• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. BAHAN DAN METODE

3.3 Metode

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan, yaitu: 1) tahap persiapan dan pengumpulan data, 2) tahap analisis data dan out put, 4) tahap running model SWAT, 5) tahap simulasi antara ketersediaan dan kebutuhan air bagi tanaman, 6) dan tahap penetapan zonasi (rekomendasi).

3.3.1 Persiapan Penelitian dan Pengumpulan Data

Tahap persiapan meliputi beberapa kegiatan antara lain; penentuan lokasi penelitian dan sub DAS conto sebagai lokasi terpilih. Kegiatan persiapan tersebut juga melakukan identifikasi dan inventarisasi data-data sekunder yang diperlukan meliputi sifat-sifat fisik tanah, disamping penggunaan lahan meliputi pengelolaan tanaman dan teknik konservasi yang dipergunakan, karakteristik sungai, iklim, dan hidrologi. Penelitian dilakukan di tiga sub DAS terpilih yang dianggap mewakili masing-masing penggunaan lahan seperti; hutan, lahan gundul, dan areal budidaya pertanian. Penentuan lokasi didasarkan pada kesamaan karakteristik biofisik DAS yang bersangkutan. Penentuan lokasi dilakukan secara tepat dan representative, agar diperoleh hasil yang dapat mewakili karakteristik wilayah, sehingga diharapkan hasil prediksinya lebih akurat. Penentuan sampel dilakukan secara purposif dengan mempertimbangkan kesamaan dan variasi karakteristik biofisik DAS yang bersangkutan. Diagram alir tahapan penelitian disajikan pada Gambar 6.

Tahap pengumpulan data; penelitian ini berbasis data sekunder, sehingga data sifat fisisk tanah bersumber dari hasil penelitian Basuki et al. (2003). Sifat- sifat fisik tanah tersebut sebagai input data spasial dan merupakan karakteristik pedon pewakil dari masing-masing satuan peta tanah (SPT). Untuk mengetahui sebaran pedon pewakil pada masing-masing SPT, maka pedon-pedon pewakil hasil pemetaan tanah kemudian diplotkan pada peta tanah DAS Barito Hulu. Pengamatan dilakukan secara toposekuen dan sekaligus mengambil conto tanah untuk dianalisis, sehingga dapat diperoleh informasi karakteristik tanah maupun penyebarannya secara maksimal. hasil deskripsi pedon tanah tersebut selanjutnya diplotkan pada peta land system untuk memperoleh peta satuan tanah.

Data penggunaan lahan meliputi pengelolaan tanaman dan teknik konservasi yang dipergunakan. Data pengelolaan tanaman meliputi jenis tanaman yang diusahakan, waktu dan pola tanam. Karakteristik sungai meliputi

kedalaman, kekasaran dasar dan dinding sungai diperoleh dari pengamatan lapang.

Data iklim meliputi curah hujan harian, data temperatur, kelembaban udara dan radiasi matahari selama 14 tahun diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kelas III Beringin Muara Teweh. Curah hujan yang terjadi di DAS Barito Hulu diasumsikan menyebar secara merata.

3.3.2 Pengelolaan Data dan Input Model SWAT

a. Proses pengolahan citra

Pra pengolahan citra

Data citra memiliki beberapa keterbatasan akibat dari gangguan pada saat proses perekaman, sehingga mempengaruhi kualitas citra itu sendiri. Gangguan yang mempengaruhi kualitas citra diantaranya adalah gangguan geometrik dan gangguan radiometrik. Gangguan geometrik adalah gangguan yang disebabkan rotasi dan bentuk bumi, efek panoramik, perubahan kecepatan satelit, perilaku dan variasi ketinggian satelit. Gangguan radiometrik adalah gangguan pada citra yang disebabkan oleh semua tahap akuisisi citra, seperti; efek lapisan atmosfer terhadap radiasi, optik, deteksi, amplifikasi elektronik, dan penyesuaian sensor rekaman. Untuk meningkatkan kualitas citra akibat gangguan tersebut, maka perlu dilakukan koreksi secara geometrik dan radiometrik.

