• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahunan dalam bentuk time series (deret waktu) selama periode 1980-2010. Data-data yang dikumpulkan untuk menghitung TFP berupa: produksi industri pengolahan, jumlah tenaga kerja (TK), biaya sewa modal (SM), bahan baku (BB), dan energi (E). Sedangkan data-data yang dikumpulkan untuk menganalisis faktor yang memengaruhi TFP adalah PDB sektor industri, Penanaman Modal Asing (PMA) sektor industri, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri, ekspor hasil industri nonpertanian (X), dan impor modal (mesin) industri nonpertanian (M). Industri pengolahan yang diteliti pada penelitian ini adalah industri pengolahan nonpertanian dengan kode ISIC 34-38 pada tahun 1980 hingga tahun 1999 dan kode 21-35 sejak tahun 2000 hingga 2010. Data tersebut diperoleh dari informasi statistik yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum mengenai industri pengolahan nonpertanian di Indonesia serta menjelaskan informasi-informasi yang terkandung dalam data hasil analisis yang dapat membantu mempertajam analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengukur tingkat TFP dan melihat pengaruh variabel-variabel yang saling berhubungan.

Metode analisis kuantitatif yang digunakan untuk mengukur Total Factor Productivity (TFP) adalah metode Ordinary Least Square (OLS) dengan melakukan regresi terhadap data input dan output industri pengolahan nonpertanian secara agregat maupun antar subsektor sehingga didapat fungsi produksi Cobb-Douglas. Model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi TFP adalah dengan metode Error Correction Model (ECM). Pengolahan data menggunakan program Eviews 6.1 dan Microsoft Office Excel 2007.

Model Penelitian

Model yang digunakan pada penelitian ini merupakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan model pertumbuhan Sollow yang akan dianalisis dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Metode yang digunakan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Felipe (1997) dan Anindita (2006).

Fungsi produksi dengan asumsi tidak ada perubahan teknologi adalah :

Peningkatan kedua faktor produksi sebesar ΔK dan ΔL akan meningkatkan output. Kenaikan ini dibagi menjadi dua sumber dengan menggunakan produk marjinal dari dua input tersebut (Mankiw 2003).

� = ( × � ) + ( × � ) (2) Bagian pertama dalam tanda kurung adalah kenaikan output yang disebabkan oleh kenaikan modal, dan bagian kedua dalam tanda kurung adalah kenaikan output yang disebabkan oleh kenaikan tenaga kerja. Persamaan ini menunjukkan bagaimana mengaitkan pertumbuhan dengan setiap faktor produksi. Persamaan 2 ini dapat diubah bentuknya menjadi:

Δ

Y = × Δ

K + × Δ

L (3)

Bentuk persamaan ini mengaitkan tingkat pertumbuhan output (ΔY/Y) dengan tingkat pertumbuhan modal (ΔK/K) dan tingkat pertumbuhan tenaga kerja (ΔL/L). MPK × K adalah pengembalian modal total dan (MPK × K)/Y adalah bagian modal dari output. Sedangkan MPL × L adalah kompensasi total yang diterima tenaga kerja dan (MPL × L)/Y adalah bagian tenaga kerja dari output. Dengan asumsi bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan yang menyatakan kedua bagian ini berjumlah satu maka persamaan 3 dapat ditulis sebagai:

Δ

Y = Δ

K + 1− ΔL (4)

dimana α adalah bagian modal dan (1-α) adalah bagian tenaga kerja.

Jika dampak dari perubahan teknologi dimasukkan, maka persamaan 1 menjadi:

= �( , ) (5)

dimana A adalah ukuran dari tingkat teknologi terbaru yang disebut Total Factor Productivity (TFP). Sehingga peningkatan output tidak hanya disebabkan karena kenaikan modal dan tenaga kerja, tetapi juga karena kenaikan TFP. Dengan memasukkan perubahan teknologi ini, maka persamaan 4 menjadi:

ΔY

Y = αΔKK+ 1− α ΔLL+ΔA

A (6)

Persamaan ini mengidentifikasi dan mengukur tiga sumber pertumbuhan yaitu perubahan jumlah modal, perubahan jumlah tenaga kerja, dan perubahan TFP.

TFP diukur secara tidak langsung karena tidak dapat diamati secara langsung. Dari persamaan 6 dapat diperoleh TFP.

