukkan angka ke-2 dan ke-3 di belakang koma, sedangkan desimal ke-4 dikira-kira.

b. Bahan kering dan bahan kering tanpa lemak (BSN, 1998a)

Setelah angka kadar lemak dan BJ didapatkan, maka angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rumus :

BK = 1,311 x L + 2,738 -

Keterangan : BK = Kadar bahan kering L = Kadar lemak susu BJ = Berat jenis susu

Penetapan kadar bahan kering tanpa lemak berdasarkan rumus : BKTL = BK – L

Keterangan : BKTL = Bahan Kering Tanpa Lemak BK = Kadar Bahan Kering L = Kadar Lemak Susu

Hasil uji Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak susu dinyatakan dalam (%)

c. Penentuan pH (Apriyantono et al., 1989)

Sampel yang berbentuk larutan homogennya yang tidak terlalu pekat maka penetapan pH-nya dapat langsung, jika terlalu pekat maka harus diencerkan dulu (perhatikan faktor pengencer, untuk setiap sampel harus sama). Sedangkan untuk sampel kering dilakukan dengan metode ekstraksi. Sampel sebanyak 1 gram ditimbang dan

ditambahkan air 20 ml kemudian dikocok dengan stirer sampai basah semua, kemudian ditambahkan 50 ml air dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam. Tidak perlu disaring dan dibiarkan sampai terbentuk endapan, selanjutnya diukur pH supernatan sampel.

d. Kadar laktosa susu segar (Teles, 1978)

Susu 2 ml dipindahkan ke labu takar 100 ml dan diencerkan sampai tepat 100 ml. dicampurkan dengan baik. Sampel 2,5 ml yang telah diencerkan dalam tabung sentrifus, ditambahkan 2 ml ZnSO4, 0,2

ml BaOH 4,5 %. Sentrifus tabung dengan kecepatan 2500 rpm selama 15 – 30 detik atau 1000 rpm selama 1 menit. Supernatan sebanyak 1 ml dipindahkan ke tabung folin sugar blood dan ditambahkan reagen Teles serta ditutup kencang dengan penutup karet yang kering. Bagian tabung sebesar 4-6 cm dibenamkan dalam air mendidih selama 6 menit kemudian didinginkan secara cepat. Sampel dipindahkan ke 12,5 atau 25 ml air distilasi (tergantung kandungan laktosa dari sampel). Sampel dibolak-balik 6 kali agar tercampur. Absorbansinya dibaca pada 520 nm, untuk blankonya sampel diganti air 2,5 ml.

e. Kadar lemak (BSN, 1998a)

Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat dimasukkan ke dalam butirometer. Sebanyak 10,75 ml contoh susu dan 1 ml amil alkohol ditambahkan pula ke dalam butirometer. Urutan dari pemasukan bahan ke dalam butirometer harus runtut seperti cara di atas. Butirometer disumbat sampai rapat, kemudian dikocok sehingga bagian-bagian di dalamnya tercampur rata. Setelah terbentuk warna ungu tua sampai kecoklatan (terbentuk karamel), butirometer dimasukkan ke dalam sentrifus dan disentrifusi pada 1200 rpm selama 5 menit. Kemudian butirometer dimasukkan ke dalam penangas air dengan suhu 650 C selama 5 menit. Setelah itu, skala yang tertera pada butirometer dibaca. Skala tersebut menunjukkan kadar lemak.

f. Kadar protein (Castillo et al, 1962)

Sebanyak 10 ml sampel susu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml. Indikator PP 2 – 3 tetes dan 0,4 ml kalium oksalat ditambahkan pula ke dalam Erlenmeyer. Campuran dalam Erlenmeyer kemudian dititrasi dengan NaOH sampai warna merah muda. Formaldehid ditambahkan 2 ml. Warna larutan akan berubah dari merah jambu menjadi bening. Campuran dititrasi kembali dengan NaOH sampai warna berubah menjadi merah muda. Hasil akhir titrasi yang didapat kemudian dicatat (P). Blanko juga dititrasi dengan prosedur yang sama seperti titrasi sampel tetapi susu diganti dengan aquades. Hasil akhir titrasi yang didapat kemudian dicatat (Q).

