• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5.1 Perancangan Model Sistem Dinamis untuk Analisis Usaha Perikanan

Untuk dapat menjamin sistem usaha perikanan yang menguntungkan secara berkelanjutan, harus ada keseimbangan antara stok sumberdaya ikan dengan tingkat upaya penangkapan yang dilakukan. Tingkat upaya penangkapan di suatu daerah penangkapan ikan bersifat dinamis, yang berdampak pada stok ikan juga akan mengalami perubahan secara dinamis. Kegiatan usaha akan dapat optimal

dan memberikan keuntungan berkelanjutan, jika upaya penangkapan berada pada

suatu keadaan keseimbangan MEY (maximum economic yield).

Sushil (1993) menyatakan, model sistem dinamis merupakan gambaran dari sistem nyata yang dapat digunakan untuk mempelajari tingkah laku sistem pada pengujian dengan berbagai kondisi. Model mengorganisasikan struktur, alur informasi dan kebijakan dari sistem ke dalam model komputer berdasarkan pada struktur ketidakpastian, yang merupakan umpan balik sebab-akibat dalam sistem. Representasi dapat dilakukan melalui simulasi komputer untuk mempelajari tingkah laku sistem dan dilakukan manipulasi perubahan kebijakan untuk dapat melihat atau memperbaiki tingkah laku sistem. Pembuatan model sistem dinamis terdiri dari dua tahap utama yaitu: 1) bagian konsep dan 2) bagian teknik.

1) Bagian konsep

Bagian konsep merupakan bagian permodelan untuk dapat menjustifikasi permasalahan dan identifikasi model. Struktur dasar model yang terbentuk, akan

tergantung pada experience manajer dan justifikasi dari kondisi permasalahan.

Experience dan justifikasi diperlukan untuk menyusun struktur uji coba model. Bagian konsepsi meliputi beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu:

(1) Identifikasi dan definisi sistem

Upaya untuk mengidentifikasi situasi masalah yang relevan merupakan bagian yang sangat krusial dalam pembuatan model sistem dinamis. Identifikasi terhadap situasi masalah penting untuk dapat menganalisis secara mendalam terhadap kondisi masalah yang dihadapi. Berbagai pendekatan dapat dilakukan

diantaranya yaitu, pemeriksaan formal secara rutin, brainstorming, perencanaan

kebijakan secara berkala, pemeriksaan kebijakan maupun formulasi kebijakan yang baru. Hal-hal penting dalam menganalisis situasi masalah adalah: (a) data atau catatan latar belakang yang dapat memberikan gambaran permasalahan; (b) identifikasi isu-isu; (c) mendefinisikan perilaku dinamis seperti pertumbuhan, stabilitas, siklus fluktuasi, dan lain-lain; (d) mendefinisikan ruang lingkup studi sebagai batasan model; serta (e) mengumpulkan dan menyajikan data yang relevan dengan situasi masalah. Hasil identifikasi dan definisi sistem adalah data, informasi dan catatan-catatan penting sebagai basis permodelan.

(2) Konsepsualisasi sistem

Sistem dinamis menawarkan metode permodelan yang fleksibel, dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna dan situasi masalah yang dihadapi. Sistem dinamis memberikan kebebasan kepada pemodel untuk memilih dan mendesain tujuan yang akan dicapainya melalui pendekatan yang disajikan dalam bentuk matematika terhadap situasi masalah yang dihadapinya. Pemodel dapat melakukan pemrosesan secara fleksibel dan dapat menggunakan berbagai

kombinasi diagram yaitu subsistem diagram, policy structure diagram, diagram

sebab akibat dan diagram alir (flow diagram).

(3) Model simulasi

Suatu model yang memuaskan perlu divalidasi melalui pengujian-pengujian. Pengujian atau simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi model pada model sistem dinamik bertujuan untuk dapat memahami gejala, perilaku atau proses, membuat analisis dan peramalan perilaku sistem di masa depan. Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap pembuatan model komputer, pemrograman komputer, simulasi dan validasi hasil simulasi.

2) Bagian teknik

Bagian teknik merupakan bagian penerapan model. Model dapat digunakan untuk melakukan analisis perilaku sistem melalui simulasi. Analisis kebijakan dilakukan dengan mensimulasi berbagai kebijakan dan bagaimana dampaknya terhadap sistem. Evaluasi terhadap model perlu dilakukan untuk dapat melihat validitas model terhadap berbagai perubahan situasi dan kedinamisan lingkungan.

