• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian mengenai dayasaing bawang merah di Indonesia ini dilakukan dengan pendekatan regional (daerah sentra produksi) bukan nasional atau agregat. Hal ini berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan potensi sumberdaya antar wilayah di Indonesia yang sangat beragam sehingga bisa berdampak pada perbedaan dayasaing usahatani bawang merah. Penelitian ini dilaksanakan di tiga kabupaten sentra produksi yang terletak di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive. Provinsi Jawa Tengah dipilih karena merupakan sentra produksi bawang merah paling besar di Indonesia dengan pangsa produksi sebesar 43 persen dari produksi nasional. Provinsi Jawa Barat dipilih karena merupakan sentra produksi bawang merah terbesar ketiga di Indonesia dengan pangsa produksi mencapai 12 persen terhadap produksi nasional dan memiliki produktivitas bawang merah lebih tinggi daripada di Jawa Timur (sentra produksi terbesar ke dua di Indonesia). Produktivitas bawang merah yang dicapai Jawa Barat pada tahun 2013 mencapai 10,27 ton/ha, sedangkan Jawa Timur sebesar 9,34 ton/ha2. Sentra produksi bawang merah di Jawa Tengah yang dipilih adalah Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Tegal. Kabupaten Brebes dipilih karena merupakan daerah penghasil bawang merah terbesar untuk kabupaten Jawa Tengah pada tahun 2013 dengan jumlah produksi mencapai 3.047.570 ton dengan pangsa produksi 73 persen terhadap produksi bawang merah di Jawa Tengah (BPS Prov. Jawa Tengah 2014). Kabupaten Tegal menempati posisi ketiga penghasil bawang merah terbesar di Jawa Tengah dengan jumlah produksi mencapai 225.537 ton (BPS Prov. Jawa Tengah 2014). Kabupaten Tegal dipilih karena memiliki potensi pada pengembangan bawang merah untuk dataran tinggi. Sentra produksi di Jawa Barat yang dipilih adalah Kabupaten Cirebon. Kabupaten Cirebon merupakan daerah penghasil bawang merah terbesar di Jawa Barat pada tahun 2013 dengan jumlah produksi mencapai 36.449 ton dengan pangsa produksi 31 persen terhadap produksi bawang merah di Jawa Barat (BPS Prov. Jawa Barat 2014). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai bulan Agustus 2015.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari data penelitian tematik bawang merah Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB tahun 2014. Pengumpulan data yang dilakukan oleh PKHT dilakukan melalui metode survei dan wawancara langsung dengan responden petani bawang merah dengan bantuan kuesioner. Responden petani bawang merah ditentukan secara purposive. Jumlah data responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 40 petani bawang merah di masing-masing kabupaten sehingga total responden sebanyak 120 petani bawang merah. Data yang diperoleh meliputi data karakteristik responden, data input dan output usahatani bawang

2

merah, informasi harga input dan output usahatani bawang merah, informasi sistem pemasaran dan kelembagaan petani. Data pendukung lainnya juga dikumpulkan untuk menunjang penelitian ini yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Pusat Data dan Informasi Pertanian (Pusdatin) Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jendral Hortikultura, Dinas Pertanian Kabupaten dan literatur-literatur yang relevan dengan topik penelitian yang berasal dari buku, jurnal, dan internet.

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian dan sistem agribisnis bawang merah di lokasi penelitian. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis dayasaing bawang merah dan dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing bawang merah dengan menggunakan analisis Policy Analysis Matrix (PAM).

Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dalam penelitian ini meliputi pendeskripsian mengenai gambaran lokasi penelitian terutama yang terkait dengan sistem agribisnis bawang merah. Sistem agribisnis yang akan dijabarkan meliputi subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem pemasaran, subsistem pengolahan, dan subsistem jasa penunjang. Analisis ini memberikan gambaran secara umum bagaimana sistem agribisnis bawang merah di setiap kabupaten mulai dari penyediaan input usahatani sampai pada pemasaran produk dan pengolahan produk serta peran-peran lembaga penunjang dalam sistem tersebut. Analisis ini juga memberikan informasi mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi pada setiap subsistem agribisnis bawang merah di lokasi penelitian.

Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif dalam penelitian ini menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Metode PAM ini digunakan untuk mengukur dayasaing bawang merah dan dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing bawang merah. Selain mengukur dayasaing, pada penelitian ini juga dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui dayasaing bawang merah karena adanya perubahan kebijakan atau intervensi pemerintah. Analisis PAM dilakukan untuk basis wilayah yaitu tiga lokasi penelitian (Kabupaten cirebon, Brebes dan Tegal) dan basis musim (musim hujan, musim kemarau I dan musim kemarau II) pada setiap lokasi penelitian.

Metode Policy Analysis Matrix (PAM)

Metode PAM digunakan untuk mengukur dayasaing bawang merah dan pengaruh kebijakan pemerintah yang menjadi tujuan utama dari penelitian ini. Melalui matriks PAM dapat diketahui tingkat keuntungan usahatani bawang merah secara finansial dan ekonomi. Dari matriks PAM ini juga dapat diukur keunggulan komparatif dan kompetitif dari usahatani bawang merah. Kebijakan atau intervensi

pemerintah terkait pada usahatani bawang merah dapat juga dilihat dampaknya terhadap dayasaing bawang merah melalui matriks PAM ini.

Penelitian ini akan menganalisis dayasaing usahatani bawang merah dari masing-masing lokasi penelitian (Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal) dengan menggunakan PAM. Analisis PAM di masing-masing lokasi penelitian akan dibagi menjadi tiga musim tanam yaitu musim hujan, musim kemarau I, dan musim kemarau II. Hasil dari analisis PAM di masing-masing lokasi penelitian akan dibandingkan terkait dengan bagaimana dayasaing usahatani bawang merah dan dampak kebijakan pemerintah di setiap lokasi tersebut. Hasil analisis PAM ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah petani bawang merah memiliki dayasaing dibawah kebijakan input-output yang berlaku serta bagaimana kondisi dayasaing tersebut apabila terjadi perubahan kebijakan pada input-output. Adapun tahap analisis dengan metode PAM ini adalah sebagai berikut:

1. Penentuan Input dan Output Usahatani Bawang Merah

Input yang digunakan dalam usahatani bawang merah terdiri dari lahan, bibit bawang merah, pupuk kimia, pupuk organik, obat-obatan (pupuk pelengkap cair, zat pengatur tumbuh, pestisida dan herbisida), peralatan usahatani, bahan bakar minyak dan tenaga kerja. Output yang dihasilkan berupa umbi bawang merah kering. Input bibit, pupuk kimia dan pupuk organik menggunakan satuan kg, sementara untuk obat-obatan menggunakan nilai pengeluaran dengan satuan paket. Hal ini dikarenakan jumlah penggunaan pestisda sangat banyak dan beragam. Penggunaan bahan bakar menggunakan satuan liter. Luas lahan menggunakan satuan hektar. Tenaga kerja dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga yang langsung dinilai dengan nilai upahnya. Selanjutnya, untuk satuan output diukur dalam satuan kg.

2. Metode Alokasi Komponen Biaya Tradable (Asing) dan Non Tradable (Domestik)

Menurut Monke dan Pearson (1989), terdapat dua pendekatan mengalokasikan biaya input asing (tradable) dan domestik (non tradable) yaitu pendekatan langsung (direct approach) dan pendekatan total (total approach). Pada pendekatan langsung, apabila tambahan permintaan input dapat dipenuhi dari pasar internasional (tradable) maka alokasi biaya input tersebut dinilai seluruhnya sebagai komponen biaya asing meskipun terdapat komponen domestik dari input tersebut yang dipergunakan dalam proses produksi. Sementara pada pendekatan total, setiap biaya input tradable dialokasikan ke dalam komponen biaya domestik dan asing. Pada pendekatan ini, komponen penyusun input yang diperoleh dari pasar internasional dan domestik diperhitungkan sebagai alokasi komponen biaya asing dan domestik. Pada penelitian ini, alokasi komponen biaya input domestik dan asing menggunakan pendekatan total karena dinilai lebih tepat dalam menunjukkan penggunaan sumberdaya domestik di dalam negeri.