Perhitungan = (P – Q) x faktor formol

Keterangan : faktor formol : susu sapi = 1.70 susu kerbau = 1.91 susu kambing = 1.95 g. Kadar abu (DSN, 1992)

Sebanyak 2-3 g sampel ditimbang dengan seksama ke dalam sebuah cawan porselen yang diketahui bobotnya, untuk sampel cairan diuapkan di atas penangas air sampai kering. Sampel diarangkan di atas nyala pembakar, lalu abukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 0C sampai pengabuan sempurna. Sampel didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang sampai bobot tetap.

Perhitungan : Kadar abu (%b/b) =W1- W2 x 100%

W

Keterangan : W= bobot contoh sebelum diabukan dalam gram

W1 = bobot contoh+cawan sesudah diabukan dalam gram

h. Total asam tertitrasi susu segar (AOAC, 1995)

Pengukuran total asam tertitrasi merupakan penentuan konsentrasi total asam. Pada susu segar total asam tertitrasi dihitung sebagai persen asam laktat. Pengukuran asam tertitrasi menggunakan prinsip asam basa. Sebanyak 10 ml sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 3 tetes indikator phenolphtalein 1%. Sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi sampai terbentuk warna merah muda yang merupakan titik akhir titrasi. Jumlah (volume) titran yang digunakan, normalitas basa standar, volume atau berat contoh digunakan untuk menghitung total asam tertitrasi.

Total asam laktat (%) = [(VNaOH x NNaOH x 90) : (Vsampel x 1000)] x 100

i. Angka lempeng total(Maturin dan Peller, 2001)

Pengenceran desimal disiapkan dengan pipet steril terpisah sampai sejumlah keperluan. Pengenceran dilakukan terhadap sampel sampai pengenceran yang telah dibuat. Pengenceran 1 ml hasil dipipet dan diduplikat serta cawan petri ditandai. Sebanyak 12 – 15 ml PCA ditambahkan pada tiap cawan 15 menit dari pengenceran aslinya. Agar dibiarkan memadat. Kemudian diinkubasi terbalik 48±2 jam pada 35°C. Setelah itu dihitung koloni yang tumbuh.

j. Total koliform metode solid (Feng et al., 2002)

Violet red bile agar (VRBA) disiapkan sesuai dengan instruksi pabrik kemudian didinginkan sampai suhu 48 0C sebelum digunakan. Sampel disiapkan, dihomogenisasi dan diencerkan sehingga koloni yang diisolasi dapat diperoleh di cawan nantinya. Sebanyak 1 ml dari setiap pengenceran dipindahkan ke cawan petri. VRBA 10 ml dituangkan ke dalam cawan, kemudian digoyang agar tercampur dan dibiarkan memadat. Untuk mencegah koloni permukaan dan sebar, agar padat dilapisi kembali dengan 5 ml VRBA dan dibiarkan memadat. Cawan kemudian diinkubasi terbalik selama 18-24 jam pada

suhu 35 0C. Koloni yang dihitung adalah yang berwarna merah-ungu berukuran 0,5 mm atau lebih besar. Cawan harus memiliki 25-250 koloni. Koliform dikonfimasi dengan mengambil sedikitnya 10 perwakilan koloni dan dipindahkan dalam BGLBB. Kemudian diinkubasi pada 35 0C dan diperiksa terdapat gas atau tidak setelah 24- 48 jam.

k. Totalkoliform metode MPN(Feng et al., 2002)

Sampel ditimbang untuk diencerkan dalam pengenceran 1:10 secara aseptis. Pengenceran desimal kemudian disiapkan dengan pengencer Butterfield’s fosfat steril. Jumlah pengenceran yang disiapkan tergantung dari densitas koliform yang diantisipasi. Suspensi divortex dan dipindahkan sebanyak 1 ml bagian ke 3 tabung LSTB untuk setiap pengenceran sedikitnya 3 pengenceran berurutan. Penyiapan sampai inokulasi ke media yang dituju tidak lebih dari 15 menit. Inkubasi tabung LSTB pada suhu 350C. Tabung diperiksa dan reaksi dicatat pada 24±2 jam untuk gas. Tabung yang negatif diinkubasi kembali untuk tambahan 24 jam dan reaksi diperiksa serta dicatat kembali sampai 48±2 jam. Uji konfirmasi dilakukan terhadap tabung LSTB yang positif.