ΔA

A =ΔTFP =ΔY

dimana ΔA/A adalah perubahan output yang tidak dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan input. Jadi, pertumbuhan TFP dihitung sebagai residu yaitu sebagai jumlah pertumbuhan output yang tersisa setelah menghitung determinan pertumbuhan yang bisa diukur.

Dalam penelitian ini input yang digunakan adalah biaya bahan baku (B), jumlah tenaga kerja (TK), sewa modal (SM), dan biaya energi (E), sehingga persamaan 7 menjadi:

= � = (8)

dimana:

ΔTFPt = Pertumbuhan Total Factor Productivity (persen)

ΔQ/Q = Pertumbuhan output (persen)

ΔTK/TK = Pertumbuhan tenaga kerja (persen)

ΔBB/BB = Pertumbuhan biaya bahan baku (persen)

ΔE/E = Pertumbuhan energi (persen)

ΔSM/SM = Pertumbuhan jumlah sewa modal (persen) a, b, c, d = Koefisien

Model kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Error Correction Model (ECM) untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi TFP pada sektor industri nonpertanian di Indonesia. Secara matematis ditulis sebagai berikut:

= 0 + 1 ( � ) + 2 ( � ) + 3 ( � ) +

4 ( � ) + 5 ( � ) + � (9) dimana:

ΔTFPt = Pertumbuhan Total Factor Productivity (persen) PDB = Produk Domestik Bruto sektor industri (miliar rupiah) PMA = Penanaman Modal Asing sektor industri (juta USD)

PMDN = Penanaman Modal Dalam Negeri sektor industri (miliar rupiah) X = Nilai ekspor hasil industri nonpertanian (juta USD)

M = Nilai impor modal (mesin) industri nonpertanian (juta USD)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum

Industri nonpertanian memiliki kontribusi besar terhadap output industri pengolahan secara agregat. Pada periode sebelum krisis (1981-1995), kontribusi output industri nonpertanian cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 45.77 persen. Output industri nonpertanian mengalami pertumbuhan yang pesat pada periode ini, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 26.75 persen. Pertumbuhan output industri nonpertanian yang cukup besar terjadi pada tahun

1985 hingga mencapai 59.46 persen dari tahun sebelumnya. Kontribusi output industri nonpertanian terhadap output industri pengolahan pada tahun 1985 mencapai 46.98 persen. Nilai kontribusi tersebut bukan nilai kontribusi output industri nonpertanian tertinggi selama periode sebelum krisis 1997-1998, kontribusi terbesar selama periode sebelum krisis yaitu sebesar 51.43 persen terjadi pada tahun 1995.

Tabel 3 Kontribusi output industri nonpertanian terhadap output industri periode sebelum krisis (1981-1995)

Tahun Output industri (miliar rupiah) Output industri nonpertanian (miliar rupiah) Kontribusi (persen) Pertumbuhan output industri nonpertanian (persen) 1981 11303 3821 33.80 - 1982 11481 4299 37.44 12.51 1983 11658 5455 46.79 26.90 1984 14614 6784 46.42 24.36 1985 23027 10818 46.98 59.46 1986 25877 12207 47.17 12.84 1987 33591 15683 46.69 28.48 1988 43761 20942 47.85 33.53 1989 56924 26373 46.33 25.93 1990 70516 34408 48.79 30.47 1991 86251 42073 48.78 22.28 1992 109487 51429 46.97 22.24 1993 135864 58271 42.89 13.30 1994 155825 75097 48.19 28.88 1995 194680 100125 51.43 33.33 Rata-rata 45.77 26.75 Sumber: BPS (2012).

Tabel 4 menunjukkan kontribusi output industri nonpertanian terhadap output industri pengolahan pada periode setelah krisis. Sejak tahun 2000, kontribusi output industri nonpertanian melebihi 50 persen dari nilai output industri pengolahan secara agregat. Kontribusi tertinggi dicapai pada tahun 2010 yaitu sebesar 1140 trilliun rupiah atau mencapai 60.67 persen nilai output industri pengolahan. Rata-rata pertumbuhan output industri nonpertanian pada periode setelah krisis lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata pada periode sebelum krisis. Nilai output industri nonpertanian mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 18.22 persen selama periode setelah krisis.