Koreksi geometrik koreksi geometrik merupakan kegiatan transformasi citra yang bertujuan memperbaiki topologi. Selain mengurangi distorsi yang terjadi secara geometrik, juga merupakan suatu transformasi citra agar memiliki skala dan sistem koordinat bumi sehingga dapat dipadukan dengan peta hasil pengukuran secara teristorial. Koreksi geometrik dilakukan dengan menentukan titik kontrol atau Ground Control Points (GPC). GPC adalah suatu titik di permukaan bumi yang sudah diketahui koordinatnya baik pada citra (piksel kolom dan baris) maupun pada peta yang diukur dalam derajad lintang dan bujur.

HRU Data iklim Aplikasi Model SWAT Model valid ya Validasi model Parameter model Optimasi

Respons hidrologidan HRU DAS Barito Hulu (water yield, ET, dan erosi)

Respons hidrologi dan HRU DAS Barito Hulu (water yield, ET, dan erosi) Optimasi Tabular Optimasi Spasial Deliniasi Zonasi

penggunaan lahan

Selesai tida

k

Membangun HRU Peta DEM Mulai Persiapan Reklasifikasi sistem lahan Rektifikasi dan registrasi

citra Landsat TM 1990 dan 2003 Klasifikasi tutupan lahan Peta tutupan lahan tahun 1990 dan 2003 Parameterisasi satuan tanah Peta Satuan tanah

Gambar 6 Tahapan Kegiatan Penelitian

GPC dapat diturunkan dari peta digital rupa bumi dan atau citra yang telah terkoreksi. Syarat yang digunakan untuk menentukan GPC adalah harus tersebar secara merata di seluruh citra dan merupakan objek yang relatif permanen atau tidak berubah dalam waktu yang relatif pendek (misalnya jalan dan sudut bangunan) yang dapat diidentifikasi baik pada citra maupun pada peta dan memiliki nilai RMS error < 1 piksel. Setelah citra terkoreksi kemudian dilakukan proses resampling dengan menggunakan metode tetangga terdekat (nearest neighbour). Proses tersebut dilakukan untuk menenrukan nilai digital terhadap piksel-piksel citra setelah mengalami perubahan posisi hasil koreksi serta menyesuaikan resolusi spasial tiap piksel.

Jaya (2005), GCP atau titik kontrol lapangan adalah suatu titik yang letaknya pada suatu posisi piksel citra yang koordinat peta (referensinya) diketahui. GCP terdiri atas sepanjang koordinat x dan y yang merupakan koordinat sumber dan koordinat referensi. Secara teoritis jumlah minimum GCP yang harus dibuat adalah:

(t + 1)(t = 2)/2

Ada dua operasi dasar yang umum dipergunakan pada rektifikasi yaitu: 1. Interpolasi spasial (spatial interpolation), yaitu proses relokasi setiap

piksel dalam citra input untuk koordinat (x’, y’) ke lokasi yang sebenarnya pada citra output dengan menggunakan persamaan transformasi koordinat geometris, sebagai berikut:

• Orde I diperlukan minimal 3 GCP p' = ao + a1X + a2Y

l' = bo + b1X + b2Y

• Orde II diperlukan minimal 6 GCP

p' = ao + a1X + a2Y + a3XY + a4X2 + a5Y2

l' = bo + b1X + b2Y + b3XY + b4X2 + b5Y2 • Orde III diperlukan minimal 10 GCP

p' = ao+a1X+a2Y+a3XY+a4X2+a5Y2+a6X2Y+a7XY2+a8X3+a9Y3

l' = bo+b1X+b2Y+b3XY+b4X2+b5Y2+b6X2Y+b7XY2+b8X3+b9Y3

Pada penelitian ini menggunakan orde I.

2. Interpolasi intensitas (intensity interpolation), interpolasi ini memerlukan 1 atau beberapa piksel yaitu; nearest neighbor (1 piksel), bilinear

interpolation (4 piksel), dan cubic convolution (16 piksel). Pada penelitian ini menggunakan nearest neighbor (1 piksel).

Koreksi radiometrik koreksi radiometik dilakukan bertujuan agar diperoleh kualitas visual citra yang lebih baik dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai Digital Number (DN) dari piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran objek yang sebenarnya akibat pengaruh azimuth matahari dan kondisi atmosfer lainnya. Kemudian juga dilakukan kombinasi warna semu (color composit) dengan melakukan kombinasi saluran-saluran yang digunakan (band composit) tujuannya adalah untuk mengetahui secara kuantitatif kombinasi warna mana yang menghasilkan komposit warna yang optimum. Penampakan komposisi warna semu pada obje-objek geografis akan memudahkan untuk mengenali objek tersebut melalui perbedaan warnanya. Umumnya kombinasi band yang dipergunakan dalam penelitian adalah band 5-4-3.

