1 PENDAHULUAN Latar Belakang
3 METODE Pakan Uj
Poli-β-hidroksibutirat (PHB) dan β-(1,3) glukan yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk komersil yang dicampurkan bersama bahan pakan lain dalam pembuatan pakan. Formulasi pakan dan komposisi proksimat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Formulasi bahan pakan yang digunakan dalam pembuatan pakan uji dan komposisi proksimatnya (%)
Bahan baku Jenis pakan
Kontrol BG PHB BG+PHB Tepung ikan 50 50 50 50 Bungkil kedelai 18 18 18 18 Tepung polard 22 21,85 21 20,85 Minyak ikan 4 4 4 4 Mineral mix 2 2 2 2 Vitamin 2 2 2 2 CMC 2 2 2 2 BG 0 0,15 0 0,15 PHB 0 0 1 1 Protein 38,58 37,18 36,96 37,26 Lemak 8,54 10,22 10,49 10,25 Abu 15,09 14,73 14,03 14,35 Serat kasar 6,58 6,93 3,88 3,25 Karbohidrat 1 31,21 30,94 34,64 34,89 GE (kkal / kg) 2 424,29 431,13 447,61 448,06
Keterangan: BG: β-(1,3) glukan; PHB: Poli-β-hidroksibutirat; BG+PHB: β-(1,3) glukan+Poli-β-hidroksibutirat; CMC: carboksi metil celulosa; BETN: bahan ekstrak tanpa nitrogen. 1 Karbohidrat = Bahan kering- (Protein kasar + Lemak + Serat kasar + Abu). 2 GE =Gross Energy protein 5,6 kkal/g; lemak 9,4 kkal/g; karbohidrat 4,1 kkal/g ( Watanabe 1988).
Pemeliharaan Udang
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium sebanyak 12 buah dengan ukuran 90×40×35 cm3. Akuarium diisi air laut sebanyak 90 L dan didesinfeksi dengan larutan klorin 30 mg/L serta diaerasi kuat selama 24 jam. Kemudian ditambahkan sodium tiosulfat 15 mg/L untuk menetralkan kandungan klorin dan diaerasi kuat minimal empat jam.
Udang yang digunakan adalah udang vaname bobot rata-rata 2,06 ± 0,03 g. Udang vaname diperoleh dari Balai Pengembangan Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur. Udang dengan kepadatan awal 222 ekor/m2 dipelihara selama 42 hari. Pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi dengan debit air 2,5 L/menit dan dilakukan pergantian air setiap hari sebanyak 20-30%. Kualitas air yang diukur selama penelitian ini seperti temperatur, pH, oksigen terlarut dan salinitas yang disajikan pada Tabel 2. Pakan yang diberikan berdasarkan feed
5 rate yang dikalikan biomassa (VanWyk 1999) dengan frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari yaitu pukul 06.00, 10.00, 14.00 dan 20.00.
Tabel 2 Kondisi air pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei selama 42 hari
Perlakuan Kualitas air
Temperatur (°C) Oksigen terlarut (ppm) pH Salinitas (ppt)
Kontrol 28,4–28,6 6,2–6,7 8 33
BG 28,3–28,5 6,2–6,7 8 33
PHB 28,5–28,6 6,2–6,7 8 32
BG+PHB 28,4–28,5 6,4–6,6 8 33
Keterangan: BG: β-(1,3) glukan; PHB: Poli-β-hidroksibutirat; BG+PHB: β-(1,3) glukan+Poli-β-hidroksibutirat.
Parameter uji
Setelah masa pemeliharaan selama 42 hari, udang dipanen untuk dilakukan pengukuran kinerja pertumbuhan dan respons imun non spesifik. Kinerja pertumbuhan yang diukur meliputi specific growth rate (SGR), feed convertion ratio (FCR), retensi protein dan sintasan. Pengukuran respons imun non spesifik meliputi respiratory burst (RB) dan total haemocyte count (THC).
Specific Growth Rate (SGR)
Specific growth rate (SGR) dihitung menggunakan rumus (Huisman 1987). √ %
Keterangan :
SGR : Specific growth rate (%)
Wo : Bobot tubuh rata-rata pada awal pertumbuhan (g) Wt : Bobot tubuh rata-rata pada akhir pertumbuhan (g) t : Waktu pemeliharaan (Hari)
Feed Convertion Ratio (FCR)
Feed Convertion Ratio (FCR) selama pemeliharaan dihitung menggunakan rumus (Zonneveld et al. 1991).