Tabel 4 Kontribusi output industri nonpertanian terhadap output industri periode setelah krisis (1999-2010) Tahun Output industri (miliar rupiah) Output industri nonpertanian (miliar rupiah) Kontribusi (persen) Pertumbuhan output industri nonpertanian (persen) 1999 488144 235530 48.25 - 2000 628808 347627 55.28 47.59 2001 719291 390819 54.33 12.42 2002 882476 515143 58.37 31.81 2003 838804 433119 51.64 -15.92 2004 985946 565377 57.34 30.54 2005 1088682 607563 55.81 7.46 2006 1292560 717812 55.53 18.15 2007 1547004 837042 54.11 16.61 2008 1917312 1068594 55.73 27.66 2009 2000944 1148744 57.41 7.50 2010 2208326 1339836 60.67 16.63 Rata-rata 55.37 18.22 Sumber: BPS (2012).

Kontribusi nilai output industri nonpertanian yang cukup tinggi pada sektor industri tidak sejalan dengan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri nonpertanian. Pertumbuhan rata-rata jumlah tenaga kerja sektor industri nonpertanian sejak tahun 1980 hingga 2010 hanya mencapai 5.81 persen. Pertumbuhan tenaga kerja pada periode setelah krisis tidak sebesar pertumbuhan pada periode sebelum krisis, namun persentase tenaga kerja yang diserap tidak menunjukan perbedaan baik sebelum maupun setalah krisis. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja sektor industri nonpertanian mengalami penurunan pada tahun 2008 dan 2009, namun tahun 2010 pertumbuhan menunjukkan angka positif meskipun hanya sebesar 1.68 persen dari jumlah tenaga kerja yang diserap pada tahun 2009.

Tabel 5 Jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan dan industri nonpertanian Tahun Industri (jiwa) Industri nonpertanian (jiwa) Kontribusi (persen) Pertumbuhan jumlah tenaga kerja industri ionpertanian (persen) 1985 1684726 589328 34.98 51.50 1990 2659165 878637 33.04 18.42 1995 4174141 1348560 32.31 10.78 2000 4366816 1420605 32.53 0.74 2005 4226572 1514184 35.83 0.54 2010 4501145 1598836 35.52 1.68 Sumber: BPS (2012).

Jumlah tenaga kerja tertinggi pada industri nonpertanian terdapat pada subsektor industri barang dari logam. Pada Tahun 2011 subsektor industri barang dari logam menyerap tenaga kerja sebanyak 636768 jiwa atau sebesar 39.84 persen dari jumlah tenaga kerja yang diserap industri nonpertanian. Subsektor industri dasar logam merupakan subsektor industri nonpertanian dengan jumlah tenaga kerja terkecil dibandingkan dengan subsektor lainnya. Pada tahun 2011 subsektor ini hanya menyerap 60217 jiwa tenaga kerja atau sebesar 3.77 persen dari jumlah tenaga kerja yang diserap sektor industri nonpertanian. Sebagian besar industri nonpertanian merupakan industri capital intensive, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor ini tidak sebanding dengan nilai output yang dihasilkan. Dalam proses produksi industri nonpertanian lebih banyak menggunakan mesin-mesin dalam mengolah bahan baku sehingga penyerapan teknologi sangat dibutuhkan agar proses produksi dapat dikembangkan dengan menggunakan faktor-faktor produksi secara optimal.

Tabel 6 Jumlah tenaga kerja subsektor industri nonpertanian tahun 2006-2011 (jiwa)

Tahun Kertas Kimia Galian bukan

logam Dasar logam

Barang dari logam 2006 191991 562664 190630 65069 619669 2007 192824 565268 177304 64233 635318 2008 187220 562134 176306 63930 635348 2009 180981 556883 175127 60632 598852 2010 129194 586887 171313 64643 646799 2011* 166683 565291 169327 60217 636768 Sumber: BPS (2012).

Keterangan: *Angka Sementara

Analisis Total Factor Productivity (TFP) Industri Nonpertanian

Total Factor Productivity (TFP) dapat diartikan sebagai kumpulan dari seluruh faktor kualitas dalam menggunakan faktor produksi yang ada untuk menghasilkan lebih banyak output dari tiap unit input. Pada jangka panjang, TFP dapat dianggap sebagai suatu ukuran peningkatan efisiensi dari proses produksi dan progres teknologi (Felipe 1997). Berdasarkan teori pertumbuhan Solow, untuk menghitung TFP perlu mengestimasi faktor-faktor produksi lainnya terlebih dahulu dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasil estimasi faktor-faktor produksi industri nonpertanian dapat dilihat pada Tabel 7.