2.5.2 Analisis Pelabuhan Perikanan: Fungsionalitas dan Aksesibilitas

Pelabuhan perikanan sebagai pusat kegiatan industri perikanan mensyaratkan tingkat aksesibilitas yang baik, untuk memudahkan suplai bahan baku bagi keperluan operasi penangkapan ikan, distribusi dan pemasaran hasil tangkapan serta komunikasi dengan dunia luar. Sebagai sarana penunjang kegiatan perikanan, pelabuhan perikanan diharapkan dapat berfungsi dengan baik sehingga dapat turut mendorong kemajuan bidang perikanan.

Menurut Vigarié (1979) diacu dalam Lubis (1989), ada tiga komponen yang

harus diperhatikan dalam menganalisis suatu pelabuhan umum yakni avant pays

marin (foreland), port de pêche (fishing port) dan arrière-pays terrèstre

(hinterland) yang disebut tryptique portuaire. Selanjutnya menurut Lubis (2006), secara geografis dalam perencanaan pelabuhan perlu dianalisis terhadap tiga

elemen yaitu foreland, pelabuhan perikanannya itu sendiri dan hinterland.

Foreland berkaitan dengan fishing ground atau daerah penangkapan, sedangkan

hinterland berkaitan dengan daerah konsumen atau hilir dari pelabuhan .

Ismail (2005) juga menyatakan, pembangunan pelabuhan perikanan harus didasarkan pada berbagai pertimbangan, agar pelabuhan yang dibangun dapat berfungsi dengan baik dan memberikan manfaat yang sepadan dengan besarnya investasi yang ditanamkan. Pertimbangan tersebut diantaranya yaitu: (a) faktor

kedekatan dengan daerah penangkapan (forward linkages), dan (b) aksesibilitas

pasar (backward linkages).

Lubis (2006) juga menyatakan, apabila perlu diseleksi terhadap beberapa calon pelabuhan perikanan yang ada, maka perlu dilakukan beberapa persyaratan yang lebih khusus, antara lain:

1) Jarak calon pelabuhan terhadap fishing ground.

Apabila lokasi tersebut diperuntukkan bagi perikanan semi industri maupun perikanan industri, maka kedekatan lokasi tidak diperlukan, sebaliknya jika diperuntukkan untuk perikanan tradisional maka lokasi pelabuhan harus relatif dekat dengan daerah penangkapannya disamping juga dekat dengan

pemukiman nelayan karena fishing trip relatif pendek.

2) Secara geografis, posisi lokasi tersebut cukup baik terhadap potensi pasar

yang ada maupun untuk rencana pengembangan pasar.

3) Mempunyai prasarana jalan yang baik menuju daerah konsumen dan terdapat

fasilitas infrastruktur lainnya seperti listrik, sumber air bersih dan sarana telekomunikasi.

4) Alur masuk cukup lebar dan kolam labuh cukup terlindung baik secara alami

maupun buatan agar kapal-kapal dapat berlabuh dengan aman.

5) Secara fisik-teknik, lokasi tersebut tidak memerlukan pembiayaan yang

contoh di lokasi tersebut diharapkan sedimentasi dan litoral drift yang ada sekecil mungkin.

6) Terdapat lahan yang cukup untuk rencana pengembangan pelabuhan yang ada

dan apabila diperlukan pembebasan lahan, maka harga lahan tersebut tidak mahal dan sesuai dengan rencana tata ruang daerah atau dengan kata lain, lokasi tersebut sesuai dengan rencana pengembangan wilayah.

Berdasarkan pemahaman terhadap konsep pembangunan pelabuhan perikanan seperti tersebut di atas, ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan pelabuhan perikanan. Ketiga aspek tersebut yaitu: 1) faktor

keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages); 2) aspek teknis pelabuhan,

dan 3) keterkaitan dengan aksesibilitas pasar (backward linkages).

2.5.3 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan Perikanan

Peraturan perundang-undangan sangatlah penting dalam pengembangan perikanan, karena hukum atau peraturanlah yang akan menentukan aturan main dalam pelaksanaan pengembangan perikanan. Analisis kebijakan atau peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk mengkaji sampai seberapa jauh tingkat efektivitas kebijakan atau hukum/peraturan perikanan yang ada, mampu berperan dalam mendorong pengembangan perikanan. Ada tiga pendekatan yang dapat

dilakukan, yaitu berdasarkan pada struktur hukum (legal sructure), mandat hukum

(legal mandate), dan penegakan hukum (legal enforcement). Berdasarkan struktur hukum, sistem perundang-undangan haruslah terdapat kesalinghubungan antara yang ada di level bawah dengan yang ada di level atas, kesalinghubungan antara tujuan pengelolaan sumberdaya dengan strategi dan petunjuk pelaksanaan untuk pencapaian tujuan. Berdasarkan mandat hukum, peraturan perundang-undangan harus jelas mendeskripsikan kepada siapa mandat hukum diberikan. Penegakan hukum merupakan pilar utama untuk menegakkan kebijakan atau peraturan. Keterpaduan sistem perundang-undangan perlu dibangun untuk dapat menjamin terlaksananya pengelolaan secara optimal, efisien dan efektif (Purwaka 2003).

