• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Deskripsi Hasil

6. Metode

8. Pemberdayaan apa yang dibutuhkan oleh orang tua?

C.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui konten pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. 2. Mengetahui sumber informasi seksualitas bagi orang tua.

3. Mengetahui hambatan yang dialami orang tua di Indonesia. 4. Mengetahui kemudahan yang dialami oleh orang tua di Indonesia. 5. Mengetahui konteks pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia.

6. Mengetahui metode yang digunakan orang tua dalam memberi pendidikan seks.

7. Mengetahui pihak yang dipandang orang tua layak memberi pendidikan seks. 8. Mengetahui pemberdayaan yang dibutuhkan orang tua.

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam ilmu psikologi perkembangan, pendidikan dan keluarga, terutama terkait pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk mengerti dan memahami secara lebih mendalam pendidikan seks oleh orang tua di Indonesia. Hal ini penting karena pendidikan seks memiliki variasi yang beragam tergantung budaya.

2. Manfaat Praktis

Bagi orang tua, penelitian ini dapat menjadi sarana untuk merefleksikan, mengevaluasi dan meningkatkan pendidikan seks yang mereka lakukan. Bagi pasangan suami-istri yang belum mempunyai anak, hasil penelitian ini dapat membuka wawasan dan membantu mempersiapkan pasangan suami-istri tersebut untuk memberikan pendidikan seks di masa yang akan datang. Bagi konselor keluarga, penelitian ini dapat meningkatkan wawasan dan pemahaman konselor mengenai pendidikan seks oleh orang tua, sehingga dapat memberikan bantuan yang lebih baik bagi konseli yang terkait. Penelitian ini juga berguna bagi pemerintah, LSM, dan instansi pendidikan agar dapat lebih baik lagi dalam memperlengkapi orang tua maupun dalam menjadi mitra orang tua untuk memberikan pendidikan seks kepada anak.

14

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Pendidikan Seks

1. Definisi

Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (2003) mendefinisikan seks sebagai bentuk individu sebagai laki-laki atau perempuan dilihat organ dan struktur reproduksinya. Carrera (2008) mengatakan bahwa seks umumnya dipahami sebagai aktifitas genital dan merupakan salah satu aspek kecil namun yang sangat penting dalam seksualitas. Dalam International Technical Guidance on Sexuality Education (UNESCO, 2009), pendidikan seks

merupakan sebagian aspek dari pendidikan seksualitas. Pendidikan seks meliputi topik-topik seperti pertumbuhan manusia, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual. Sementara dalam It’s All One Curriculum (International Sexuality and HIV Curriculum Working Group, 2009), pubertas, organ reproduksi, proses reproduksi, kesehatan seksual termasuk juga penyakit menular seksual dan HIV/AIDS merupakan bahasan terkait dengan seks.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks adalah proses pembelajaran mengenai laki-laki dan perempuan dilihat dari organ dan struktur reproduksinya serta aktifitas genitalnya. Pendidikan seks mencakup hal-hal seperti pertumbuhan manusia termasuk pubertas, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual.

2. Agen Pendidikan Seks

a. Keluarga

Orang tua adalah sumber pendidik seks bagi anak dalam keluarga (Diiorio et al., 1999; Eisenberg et al., 2006; Epstein & Ward, 2007; Miller, Kotchick, Dorsey, Forehand, & Ham, 1998; Pluhar & Kuriloff, 2004; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010). Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sikap, keyakinan, dan perilaku seksual, terutama sebelum mulainya masa remaja (Dilworth, 2009; Jerman & Constantine, 2010; Kakavoulis, 2001). Peran kunci dan utama ini karena orang tua mampu mengekspresikan nilai, kepercayaan dan ekspektasi mereka, sembari memberikan informasi yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan anak, termasuk dalam konteks sosial dan kondisi hidup (Eisenberg et al., 2006). Kincaid, Jones, Sterrett, dan McKee (2012) menyatakan bahwa dalam model seminal Bronfenbrenner, orang tua terletak pada lingkaran pengaruh paling dalam. Hal ini karena orang memberi pengaruh langsung melalui genetik, gaya pengasuhan dan perilaku pengasuhan, serta memberikan ikatan emosional, batasan perilaku, serta model dalam membangun relasi. Lebih jauh lagi Kakavoulis (2001), menyebutkan reinforcement, imitation, identification, dan sosialisasi sebagai media pembelajaran untuk anak dari orang tua.