Uji kenormalan dengan menggunakan Jarque-Berra Test menunjukkan nilai probabilitas Jarque-Berra sebesar 0.867649 lebih besar dari taraf nyata (ɑ) 10

persen. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kenormalan data telah terpenuhi. Nilai probabilitas Obs*R-squared uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM sebesar 0.9062 lebih besar dari taraf nyata (ɑ) 10 persen menunjukkan tidak adanya gejala autokorelasi pada persamaan ini. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan uji Breusch-Pagan-Godfrey dimana nilai probabilitas

Obs*R-squared sebesar 0.4856 lebih besar dari taraf nyata (ɑ) 10 persen, artinya model ini juga sudah terbebas dari gejala heteroskedastisitas (Lampiran 2).

Gejala multikolinearitas dapat dilihat melalui Correlation Matrix. Multikolinearitas adalah terjadinya hubungan linier yang sempurna atau korelasi antara peubah-peubah bebas. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat koefisien korelasi antar variabel independen yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari 0.8 maka terdapat gejala multikolinearitas (Gujarati, 1978). Pada Lampiran 2 terlihat bahwa terdapat gejala multikolinearitas pada hasil estimasi. Namun, gejala ini dapat diatasi dengan menggunakan uji Klein, yaitu jika nilai korelasi terbesar antar variabel bebas lebih kecil dari nilai R-squared persamaan tersebut, maka multikolinearitas dapat diabaikan. Nilai R-squared yang diperoleh sebesar 0.999543 ternyata lebih besar dari nilai korelasi terbesar antar variabel yaitu sebesar 0.999366. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala multikolinearitas pada persamaan ini dapat diabaikan. Tabel 7 Hasil estimasi untuk menghitung pertumbuhan Total Factor Productivity

(TFP) sektor industri nonpertanian

Variabel Dependen: LNQ

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob.

LNTK 0.558501 0.133827 4.173297* 0.0003 LNBB 0.635404 0.050954 12.47007* 0.0000 LNE 0.212558 0.051091 4.160395* 0.0004 LNSM 0.033273 0.016681 1.994674* 0.0576 C -5.129865 1.839426 -2.788840 0.0102 AR(1) 0.759950 0.109158 6.961944 0.0000 R-squared 0.999543 F-statistic 10501.45

Adjusted R-squared 0.999448 Prob (F-statistic) 0.000000

Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 10 persen

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 7 diperoleh nilai F-Statistik sebesar 10501.45. Nilai tersebut lebih besar dari nilai F-tabel pada tingkat signifikansi 10 persen (F-tabel=2.36). Dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu variabel

yang berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf nyata (ɑ) 10 persen. Uji t-Statistik dilakukan dengan melihat nilai t-statistik dari masing-masing variabel bebas. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa faktor produksi tenaga kerja (TK), bahan baku (BB), energi (E), biaya sewa modal (SM) berpengaruh nyata terhadap produksi. Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai t-Statistik yang memiliki nilai lebih besar dari nilai t-tabel pada taraf nyata 10 persen (t tabel=1.753).

Uji koefisien determinasi dilakukan untuk mengukur sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 7 diperoleh nilai R-squared sebesar 0.999543, yang artinya faktor-faktor produksi tenaga kerja (TK), bahan baku (BB), modal (SM), dan energi (E) yang terdapat dalam model dapat menjelaskan keragaman sebesar 99.95 persen dan sisanya 0.05 persen dijelaskan oleh faktor produksi lain yang tidak dimasukkan ke dalam model fungsi produksi.

Langkah selanjutnya yaitu menghitung pertumbuhan tiap variabel per tahun dan didapat ΔQ/Q, ΔSM/SM, ΔTK/TK, ΔBB/BB, dan ΔE/E. Kemudian,

masing-masing nilai tersebut (kecuali ΔQ/Q) dikalikan dengan masing-masing koefisien variabel dari hasil estimasinya sehingga dapat diukur nilai TFP tiap tahun berdasarkan persamaan 8.