FCR = F
Bt + Bm - Bo Keterangan :
FCR : Feed convertion ratio F : Jumlah pakan (g)
Bt : Biomassa udang pada saat akhir perlakuan (g) Bm : Biomassa udang yang mati saat perlakuan (g) Bo : Biomassa udang pada saat awal perlakuan (g)
6
Retensi Protein (RP)
Retensi protein (RP) dihitung berdasarkan rumus (Takeuchi 1988) RP = F - I x 100%
P Keterangan:
RP : Retensi protein (%)
F : Jumlah protein tubuh pada akhir penelitian (g) I : Jumlah protein tubuh pada awal penelitian (g) P : Jumlah protein yang dikonsumsi (g)
Sintasan
Sintasan adalah persentase antara udang vaname yang hidup pada akhir pemeliharaan dengan jumlah yang ditebar pada awal penelitian dihitung dengan rumus (Efendi 1997). % 100 x No Nt SR Keterangan: SR : Persentase sintasan (%)
Nt : Jumlah udang vaname pada akhir penelitian No : Jumlah udang vaname pada awal penelitian
Total Haemocyte Count (THC)
Tiga ekor udang diambil secara acak dari masing-masing ulangan untuk pengambilan sampel hemolim. Pengambilan hemolim dilakukan dengan menggunakan syringe berukuran 1 mL yang telah diisi dengan sepertiga antikoagulan. Sebanyak 0,6 mL hemolim diambil menggunakan jarum suntik 1 mL yang telah berisi 0,2 mL antikoagulan. Campuran hemolim-antikoagulan tersebut kemudian diteteskan pada haemocytometer. Selanjutnya THC dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x (Blaxhall dan Daishley 1973).
Respiratory Burst (RB)
Respiratory burst dari hemosit diukur berdasarkan reduksi NBT (nitroblue tetrazolium) sebagai ukuran superoxide anion (O2-). Sebanyak 50 μL campuran hemolim-antikoagulan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Kemudian disentrifuse 3.000 rpm selama 20 menit dan supernatan dibuang. Ditambahkan 100 μL NBT dalam larutan HBSS (hank's buffered salt solution konsentrasi 0,3 % didiamkan 2 jam pada suhu ruang. Kemudian disentrifuse 3.000 rpm 10 menit, supernatan dibuang dan ditambahkan 100 μL metanol absolut disentrifuse 3.000 rpm selama 10 menit. Endapan yang terbentuk kemudian dibilas sebanyak 2 kali dengan metanol 70 %. Selanjutnya 120 μL KOH (2M) dan 140 μL DMSO (dimethylsulfoxide) ditambahkan untuk melarutkan endapan. Endapan yang telah larut dimasukkan ke microplate diukur densitas optikal (OD) menggunakan microplate reader panjang gelombang 630 nm. Respiratory burst dinyatakan sebagai reduksi NBT per 10 μL hemolim (Cheng et al. 2004)
7 Analisa kimia
Analisis proksimat dilakukan pada pakan, udang vaname awal pemeliharaan dan udang vaname diakhir pemeliharaan. Analisis proksimat pakan perlakuan meliputi kadar protein kasar dilakukan dengan metode Kjeldahl, kadar lemak kering dengan metode Soxhlet, kadar lemak basah dengan metode Folch, kadar abu dengan pemanasan sampel pada suhu 600 °C, serat kasar menggunakan metode pelarutan sampel dengan asam, basa kuat dan pemanasan serta kadar air dengan metode pemanasan dalam oven bersuhu 105-110 °C (Takeuchi 1988).
Analisis Data
Data kinerja pertumbuhan dan respons imun non spesifik udang diolah menggunakan SPSS versi 17 dengan selang kepercayaan 95% dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan digunakan uji lanjut Duncan.
