• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

3. Metode Pendidikan Karakter

Pola pembelajaran pendidikan karakter secara komprehensif pada dasarnya dapat ditinjau dari segi metode yang digunakan, pendidikan yang berpartisipasi (guru, orang tua), dan konteks berlangsungnya pendidikan nilai/moral (sekolah, keluarga), seperti yang diutarakan oleh Kirschenbaum. Pembelajaran pendidikan karakter secara komperhensif dapat dilakukan dengan menggunakan metode inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling), fasilitasi (fasilitation), dan pengembangan ketrampilan (skill building). (Zubaedi, 2011: 233-241)

a. Inkulkasi Nilai

Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri sebagai berikut :

1) Mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya. 2) Memberlakukan orang lain secara adil.

3) Menghargai pandangan orang lain

4) Mengemukakan keraguan-raguan atau perasaan tidak terpercaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat.

5) Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan tidak mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki.

7) Membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai alasan.

8) Tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju.

9) Memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.

b. Keteladanan Nilai

Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model (Zubaedi, 2011 : 234). Model dapat ditemukan oleh peserta didik dilingkungan sekitarnya. Menurut Social Learning Theory yang dikutip oleh Nurchaili, perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-perilaku baru, dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi. Sebab seseorang dapat belajar dari contoh apa yang dikerjakan orang lain, sekurang-kurangnya mendekati bentuk perilaku orang lain, dan terhindar dari kesalahan yang dilakukan orang lain.

Ada tiga macam model: live model, syimbolic model, dan verbal description model. Live model adalah model yang berasal dari kehidupan nyata. Syimbolic model adalah model yang berasal dari perumpamaan. Verbal description model adalah model yang dinyatakan dalam suatu uraian verbal. Model-model itu mencakup behavioral model untuk performa yang kasamata, dan cognitive model untuk proses kognitif yang tidak kasamata.

Untuk dapat menggunakan strategi keteladanan nilai, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, guru atau orang harus berperan sebagai model yang baik bagi para murid atau anak-anak. Kedua, anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya Nabi MuhammadSAW.

c. Fasilitasi

Inkulkasi dan keteladanan mendemontrasikan kepada subjek didik cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi melatih subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek hidup dalam pelaksanaan metode fasilitasi membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian karena hal-hal sebagai berikut :

1) Kegiatan fasilitasti secara signifikan dapat meningkatkan hubungan pendidik dan subjek didik. Apabila pendidik mendengarkan subjek didik dengan sungguh-sungguh, besar kemungkinannya subjek didik mendengarkan pendidik dengan baik. Subjek didik merasa benar-benar dihargai karena pandangan dan pendapat mereka di dengar dan dipahami. Akibatnya, kredibilitas pendidik meningkat.

2) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik memperjelas pemahaman. Kegiatan ini memberikan kesempatan kepada subjek hidup untuk menyusun pendapat, meningkatkan kembali hal-hal yang perlu disimak, dan memperjelas hal-hal

3) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik yang sudah menerima suatu nilai, tetapi belum mengamalkannya secara konsisten, meningkat dari pemahaman secara intelektual ke komitmen untuk bertindak. Tindakan moral memerlukan tidak hanya pengetahuan tetapi juga perasaan, maksud, dan kemauan.

4) Kegiatan fasilitasi menolong subjek didik berpikir lebih jauh tentang nilai yang dipelajari, menemukan wawasan sendiri, belajar dari teman-temannya yang telah menerima nilai-nilai (values) yang diajarkan, dan akhirnya menyadari kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh pendidik.

5) Kegiatan fasilitasi menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikiran dan perasaan subjek didik.

6) Kegiatan fasilitasi memovitasi subjek didik menghubungkan persoalan nilai dengan kehidupan, kepercayaan, dan perasaan mereka sendiri. Karena kepribadian subjek didik terlibat, maka pembelajaran menjadi lebih menarik. d. Pengembangan Keterampilan Akademik dan Sosial

Ada beberapa ketrampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Ketrampilan ini antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut ketrampilan akademik dan ketrampilan sosial. Dua dari ketrampilan akademik dan ketrampilan sosial ini yaitu ketrampilan berpikir kritis dan ketrampilan mengatasi konflik.

Ciri-ciri orang yang berpikir kritis, yaitu: a) mencari kejelasan pernyataan atau pertanyaan; b) mencari alasan; c) mencoba memperoleh informasi yang benar; d) menggunakan sumber yang dapat dipercaya; e) mempertimbangkan keseruhan situasi; f) mencari alternatif; g) bersikap terbuka; h) mengubah pandangan apabila ada bukti yang dapat dipercaya; i) mencari ketepatan suatu permasalahan; dan j) sensitif terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, dan tingkat kecanggihan orang lain.

2) Ketrampilan Mengatasi Masalah

Apabila menghendaki kehidupan berdasarkan nilai-nilai religius dan prinsip-prinsip moral, maka perlu mengajarkan cara-cara mengatasi konflik secara konstruktif. Para guru dan orang tua memang harus berusaha keras untuk meyakinkan anak-anak bahwa penyelesaian masalah secara destruktif yang banyak muncul dalam masyarakat Indonesia saat ini sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan norma-norma agama Islam yang harus di junjung tinggi.

Strategi lain juga dijelaskan oleh Maksudin (2013:148) dalam membentuk karakter pada peserta didik yang sesuai dengan visi dan misi sekolah maka perlu adanya strategi perihal pendidikan karakter. Strategi pendidikan karakter ini meliputi strategi langsung maupun tidak langsung. Strategi Langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran

mengucapkannya. Strategi tidak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan, tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan karakter di sekolah harus mampu melatih dan mengarahkan perkembangan peserta didik dalam penanaman nilai, keteladanan nilai, fasilitasi, dengan cara terus-menerus diberikan, ditawarkan dan diulang-ulang agar terinternalisasi dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata seperti pada teori Lickona yang berkenaan dengan tindakan moral.

Dokumen terkait