Selain orang tua, anggota keluarga lain yang memiliki potensi dan kesempatan memberikan pendidikan seks adalah saudara sebagai pendidik seks sebaya dan kakek nenek (Walker, 2004, Walker & Milton, 2006;

Wamoyi et al., 2010). Pendidik seks sebaya memiliki interaksi yang lebih informal seperti mampu terbuka dan menggunakan humor dan gurauan saat menyampaikan informasi tentang seks. Sementara kakek dan nenek umumnya merasa lebih nyaman membicarakan seks dengan cucunya, dibandingkan orang tua ke anak (Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010).

b. Guru dan sekolah

Sekolah dan guru memiliki kesempatan untuk memberikan informasi seksual kepada siswanya dengan memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum pelajaran (Eisenberg, Bernat, Bearinger, & Resnick, 2008; Kakavoulis, 2001; Ha & Fisher, 2011; Walker & Milton, 2006). Meskipun begitu ada hambatan dalam memberikan pendidikan seks yang memadai di sekolah seperti jadwal pelajaran yang sudah padat, tidak ada panduan atau silabus yang jelas, guru merasa tidak nyaman dan tidak menguasai topik pendidikan seks (Nair et al., 2011; Ha & Fisher, 2011).

Walker (2004) menyebut orang tua dan sekolah sebagai dua pihak yang dianggap sebagai pendidik seks utama. Meskipun masih ada perdebatan mengenai pihak yang lebih utama, Walker dan Milton (2006) menunjukkan bahwa ada usaha membangun kerjasama di antara kedua pihak untuk memberikan pendidikan seks yang lebih baik.

c. Agen – agen lainnya

Sumber informasi dan pendidikan seks lain yaitu media massa seperti koran, majalah, televisi, radio, dan internet (Davis, Blitstein, Evans,

& Kamyab, 2010; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher, 2011; Holzner & Oetomo, 2004; Trinh et al., 2009). Teman sebagaimana saudara juga memiliki potensi sebagai pendidik seks sebaya (Diiorio et al., 1999; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher; Walker, 2004). Pendidikan seks juga bisa diberikan oleh instansi kesehatan melalui petugas kesehatan, atau organisasi-organisasi masyarakat misalnya Youth Union (YU) di Vietnam (Davis et al., 2010; Ha & Fisher; Walker & Milton).

3. Model Pendidikan Seks

SIECUS (tanpa tahun) mengatakan bahwa model pendidikan seks yang diberikan kepada anak berbeda-beda tergantung keputusan dan kebijakan dari agen pendidik. Model pendidikan seks ini merupakan sebuah kontinum dimana berbagai pendidikan seks yang ada umumnya terletak di antara dua ujung kontinum yaitu pendidikan seks berbasis abstinence dan pendidikan seks berbasis comprehensive.

a. Pendidikan seks berbasis abstinence (berpantang)

Menurut SIECUS (tanpa tahun), model pendidikan seks ini dirancang untuk mengedepankan nilai sosial konservatif bahwa perilaku seksual hanya pantas secara moral dalam konteks pernikahan heteroseksual. Pendidikan model ini ini jarang menyediakan informasi yang memadai, bahkan pada topik yang paling dasar dalam seks manusia, seperti pubertas, anatomi reproduksi dan kesehatan seksual. Model ini umumnya berfokus

pada pentingnya pernikahan dan memberi pesan bahwa perilaku seksual di luar pernikahan adalah berbahaya.

Program ini memberi pesan negatif tentang seks, mendistorsi informasi mengenai kondon dan PMS, memberikan informasi yang tidak akurat dan bias mengenai gender, orientasi seksual, pernikahan, struktur keluarga, dan pilihan kehamilan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas berbasis abstinence di sekolah hanya sedikit atau sama sekali tidak memberikan dampak positif pada seksualitas anak muda (SIECUS, tanpa tahun).

b. Pendidikan seks berbasis komprehensif

Model ini memberikan pendidikan seksualitas yang disesuaikan usia dan informasi yang akurat secara medis mengenai kumpulan topik yang luas terkait dengan seks (SIECUS, tanpa tahun).