Kelembagaan terkait dengan mandat hukum yang diberikan oleh hukum/peraturan yang ada. Nikijuluw (2002) menyatakan, analisis kelembagaan adalah memisahkan hukum atau peraturan (kelembagaan) dari strategi yang

ditetapkan oleh pelaku (organisasi). Tujuan analisis kelembagaan yaitu untuk melihat perbedaan kesenjangan antara kelembagaan yang bersifat normatif dengan organisasi yang sangat bernuansa subyektif. Ketika seseorang melaksanakan analisis kelembagaan, mutlak baginya untuk mengkaji aspek-aspek organisasi karena strategi organisasi dapat berpengaruh pada suatu kelembagaan atau bahkan dapat memberi arah supaya terjadi pergantian atau perubahan kelembagaan.

Menurut Purwaka (2003), kelembagaan (K) adalah satu set atau satu perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement, IA) dan mekanisme/kerangka kerja kelembagaan (institutional framework, IF) dalam rangka fungsionalisasi kapasitas potensial (potencial capacity, PC), daya dukung (carrying capacity, CC) dan daya tampung (absorptive capacity, AC). Analisis kelembagaan dimaksudkan untuk dapat mengoptimalkan kapasitas kelembagaan atau meningkatkan kualitas kinerja, dalam kerangka tata kelembagaan dan kerangka kerja dari kelembagaan yang ada. Selanjutnya dikatakan, kinerja dari suatu kelembagan dapat dilihat melalui beberapa indikator. Indikator kinerja suatu kelembagaan dapat dilihat berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi:

1) Aspek politik, kelembagaan perikanan memiliki bargaining yang kuat dalam

penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional, yang tercermin dalam tata kelembagaan, kerangka kerja dan kapasitasnya. 2) Aspek sosial budaya, kelembagaan perikanan akan dapat menumbuhkan

kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat. Secara sosial, kelembagaan perikanan dapat menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi

diantara stakeholder perikanan dan menjauhkan konflik.

3) Aspek ekonomi, kelembagaan perikanan secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum.

4) Aspek hukum, kelembagaan perikanan memperoleh mandat yang jelas dari hukum/peraturan yang ada, baik tata kelembagaan, kerangka kerja maupun kapasitas kelembagaannya. Hal ini terkait dengan aspek legal, pengaturan operasional dan teknis, dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas.

5) Aspek teknologi, pemanfatan dan tanggap terhadap dinamika perubahan teknologi yang tercermin pada tata kelembagaan, kerangka kerja dan kapasitas kelembagaannya untuk dapat mengembangkan perikanan secara produktif, efisien, berkualitas dan aman.

2.5.4 Analisis untuk Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan

Suatu kebijakan strategis yang efektif dapat dirumuskan secara sistematis dengan membandingkan kondisi internal dan eksternal dari suatu sistem. Kondisi

internal mencakup kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), sedangkan

kondisi eksternal berupa peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Strategi

dirumuskan berdasarkan pada logika memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman (SWOT) (Rangkuti 1998).

Proses dalam perumusan strategi mencakup 3 tahap yaitu:

1) Evaluasi faktor internal dan eksternal.

2) Pembuatan matriks internal, eksternal dan matriks SWOT.

3) Pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan untuk memilih alternatif strategi terbaik, dilakukan setelah mengetahui kondisi internal dan eksternal sistem saat ini. Kondisi sistem dapat dikelompokkan dalam 4 kuadran, yaitu seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Perumusan strategi yang tepat dalam berbagai kondisi adalah sebagai berikut: 1) Kuadran 1, merupakan kondisi yang sangat menguntungkan, yaitu sistem

memiliki kekuatan dan peluang yang baik. Strategi yang tepat adalah strategi yang mendukung pertumbuhan agresif.

2) Kuadran 2, sistem memiliki kekuatan namun menghadapi berbagai ancaman.

Strategi yang tepat adalah strategi diversifikasi, yaitu menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang.

3) Kuadran 3, sistem memiliki peluang yang baik, namun terkendala kelemahan

internal. Strategi yang tepat adalah meminimalkan masalah-masalah internal, sehingga dapat merebut peluang eksternal dengan lebih baik.