Uji konfirmasi untuk koliform :

Untuk setiap tabung LSTB bergas, seose suspensi dipindahkan ke dalam tabung BGLBB. Tabung BGLBB dinkubasi pada 35 0C dan diperiksa untuk produksi gas pada 48±2 jam. MPN dari koliform dihitung berdasarkan proporsi dari tabung LSTB yang positif untuk 3 pengenceran berurutan.

l. Kelarutan (Nuraini, 2001)

Sampel susu bubuk (a gram) dilarutkan dalam air bersuhu 40oC dengan konsentrasi 5%. Larutan kemudian diaduk secara kontinyu selama 20 menit. Larutan disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot tetapnya. Kertas saring dan bagian sampel yang tidak lolos saringan dioven selama satu jam pada suhu 105 oC. Bobot sampel

yang tidak tersaring (b gram) diperoleh dari selisih bobot kertas saring akhir dan bobot kertas saring awal.

x 100 %

m. Total asam tertitrasi susu bubuk (Apriyantono et al., 1989)

Sebanyak 10 gram larutan dari persiapan sampel dilarutkan menjadi 250 ml dalam labu takar. Kemudian dititrasi dengan NaOH 0,1 M dan indikator Phenolphtalein (0,3 ml PP untuk 100 ml larutan yang dititrasi). Hasilnya dinyatakan sebagai ml NaOH 0,1 M/100 g atau 100 ml bahan. Nilai persen asam laktat diperoleh dengan acuan dasar 1 ml NaOH 0,11 N = 0,01 g asam laktat dalam 100 ml susu (Robinson, 1999).

n. Pengukuran warna metode Hunter Lab (Sopian, 2005)

Pengukuran warna dilakukan dengan alat chromameter. Sampel diletakkan pada cawan petri dengan alas putih. Sampel diratakan sampai seluruh permukaan tertutup sampel. Pengukuran dilakukan pada dua posisi yang berbeda dan dua kali untuk tiap sampel. Pengukuran menghasilkan nilai Y, x, y, L, a, b, Hue, dan C. Dalam pengukuran ini dipakai parameter sistem Hunter L, a, b. L menyatakan kecerahan sampel (warna akromatis dari hitam mutlak dengan nilai 0 sampai putih mutlak dengan nilai 100). Parameter a menunjukkan campuran merah hijau ( a+ = 0 – 100 untuk warna merah, a- = 0 – (- 80) untuk warna hijau). Parameter b menunjukkan campuran biru kuning (b+ = 0 - 70 untuk warna kuning, b- = 0 – ( -70) untuk warna biru).

o. Nilai Hue (Kristie, 2008)

Nilai Hue didapatkan dari rumus Hue = arctan (b/a).

Intepretasi dari bola imajiner Munsell : merah (150– 470 kuadran I), kuning-merah (470– 800 kuadran I), kuning (800 kuadran I – 170 kuadran II), hijau-kuning (170– 560 kuadran II), hijau (560– 850

kuadran II), biru-hijau (850 kuadran II- 300 kuadran III), biru (300– 760 kuadran III), ungu biru (760 kuadran III – 310 kuadran IV), ungu (310– 660 kuadran IV), merah-ungu (660 kuadran IV – 140 kuadran I).

p. Kadar laktosa susu bubuk (Mistry dan Pulgar, 1996) Laktosa dihitung dengan by difference :

% Laktosa = % Total Padatan - (% Protein + % Lemak+ % Abu) q. Kadar Protein Metode Kjeldahl-mikro (Apriyantono et al., 1989)