Sama seperti pendidikan seks berbasis abstinence, pendidikan seks berbasis komprehensif juga mendorong anak untuk menunda atau tidak berhubungan seks. Perbedaannya adalah pendidikan seks berbasis komprehensif mengajarkan berbagai topik lain terkait seks seperti kesehatan reproduksi, kontrasepsi, dan tidak berfokus hanya pada berpantang saja. Menurut SIECUS (tanpa tahun) mengajarkan anak muda hanya mengenai berpantang adalah tidak memadai dan membuat anak muda tidak siap untuk membuat keputusan terkait kesehatan seksualnya baik sekarang maupun di masa depan.

4. Materi Pendidikan Seks

Rosenthal dan Feldman (1999) membagi materi pendidikan seks kedalam 4 domain / bidang yaitu :

a. Developmental and Societal Concern

Domain ini meliputi hal-hal terkait perkembangan fisik yang dialami dan topik-topik yang mendapat banyak sorotan oleh masyarakat, misalnya aborsi dan kehamilan di luar nikah. Topik dalam domain ini meliputi menstruasi, perkembangan fisik, aborsi, kehamilan, homoseksualitas, dan seks pranikah.

b. Sexual Safety

Meliputi topik-topik yang menjadi sorotan saat ini terkait seks aman (safe sex) dan pencegahan penyakit. Topik yang termasuk domain ini seperti seks aman (safe sex), penyakit menular seksual (PMS), HIV/ AIDS, dan jenis kontrasepsi serta cara mendapatkannya.

c. Experiencing Sex

Meliputi aspek psikologis dan interpersonal dari seks. Topik yang termasuk dalam domain ini meliputi kencan atau berpacaran, bagaimana mengatasi tekanan seksual tidak diinginkan, hasrat seksual (misal: terangsang), kepuasan seksual (misal: orgasme), macam-macam aktifvitas seksual (misal: seks oral), membicarakan kebutuhan seksual dengan pasangan, memilih pasangan, dan peran kelompok sebaya dalam membuat keputusan seksual.

d. Solitary Sexual Activity

Domain ini meliputi dua hal saja yaitu masturbasi dan mimpi basah. Dua hal yang dianggap sebagai aktivitas seksual pribadi, umumnya dilakukan laki-laki, dan tergolong tabu untuk dibicarakan.

Dari bidang-bidang yang disebutkan ini, bidang Developmental and Societal Concern dapat dibagi menjadi dua antara Developmental dengan

Societal Concern karena keduanya mengandung topik-topik yang berbeda.

Selanjutnya bidang Experiencing Sex juga dapat dipisah menjadi dua bidang yaitu Sexual Relationship dan Sexual Norm. Bidang Sexual Relationship berisi topik-topik terkait aktivitas seksual dan relasi romantis, sementara bidang Sexual Norm berisi norma-norma perilaku dan berelasi dengan orang lain.

B.Pendidikan Seks oleh Orang Tua

1. Definisi Orang Tua

Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (2003) memiliki 2 definisi orang tua yaitu seseorang yang memperanakan atau melahirkan keturunan dan seseorang yang membesarkan dan merawat seorang lain. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) mendefinisikan orang tua sebagai ayah dan ibu kandung. Lebih lanjut lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ayah sebagai orang tua kandung laki-laki dan ibu sebagai perempuan yang pernah melahirkan. Menurut Hoyer dan Roodin (2003) menjadi orang tua membutuhkan komitmen sepanjang hidup, karena pasangan yang sudah

menjadi orang tua tidak bisa berhenti dari menjadi orang tua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua adalah laki-laki dan perempuan yang memperanakan dan melahirkan keturuan dan atau membesarkan serta merawat anak yang membutuhkan komitmen seumur hidup.

Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anaknya. Pengasuhan (parenting) adalah segala tindakan terkait dengan usaha membesarkan keturunan (APA Dictionary of Psychology, 2007). Hoyer dan Roodin (2003) menjelaskan bahwa masa pengasuhan anak dimulai dari anak lahir sampai anak menjadi mandiri dan meninggalkan rumah. Setelah anak meninggalkan rumah relasi orang tua anak berubah karena sekarang orang tua dan anak sama-sama orang dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Ada beragam macam orang tua yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda-beda terutama dalam hal dinamika pengasuhan yang terjadi. Macam orang tua yang ada antara lain orang tua heteroseksual, orang tua tiri, orang tua tunggal tidak pernah menikah, janda atau duda, orang tua gay dan lesbian, orang tua adopsi (Berk, 2007; Kail & Cavanaugh, 2010).