8
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Setelah dipelihara selama 42 hari, udang mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari terjadinya peningkatan bobot tubuh udang yang meningkat 3,03-4,78 kali (Tabel 3). Udang yang diberi pakan BG 0,15% memiliki laju pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Namun, udang yang diberi PHB 1%, secara signifikan memiliki laju pertumbuhan yang lebih rendah. Fenomena laju pertumbuhan antar perlakuan ini sejalan dengan nilai peningkatan bobot udang, konversi pakan, dan sintasan. Di sisi lain, retensi protein udang yang diberi penambahan BG, secara signifikan berbeda nyata dengan perlakuan lain tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Tabel 3 Kinerja pertumbuhan udang vaname Litopenaeus vannamei setelah pemeliharaan selama 42 hari
Parameter Perlakuan Kontrol BG PHB BG+PHB Bobot awal (g) 2,07±0,03 2,09±0,03 2,03±0,13 2,04±0,12 Bobot akhir (g) 8,05±0,20 9,97±0,42 7,47±0,30 8,49±0,79 SGR (%) 1,88±0,03ab 2,14±0,05c 1,80±0,06a 1,95±0,09b FCR 2,41±0,09b 2,16±0,04a 2,59±0,18b 2,53±0,05b Retensi protein (%) 14,51±0,94ab 16,08±3,09b 11,78±2,09a 12,06±0,21a Sintasan (%) 85,00±0,00b 96,67±5,77c 73,33±2,89a 75,00±5,00a Keterangan: SGR: specific growth rate; FCR: feed conversion ratio; BG: β-(1,3)
glukan; PHB: poli-β-hidroksibutirat; BG+PHB: β-(1,3) glukan+poli- β-hidroksibutirat. Angka yang diikuti huruf superskrip yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata (p >0,05).
Respons imun non spesifik yang terdiri dari THC dan RB disajikan pada Tabel 4. Pemberian BG, maupun kombinasi BG dan PHB pada udang melalui pakan mampu meningkatkan respons imun non spesifik udang tersebut. Respons imun non spesifik udang yang diberi pakan dengan penambahan BG secara signifikan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain.
Tabel 4 Parameter imun non spesifik udang vaname Litopenaeus vannamei setelah masa pemeliharaan selama 42 hari
Parameter Perlakuan
Kontrol BG PHB BG+PHB
THC (x 107 sel/ml) 6,35±2,75b 10,87±2,24c 1,70±0,14a 7,16±2,78b RB (Abs/10μl) 0,04±0,00a 0,12±0,02b 0,05±0,00a 0,07±0,02a Keterangan: THC: total haemocyte count; RB: respiratory burst; BG: β-(1,3)
glukan; PHB: Poli-β-hidroksibutirat; BG+PHB: β-(1,3) glukan+Poli- β-hidroksibutirat. Angka yang diikuti huruf superskrip yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05).
9
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan β-(1,3) glukan (BG) di dalam pakan menghasilkan pertumbuhan udang yang paling tinggi. β-(1,3) glukan yang diberikan kepada udang dapat diurai dalam proses pencernaan secara enzimatis untuk menghasilkan energi (Manoppo 2011). Energi tersebut digunakan untuk meredam stress pada pemeliharaan udang secara intensif, sehingga udang tidak mudah terserang penyakit dan dapat tumbuh dengan optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Lopez et al. 2003) yang mengatakan bahwa penambahan BG 2 g/kg dalam pakan yang diberikan pada udang vaname selama 48 hari dapat meningkatkan laju pertumbuhan spesifik sampai 14% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Penelitian (Sang dan Fotedar 2010) juga menunjukan laju pertumbuhan Cherax tenuimanus yang diberi BG 0,1-0,2 mg/kg pakan selama 84 hari lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberikan BG. Namun demikian, udang yang diberi pakan PHB memiliki pertumbuhan yang rendah dibandingkan perlakuan yang lain. Pertumbuhan yang rendah ini disebabkan oleh meningkatnya produksi asam lemak dalam usus, sehingga terjadi peneurunan nilai pH dalam usus udang vaname. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian (De Schryver et al. 2010) pada ikan European sea bass Dicentrarchus labrax PHB yang terdegradasi oleh enzim depolimerase menjadi asam lemak butirat menyebabkan meningkatnya produksi asam lemak rantai pendek dalam usus, yang dicirikan dengan terjadinya penurunan pH dari 7,7 menjadi 7,2. Potensial hidrogen (pH) usus yang turun menyebabkan udang kehilangan banyak energi, sehingga pertumbuhanya rendah hal ini juga berakibat terhadap rendahnya sintasan udang vaname. Udang vaname juga diduga tidak memeiliki enzim carnitine palmitoyltransferase, sehingga asam lemak tersebut tidak bisa masuk ke mitokondria untuk menghasilkan energi. Energi yang seharusnya untuk meredam stress tidak mencukupi, sehingga udang mudah terserang penyakit, pertumbuhan rendah, retensi protein rendah, fagositosis tidak berjalan sempurna ditandai dengan nilai THC dan RB yang rendah hal ini juga menyebabkan sintasan rendah.