Penentuan alokasi biaya komponen input tradable dan non tradable dengan menggunakan pendekatan total merujuk pada persentase jumlah pemenuhan total kebutuhan input di dalam negeri yang dipenuhi dari pasar domestik dan pasar asing (impor). Apabila seluruh total kebutuhan input usahatani dipenuhi dari pasar domestik dan input tersebut tidak diperdagangkan secara internasional maka

seluruh alokasi input merupakan input non tradable. Persentase kebutuhan input dari pasar domestik dan asing tersebut mengacu pada kondisi aktual yang terjadi di lapang dan juga mengacu pada Tabel Input-Output tahun 2008.

Persentase alokasi biaya input untuk pupuk organik, pupuk kandang, tenaga kerja dan lahan sepenuhnya (100 persen) dipenuhi dari pasar domestik. Untuk bibit bawang merah, total kebutuhan benih bawang merah di Indonesia mencapai 80 000 ton per tahun3. Dari total kebutuhan tersebut, sebanyak 70 000 ton (87.50 persen) dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan sisanya 10 000 ton (12.50 persen) diasumsikan dipenuhi dari impor. Alokasi komponen input untuk pupuk urea mengacu pada jumlah total ketersediaan pupuk urea dalam negeri selama tahun 2014. Total ketersediaan pupuk urea di dalam negeri dilihat dari jumlah produksi dalam negeri ditambah dengan jumlah impor pupuk urea. Produksi pupuk urea di Indonesia mencapai 8 500 000 ton per tahun. Sementara itu jumlah impornya hanya sebesar 120 749 ton per tahun. Berdasarkan data tersebut maka alokasi kebutuhan input pupuk urea yang dipenuhi dari domestik sebesar 98.60 persen dan dari asing sebesar 1.40 persen. Sementara itu untuk pupuk SP36, ZA, KCl, NPK dan obat- obatan (pupuk pelengkap cair, zat pengatur tumbuh, pestisida dan herbisida) dipenuhi dari pasar domestik sebesar 61,97 persen dan asing 38.03 persen yang mengacu pada tabel Input-Output tahun 2008. Alokasi komponen input domestik dan asing pada bahan bakar minyak solar mengacu pada data produksi dan impor minyak solar pada tahun 2012 yang dikeluarkan oleh BPS. Pada tahun 2012, produksi minyak solar di dalam negeri mencapai 122 099 000 barel dan impornya mencapai 63 871 691 barel. Berdasarkan data tersebut, input bahan bakar minyak solar dipenuhi dari domestik sebesar 65.65 persen dan dari pasar asing sebesar 34.35 persen. Secara lebih jelas pembagian komponen domestik dan asing tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

3. Metode Penentuan Harga Bayangan

Menurut Monke dan Pearson (1989), penentuan harga bayangan untuk input dan output yang diperdagangkan secara internasional dapat menggunakan harga CIF untuk barang impor dan harga FOB untuk barang ekspor. Sementara itu, input yang non tradable atau faktor domestik tidak memiliki harga internasional sehingga penentuan harga bayangannya menggunakan perkiraan pendapatan yang hilang karena faktor tersebut tidak digunakan pada kegiatan alternatif terbaik (social opportunity cost). Adapun penentuan harga bayangan untuk output dan input usahatani bawang merah adalah sebagai berikut.

a. Harga Bayangan Output

Bawang merah merupakan salah satu komoditas yang di impor oleh Indonesia. Harga bayangan bawang merah menggunakan harga impor yaitu harga CIF (Cost Insurance Freight) di pelabuhan acuan yaitu pelabuhan Tanjung Priok- Jakarta kemudian ditambah dengan biaya tataniaga sampai ke lokasi penelitian. Harga impor bawang merah berdasarkan harga bawang merah impor dengan kode HS 0703102900 pada bulan Januari-Desember 2014. Harga tersebut dikonversi kedalam rupiah yang disesuaikan dengan Shadow Exchange Rate (SER).