2. Topik dan Isi Pendidikan Seks

Informasi seks dari orang tua kepada anak cenderung bermuatan negatif. Orang tua paling sering mendiskusikan konsekuensi negatif dari aktivitas seksual seperti kehamilan tidak terencana, PMS dan HIV/AIDS (Eisenberg et al., 2006; Jerman & Constantine, 2010; Miller et al., 1998; Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010). Diskusi ini pun sering berupa peringatan

saja (Trinh et al., 2009) bahkan Eisenberg et al. (2006) menemukan bahwa orang tua jarang berbicara soal cara mencegah konsekuensi negatif tersebut. Jerman dan Constantine (2010) menambahkan bahwa orang tua tidak mengkomunikasikan konsekuensi positif penggunaan kontrasepsi jika seseorang aktif secara seksual.

Topik lain yang dibahas orang tua adalah mengenai moralitas seksual, berpantang (abstinience), dan relasi heteroseksual (Epstein & Ward, 2007; Miller et al., 1998; Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010). Rosenthal dan Feldman (1999) menyatakan bahwa topik komunikasi seks orang tua berkisar pada area keamanan seksual (kontrasepsi, HIV/AIDS, PMS, seks aman) dan area perkembangan dan isu sosial (menstruasi, perubahan fisik, kehamilan, aborsi) dan cenderung tidak menyentuh area pengalaman seksual (berpacaran, dorongan seksual, kepuasan seksual, aktivitas seksual) dan area aktivitas seksual sendiri (masturbasi, mimpi basah).

Meskipun begitu penelitian Miller et al. (1998) dan Trinh et al. (2009) menemukan hasil yang bertentangan yaitu orang tua cenderung tidak membicarakan soal perkembangan fisik dan seksual. Trinh et al. juga menemukan bahwa topik homoseksual dan orientasi seksual lainnya tidak dibahas orang tua. Diiorio et al. (1999) menyatakan bahwa konten pembicaraan orang tua-anak kurang berfokus pada hal-hal yang remaja perlu ketahui untuk memahami dengan sepenuhnya bagaimana mereka berkembang dan bertumbuh. Kemungkinan hal ini karena orang tua memandang seksualitas

anak sebagai resiko, hal yang perlu ditunda dan dihindari (Epstein & Ward, 2007).

3. Waktu untuk Memulai Pendidikan Seks

Walker (2004) menemukan bahwa menstruasi pertama dijadikan penanda oleh orang tua untuk bisa memulai pendidikan seks kepada anak perempuannya. Sedangkan tiadanya perubahan yang bisa dijadikan penanda dengan jelas pada anak laki-laki, menyebabkan orang tua kesulitan menentukan waktu yang tepat untuk memulai pendidikan seks. Sementara dalam penelitian Eisenberg et al. (2006), ditemukan bahwa orang tua menunggu anak terlibat dalam relasi romantis sebelum memulai diskusi soal seks. Selanjutnya Wamoyi et al. (2010) menyatakan bahwa orang tua menunggu terjadinya perubahan perilaku yang diasosiasikan dengan remaja sudah berhubungan seks, lalu kemudian memberikan pendidikan seks. Hal senada diungkapkan Bastien et al. (2011) bahwa keputusan mendiskusikan seks didasarkan hasil observasi orang tua terhadap perilaku anak, yang mengindikasikan keaktifan seksual anak. Ada juga orang tua yang menunggu sampai anak „cukup umur‟. Ini ditandai dengan anak yang mulai bertanya mengenai seksualitas (Walker & Milton 2006).

Menurut Walker (2004) adalah lebih baik untuk memulai pendidikan seks saat usia sekolah dasar karena orang tua akan lebih mudah saat membicarakan seks dan dapat membangun fondasi yang luas mengenai seksualitas. Sebaliknya menunda sampai “usia pantas” meningkatkan resiko prokrastinasi (penundaan) sampai pendidikan seks itu terlambat bahkan tidak

pernah diberikan. Selain itu orang tua juga dapat “ketinggalan perahu” atau melewatkan kesempatan untuk menjadi sumber informasi pertama, menunda hubungan seks pertama pada anak, dan mendorong perilaku seksual yang lebih aman (Walker & Milton, 2006; Eisenberg et al., 2006). Eisenberg et al. (2006) menyoroti kesulitan mengubah perilaku beresiko tinggi (misalnya seks tanpa pengaman) menjadi perilaku dengan resiko lebih rendah, saat remaja sudah terlibat dalam relasi romantis. Sementara Wamoyi et al. (2010) mengatakan bahwa relasi seksual memiliki sifat dasar disembunyikan sehingga menemukan tanda-tanda keaktifan seksual anak sebelum memberi pendidikan seks akan sulit, terlebih untuk anak-anak yang tertutup. Akibatnya ada resiko yang lebih besar pada anak-anak yang tertutup untuk melakukan perilaku seksual beresiko.