Udang vaname yang diberi pakan dengan penambahan BG memiliki nilai FCR yang berbeda nyata dengan perlakuan lain maupun kontrol. Hal ini diduga karena adanya proses penguraian BG secara enzimatis yang menghasilkan energi menyebabkan kebutuhan energi udang lebih cepat terpenuhi. Faktor ini yang menyebabkan udang vaname yang diberi pakan dengan BG lebih cepat terpenuhi kebutuhan energinya, sehingga lebih cepat berhenti makan yang menyebabkan jumlah pakan yang dibutuhkan lebih sedikit. Semakin rendah FCR maka semakin baik dan efektif karena semakin sedikit pakan yang diperlukan untuk menghasilkan 1 kg daging (Zonneveld et al. 1991). Namun demikian, udang yang diberi PHB memiliki nilai FCR yang tinggi karena udang memerlukan banyak energi untuk mempertahankan pH usus, sehingga udang banyak memerlukan pakan untuk memenuhi energi tersebut.
Nilai retensi protein udang yang diberi BG pada pakan memiliki nilai yang tertinggi. Tingginya retensi protein disebabkan oleh adanya tambahan energi dari penguraian BG, sehingga diduga tidak ada protein yang dipecah menjadi energi, hal ini yang mengakibatkan retensi proteinya tinggi. Udang vaname yang diberi
10
PHB memiliki nilai retensi protein yang terendah. Rendahnya nilai retensi protein disebabkan oleh banyaknya protein yang dipecah menjadi energi karena energi dari lemak tidak bisa digunakan untuk mempertahankan pH usus, sehingga protein yang diretensi menjadi sedikit. Namun demikian, udang yang diberi BG juga tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini diduga karena ada protein yang dipecah menjadi energi untuk meredam sterss.
Nilai total haemocyte count (THC) udang vaname yang diberi BG memiliki nilai yang tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lain maupun kontrol. Tingginya nilai THC disebabkan oleh terurainya β-(1,3) glukan yang menghasilkan energi untuk mendukung berjalanya proses fagositosis berjalan sempurna, sehingga produksi THC udang vaname menjadi tinggi. Selain itu, β- (1,3) glukan juga bekerja dengan cara mengikat molekul reseptor yang terdapat pada permukaan sel fagosit, sehingga sel fagosit menjadi lebih aktif dalam melakukan fagositosis terhadap partikel asing dan merangsang pembentukan sel- sel hemosit yang baru (Rodriguez dan Le Moullac 2000). Penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Sahoo et al. (2008) udang galah yang diberi pakan dengan tambahan BG dengan kadar 1,5 g/kg memiliki nilai THC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Sahoo et al. (2008) menjelaskan tingginya nilai THC pada pada udang galah yang diberi BG diakibatkan oleh tingginya mobilisasi sel hemosit dalam tubuh udang, sehingga dapat meningkatkan imunitas dan pengenalan mengenai benda asing yang masuk dalam tubuh udang.
