• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE BAXTER

Dalam dokumen LAPORAN PENDAHULUAN COMBUSTIO (Halaman 43-52)

keracunan ringan yaitu lemas, binggung, pusing, mual dan muntah

METODE BAXTER

METODE BAXTER

Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan ke jaringan

Hari pertama

Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam Anak : Ringer laktat : Dextran = 17:3

2cc x berat badan x % luas luka bakar ditamah kebutuhkan faal Kebutuhan faal :

<1 tahun : BB x 100cc 1-3 tahun : BB x 75cc 3-5 tahun : BB x 50cc

½ jumlah cairan diberikan alam 8 jam pertama ½ diberikan 16 jam berikutnya

Hari kedua

Dewasa : dextran 500-2000 cc + D5% Albumin (3xX) x 80 x berat badan g/hari (Albumin 25 % = Gram x 4cc)

1cc/menit

Anak : diberi sesuai kebutuhan faal Protocol resesitasi :

Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman berikut

Pedoman

1. Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar) 2. Separuh kebutuhan diberikan dalam 16 jam sisanya

Contoh resusitasi cairan pada luka bakar menurut Hettiaratchy & papini (2004) :

Seorang laki-laki 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30% datang ke UGD pukul 16.00. Pasien mengalami kejadian sekitar pukul 15.00.

1. Total cairan yang diberikan untuk 24 jam pertama adalah : 4ml x (30% total burn surface area) x (70kg) = 8400 ml dalam 24 jam.

Total cairan ini diberikan setengah pada 8 jam pertama dan setengah lagi pada 16 jam berikutnya. 1. Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 8 jam pertama adalah:

Bagi cairan pada point (a) dengan sisa waktu sampai 8 jam setelah pasien terbakar (pukul 15.00).

Kebakaran terjadi pada pukul 15.00, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 23.00. datang ke UGD pukul 16.00, jadi dibutuhkan 4200 ml selama 7 jam kedepan:

4200cc/7 = 600 cc/jam dari pukul 16.00 sampai pukul 23.00, 1. Perhitungan kecepatan infus perjam untuk 16 jam kedua adalah 4200cc/16 = 262 cc/jam dari pukul 23.00 sampai pukul 15.00

(1) Monitoring dalam fase resusitasi (sampai 72 jam) Menurut Sjaifudin (2006)

1. Mengukur urin produksi. Urin produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat atau tidak. Pada orang dewasa jumlah urin 30-50 cc urin/jam.

2. Berat berat jenis urin, pasca trauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Bilamana berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urin.

3. Vital sign

Manifestasi klinis pada penggantian cairan yang adekuat (1) Tekanan darah normal sampai batas tinggi (2) Frekuensi nadi < 120 x/menit

(3) TVS < 12 cm H2O

(4) Tekanan darah kapiler pulmonal < 18 mmhg 1. PH darah

2. Perfusi perifer

Hal lain yang harus diperhatikan selama fase resusitasitatif adalah perfusi aringan. Dengan cedera jaringan, pembuluh-pmbuluh menjadi rusak an terjadi thrombosis. Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan platelet serta leukosit melekat pada endotel vaskuler, menyebabkan pembentukan keropeng.Jaringan yang mendasari membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh adalah takelastik dan tetap kontraktur. Keropeng mempengaruhi perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik, yang ahirnya akanmemerlukan amputasi. Ini sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setiap jam dengan memeriksa arus balik kapiler, perubahan-perbahan neurologis, suhu, warna kulit, serta adanya nadi perifer.Ekstremitas harus

ditinggikan dan jaga agar dalam batas gerak pasif sedikitnya 5 menit perjam untuk mencegah edema dan mobilisasi yang memang berakumulasi.

1. Laboratorium (Serum elektrolit, Plasma albumin, Hemaktokrit, hemoglobin, Urine sodium, Elektrolit, Renal

fungsion test, Total protein atau albumin, Pemeriksaan lain sesuai indikasi)

2. Penilaiaan keadaan paru

Pemeriksaan kondisi paruperlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara lain stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau dispnue merupakan adanya impending obstruksi.

1. Penilaian gastrointestinal

Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bisisng usus dan pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan PH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culing’s ulcer.

1. Penilaian luka bakarnya

Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.

Formula resusitasi berkenaaan dengan perkiraan, dan haluaran urin dan tekanan darah harus dipantau per jam untuk mengevaluasi respon terhadap tindakan.Haluaran urin adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi cairan pada pasien dengan fungsi ginjal sebelumnya normal.Pasien biasanya ditimbang setiap hari.Penambahan berat badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat terjadi.Masukan dan haluaran urin harus dipantau dengan cermat.Awitan dieresis spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif. Kecepatan infuse harus diturunkan sampai 25% dalam satu jam jika haluaran urin memuaskan da dapat dipertahankan selama dua jam, penuruna dapat diturunkan kemudian. Adalah penting bahwa haluaran urin dipertahankan dalam batas normal (50-70 ml/jam).