Keempat sine citra landsat tahun 1990 dan 2003 yang telah terkoreksi tersebut kemudian digabungkan dengan teknik musaik. Citra hasil penggabungan selanjutnya dipotong dengan batas DAS kajian, dan selanjutnya dilakukan proses klasifikasi tutupan.

Klasifikasi/interpretasi citra

Metode klasifikasi citra yang dipergunakan disesuaikan dengan tujuan kepentingan studinya, untuk analisis penggunaan lahan yang lebih sesuai adalah metode klasifikasi maksimum terbimbing (Maximum Likelihood Supervised

Classification). Metode ini memiliki asumsi bahwa setiap kelas spektral menyebar secara normal, sehingga dapat dideskripsikan oleh suatu distribusi probabilias dalam suatu ruang multispektral. Metode tersebut memerlukan training area yang dianggap mewakili kelas spektral tertentu, dan tahapan klasifikasinya adalah sebagai berikut:

1. Tahap training area; kegiatan ini digunakan untuk menyusun suatu kunci atau patokan interpretasi secara numerik yang didasarkan pada contoh jenis penutupan/penggunaan lahan yang telah diketahui atau ceking lapangan.

2. Tahap klasifikasi; setiap piksel pada citra dibandingkan dengan sampel kunci numerik (training area) untuk setiap kategori.

3. Tahap pemetaan; output yang diperoleh dari klasifikasi ini adalah bentuk citra terklasifikasi (peta penutupan/penggunaan lahan).

Penilaian tingkat akurasi metode klasifikasi yang digunakan dilakukan dengan kreteria; ketelitian penghasil (producer’s accuracy), ketelitian pengguna (user’s accuracy), akurasi total (overall accuracy) dari nilai kappa. Secara matematik, akurasi kappa dapat dihitung dengan rumus berikut:

%

100

2 1 1

+ + = = + +

=

i i r i i r i i ii

X

X

N

X

X

X

N

K

. . . (1)

di mana; Xii = nilai diagonal dari matrik kontingensi dari ke-i dan kolom ke-i, X+i=

jumlah piksel dalam kolom ke-i, Xi+= jumlah piksel dalam baris ke-i, N =

banyaknya piksel dalam contoh.

Simpangan baku dari kappa dihitung dengan rumus berikut:

(

)

(

)

(

()(

)

)

(

(

)

(

)

)

⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − − + − − − + − − = 2 2 2 2 4 2 1 3 2 3 2 1 1 2 2 2 1 2 1 1 1 2 1 2 1 1 1

φ

φ

φ

φ

φ

φ

φ

φ

φ

φ

φ

φ

σ

N . . . . (2) di mana:

= + + = = = r i i i r i ii N X X N X 1 2 2 1 1 ;

φ

φ

. . . (3)

(

)

= + + + = r i i ii N i X X X 1 2 3

φ

. . . (4)

(

)

= + +

+

=

r j i i j ij

N

X

X

X

2 4

φ

. . .. . . (5) Uji signifikansi dua nilai kappa dapat dilakukan dengan rumus berikut:

96

.

1

2 2 2 1 2 1

f

σ

σ

+

=

K

K

Z

. . .. . . (6)

Informasi perubahan penggunaan lahan dapat diperoleh dengan membandingkan hasil klasifikasi citra Landsat TM+ tahun 1990 dengan hasil klasifikasi Landsat TM+ tahun 2003.

Hasil klasifikasi tersebut disederhanakan atau digeneralisasi dengan melakukan kegiatan penghalusan (iterasi/filtering majority) kemudian dikonversi ke dalam bentuk vektor. Selanjutnya dilakukan overlay dengan informasi lain seperti; jaringan jalan, jaringan hidrologi, batas administrasi, dan data-data penting lainnya. Fungsi klasifikasi tersebut adalah untuk melakukan pemisahan

suatu kelompok dari populasi yang kompleks ke dalaam unit-unit yang homogen untuk memperoleh kelas baru. Menurut Wiradisastra (1982) bahwa klasifikasi penggunaan/tutupan lahan merupakan pembagian wilayah ke dalam satuan- satuan yang lebih kecil dan homogen agar deskripsinya lebih sederhana.