Udang vaname yang diberi PHB memiliki nilai THC yang rendah, hal ini disebabkan oleh banyak energi yang hilang untuk mempertahankan pH usus, sehingga proses fagositosis tidak berjalan dengan baik yang berakibat pada rendahnya nilai THC. Nilai THC yang rendah menyebabkan udang vaname menjadi rentan terhadap patogen (Le Moullac et al. 1998). Nilai THC yang rendah juga dapat menyebabkan terjadi infeksi akut yang dapat berakibat pada kematian (Rodriguez dan Le Moullac 2000). Nilai THC sejalan dengan nilai respiratory burst (RB), udang vaname yang diberi BG memiliki nilai tertinggi dan berbeda nyata antar perlakuan maupun kontrol. Udang vaname yang diberi BG memiliki nilai RB tertinggi karena BG dapat mengaktifkan sel fagosit dan BG juga dapat diurai menjadi energi untuk mendukung proses fagositosis, hal ini yang menyebabkan nilai RB menjadi lebih tinggi. Respiratory burst berkaitan dengan mekanisme fagositosis, sehingga semakin tinggi nilai RB maka sistem imun udang menjadi semakin baik (Rodriguez dan Le Moullac 2000). Namun demikian, udang yang diberi PHB memiliki nilai RB yang rendah karena udang banyak kehilangan energi untuk mempertahan pH usus dan tidak memiliki enzim carnitine palmitoyltransferase yang dapat merubah asam lemak butirat menjadi energi. Hal ini yang menyebabkan udang vaname tidak memiliki energi yang cukup untuk fagositosis, sehingga fagositosis tidak berjalan sempurna yang berakibat pada rendahnya nilai RB.
Sintasan udang vaname yang tertinggi terjadi pada perlakuan dengan penambahan β-(1,3) glukan dalam pakan. β-(1,3) glukan yang diurai secara enzimatis menghasilkan tambahan energi untuk meredam stress dan meningkatkan proses fagositosis, sehingga udang vaname tidak mudah terserang penyakit yang berakibat pada sintasan tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Yin et al. 2006) yang menyatakan bahwa β-(1,3) glukan dapat meningkatkan
11 respons imun udang dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit untuk menjalankan proses fagositosis. Meningkatnya respons imun udang tersebut dapat mempengaruhi nilai sintasan menjadi lebih tinggi, karena resistensi udang terhadap patogen juga meningkat (Cook et al. 2003). Hasil penelitian (Chang et al. 2003b) memperlihatkan bahwa pemberian oral BG selama 20 hari secara efektif meningkatkan sistem imun udang windu, sehingga sintasanya meningkat. Chang et al. (2003a) juga melaporkan bahwa suplementasi BG 2 g/kg pakan selama 40 hari meningkatkan sintasan udang windu.
Namun demikian, udang vaname yang diberi PHB dan kombinasi BG dengan PHB memiliki sintasan yang rendah. Hal ini diduga karena PHB yang terdegredasi menjadi asam lemak butirat dapat menurunkan pH usus, sehingga banyak energi yang digunakan untuk mempertahan pH tersebut. Energi untuk proses fagositosis tidak mencukupi, sehingga udang mudah terserang penyakit yang berakibat pada rendah sintasan. Sistem pemeliharaan udang vaname dengan kepadatan tinggi atau intensif juga dapat menyebabkan stress sedangkan energi untuk meredam stress tersebut tidak cukup, sehingga mudah terserang penyakit dan dapat menyebabkan kematian. Poli-β-hidroksibutirat dan kombinasi BG dengan PHB rendah juga diduga karena udang vaname tidak memiliki enzim carnitine palmitoyltransferase yang dapat mengubah asam lemak butirat menjadi energi, sehingga energi untuk meredam stress dan fagositosis tidak mencukupi yang berakibat pada sintasan yang rendah. Selain itu, kombinasi BG dengan PHB sintasanya rendah diduga karena tidak hanya BG dan PHB yang berperan penting dalam biofok tetapi ada nutrien lain yang berperan dalam bioflok tersebut.
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian β-(1,3) glukan sebagai feed additive melalui pakan memiliki kemampuan yang terbaik didalam meningkatkan kinerja pertumbuhan dan respons imun non spesifik. Namun demikian, feed additive yang berupa poli-β- hidroksibutirat memiliki kinerja pertumbuhan dan respons imun non spesifik yang rendah. Udang vaname yang diberi pakan kombinasi antara β-(1,3) glukan dan poli-β-hidroksibutirat juga belum bisa meningkatkan kinerja pertumbuhan dan respons imun non spesifik.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis poli-β- hidroksibutirat yang tepat dan faktor lain yang menyebabkan teknologi bioflok dapat meningkatkan pertumbuhan dan sintasan udang vaname.