Sejumlah kecil sampel ditimbang (kira-kira akan membutuhkan 3- 10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N). Sampel dipindahkan ke dalam labu Kjedhl 30 ml dan ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan

2,0±0,1 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg ditambahkan 0,1 ml

H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Beberapa butir

batu didih ditambahkan ke dalam labu Kjedahl. Sampel didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Campuran didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian ini dipindahkan ke dalam alat distilasi. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (Campuran 2 bagian metil

merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0,2 % dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak 9-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 ditambahkan kemudian distilasi dilakukan sampai

tertampung kira–kira 15 ml destilat dalam Erlenmeyer. Tabung kondenser dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam Erlenmeyer yang sama. Isi Erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penetapan blanko juga dilakukan.

Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus :

% Nitrogen = (HCl – Blanko) ml x N HCl x 14,007 x 100 mg sampel

q. Kadar air (DSN, 1992)

Sebanyak 1-2 g cuplikan ditimbang dengan seksama pada sebuah botol timbang bertutup yang sudah diketahui bobotnya. Untuk contoh berupa cairan, botol timbang dilengkapi dengan pengaduk dan pasir kwarsa/ kertas saring berlipat. Sampel dikeringkan pada oven suhu 105

0

C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam eksikator. Hasilnya ditimbang dan pekerjaan ini diulangi hingga diperoleh bobot tetap.

Perhitungan :

Kadar air (%) = W/W1 x 100

W= bobot cuplikan sebelum dikeringkan dalam gram W1= kehilangan bobot setelah dikeringkan dalam gram r. Total padatan (AOAC, 1995)

Total padatan ditentukan dengan menimbang sampel susu, mengeringkan susu, dan menimbang residu susu kering. Sampel dikeringkan semalam di dalam oven suhu 100±10C. Kandungan total padatan adalah berat dari residu susu yang dikeringkan dan diekspresikan dalam bentuk % dari berat susu bubuk aslinya. Pelaksanaan metodenya disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Perhitungan :

Total Padatan (%) = (W2-W)/(W1-W) x 100 Keterangan : W = berat cawan

W1 = Berat cawan + sampel susu W2 = Berat cawan + susu kering

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

1. Karakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi susu kambing segar serta menentukan lamanya waktu evaporasi susu kambing. Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat fisik pada susu kambing segar adalah berat jenis, berat kering, berat kering tanpa lemak, dan pH. Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil analisis sifat fisik susu kambing segar

Parameter Fisik Sampel Literatur Jurnal SNI 3) Berat jenis susu 1,030±0,001 1,028 -1,0301)

Minimal 1,028 Bahan kering (%bb) 15,42±0,29 13,572)

- Bahan kering tanpa

lemak (%bb) 9,70±0,10 8,37 – 10,45

3)

Minimal 8,0

pH 6,78±0,04 6,7 – 6,91) -

Keterangan :

1) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006) 2) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008) 3) Kambing saanen dan toggenberg (Lytghoe, 1940) 4) Susu segar (BSN, 1998b)

Berat jenis susu kambing yang didapatkan dari pengukuran adalah sebesar 1,030 (Lampiran 1). Berat jenis yang sama juga didapatkan dalam penelitian Sukarini (2006) dan berada di atas jumlah berat jenis yang terdapat dalam SNI yaitu sebesar 1,028 (Tabel 4). Berat jenis menunjukkan perbandingan relatif antara massa jenis susu dengan massa jenis air murni. Berat jenis susu dapat mengalami perubahan dari saat pemerahannya karena adanya penggumpalan lemak, gas-gas yang keluar dari air susu, dan perubahan-perubahan protein (Ressang dan Nasution, 1986).