4. Hal yang Memudahkan Terjadinya Pendidikan Seks

a. Relasi orang tua - anak

Menurut Wamoyi et al. (2010), kedekatan orang tua-anak penting untuk membangun komunikasi seks. Hal senada juga diungkapkan Trinh et al. (2009) yang menemukan bahwa relasi orang tua-anak yang baik memampukan dan mendorong orang tua menjadi guru yang memberi informasi dan mendorong anaknya bertanya, namun juga teman yang berbagi pengalaman hidup. Menurut Pluhar dan Kuriloff (2004) adanya rasa nyaman dan empati menjadi kualitas afektif yang mendukung relasi orang tua dan anak yang baik.

b. Gaya komunikasi

Menurut Rosenthal et al. (2001) komunikasi seks adalah bagian dari kemampuan komunikasi secara umum sehingga saat orang tua memiliki gaya komunikasi yang positif, keterampilan berkomunikasi ini dapat diterapkan pada area spesifik, dalam hal ini komunikasi mengenai seksualitas. Selanjutnya Pluhar & Kuriloff (2004) mengatakan bahwa mendengarkan adalah kompenen penting untuk membangun komunikasi yang baik dan kedekatan.

c. Keterbukaan

Faktor lain yang mendukung berjalannya pendidikan seks adalah keterbukaan dan penerimaan terhadap diskusi mengenai seks (Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Keterbukaan berarti kemauan menjawab pertanyaan seputar seks. Meskipun begitu orang tua juga diharapkan agar tidak terlalu membesar-besarkan dan berfokus terus menerus (keep a spotlight) pada topik seksual (Kirkman et al., 2005). Walker dan Milton

juga menambahkan bahwa penerimaan terhadap diskusi seks tidak hanya diperlukan di dalam keluarga namun juga diperlukan secara kultural dan sosial.

d. Model pengasuhan

Landor, Simons, Brody dan Gibbons (2011) mengatakan bahwa model pengasuhan authoritative terkait dengan perilaku seksual beresiko yang lebih rendah. Keterkaitan ini lebih kuat pada anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki. Ini karena orang tua melakukan lebih

banyak pengawasan dan diskusi mengenai seks kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki.

e. Stimuli

Orang tua memandang penting adanya stimuli, atau pemicu untuk memulai diskusi mengenai seks (Trinh et al., 2009; Walker, 2004). Stimuli atau pemicu ini bisa berupa kasus tetangga yang meninggal karena HIV/AIDS, adanya gadis desa yang hamil, acara TV atau radio, atau anak pulang membawa selebaran dari sekolah (Trinh et al., 2005; Wamoyi, 2010).

5. Hambatan Memberikan Pendidikan Seks

Ada berbagai hal yang menghalangi dan menghambat orang tua dalam memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Jerman dan Constantine (2010), menemukan ada 9 kesulitan yang dihadapi orang tua untuk melakukan komunikasi seksual.

a. Rasa malu dan tidak nyaman

Walker (2001) menemukan bahwa orang tua merasa malu dan tidak nyaman membicarakan seks sehingga dengan sengaja dan sadar, mereka membuat dirinya tidak terjangkau dan menghindari interaksi. Rasa malu untuk membicarakan seks tidak hanya dialami oleh orang tua tetapi juga oleh anak (Trinh et al., 2009). Ha dan Fisher (2009), mengindikasikan bahwa di Vietnam, percakapan mengenai seks dianggap tidak sopan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Di Tanzania, Wamoyi et al.