Klasifikasi citra digital menggunakan asumsi bahwa variasi pola peubah ganda (multivariate) dari DN pada suatu areal memiliki hubungan yang erat dengan kondisisi penutupan lahannya. Penutupan lahan yang sama diasumsikan akan memiliki sifat-sifat reflektansi atau nilai DN yang sama pula, sehingga karakteristik statistika dari sekumpulan piksel yang mewakili suatu tutupan lahan dapat digunakan untuk mendefinisikan (decision rule) yang mampu membedakan antar tutupan lahan yang satu dengan yang lainnya (Jaya, 2002). hasil analisis tersebut di atas berupa peta penggunaan lahan dan untuk selanjutnya akan digunakan sebagai inputing data pada saat running model SWAT.

b. Proses pengolahan peta satuan tanah

Peta satuan tanah DAS Barito Hulu diturunkan dari peta land system

Kalimantan Tengah skala 1:50.000, dilengkapi atribut data-data survei tanah. Kemudian dibuat ID tambahan untuk memenuhi kebutuhan input data dan disesuaikan dengan format database yang terdapat pada file data model SWAT. Parameter tanah dan data hasil survey sifat fisik tanah disajikan pada Lampiran 4.

c. Proses Input data model SWAT

1. Memotong data DEM, kemudian membuat batas DAS (lokasi penelitian menggunakan model SWAT, sehingga diperoleh Batas DAS Barito Hulu. 2. Parameterisasi tanah yaitu; dengan memberi ID tambahan pada tabel

atribut peta tanah (SOIL_ID) dan landuse (LANDUSE_ID) sesuai dengan ID yang terdapat pada database mwswat.mdb, yaitu :

ID landuse : tabel global_landuses dan crop ID_tanah : tabel global_soil dan usersoils

Hasil parameterisasi jenis tanah dan landuse yang telah disesuaikan, kemudian dikoneksikan kedalam sistem database model SWAT. Data input sifat fisik dan kimia tanah, penggunaan lahan, iklim, dan karakteristik jaringan sungai disiapkan dengan memasukkan data ke dalam setiap kelompok data menggunakan format database yang terintegrasi dalam software Arc View. Berdasarkan struktur query, maka

data input yang berfungsi sebagai data atribut dihubungkan dengan data spasial.

Data tersebut terangkum dalam file-file data input (SWAT Input File). Model SWAT terdiri dari 17 file data input yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. File-file FIG, CIO, COD, BSN, SUB, HRU, MGT, GW, dan RTE akan tersedia setelah prosedur analisis dijalankan. Sedangkan file PCP, TMP, SLR, HMD, WGN, dan SOL disiapkan dengan memasukkan data tanah ke dalam parameter-parameter pada setiap file. Karakteristik tutupan lahan (land cover) masing-masing tersedia dalam file

CROP dan URBAN.

3. Menyamakan sistem koordinat pada peta terbangun baik peta tutupan lahan maupun peta satuan tanah agar dapat digunakan bersama, yaitu dengan mengubah sistem koordinat geografis menjadi sistem koordinat

Universal Tranverse Mercator (UTM) agar dapat dibaca oleh software

SWAT. Selanjutnya baik peta tutupan lahan maupun peta satuan tanah yang sudah dihasilkan dirubah dari struktur data peta vektor menjadi raster (grid cells) berdasarkan ID yang telah ditambahkan.

4. Pengelolaan data iklim meliputi:

a) Menyajikan daftar stasiun (stnlist.txt) yang berisi nomor dan nama stasiun dan pos hujan yang digunakan, elevasi, serta koordinat masing-masing stasiun dan pos hujan. Daftar stasiun harus diletakkan dalam satu folder dengan file data hujan harian (.pcp) dan temperature haruan (.tmp).

b) Mengolah data hujan harian (.pcp) tiap-tiap tahun selama 14 tahun yaitu 1990 - 2003 dalam satuan mm. Data hujan harian berasal dari Stasiun Klimatologi Kelas III Beringin Muara Teweh.

c) Mengolah data temperatur harian (.tmp) dalam satuan 0C dari Stasiun Klimatologi Kelas III Beringin Muara Teweh selama 14 tahun yaitu 1990 - 2003.