4) Kuadran 4, kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Strategi yang tepat

adalah strategi defensif, yaitu dengan meminimalkan kerugian-kerugian yang kemungkinan akan timbul.

Kuadran 3 Kuadran 1

Kuadran 4 Kuadran 2

Gambar 1 Sistem dalam berbagai kondisi (David 2002).

Pengukuran kinerja kebijakan strategis dilakukan dengan menggunakan

balanced scorecard, yaitu tolok ukur operasional jangka pendek untuk mengukur

keberhasilan strategi jangka panjang. Balanced scorecard memandang organisasi

dari kurang lebih empat perspektif, yaitu: 1) keuangan, 2) pelanggan, 3) bisnis internal, serta 4) pembelajaran dan pertumbuhan. Pengendalian dilakukan dengan memfokuskan diri pada rasio-rasio kunci yang kritis dan strategis melalui target

yang dapat dijangkau (stretch target)(Yuwono et al. 2006) (Gambar 2).

Gambar 2 Balanced scorecard menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke

dalam empat perspektif yang saling berhubungan (Yuwono et al.

2006 adaptasi dari Kaplan et al. 1996).

Peluang

Kelemahan Kekuatan

Selanjutnya untuk keberhasilan dalam implementasi model pengembangan,

dianalisis dengan menggunakan teknik interpretative structural modelling (ISM).

Interpretative structural modelling (ISM) adalah suatu permodelan deskriptif yang bernilai efektif bagi proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis. Perencanaan strategis mencakup suatu totalitas sistem yang tidak dapat dianalisis bagian demi bagian, melainkan harus dipahami secara keseluruhan. Teknik ISM memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi sistem yang cukup kompleks. Teknik ISM menganalisis elemen-elemen sistem, dan memecahkannya dalam

bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Data dan

informasi yang tersedia dalam perencanaan strategis, biasanya didominasi oleh data dan informasi yang bersifat kualitatif dan normatif, sehingga tidak tepat jika dianalisis dengan menggunakan teknik penelitian operasional atau metode statistik deskriptif (Eriyatno 2003; Marimin 2004).

Teknik ISM merupakan proses pengkajian kelompok (group learning

process), dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem. Model dirancang melalui pola yang dirancang secara seksama menggunakan grafik serta kalimat. Teknik ISM dapat digunakan untuk

mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh (misalnya:

dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (misalnya: “lebih penting dari”, atau “sebaiknya dipelajari terlebih dahulu”) dan kategori ide (misalnya: “termasuk dalam kategori yang sama dengan”). Metodologi tersebut memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi sistem yang cukup kompleks (Eriyatno 2003; Marimin 2004).

Selanjutnya dinyatakan bahwa, metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen. Pada tahap

pertama diterapkan alat pembangkit (generating tool), diantaranya yaitu 1) diskusi

ahli, melalui proses musyawarah dan brainstorming oleh para panelis yang

terseleksi; 2) expert survey, melalui wawancara secara mendalam dari pakar lintas

disiplin; 3) metode DELPHI, melalui pengumpulan informasi terkendali dan 4)

media elektronik (computerized conferencing, generating graphics atau tele-

sehingga elemen-elemen dapat diformasikan. Prinsip dasar teknik ISM adalah identifikasi dari struktur di dalam sebuah sistem, yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur sistem berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji (Eriyatno 2003).

Aspek yang terkait dalam implementasi model atau program pengembangan dibagi menjadi elemen-elemen, dimana setiap elemen diuraikan menjadi sejumlah subelemen. Menurut Saxena (1992) diacu dalam Eriyatno (2003), aspek yang terkait dalam penerapan program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1) sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) kebutuhan dari program, 3) kendala utama program, 4) perubahan yang dimungkinkan, 5) tujuan dari program, 6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, 7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Output teknik ISM berupa ranking masing-masing subelemen dan plot subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Sektor tersebut yaitu:

1) Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (autonomus). Subelemen

yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau

mempunyai hubungan sedikit. Subelemen pada sektor 1, jika: nilai driver

power (DP) ≤ 0,5X dan nilai dependence (D) ≤ 0,5X, X adalah jumlah subelemen.

2) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (dependent). Umumnya

subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas.

Subelemen pada sektor 2, jika: nilai DP ≤ 0,5X dan nilai D > 0,5X.

3) Sektor 3; strong driver-strongly dependent variabels (linkage). Subelemen

yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara subelemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan balik dapat memperbesar dampak. Subelemen pada sektor 3, jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D > 0,5X.

4) Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (independent). Subelemen

peubah bebas. Subelemen pada sektor 4, jika: nilai DP > 0,5X dan nilai D ≤ 0,5X, X adalah jumlah subelemen.

Dokumen terkait