3

http://finance.detik.com/read/2015/06/12/164509/2940967/4/ri-impor-benih-bawang-merah-dari- filipina-kenapa-ya [Diakses 24 Maret 2016]

b. Harga Bayangan Lahan

Menurut Pearson et al. (2005), harga bayangan lahan dapat diukur dengan mengikuti prinsip-prinsip social opportunity cost yaitu keuntungan sosial yang hilang karena tidak menanami lahan tersebut dengan komoditas alternatif terbaik. Selain itu, harga bayangan lahan dapat juga ditentukan dengan mengeluarkan biaya sewa lahan dalam penghitungan keuntungan privat maupun keuntungan sosial. Namun pendekatan ini kurang tepat karena nilai sewa lahan sangat diperlukan dalam menentukan efisiensi.

Dalam penelitian ini, harga bayangan lahan didekati dengan nilai sewa lahan secara aktualnya. Hal ini dilakukan karena adanya kesulitan dalam mendapatkan nilai sosial opportunity cost pada lahan tersebut. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis untuk komoditas alternatif kedua sehingga nilai sosial opportunity cost sulit diperkirakan. Selain itu, juga tidak ada penelitian terdahulu yang menunjang informasi tersebut.

c. Harga Bayangan Benih

Harga bayangan benih bawang merah menggunakan harga impor yaitu harga CIF (Cost Insurance Freight) di pelabuhan acuan yaitu pelabuhan Tanjung Priok- Jakarta kemudian ditambah dengan biaya tataniaga sampai ke lokasi penelitian. Harga impor benih bawang merah berdasarkan harga benih bawang merah impor dengan kode HS 0703102100 pada bulan Januari-Desember 2014. Harga tersebut dikonversi kedalam rupiah yang disesuaikan dengan Shadow Exchange Rate (SER).

d. Harga Bayangan Pupuk

Harga bayangan pupuk untuk pupuk jenis Urea menggunakan harga FOB dengan kode HS 3102100000. Hal ini dikarenakan produsen pupuk dalam negeri menghasilkan pupuk urea untuk memenuhi kebutuhan urea dalam negeri dan juga untuk ekspor. Harga FOB pupuk urea kemudian dikurangi dengan biaya tataniaga sampai tingkat pedagang di ibukota provinsi. Sementara itu, untuk pupuk ZA, SP36, KCl dan NPK digunakan harga CIF karena pupuk tersebut merupakan pupuk impor. Harga CIF berdasarkan harga pupuk dengan kode HS 3102210000 untuk ZA, 3103109000 untuk SP36, 3104200000 untuk KCl dan 3105200000 untuk NPK. Harga CIF tersebut kemudian ditambahkan dengan biaya tataniaga sampai ke lokasi penelitian. Harga bayangan pupuk organik dan pupuk kandang sama dengan harga aktualnya karena pupuk organik diproduksi dalam negeri dan tidak diperdagangkan secara internasional.

e. Harga Bayangan Obat-obatan (Pupuk Pelengkap Cair, Zat Pengatur Tumbuh, Pestisida dan Herbisida)

Harga bayangan obat-obatan menggunakan harga yang sama dengan harga aktualnya. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu sulitnya menentukan harga border price pada obat-obatan. Produksi obat-obatan tersebut dilakukan dalam negeri tetapi menggunakan bahan baku sebagian besar dari impor sehingga harga border price hanya pada bahan baku obat-obatan tersebut. Penghitungan harga bayangan sulit dilakukan dengan menggunakan harga border price bahan baku. Selain itu, pestisida tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga harga bayangannya sama dengan harga aktualnya.

f. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku pada masing-masing lokasi penelitian dengan mempertimbangkan tingkat pengangguran di daerah tersebut. Harga bayangan upah merupakan hasil perkalian antara upah aktuah dengan tingkat pengangguran di daerah yang bersangkutan. Tenaga kerja usahatani bawang merah ini dibedakan menjadi tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga. Harga bayangan untuk tenaga kerja luar keluarga dihitung berdasarkan nilai upah aktualnya. Harga bayangan untuk tenaga kerja dalam keluarga dihitung menggunakan upah aktual tenaga kerja luar keluarga.

g. Harga Bayangan Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam usahatani bawang merah terdiri dari cangkul, sabit, alat semprot, dan pompa air. Harga bayangan peralatan menggunakan nilai penyusutan aktualnya apabila peralatan tersebut milik petani sendiri. Harga bayangan peralatan juga dapat ditentukan berdasarkan nilai sewa aktualnya apabila petani menyewa alat pertanian, dengan asumsi petani dapat dengan mudah menyewa peralatan tersebut.

h. Harga Bayangan Bahan Bakar Minyak

Bahan bakar minyak menjadi salah satu input penting dalam usahatani bawang merah. Bahan bakar minyak jenis solar digunakan petani untuk bahan bakar mesin pompa air yang digunakan untuk pengairan pada musim kemarau. Bahan bakar jenis solar ini merupakan bahan bakar minyak yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. Pada tahun 2013-2014, harga eceran solar bersubsidi sebesar Rp 5 500/liter. Penentuan harga bayangan solar menggunakan harga keekonomian solar yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui surat keputusan penyesuaian harga jual keekonomian BBM PERTAMINA Sektor Industri dan Bunker No 1036/F13420/2014-S3 yaitu sebesar Rp 11 900/liter.

i. Harga Bayangan Bunga Modal

Bunga modal pinjaman mengacu pada bunga kredit KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Pada kredit KKPE ditentukan besaran bunga kredit untuk usaha non tebu sebesar 6 persen ditambah dengan suku bunga penjamian dari Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Suku bunga LPS yang berlaku pada Oktober-Desember 2013 sebesar 7.25 persen, Januari-Mei 2014 sebesar 7.5 persen dan Juni-Desember 2014 sebesar 7.75 persen. Sehingga bunga kredit KKPE berkisar antara 13.25 – 13.75 persen per tahun. Pemerintah memberikan subsidi bunga KKPE sebesar 7.5 persen sehingga petani hanya membayar sekitar 5.75 – 6.25 persen. Harga bayangan bunga modal yang digunakan adalah bunga kredit tanpa subsidi pemerintah yaitu sebesar 13.25 – 13.75 persen.

j. Harga Bayangan Nilai Tukar

Penentuan harga bayangan nilai tukar atau Shadow Exchange Rate (SER) mengikuti formulasi dari Gittinger (1986) sebagai berikut:

Di mana :

SER : Nilai Tukar Bayangan (Rp.US$) OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$)

SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)

Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp)

4. Analisis Indikator Matrik Kebijakan

Tahap terakhir dari analisis PAM ini adalah analisis indikator matrik kebijakan. Melalui tabel PAM dapat diketahui keuntungan finansial dan ekonomi dari usahatani bawang merah. Dari nilai keuntungan tersebut dapat ditentukan dayasaingnya melalui indikator keunggulan komparatif dan kompetitif. Tabel PAM juga memberikan informasi mengenai pengaruh kebijakan pemerintah terkait dengan kebijakan input, output, dan keduanya. Secara lengkap tabulasi matrik analisis kebijakan (PAM) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Tabulasi matrix analisis kebijakan

Uraian

Pendapatan Biaya Keuntungan

Input tradable Input non tradable Harga Privat A B C D Harga Sosial E F G H Efek Divergensi I J K L

Sumber : Monke and Pearson (1989)

A. Analisis keuntungan 1. Keuntungan Privat

Keuntungan privat merupakan indikator dayasaing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Dalam tabel PAM, keuntungan privat disimbolkan dengan huruf (D). Keuntungan privat didapat dengan rumus sebagai berikut:

D = A – B – C Keterangan: A = Penerimaan Privat

B = Biaya Privat Input Tradable C = Biaya Privat Input Non Tradable

Keuntungan privat merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya tradable maupun non tradable yang diukur dengan menggunakan harga privat atau harga aktual. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol berarti secara

SER = OER

SCFt SCFt =

Xt + Mt

finansial komoditas tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol maka kegiatan usaha tersebut tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah.