Gambar 5 Pertumbuhan TFP industri nonpertanian Indonesia periode 1981-2010 (persen)

Nilai TFP industri nonpertanian selama periode 1981-2010 menunjukkan angka yang fluktuatif dengan nilai tertinggi sebesar 0.05659 pada tahun 2009 dan terendah sebesar -0.2036 pada tahun 2000. Nilai rata-rata TFP sektor industri nonpertanian Tahun 1981-2010 sebesar -0.0226, dengan rata-rata sebelum krisis sebesar -0.0313 dan setelah krisis sebesar -0.0132. Artinya, Nilai TFP sektor industri nonpertanian di Indonesia masih sangat rendah selama periode 1981-2010. Nilai TFP yang negatif menunjukkan pertumbuhan output kurang dari pertumbuhan input, atau penguasaan teknologi pada industri nonpertanian masih lemah.

Analisis Total Factor Productivity (TFP) Subsektor Industri Nonpertanian Periode 1981-2010

Total factor productivity (TFP) dapat diukur dengan menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas seperti pada perhitungan TFP sektor industri nonpertanian yang telah diuraikan. Dengan cara yang sama diperoleh nilai rata-rata TFP pada masing-masing subsektor industri nonpertanian yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Rata-rata TFP tertinggi terdapat pada subsektor industri barang dari logam dengan rata-rata sebesar -0.0182, sedangkan nilai TFP terendah terdapat pada subsektor industri dasar dari logam dengan rata-rata total sebesar -0.0597. Rata-rata TFP tertinggi pada periode sebelum krisis terdapat pada subsektor industri barang dari logam dan terendah pada industri galian bukan logam. Sedangkan pada periode setelah krisis rata-rata TFP tertinggi terdapat pada industri galian bukan logam dan terendah pada industri dasar dari logam. Artinya terjadi

-0,2500 -0,2000 -0,1500 -0,1000 -0,0500 0,0000 0,0500 0,1000 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 TF P no npe r ta nia n (pe r se n) Tahun

peningkatan efisiensi faktor produksi pada industri galian bukan logam dan penurunan efisiensi faktor produksi pada industri barang dari logam setelah terjadi krisis pada tahun 1997-1998.

Tabel 8 Hasil rata-rata TFP subsektor industri nonpertanian periode 1981-2010 (persen)

Sektor Industri

nonpertanian Kertas Kimia

Galian bukan logam Dasar dari logam Barang dari logam Rata-rata Total -0.0226 -0.0287 -0.0419 -0.0472 -0.0597 -0.0182 Sebelum Krisis -0.0313 -0.0193 -0.0721 -0.0864 -0.0179 -0.0086 Setelah Krisis -0.0132 -0.0447 -0.0134 -0.0038 -0.0564 -0.0403 Rata-rata kontribusi TFP terhadap pertumbuhan output pada masing-masing subsektor dapat dilihat pada Gambar 6. Secara keseluruhan rata-rata kontribusi TFP terhadap pertumbuhan output pada periode setelah krisis lebih besar dari pada kontribusi pada periode sebelum krisis. Pertumbuhan TFP secara umum memberikan sumbangan terkecil terhaadap pertumbuhan output pada masing-masing subsektor selama kurun waktu 1981-2010. Kontribusi TFP tertinggi pada periode sebelum krisis terdapat pada subsektor industri barang dari logam, dengan rata-rata sebesar -13.8081. Kontribusi TFP tertinggi pada periode setelah krisis terdapat pada subsektor industri kertas, dengan rata-rata sebesar 125.1211 persen.

Gambar 6 Rata-rata kontribusi TFP terhadap pertumbuhan output pada masing-masing subsektor industri nonpertanian (persen)

-300 -250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 K o n tr ib u si TFP te rh a d a p p er tu m b u h a n o u tp u t (p er se n )

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi TFP Sektor Industri Nonpertanian

Untuk menduga model persamaan jangka panjang dan jangka pendek, tahap analisis yang dilakukan yaitu sebagai berikut:

1. Uji unit root

Tahap ini dimaksudkan untuk memastikan ada tidaknya persoalan akar unit (unit root) pada masing-masing variabel yang akan dimasukkan dalam persamaan ECM. Apabila pada suatu variabel terdeteksi mengandung akar unit, maka variabel tersebut bersifat tidak stasioner (non stationare). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan persamaan yang tidak valid dan sporius (semu). Metode yang digunakan untuk mendeteksi persoalan akar unit ini adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test). Hasil uji unit root pada semua variabel dapat dilihat pada Tabel 9. Variabel TFP dan PMA terdeteksi bersifat stasioner pada level. Sedangkan variabel PDB, PMDN, X, dan M terdeteksi mengandung unit root atau bersifat non stasioner pada level. Hal ini dapat dilihat dari nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon pada taraf nyata 10 persen.