d) Mengolah data iklim selama14 tahun, kemudian disesuaikan dengan format database di dalam file weather generator (.wgn). SWAT menggunakan WXGEN weather generator untuk membangkitkan data iklim atau mengisi kekosongan pencatatan data pengukuran. Data iklim disiapkan dalam file PCP, TMP, SLR, HMD, dan WGN meliputi; data curah hujan harian (mm), temperatur maksimum dan minimum

harian (oC), radiasi matahari (MJ.m-2.hr-1), dan kelembaban udara (%). Sedangkan file SOL meliputi; infiltrasi (mm.jam-1), permiabilitas tanah (mm.jam-1), yang dipergunakan untuk menyusun Hydrology Soil Group

(HSG), kedalaman maksimum perakaran (mm), ketebalan horizon tanah (mm), Bulk Density (BD) (g.cm-3), Available Water Content (AWC),

saturated hydroulic conductivity (mm.jam-1), C organik (%), kandungan liat tanah (%), debu (%), pasir (%), bahan kasar (%), dan moist soil albedo. Variabel iklim yang terdapat di dalam file weather generator disajikan pada Lampiran 5.

3.3.3 Aplikasi Model SWAT

a. Validasi model SWAT

Aplikasi SWAT untuk tujuan validasi dilkukan dengan menggunakan data iklim tahun 1994, karena tahun tersebut terjadi hujan maksimum. Validasi model yang seharusnya dialkukan dengan cara membandingkan antara debit observasi dengan debit hasil model SWAT. Keterbatasan data observasi di lokasi penelitian mengharuskan validasi dilakukan dengan membandingkan debit hasil perhitungan model SCS dengan debit hasil model SWAT. Model SCS dipilih sebagai model pembanding, karena model SCS dikembangkan secara empiris, sehingga hasilnya lebih mendekati kondisi sebenarnya di lapang. Model SCS juga diperguanakan sebagai salah satu rumus dasar model SWAT, sehingga diharapkan memiliki kedekatan nilai hasilnya. Kelemahan validasi tersebut karena model SCS berfokus pada point outlet (satu titik outlet), sedangkan SWAT bersifat spasial sehingga kemungkinan terjadi bias.

Validasi dilakukan menggunakan koefisien determinasi (R2) dan Nash- Sutcliffe Index (NSI). Koefisien determinasi menunjukan kedekatan antara nilai yang dihasilkan oleh model SWAT dengan hasil model SCS yang diasumsikan sebagai nilai terdekat dengan kondisi sesunggunya di lapangan. Koefisien yang mendekati satu menandakan nilai hasil simulasi memiliki nilai yang cukup dekat dengan nilai sesungguhnya. Menurut Steel and Torrie (1984) persamaan koefisien determinasi adalah sebagai berikut :

∑ , ,

∑ ,

∑ , ,

∑ ,

Nash-Sutcliffe Index (NSI) digunakan untuk mengevaluasi model pada SWAT Ploth and Graph. Nilai Nash Sutcliffe Index (NSI) dihitung dengan persamaan (8).

, ,

,

. . . . . .

. . . (8) Keterangan :

Qo,i : debit hasil pengukuran (m3/det)

QS,i : debit hasil simulasi model SWAT (m3/det)

: debit hasil pengukuran rata-rata (m3/det)

: debit hasil simulasi model SWAT rata-rata (m3/det)

Range nilai NSI adalah antara ∞ sampai dengan 1. Kategori simulasi berdasarkan nilai NSI (Stehr et al., 2008) adalah sebagai berikut :

a. Layak jika NSI > 0,75

b. Memuaskan jika 0,75 > NSI > 0,36 c. Kurang memuaskan jika NSI < 0,36

b. Analisis produksi air

Untuk menganalisis respons hidrologi DAS Barito Hulu akibat pengaruh perubahan penggunaan lahan, diprediksi

menggunakan

model SWAT (2000). Adapun output (keluaran) yang dapat dihasilkan model SWAT antara lain adalah; hasil air (water yield), limpasan permukaan, limpasan dasar, dan limpasan lateral (lateralflow) dalam periode bulanan dan tahunan.

Operasi software SWAT meliputi empat tahapan, yaitu :

1. Step 1 : Delineate Watershed.

Input data yang digunakan :

a. DEM, yaitu model digital yang mempresentasikan permukaan topografi bumi secara tiga dimensi dengan menggunakan data elevasi tempat.

b. Batas DAS Barito Hulu, digunakan untuk membatasi wilayah DAS yang akan dikaji.

c. Penentuan outlet dari reach (aliran sungai) yang terbentuk yaitu berdasarkan koordinat outlet pada jaringan sungai DAS Barito Hulu. 2. Step 2 : Create Hydrogical Response Unit (HRU).