(2010) menemukan adanya perasaan tidak nyaman saat menggunakan termonologi seksual. Dalam menghadapi rasa malu terkait memberi pendidikan seks, ada beberapa strategi yang dapat diambil orang tua dan guru, yaitu (a) menerima bahwa mau tidak mau berbicara dengan anak soal seksualitas memang menimbulkan rasa malu, (b) menyadari bahwa kenyataannya tidak akan sememalukan yang dibayangkan, dan (c) melakukan kegiatan lain saat memberi pendidikan seksualitas (Walker & Milton, 2006).

b. Pengetahuan dan efikasi diri

Orang tua merasa bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai soal seks (Ha & Fisher, 2011; Trinh et al., 2009; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006). Kurangnya pengetahuan ini menyebabkan orang tua merasa tidak mumpuni dalam mengajar mengenai seks dan memiliki efikasi diri yang rendah (Bastien et al., 2011; Walker, 2004). Sebagaimana diungkapkan oleh Walker dan Milton, orang tua mengalami kesulitan dan kebingungan terkait materi yang harus diajarkan, cara mengatakan, dan cara memulainya. Walker (2001) melihat pentingnya aksesibilitas bahan pendidikan seks bagi orang tua agar orang tua dapat memiliki pengetahuan yang memadai.

c. Pengaruh kultur dan sosial

Bastien et al. (2011) menemukan bahwa di beberapa bagian Afrika, kekristenan Eropa menghasilkan pembatasan dalam membicarakan seksualitas. Sementara ketidaknyamanan menggunakan terminologi seksual

di Tanzania disebabkan norma seksual masyarakat menekan keterbukaan tentang seks lintas gender dan generasi (Wamoyi et al., 2010). Sementara di Vietnam, percakapan mengenai seks dianggap tidak sopan oleh moralitas budaya (Ha & Fisher, 2009).

d. Pengaruh dan isu keluarga dan antar generasi

Orang tua yang tidak mendapat pendidikan seks dari orang tuanya cenderung bingung dalam membicarakan seks dengan anaknya (Jerman & Constantine, 2010). Menurut Walker (2001), pendidikan seks yang diberikan orang tua sedikit banyak dipengaruhi oleh pendidikan seksyang diterima orang tua dari orang tua (kakek – nenek).

e. Masalah komunikasi secara umum

Ha dan Fisher (2011) menemukan bahwa orang tua di pedesaan Vietnam mengalami kesulitan memulai percakapan mengenai seks karena mereka sibuk bekerja sehingga tidak punya waktu bercakap-cakap dengan anaknya. Walker (2004) juga menemukan bahwa kemampuan komunikasi yang rendah menyebabkan pendidikan seks lebih sulit. Gaya komunikasi orang tua juga berpengaruh terhadap kelancaran pendidikan seks. Gaya komunikasi yang searah, berbentuk instruksi, alur dikendalikan oleh orang tua, dan penuh peringatan dan ancaman menjadi penghalang terjadinya komunikasi yang baik (Bastien et al., 2011; Pluhar & Kuriloff, 2004). f. Pengaruh dan kontrol orang tua

Trinh et al. (2009) menemukan bahwa orang tua merasa membicarakan seks dengan anak akan mendorong anak melakukan seks

sebelum mereka siap. Orang tua juga merasa mendiskusikan seks dapat merusak anak muda. Anak menangkap gelagat ini sehingga mereka enggan mendiskusikan seks dengan orang tua karena takut dianggap ingin atau sudah aktif secara seksual (Bastien et al., 2011; Walker, 2004). Sementara Wamoyi et al. (2010) menemukan adanya orang tua yang merasa tidak dekat dengan anak sehingga merasa akan sia-sia membicarakan seks dengan anaknya karena tidak akan didengarkan. Menurut Trinh et al. dalam keluarga yang tidak memiliki relasi erat, anak cenderung enggan membicarakan seks dengan orang tuanya.

g. Penerimaan orang tua atas seksualitas remaja

Trinh et al. (2009) menemukan bahwa orang tua merasa anak-anak mereka belum cukup dewasa untuk belajar isu seksual, atau terlalu muda untuk terlibat aktivitas seksual. Orang tua juga memiliki persepsi bahwa anaknya tidak aktif secara seksual (Trinh et al., 2009; Wamoyi et al., 2010) sehingga tidak perlu mendiskusikan seks.

h. Usia dan perkembangan anak

Orang tua dapat mengalami kesulitan dalam menentukan informasi yang tepat terkait usia anak. Menurut Kirkman et al. (2005), jika informasi diberikan saat anak terlalu muda, maka mereka mungkin tidak akan paham atau ingat. Jika orang tua merasa anak terlalu muda untuk belajar suatu hal maka orang tua tidak akan menjawab pertanyaan anaknya dengan penuh dan jelas (Walker, 2001).

i. Kesulitan orang tua dalam membicarakan topik-topik spesifik

Dokumen terkait