5) Fluid Creep Phenomena

Dalam dekade terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah dilakukan sebagai proses yang rutin; kebanyakan klinisi menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam pertama untuk menyesuaikan volume cairan yang diberikan.Sesuai dengan variasi situasi pada pasien luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih cenderung terjadi untuk meningkatkan pengeluaran urin.Pemberian cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan komplikasi edema yang dikenal dengan fenomena "fluid creep".Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk optimasi titrasi dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau larutan garam hipertonik.Tujuannya adalah untuk menurunkan kebutuhan volume cairan dan terjadinya edema.Penelitian saat ini tentang resusitasi cairan pasien luka bakar berkonsentrasi padapendekatan untuk meminimalisir fenomena "fluid creep" dengan memperketat kontrol cairan intravena.Formula Parkland sebaiknya hanya digunakan sebagai panduan dalam pemberian cairan.Untuk selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada volume dan kecepatan cairan intravena sesuai dengan respon pasien. Banyak penelitian menunjukkan perbandingan antara pemakaian kristaloid dan koloid pada 24 jam pertama setelah kejadian luka bakar. Saat ini, masih terdapat perdebatan penentuan waktu yang tepat untuk pemakaian cairan koloid untuk resusitasi. Bagaimanapun, penggunaan albumin 5% dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang bisa diterima (Septrisa, 2012)

Menurut Hudak & Gallo (2000), ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah tercapai, perhatian ditujukan pada perawatan awal luka bakar.

Menurut Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak dibahas dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar. Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan luka bakar menjadi sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:

(1) Tindakan aseptic

Yang dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian perlakuan yang diterapkan dan mencerminkan upaya mencegah infeksi, dengan cara:

1. Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan melalui beberapa cara termasuk desain ruangan yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah ruang operasi,

penerapan sistem positive air preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan proses desinfeksi ruangan, dll.

2. Linen dan bahan lain yang steril

3. Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan, penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas sebagai digariskan dalam general

precaution upaya mencegah infeksi .

(2) Pencucian luka

1. pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsip dilution is the best solution for

pollution diterapkan.

1. Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar (dalam delapan jam pertama) dan dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan debridement. 2. Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar atau jaringan

nekrosis maupun debris yang memicu respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan luka karena berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud

tindakan awal adalah dalam 3-4 hari pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat dan belum mengalami lisis, eskar yang mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat dan sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka dicuci menggunakan larutan steril.

3. Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan. (3) Eskarotomi,

Meskipun peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun eskarotomi sering diperlukan. Eskarotomi adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga memungkinkan jaringan edematosa yang hidup di bawahnya melebar, dengan demikian memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis midlateral atau midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di tempat tidur, dan tidak memerlukan anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan dipasang

balutan tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi lingkungan arus listrik bertegangan tinggi atau cedera hancur (Hudak, 1996).

(4) Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotik secara umum dibedakan atas: Tujuan : profilaksis dan teraupetik

1. Antibiotika profilaksis pada luka bakar

Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik sistemik bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan pembedahan atau prosedur invasif lainnya. Antibiotik diberikan melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali pemberian (single dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri yang didasari atas pola bakteri yang paling sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun waktu tertentu.

1. Antibiotika teraupetik pada luka bakar

Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan jenis antibiotik dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap mikroorganisme penyebab. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.

7) Amputasi

Menurut Hudak & Gallo (1996), Indikasi amputasi apabila terdapat

(1) Cedera otot masifakibat elektric injury disertai mioglobin pada urin yang gagal berespon terhadap resusitasi cairan dan pemberian diuretic kuat serta manitol

(2) Keropeng dengan perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik. (3) Infeksi yang meluas hingga mengenai sebagian besar anggota gerak BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN LUKA BAKAR PADA KEPERAWATAN KRITIS

3.1 Pengkajian 1. Anamnese 1) Data Demografi

Nama, umur, alamat, pekerjaan.

Umur : Meskipun luka bakar terjadi pada semua kelompok umur, insidennya lebih tinggi pada kedua kemompok ujung kontinum usia. Orang yang usianya lebih lebih muda dari 2 tahun dan lebih tua dari 60 tahun mempunyai angka mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya dengan keparahan luka bakar yang

sama. Seseorang yang berusia kurang dari 2 tahun akan lebih muda terkena infeksi karena respon imun yang imatur, dan orang yang tua mengalami proses degenaratif yang memperumit proses penyembuhan (Hudak dan Gallo, 1996) 2) Keluhan utama :

Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).

3) Riwayat penyakit sekarang:

Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup, sehingga kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).

4) Riwayat penyakit masa lalu:

Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).

