• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

E. Metode Pembinaan Akhlak

٣٣

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Dari penjelasan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai manusia juga sebagai khalifah yang menjaga dan tidak merusak alam semesta ini. Akhlak kepada lingkungan hidup dapat diwujudkan dalam bentuk perbuatan ikhsan, yaitu dengan menjaga kelestarian dan keserasiannya serta tidak merusak lingkungan hidup tersebut. Usaha-usaha pembangunan yang dilakukan juga harus memperhatikan masalah kelestarian hidup. Jika kelestarian terancam maka kesejahteraan hidup manusia terancam pula.

E. Metode Pembinaan Akhlak

Metode berfungsi sebagai alat untuk memudahkan dalam pencapaian tujuan. Dengan metode yang baik dan tepat, anak akan mudah menerima dan

memahami pembinaan yang diberikan. Menurut Abdullah Nashih Ulwan ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam pembinaan akhlak antara lain:31

1. Metode keteladanan (uswah al-hasanah)

Cara ini di dalam islam dikenal dengan uswah hasanah. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pengajaran, instruksi dan larangan. Sebab, tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya orang tua mengatakan „‟Kerjakan ini, lakukan itu, dan jangan kerjakan itu, serta hindarilah ini‟‟. Keteladanan menjadi penting,

karena orang yang diteladani menjadi semacam magnet yang menumbuhkan semangat anak untuk berbuat baik sebagaimana sang teladan. Disamping itu, keteladanan mampu memberi kemantapan pada seseorang untuk mencintai kebaikan.

Keteladanan ini sesungguhnya adalah inti dari pembinaan, dan pembinaan itu sendiri harus memberikan keteladanan. Arti keteladanan adalah memberikan contoh secara konkrit dan langsung, bukan secara verbal, sehingga seseorang dapat melaksanakan suatu perbuatan secara totalitas jiwa raga dalam tindakan nyata. Tindakan nyata inilah tujuan dari pembinaan.32

Keteladanan juga telah dijelaskan di dalam Al Qur‟an surat Al

Ahzab ayat 21, yaitu :

ٌتَى َص َخ ٌة َى ْشأ ِهُ َّللا ٌِى ُشَس يِف ْمُىَل َناَو ْذَلَل

﴿

٢١

31 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 142.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.”

Dalam penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Allah telah meletakkan dalam pribadi Muhammad Saw satu bentuk yang sempurna bagi metode agama Islam, agar menjadi gambaran yang hidup dan abadi bagi umat selanjutnya dalam kesempurnaan akhlak. Dari sinilah orang tua dapat meneladani hal tersebut dalam pembinaan akhlak.

2. Memberikan pengertian dan nasehat-nasehat (mauidzah)

Metode pendidikan yang cukup berhasil dalam pembinaan akhlak anak dan mempersiapkannya baik secara moral, emosional, maupun sosial, adalah pembinaan akhlak dengan petuah dan meberikan kepadanya nasehat-nasehat. Karena nasehat dan petuah memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak-anak kesadaran akan hakikat sesuatu, mendorong mereka menuju akhlak yang baik. Metode mauidzah harus mengandung tiga unsur, yakni:

a. Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini misalnya tentang sopan santun, keharusan berjama‟ah maupun kerajinan dalam beramal.

b. Motivasi melakukan kebajikan.

c. Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan, bagi dirinya sendiri, maupun orang lain.33

Dalam metode memberikan nasehat terdapat penjelasan dalam Al Qur‟an surat Al Lukman ayat 13, yang menjelaskan tentang orang tua

memberikan nasehat dan perintah agar beriman kepada Allah dan tidak menyekutukan Allah, sebagaimana bunyi surat tersebut sebagai berikut:

َّي َنُب اًَ ُهظِعٌَ َى ُهَو ِهِىْب ِلا ُنا َم ْلُ ل ٌَا َك ْرِإَوُ

ٌمُ ِظَع ٌمْلُظَل َنْش ِّشلا َّنِإ ِهَّللاِب ْنِش ْشُح َلا

﴿

١٣

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia

memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

3. Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)

Ibrah berarti merenungkan dan memikirkan dan dalam arti umum biasanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Metode ini mempunyai pengaruh tersendiri bagi jiwa dan akal, dengan argumentasi-argumentasinya yang logis dan rasional. Al Qur‟an memakai metode ini di beberapa tempat, lebih-lebih dalam berita tentang para Rasul dan kaumnya. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al Qur‟an surah Al A‟raf ayat 176 yaitu:34

َنوُش َّى َفَخًَ ْم ُهَّلَعل َص َص َلْلا ِصُصَ ْكاَف

﴿

١٧٦

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”

34

Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 223.

Dari penjelasan diatas maka tujuan pedagogis dari al-ibrah adalah mengantarkan manusia kepada kepuasan pikir tentang perkara agama yang bisa menggerakkan, mendidik atau menambah perasaan keagamaan. Adapun pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masa lalu maupun masa sekarang dengan mengambil hikmah dari kejadian tersebut. 4. Metode larangan dan hukuman

Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Hukuman baru digunakan apabila metode lain tidak berhasil guna untuk memperbaiki perilaku atau sikap anak. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan orang tua dalam menggunakan hukuman. Tujuan hukuman ialah untuk memperbaiki anak yang melakukan kesalahan, bukan untuk balas dendam dan hukuman harus disesuaikan dengan jenis kesalahan.

Berkenaan dengan metode-metode diatas, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui kebiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang yang jahat. Sebaliknya, dapat menjadi buruk, jika dibiasakan berbuat buruk.

Atas hal ini, al-Ghazali menganjurkan agar pengetahuan akhlak diajarkan lebih dahulu, lalu selanjutnya diaplikasikan dalam tindakan nyata dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia tersebut. Jika seseorang mengehendaki agar ia menjadi pemurah,

maka ia harus membiasakan dirinya melakukan pekerjaan yang bersifat pemurah, hingga murah hati dan murah tangan itu menjadi tabiat, dan kebiasaannya secara mendalam dan mendarah daging. Al-Ghazali juga menekankan metode dalam pembentukan akhlakul karimah, beliau menganjurkan agar anak-anak dijauhkan dari temannya yang berperangai buruk, karena dikhawatirkan anak tersebut juga berperangai buruk.35

Dokumen terkait