Tabel 9 Hasil uji unit root pada level sektor industri nonpertanian Variabel Nilai ADF Nilai kritis Mackinnon (10%) Keterangan

TFP -4.583927 -2.622989 Stasioner PDB -0.764564 -3.221728 Tidak Stasioner PMA -3.525863 -2.622989 Stasioner PMDN -2.231410 -2.622989 Tidak Stasioner X -3.189045 -3.221728 Tidak Stasioner M -0.994482 -2.622989 Tidak Stasioner

2. Uji Derajat Integrasi

Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui derajat integrasi ke berapa sehingga data runtun waktu dari masing-masing variabel yang akan digunakan bersifat stasioner. Dengan menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test), menunjukkan bahwa derjat integrasi masing-masing variabel bervariasi antara derjat pertama (first difference) dan pada derajat kedua (second difference). Karena itu variabel dalam persamaan ECM diolah berdasarkan tingkat derajat integrasinya masing-masing. Tabel 10 menunjukkan hasil uji unit root pada first difference, variabel PDB, PMDN, X, dan M berhasil dilakukan uji integrasi derajat satu atau I(1) atau stasioner pada first difference.

Tabel 10 Hasil uji unit root pada first difference sektor industri nonpertanian Variabel Nilai ADF Nilai kritis Mackinnon (10%) Keterangan

PDB -4.525724 -3.225334 Stasioner

PMDN -6.497753 -2.625121 Stasioner

X -14.687060 -3.225334 Stasioner

3. Uji Kointegrasi

Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah dua variabel yang akan diamati dapat berkointegrasi, apabila kedua variabel tersebut tidak berkointegrasi maka berarti tidak memiliki kestabilan atau keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi dilakukan dengan melakukan uji stasioneritas pada residual persamaan regresi dari variabel-variabel yang akan diamati. Pada Lampiran 3 dapat dilihat hasil uji kointegrasi persamaan yang digunakan. Nilai statistik ADF (-9.018385) lebih kecil dari nilai kritis Mackinnon pada taraf nyata 10 persen (-2.625121), artinya variabel-variabel yang digunakan dalam persamaan ini sudah terkointegrasi.

Berdasarkan hasil estimasi model ECM pada Tabel 11, diperoleh nilai R-squared sebesar 0.8659. Artinya variabel PDB, PMA, PMDN, X, dan M dapat menjelaskan keragaman TFP industri nonpertanian sebesar 86.59 persen. Sedangkan sisanya sebesar 13.41 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Nilai F-statistik sebesar 17.52401 lebih besar dari nilai F-tabel pada tingkat signifikansi 10 persen (F-tabel=2,36). Dapat disimpulkan bahwa minimal ada salah satu variabel yang berpengaruh nyata terhadap TFP industri nonpertanian pada taraf nyata (ɑ) 10 persen. Faktor-faktor yang signifikan memengaruhi TFP sektor industri nonpertanian pada jangka pendek adalah PDB dan PMDN, sedangkan pada jangka panjang dipengaruhi oleh PMA, PMDN, dan impor mesin (M). Hal ini dapat dibuktikan dengan nilai t-Statistik yang memiliki nilai lebih besar dari nilai t-tabel pada taraf nyata 10 persen (t-tabel=1,753). Tabel 11 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi TFP industri

nonpertanian

Variabel Dependen: D(TFP)

Variabel Koefisien t-statistik Prob.

D(PDB) 0.3050 2.3482* 0.0298 D(PMA(-1)) 0.0198 7.4587* 0.0000 D(PMDN) -0.0393 -2.4897* 0.0222 D(PMDN(-1)) -0.0529 -3.6504* 0.0017 D(X(-2)) 0.0045 0.3220 0.7509 D(M(-1)) 0.1406 4.6969* 0.0002 RESID01(-1) -0.4812 -5.3185* 0.0000 C -0.0227 -1.8266 0.0835 R-squared 0.8659 F-statistik 17.5240

Adjusted R-squared 0.8165 Prob (F-statistik) 0.0000

Keterangan: *signifikan pada taraf nyata 10 persen

PDB memengaruhi TFP industri nonpertanian pada jangka pendek dengan koefisien 0.3050, artinya peningkatan PDB industri sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan TFP industri nonpertanian pada jangka pendek sebesar 0.3050 persen, cateris paribus. Hasil serupa diperoleh Hwang dan Wang (2004) dan Akinlo (2005), peningkatan PDB sektor industri menandakan

meningkatnya output industri nonpertanian sehingga terjadi peningkatan produksi yang mendorong efisiensi faktor produksi dan menimbulkan kemajuan teknologi.