2. Keuntungan Sosial

Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi baik akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Pada tabel PAM, keuntungan sosial dilambangkan dengan huruf (H). Keuntungan sosial dirumuskan sebagai berikut:

H = E – F – G Keterangan : E = Penerimaan Sosial

F = Biaya Sosial Input Tradable G = Biaya Sosial Input Non Tradable

Keuntungan sosial merupakan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan yang dihitung dengan menggunakan harga bayangan. Apabila nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, aktivitas pengusahaan komoditas tersebut menguntungkan secara ekonomi sehingga layak untuk dikembangkan. Sebaliknya, apabila nilai keuntungan sosial kurang dari nol, maka sistem usahatani tidak mampu berjalan dengan baik atau tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. B. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif

1. Private Cost Ratio (PCR)

Rasio biaya privat (Private Cost Ratio) merupakan rasio antara biaya privat input non tradable dengan selisih antara penerimaan privat dengan biaya privat input tradable privat. Nilai PCR menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik pada harga privat atau aktualnya. Rasio biaya privat (PCR) dirumuskan sebagai berikut:

PCR = C / (A – B) Apabila:

PCR < 1, berarti sistem komoditas tersebut mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat, dengan kata lain komoditas tersebut memiliki keunggulan kompetitif. Semakin kecil nilai PCR berarti komoditas tersebut semakin kompetitif.

PCR > 1, berarti sistem komoditas tersebut tidak mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat, dengan kata lain komoditas tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif.

2. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR)

Rasio biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost Ratio) merupakan indikator keunggulan komparatif. Nilai DRCR mecerminkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya domestik. Nilai DRCR menunjukkan jumlah

sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu satuan devisa. Rasio biaya sumberdaya domestik (DRCR) dirumuskan sebagai berikut:

DRCR = G / (E – F) Apabila :

DRCR < 1, berarti sistem komoditas tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan lebih efisien apabila diproduksi dalam negeri dibandingkan dengan impor atau memiliki peluang ekspor yang tinggi. Semakin kecil nilai DRCR berarti komoditas tersebut semakin memiliki keunggulan komparatif.

DRCR > 1, berarti sistem komoditas tersebut tidak mempunyai keunggulan komparatif sehingga tidak efisien diproduksi dalam negeri.

C. Analisis Dampak Kebijakan 1. Kebijakan output

a. Transfer Output (OT)

Transfer output merupakan selisih antara nilai penerimaan berdasarkan harga finansial dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Transfer output menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah pada output sehingga menyebabkan adanya perbedaan antara harga output privat dan sosial. Dalam tabel PAM, transfer output disimbolkan dengan huruf (I) dan dirumuskan sebagai berikut:

I = A – E Keterangan : A = Penerimaan Privat

B = Penerimaan Sosial

Apabila nilai transfer output positif, maka kebijakan atau intervensi pemerintah pada output memberikan insentif kepada produsen, artinya harga yang dibayarkan konsumen kepada produsen lebih tinggi dari seharusnya. Sebaliknya, apabila nilai transfer output negatif, maka kebijakan pemerintah terhadap output belum sepenuhnya memberikan insentif terhadap produsen karena harga output domestik lebih rendah daripada harga sebenarnya.

b. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)

Koefisien proteksi output nominal merupakan rasio antara penerimaan berdasarkan harga finansial dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Koefisien proteksi output nominal didapat dengan rumus sebagai berikut:

NPCO = A / E Apabila:

Dokumen terkait