5) Status kesehatan umum

Kaji tentang kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan (BB), dan pemeriksaan luka bakar (apakah termasuk luka bakar berat, sedang atau ringan)

(1) Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya. (2) Ditentukan kedalaman luka bakar (derajat kedalaman)

(Sjaifuddin, 2006)

1. Pemerikasaan fisik 1) Breathing

Kaji adanya tanda disteres pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas, atau adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atu tenggorokan, hal ini menandakan adanya iritasi pada mukosa.Adanya sesak napas atau kehilangan suara, takipnea atau kelainan pada uaskultasi seperi krepitasi atau ronchi. (Sjaifuddin, 2006) 2) Blood

Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyababkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok). Sjaifuddin (2006) 3) Brain

Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar dari sakit kepala, sampai koma, hingga kematian (Huddak dan Gallok, 1996)

4) Bledder

Haluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone antideuretik serta aldosteron (Hudak dan Gallok, 1996)

5) Bowel

Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual. Selain itu pembentukan ulkus gastrduodenal juga dikenal dengan Curling’s biasanya merupakan komplikasi utama dari luka bakar (Hudak dan Gallok, 1996).

6) Bone

Penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya mengalami patah tulang punggung atau spine. 1. Pemeriksaan penunjang

Menurut Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan diaknostik pada penderita luka bakar meliputi :

1) Pemeriksaan Laboratorium

(1) Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh segera setelah pasien tiba di fasilitas perawatan.

(2) Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif

(3) Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50 %, FiO2= 0,5) mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.

(4) Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat menutupi keparahan keracunan kerbon monoksida yang dialami penderita. Pada trauma inhalasi, kadar COHb akan menurun setelah penderita menghirup udara normal. Pada kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah tiga jam dari kejadian kadar COHb masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3 jam kejadian ini merupakan bukti kuat adanya trauma inhalasi

(5) Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk memeriksa kalium terhadap peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti jantung. (6) Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma terutama albumin hilang ke dalam jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas kapiler.

(7) Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.

(9) Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol, memungkinkan penilaian status mental pasien dan antisipasi terjadinya gejala-gejala putus obat.

1) Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada, tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumothoraks atau hematorak. Pasien yang juga mengalami trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann radiografi dari seluruh vertebrata, tulang panjang, dan pelvis

2) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap

3) Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar listrik karena disritmia jantung adalah komplikasi yang umum

4) CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien dengan penyimpangan neurologik yang menderita cedera listrik.

1.1 DiagnosaKeperawatan

1. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotic koloid kapiler, peningkatran kehilangan evaporative. 2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi saluran nafas atas; oedema laring & hipersekresi mukus. 3. Pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar, keracunan karbon monoksida dan atau cedera

inhalasi.

4. Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh tubuh, jaringan avaskuler, penurunan haluaran jantung, dan hipovolemia.

5. Nyeri berhubungan dengan stimulasi terhadap sensor nyeri yang terpajan. 6. Kerusukan integritas kulit berhubungan dengan luka bakar, edema.

7. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan primer tidak adekuat.

A. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan kulit yang terluar, terdiri dari lapisan sel yang telah mati yang disebut juga lapisan tanduk. Fungsi epidermis adalah sebagai sawar pelindung terhadap bakteri, iritasi kimia, alergi dan lain-lain.

Epidermis dapat dibagi menjadi 5 lapisan :

1. Stratum corneum (lapisan tanduk). Stratum corneum merupakan lapisan kulit yang paling

2. Stratum lucidum (daerah rintangan). Stratum lucidum menunjukkan berbagai daerah sawar

hanya terlihat pada telapak kaki dan telapak tangan.

3. Stratum granulosum (lapisan seperti butir). Stratum granulosum berpartisipasi aktif dalam

proses keratinisasi, hanya mekanismenya belum diketahui jelas.

4. Stratum spinosum (lapisan sel duri). Stratum spinosum (stratum malpighi) terdiri dari beberapa

lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.

5. Stratum germinativum (lapisan sel basal). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling

bawah. Disini ditemukan sel-sel yang membelah diri dan membentuk sel kulit baru yang selanjutnya bergeser ke lapisan lebih atas sehingga suatu saat menjadi lapisan cornium.

B. Dermis (corium)

Dermis memiliki ketebalan 3-5 mm, merupakan anyaman serabut kolagen dan elastin yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat penting dari kulit. Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe,

gelembung rambut, kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut saraf.

C. Lapisan lemak dibawah kulit

Pada lapisan ini terdapat cukup banyak jaringan lemak (panniculus adiposus) yang tersusun dalam lapisan. Jaringan lemak subkutan ini terutama berfungsi memberi perlindungan terhadap dingin dan disamping itu merupakan cadangan energi.

Dalam dokumen LAPORAN PENDAHULUAN COMBUSTIO (Halaman 43-52)

Dokumen terkait