Input data yang digunakan :

a. Interval slope dibuat menurut Arsyad (2006)

b. Peta raster landuse dan peta raster tanah dalam format system koordinat proyeksi UTM.

3. Step 3 : SWAT Setup and Run

Input data yang digunakan adalah periode simulasi yang diinginkan (1 Januari 1990 – 31 Desember 2003), file data hujan harian (.pcp), temperature (.tmp), file weather generator (.wgn), dan daftar stasiun iklim (.txt). Pada tahapan ini input data juga dapat diubah kembali dengan menggunakan bantuan software SWAT.

4. Step 4 : Visualise Result

Pada tahapan ini, visualisasi output yang diinginkan dapat dilihat dengan jelas, yaitu dengan memilih parameter output debit aliran sungai rata-rata. Visualisasi digambarkan dengan perubahan atau gradasi warna menurut nilai output.

Output yang dihasilkan oleh model SWAT terangkum dalam file-file output

(SWAT Output File) yang terdiri dari file BSB, SBS, dan RCH. File BSB berisi informasi masing-masing sub DAS, file SBS berisi informasi masing-masing HRU, dan file RCH berisi informasi masing-masing sungai utama dalam sub DAS.

Informasi di masing-masing sub DAS dan HRU meliputi; jumlah curah hujan (PRECIP), evapotranspirasi potensial (PET), dan aktual (ET), kandungan air tanah (SW), perkolasi (PERC), aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), aliran dasar (GW_Q), dan hasil air (WYLD) yang dihasilkan selama periode simulasi. Sedangkan informasi di masing- masing sungai utama dalam sub DAS meliputi; jumlah aliran yang masuk ke sungai (FLOW_IN) dan keluar (FLOW_OUT), jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi (EVAP), dan transpirasi (TLOSS) selama periode simulasi.

Program SWAT (200) dijalankan menggunakan ekstensi aplikasi ArcView v. 3.2. Siklus hidrologi yang disimulasikan dalam SWAT berdasarkan pada persamaan water balance :

. . . (9)

dimana :

SWt = Kadar air tanah akhir pada (mm)

SWo = Kadar air tanah mula-mula pada hari ke-i (mm)

T = Waktu (hari)

Rday = Jumlah presipitasi pada hari ke- i (mm)

Qsurf = Jumlah limpasan permukaan pada hari ke-i (mm)

Ea = Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm)

Wseep = Jumlah air yang masuk ke dalam vadose zone dari profil tanah

pada hari ke-i (mm)

Qgw = Jumlah air yang kembali menjadi aliran pada hari ke-i (mm)

Parameter input faktor iklim yang digunakan dalam SWAT adalah curah hujan harian, suhu udara maksimum dan minimum, data radiasi matahari, kelembaban relatif, dan data kecepatan angin, yang dapat diambil dari catatan pengukuran atau data observasi. Kelembaban relatif dan kecepatan angin diperlukan untuk dalam menghitung evapotranspirasi yang terjadi dengan metode Penman-Monteith. Input suhu maksimum dan minimum digunakan untuk memperhitungkan suhu tanah dan air harian (Monteith, 1965).

1. Limpasan permukaan

SWAT menggunakan persamaan dasar SCS untuk menghitung limpasan permukaan. Persamaan limpasan SCS adalah model empiris yang mulai digunakan pada tahun 1950 yang melibatkan hubungan antara hujan dan limpasan yang terjadi pada daerah aliran sungai pedesaan di seluruh Amerika Serikat. Model ini dikembangkan untuk memberikan dasar dalam memperkirakan jumlah limpasan dari berbagai penggunaan lahan dan jenis-jenis tanah. Persamaan SCS Curve Number (SCS, 1972) adalah:

. . . .. . . (10)

dimana Qsurf adalah akumulasi dari limpasan permukaan ketika hujan (mm), Rday

simpanan permukaan, intersepsi, infiltrasi (mm), dan S adalah parameter retensi (mm). Parameter retensi nilainya bervariasi dikarenakan perubahan tanah, penggunaan lahan, manajemen dan lereng dan terutama karena perubahan kadar air tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai:

. . . . .. . . (11) Dimana CN adalah nomor curva untuk hari tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Nilai Ia yang biasanya digunakan sebesar 0.2 S, sehingga persamaan

21 menjadi:

.