Susu mengandung banyak air yakni 7/8 beratnya terdiri dari air, 1/8 terdiri dari bahan kering. Bahan kering memiliki kaitan erat dengan kadar

lemak dan berat jenis. Susu yang memiliki kadar bahan kering yang tinggi umumnya juga memiliki kadar lemak dan berat jenis yang tinggi pula (Ressang dan Nasution, 1986). Bahan kering dan bahan kering tanpa lemak yang didapat pada penelitian ini merupakan hasil perhitungan dengan Rumus Fleischmann (BSN, 1998a) masing-masing nilainya sebesar 15,42 % dan 9,70 % (Lampiran 2; Lampiran 3). Bahan kering menunjukkan nilai di atas nilai yang didapatkan oleh Ceballos et al. (2008) pada Tabel 4. Bahan kering tanpa lemaknya sesuai nilai yang didapatkan Lythgoe (1940), namun berada di atas nilai minimum yang ditetapkan di dalam SNI (Tabel 4). Hal ini juga sebagai bukti keterkaitan antara bahan kering tanpa lemak dan berat jenis karena keduanya memiliki nilai di atas nilai minimum SNI. Nilai pH yang didapatkan dari sampel sebesar 6,78 (Lampiran 4). Angka ini sesuai dengan rentang pH yang didapatkan oleh Sukarini (2006) yaitu antara 6,7 – 6,9 (Tabel 4). Sementara SNI tidak memberikan batasan pH tertentu untuk susu segar.

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat kimia susu kambing adalah kadar laktosa, kadar lemak, kadar protein, kadar air, kadar abu, total asam tertitrasi (TAT). Hasil yang didapatkan terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis sifat kimia susu kambing segar

Parameter Kimia Sampel Literatur Jurnal SNI4)

Kadar laktosa (%bb) 7,48±0,25 4,111) -

Kadar lemak (%bb) 5,7±0,4 5,231) 3,44 – 4,862)

Minimal 3,0 Kadar protein (%bb) 2,78±0,21 2,93 – 3,652) Minimal 2,7

Kadar abu (%bb) 0,79±0,02 0,751) -

TAT (asam laktat) (%bb) 0,46±0,06 1.353) - Keterangan :

1) Kambing granadina (Ceballos et al., 2008) 2) Kambing peranakan etawah (Sukarini, 2006) 3) Tidak disebutkan jenisnya (Imran et al., 2008) 4) Susu segar (BSN, 1998b)

Dibandingkan literatur, kadar laktosa yang didapatkan dari hasil analisis sampel menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 7,48 % (bb) (Lampiran 5). Hal ini mungkin disebabkan dua hal yaitu perbedaan metode analisis terhadap kadar laktosa dan jenis kambing yang berbeda. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode cepat yang dikembangkan Teles (1978), sementara Ceballos et al. (2008) menggunakan metode by difference (Tabel 5). Sedangkan, SNI tidak mensyaratkan angka tertentu untuk kadar laktosa.

Lemak yang didapatkan dari hasil analisis sampel memiliki kadar 5,7 % (bb) (Lampiran 6). Ceballos et al. (2008) mendapatkan kadar lemak mendekati hasil analisis, yakni sebesar 5,23 %. Sementara Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di bawah hasil analisis kadar lemak dalam penelitian ini (untuk jenis kambing yang sama) yaitu 3,44 – 4,86 (Tabel 5). Hal ini diduga akibat jenis pakan yang dikonsumsi berbeda. Menurut Ressang dan Nasution (1986) kadar lemak ini sangat berarti dalam penentuan nilai gizi susu. Lemak ini ditemukan di dalam air susu sebagai emulsi.

Hasil analisis kadar protein yang terkandung dalam sampel adalah sebesar 2,78 % (bb) (Lampiran 7). Dibandingkan dengan SNI nilai ini sangat dekat dengan nilai minimum yang disyaratkan yaitu 2,7 % (Tabel 5). Sukarini (2006) mendapatkan rentang nilai di atas nilai kadar protein yang didapatkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 2,93 – 3,65 % (Tabel 5).

Kadar abu hasil analisis menunjukkan hasil sebesar 0,79 % (bb) (Lampiran 8). Hasil ini hanya berbeda 0,04 % dari hasil penelitian Ceballos et al. (2008) yaitu sebesar 0,75 % (Tabel 5). Kadar abu menunjukkan kandungan mineral total yang terdapat dalam susu kambing segar. Hasil analisis total asam tertitrasi pada susu segar dinyatakan dalam persen asam laktat. Total asam tertitrasi yang didapatkan pada susu kambing segar adalah sebesar 0,46% (bb) (Lampiran 9). Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan yang didapatkan oleh Imran et al. (2008) untuk susu kambing yaitu 1.35 % (Tabel 5). Asam laktat pada susu umumnya

akan meningkat dengan adanya perombakan laktosa oleh mikroorganisme untuk kebutuhan pemenuhan nutriennya (Robinson, 1999).

Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat mikrobiologi susu kambing adalah angka lempeng total (ALT) dan total koliform. Adapun hasil analisis ALT dan total koliform pada sampel susu kambing segar terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sifat mikrobiologi susu kambing

Parameter Mikrobiologi Jumlah SNI1)

Angka lempeng total 1,6 x 104 cfu/ml Maksimum 106 cfu/ml Totalkoliform 1,3 x 103 cfu/ml 20 cfu/ml Keterangan : 1) Susu segar (BSN, 1998b)

Analisis angka lempeng total menunjukkan jumlah keseluruhan bakteri yang terdapat dalam susu segar. Nilai yang didapatkan sebesar 1,6 x 104 cfu/ml (Lampiran 10). Nilai ini lebih rendah dari persyaratan maksimum yang ditetapkan SNI (Tabel 6). Sementara uji terhadap total koliform menunjukkan nilai yang jauh lebih tinggi dari syarat maksimum SNI (Tabel 6) mencapai 1,3 x 103 cfu/ml (Lampiran 11). Hal ini terjadi diduga akibat higienitas yang kurang baik dan cemaran koliform yang telah ada dalam air yang digunakan untuk keperluan di peternakan. Menurut Walstra (1999) pengukuran higienitas yang dilakukan selama dan setelah pemerahan penting untuk menentukan mikroorganisme apa yang mencemari susu termasuk yang patogen bagi manusia. Cemaran koliform dapat berasal dari hewan, tanah, kotoran, debu, pakan, alat perahan, air yang digunakan, dan pemerahnya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa berdasarkan parameter fisik, kimia, dan mikrobiologi pada susu kambing segar jika dibandingkan dengan syarat mutu susu segar menurut SNI (BSN, 1998b) maka dapat disimpulkan bahwa susu kambing segar yang diperoleh telah memenuhi syarat mutu susu segar kecuali untuk parameter total koliform.

2. Penentuan lamanya waktu evaporasi

Penentuan lamanya waktu evaporasi didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi (2005) bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai total padatan total sebesar 36% adalah 20 menit pada suhu 500C. Namun, tidak disebutkan berapa volume sampel yang digunakan untuk percobaan penentuan waktu evaporasi sehingga percobaan dilakukan dengan metode trial and error, dimulai dengan lama waktu evaporasi 20 menit sampai didapatkan padatan total yang diharapkan. Pada tahap awal dilangsungkan selama 40 menit dengan pengambilan contoh per 10 menit. Adapun hasil percobaan terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Waktu dan persen padatan total dalam penentuan lama waktu evaporasi

Waktu (menit) Total padatan (%)

0 11

20 13

30 16

40 19

Hasil percobaan awal menunjukkan bahwa sampai waktu evaporasi 40 menit pada suhu 50 0C didapatkan padatan total 19 % (Tabel 7). Namun ini belum mencapai padatan total yang diharapkan menurut Juliawati (1999) yaitu antara 30 – 50 %. Oleh karena itu selanjutnya digunakan metode yang didasarkan pada besarnya volume uap air yang terkondensasi dalam tabung penampung air pada evaporator. Kondensat yang harus tertampung dalam tabung penampung air diperkirakan 3,8 liter untuk menghasilkan padatan total mencapai 30 % dari 6000 ml susu kambing. Hal ini didasarkan pada padatan total awal 11%. Namun dalam proses penanganan kemudian, susu yang benar-benar dapat dimasukkan dalam evaporator adalah sebesar 5690 ml, sehingga total air tertampung yang diharapkan adalah sebesar 3,6 liter. Hasil percobaan menunjukkan bahwa

untuk mencapai 3,6 liter kondensat dengan padatan total 30% dibutuhkan waktu 51 menit seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Interval waktu jalannya mesin dan jumlah air yang tertampung di tabung penampung kondensat