PMA berpengaruh secara signifikan terhadap TFP sektor industri nonpertanian pada jangka panjang dengan nilai koefisien sebesar 0.0198, artinya setiap penambahan PMA sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan TFP sektor industri nonpertanian sebesar 0.0198 persen, cateris paribus. Investasi meningkatkan pertumbuhan teknologi pada jangka panjang karena dibutuhkan waktu untuk mengadaptasi investasi asing di dalam negeri. Hasil ini sesuai dengan penelitian Djankov dan Hoekman (2000) yang menganalisis pengaruh investasi asing terhadap pertumbuhan produktivitas pada perusahaan di Republik Ceko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi asing menimbulkan terjadinya transfer pengetahuan yang akan menimbulkan transfer teknologi.

Variabel PMDN berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan TFP industri nonpertanian dalam jangka pendek dan panjang. Peningkatan PMDN sebesar satu persen akan mengurangi pertumbuhan TFP sebesar 0.0393 persen pada jangka pendek dan sebesar 0.0529 persen pada jangka panjang, cateris paribus. Menurut Prasetyo (2008), daya serap teknologi industri indonesia masih rendah sehingga meningkatnya investasi tidak menjamin terjadinya peningkatan teknologi.

Impor modal (M) berpengaruh secara signifikan terhadap TFP sektor industri nonpertanian pada jangka panjang. Peningkatan impor modal sebesar satu persen akan meningkatkan TFP sebesar 0.1406 persen pada jangka panjang, cateris paribus. Hasil penelitian sudah sesuai dengan hipotesis yang digunakan, impor modal berupa mesin dari luar negeri akan meningkatkan efisiensi faktor produksi dalam proses produksi karena proses produksi dilakukan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi.

Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi TFP Sektor Industri Kertas dan Barang dari Kertas, Percetakan, dan Penerbitan

Untuk menduga model persamaan jangka panjang dan jangka pendek, tahap analisis yang dilakukan yaitu sebagai berikut:

1. Uji unit root

Tahap ini dimaksudkan untuk memastikan ada tidaknya persoalan akar unit (unit root) pada masing-masing variabel yang akan dimasukkan dalam persamaan ECM. Apabila pada suatu variabel terdeteksi mengandung akar unit, maka variabel tersebut bersifat tidak stasioner (non stationare). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan persamaan yang tidak valid dan sporius (semu). Metode yang digunakan untuk mendeteksi persoalan akar unit ini adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test).

Hasil uji unit root pada semua variabel dapat dilihat pada Tabel 12. Variabel TFP, PMA, dan X terdeteksi bersifat stasioner pada level. Sedangkan variabel PDB, PMDN, dan M terdeteksi mengandung unit root atau bersifat non stasioner pada level. Hal ini dapat dilihat dari nilai statistik ADF lebih besar dari nilai kritis Mackinnon pada taraf nyata 10 persen.

Tabel 12 Hasil uji unit root pada level sektor industri kertas

Variabel Nilai ADF Nilai kritis Mackinnon (10%) Keterangan

TFP -6.793651 -2.622989 Stasioner PDB -0.764564 -3.221728 Tidak Stasioner PMA -3.525863 -2.622989 Stasioner PMDN -2.231410 -2.622989 Tidak Stasioner X -3.821787 -3.221728 Stasioner M -1.672491 -2.622989 Tidak Stasioner

2. Uji Derajat Integrasi

Tahap ini dimaksudkan untuk mengetahui derajat integrasi ke berapa sehingga data runtun waktu dari masing-masing variabel yang akan digunakan bersifat stasioner. Dengan menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF Test), menunjukkan bahwa derjat integrasi masing-masing variabel bervariasi antara derjat pertama (first difference) dan pada derajat kedua (second difference). Karena itu variabel dalam persamaan ECM diolah berdasarkan tingkat derajat

Dokumen terkait