. . . . .. . . (12)

2. Evapotranspirasi

Evapotranspirasi dalam model SWAT ditentukan dengan tiga metode metode hargreaves (1985), yaitu merupakan gabungan antara metode Penman- Monteith (1965), metode Priestley and Taylor (1972). Parameter kecepatan angin diperlukan oleh Metode Penman-Monteith untuk memprediksi evapotranspirasi potensial. Kelembaban relatif diperlukan oleh metode Penman- Monteith dan metode Priestley-Taylor untuk menghitung evapotranspirasi potensial. Pada persamaan Penman-Monteith pengaruh jumlah uap air diudara diperhitungkan dalam menentukan evaporasi permukaan. Penman-Monteith dan Priestley-Taylor memerlukan tekanan uap aktual, yang dihitung dari kelembaban relatif.

∆ /

∆ ⁄ . . . .. . . (13)

dimana :

E = Laju evaporasi (m s-1)

λE = Panas laten akibat densitas sinar matahari (MJ m-2 d-1)

Δ = kemiringan pada kurva tekanan uap air jenuh-temperatur, de/dT

(kPaoC-1)

Hnet = Radiasi yang mengenai permukaan (W m-2)

G = Kerapatan fluks panas ke tanah (MJ m-2 d-1)

cp = Kapasitas panas spesifik dari audara (J kg-1 K-1)

ρair = Densitas udara (kg m-3)

= Tingkat tekanan uap air jenuh di udara pada ketinggian z (kPa) ez = Tekanan uap air di udara pada ketinggia z (kPa)

rc = Resistensi dari kanopi tanaman (s m-1)

gs = Difusi resistensi lapisan udara atau aerodynamic resistance(s m-1)

γ = Konstanta Psychrometri (γ≈ 66 Pa K-1)

Priestley dan Taylor (1972) menyederhanakan persamaan untuk penggunaan di permukaan lahan basah. Komponen aerodinamik dihilangkan dan komponen energi dikalikan dengan suatu koefisien, αpet = 1,28 ketika

lingkungannya basah. Δ

Δ . . . .. . . (14) dimana λ adalah panas laten penguapan (MJ kg-1), Eo adalah evapotranspirasi

potensial (mm d-1), αpet adalah koefisien, ∆ adalah kemiringan pada kurva

tekanan uap udara jenuh dan suhu, de / dT (kPa ° C-1), adalah psychrometric (KPa ° C-1), Hnet adalah radiasi bersih (MJ m-2 d-1), dan G adalah kerapatan fluks

panas di tanah (MJ m-2 d-1).

Menurut hargreaves and Samani (1985), untuk memprediksi evapoteranspirasi yang selanjutnya digunakan dalam SWAT adalah:

. . . . . . . .. . (15)

dimana λ adalah panas laten penguapan (MJ kg-1), Eo adalah evapotranspirasi

potensial (mm d-1), Ho adalah extraterrestrial radiasi (MJ m-2 d-1), Tmx adalah suhu

udara maksimum pada hari tersebut (oC), Tmn adalah suhu udara minimum (oC),

adalah suhu rata-rata 1 hari (oC).

3. Perkolasi

Perkolasi diperhitungkan untuk setiap lapisan di dalam profil tanah. Air akan meresap ke lapisan di bawahnya jika kadar air melebihi kadar air kapasitas lapangan untuk lapisan tersebut dan lapisan dibawahnya tidak dalam keadaan jenuh. Volume air yang tersedia untuk perkolasi ke dalam lapisan tanah dihitung dengan persamaan:

, jika SWly > FCly . . . (16)

SWly,excess = 0 jika SWly ≤ FCly . . . (17)

SWly,excess adalah volume air yang dapat dialirkan di lapisan tanah pada hari

tertentu (mm), SWly adalah kadar air dari lapisan tanah pada hari tertentu (mm)

Jum dengan m untuk men dimana W tertentu (m hari terten waktu perj 4. Aliran Aku hingga ke air yang ditentukan Men kondisi ste dimana Q konduktivi bukit atau muka air t c. Simula Seb hidrologi budidaya, komposisi model opt Fung maksimum Ad

Dokumen terkait