Interval waktu (menit ke-) Kondensat (ml)

0 - 23 2500

28 – 38 400

41 – 51 500

54 – 72 200

`

Kondisi optimasi yang diperoleh belumlah ideal karena mesin evaporator diberhentikan selama 4 kali untuk melihat perkembangan air yang tertampung. Oleh karena itu pada proses optimasi akhir, waktu yang digunakan adalah 60 menit. Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa untuk mencapai total padatan 30 % dengan jumlah sampel sebelumnya sebesar 5690 ml dibutuhkan waktu 51 menit sehingga dengan jumlah sampel 6000 ml untuk mencapai total padatan 30% tentunya dibutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan data pada Tabel 8, untuk menguapkan 400 ml dibutuhkan waktu sekitar 10 menit sehingga perkiraan yang mungkin untuk 6000 ml adalah ±60 menit.

Setelah dilakukan percobaan ulang dengan sampel 6000 ml pada suhu 500C dan waktu 60 menit didapatkan kondensat yang tertampung hanya sebesar 3.3 liter. Jumlah tersebut di bawah volume percobaan sebelumnya, sehingga karena alasan inilah kemudian ditambahkan waktu evaporasi selama 20 menit untuk mencapai kondensat total yang diharapkan yaitu 3,8 liter. Hasil akhir menunjukkan bahwa dengan total waktu 80 menit, total padatan yang didapatkan adalah 45 %. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Juliawati (1999).

B. PENELITIAN UTAMA 1. Tahap I

Penelitian utama tahap I diawali dengan pembuatan produk susu kambing bubuk dari sampel yang sama, melalui proses pasteurisasi (63-65

0

C, 30 menit) kemudian evaporasi, homogenisasi dan pengeringan dengan pengering semprot dengan pengaturan suhu inlet 180 0C dan suhu outlet

yaitu 80, 90, dan 100 0C. Pengering semprot yang digunakan adalah jenis pengering semprot simple vertical downward co-current with straight line flow dimana aliran udara searah dengan aliran bahan. Efek yang dihasilkan dari suhu outlet-nya akan berbeda jika digunakan pengering semprot jenis lainnya. Susu kambing bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan kelarutan, pH, TAT, dan warna. Hasil analisis dipilih yang terbaik dan dikarakterisasi sifat fisik, kimia, dan mikrobiologinya.

a. Kelarutan, TAT, dan pH

Kelarutan adalah suatu ukuran dari kondisi akhir dimana unsur pokok dari bubuk dapat dibawa dalam larutan atau suspensi yang stabil (Fox, 1992). Nilai yang didapatkan dari hasil analisis kelarutan pada pengaturan suhu outlet 80, 90, dan 100 0C masing-masing sebesar 75,43 %, 84,63%, dan 75,08% (Lampiran 12). Kelarutan paling tinggi yang didapat dalam penelitian ini adalah pada pengeringan dengan suhu outlet 90 0C yaitu sebesar 84,63 % (Gambar 5). Berdasarkan hasil uji ragam ternyata nilai P<0,05 sehingga H0 ditolak atau dengan kata lain ada pengaruh nyata dari

suhu outlet terhadap kelarutan susu kambing bubuk yang dihasilkan (Lampiran 16). Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan maka diketahui bahwa kelarutan yang dihasilkan pada pengeringan dengan suhu 90 0C berbeda nyata dengan suhu outlet 80 0C dan 100 0C (Lampiran 16). Kelarutan yang terdapat pada susu kambing bubuk hasil pengeringan dengan suhu outlet

80 0C dan 100 0C keduanya tidak berbeda nyata dengan nilai P>0,05 (Lampiran 16) .

Keterangan: Angka dengan huruf berbeda pada grafik batang menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Gambar 5. Kelarutan susu kambing bubuk hasil pengeringan

Kelarutan merupakan parameter fisik utama yang dijadikan penentu

Dokumen terkait