• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan mangove Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten. Lokasi pengamatan dan sampling ekologi ditentukan 3 lokasi yaitu Tembeling, Bintan Buyu dan Penaga dengan 8 stasiun sampling (Gambar 3). Metode penentuan stasiun sampling dilakukan dengan metode purposif sampling berdasarkan pertimbangan keterwakilan lokasi penangkapan kepiting bakau. Penelitian dilakukan selama 4 bulan yaitu pada bulan Februari – Mei 2015.

Gambar 3 Lokasi penelitian Tabel 2 Deskripsi lokasi penelitian di Teluk Bintan

Lokasi/ Stasiun Titik Koordinat Deskripsi Wilayah Tembeling ST 1 ST 2 ST 3 ST 4 Bintan Buyu ST 5 ST 6 Penaga ST 7 ST 8 1o00’47.96”- 1o 00’35.45” U, 104o28’49.46”- 104o28’54.73” T 1o00’58.69”- 1o 01’03.58” U, 104o29’21.53”- 104o29’26.46” T 1o01’51.85”- 1o 01’39.55” U, 104o29’48.13”- 104o29’47.43” T 1o02’05.72”- 1o 02’15.07” U, 104o29’39.66”- 104o29’39.50” T 1o02’19.49”- 1o 02’19.07” U, 104o27’58.87”- 104o28’06.44” T 1o03’44.74”- 1o 03’41.57” U, 104o27’48.32”- 104o27’51.61” T 1o03’19.21”- 1o 03’20.12” U, 104o24’01.26”- 104o23’51.75” T 1o03’36.54”- 1o 03’39.29” U, 104o24’48.82” -104o24’42.75” T Kampung Bengku Kampung Ladi Bukit Burung Sungai Kangboi Pesisir Gisi Sungai Bintan Sungai Ekang Tanah Merah

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penilitian ini yaitu alat pengukur kualitas air, peralatan pengambilan data vegetasi dan alat pengumpulan data kepiting yang tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Alat yang digunakan dalam penelitian

No. Alat (ketelitian) Kegunaan

1. Global Positioning System (GPS) Penentuan posisi

2. Penggaris batang (mm) Mengukur dimensi kepiting 3. Pipa paralon diameter 10 cm Mengambil sampel substrat

4. pH Meter (0,01) Mengukur pH

5. Termometer (0,1) Mengukur suhu

6. DO Meter (0,01) Mengukur DO (Dissolved oxygen) 7. Hand refractometer (0,5 ppt) Mengukur salinitas

8. Timbangan Menimbang berat kepiting

Jenis dan Metode Pengambilan Data Pengumpulan Sampel Kepiting Bakau

Pengumpulan data sampel kepiting bakau dilakukan dengan menggunakan pendekatan survey berbasis hasil tangkapan nelayan (Fisher-based survey) (Dumas et al. 2012). Pengumpulan sampel kepiting bakau hasil tangkapan nelayan diambil dari lokasi penelitian sebanyak 6 kali pengambilan. Setiap sampel kepiting dilakukan pengukuran lebar karapas, penimbangan bobot, dan pencatatan jenis kelamin.

Vegetasi Mangrove

Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan dengan metode transek garis dan petak contoh (line plots transect) (Bengen 2004) dan identifikasi mengacu pada Noor et al. (1999). Untuk setiap stasiun hanya diambil satu transek garis dari arah laut ke darat atau sebaliknya dengan tiga petak contoh. Petak contoh ukuran 10 x 10 m untuk kategori pohon (diameter >10 cm) yang ditentukan berdasarkan purposif sampling sedangkan petak contoh ukuran 5 x 5 m untuk kategori anakan (diameter = 2 – 10 cm) ditentukan berdasarkan random sampling. Data vegetasi mangrove pada tiap petak contoh pengamatan yang dicatat terdiri dari pohon, anakan dan jumlah individu tiap jenis. Metode transek garis dan petak contoh dari arah laut ke darat sebanyak 3 petak contoh seperti skema pada Gambar 4.

Darat Laut

Keterangan:

Petak sampling Substrat (1 x 1 m) Petak sampling anakan mangrove (5 x 5 m) Petak sampling pohon mangrove (10 x 10 m)

Tabel 4 Matriks jenis data dan metode analisis

No. Tujuan Peneitian Jenis Data Sumber dan Metode

Pengumpulan Data Analisis Data Output

1. Mengkaji Status Biologi Populasi Kepiting Bakau di Lokasi Penelitian Kepiting Bakau : 1. Hasil Tangkapan 2. Panjang-Bobot 3. Jenis Kelamin

Data Primer : Survey

Fisher Based Survey yaitu : Mengumpulkan sampel kepiting hasil tangkapan nelayan

1. Hubungan Pajang-Bobot : dengan analisis Regresi

2. Distribusi Frekuensi Ukuran (microsoft exel)

3. Parameter Pertumbuhan 4. Laju Mortalitas and Eksploitasi

Poin 3 -4 dianalisis dengan Program FISAT II

Status populasi kepiting bakau lokasi penelitian

2. Mengkaji Status Ekologi Habitat Kepiting Bakau di Lokasi Penelitian

Vegetasi dan Substrat : 1. Jenis Vegetasi 2. Kerapatan Vegetasi 3. Substrat

4. pH Substrat

Kualitas Air dan Oseanografi : 1. Suhu

2. Salinitas 3. pH air

4. Kedalaman Air (Tinggi pasut)

Data Primer

Metode : Line Plots Transect Analisis Lab

Insitu Data Primer

Pengukuran lapangan (Insitu)

Metode : Water quality cheker

1. Analisis Jenis dan Kerapatan Vegetasi : mengacu pada Kusmana (1997)

2. Analisis Kualitas Air : Deskriptif 3. Hubungan Kepiting dan

Karakteristik Habitat : PCA 4. Indeks Kualitas Habitat (IKH) :

Pembobotan dan skoring 5. Hubungan IKH dan Kepiting :

Analisis korelasi

Status ekologi habitat kepiting bakau di lokasi penelitian 3. Mengestimasi Nilai Ekonomi dan Kelayakan Usaha Kepiting Bakau di Lokasi Penelitian 1. RTP Nelayan Kepiting 2. Hasil Tangkapan 3. Harga Kepiting

4. Frekuensi Upaya Penangkapan 5. Nilai Investasi Usaha

1. Responden Nelayan : Random sampling

2. Responden Pengumpul :

Purposif sampling. Metode Pengumpulan data : Kuisioner dan Wawancara

1. Nilai Ekonomi Kepiting Bakau : Analisis Effec on Production (EOP) 2. Analisis Kelayakan Usaha

(Analisis Pendapatan, rasio R/C, PBP dan BEP)

Nilai ekonomi dan kelayakan usaha kepiting bakau di lokasi penelitian 4. Mengkaji Status Keberlanjutan Pengelolaan Kepiting Bakau di Teluk Bintan 1. Data Bioekologi 2. Sosial Ekonomi Sumber Data :

Data Primer dan Skunder Pengumpulan Data : Survey dan studi literatur

Analisis RAPFISH Status keberlanjutan dan rekomendasi pengelolaan kepiting bakau di Teluk Bintan

Pengambilan Data Kualitas Air dan Substrat

Parameter kualitas air berupa suhu, salinitas dan pH diukur di setiap petak contoh serta di muara/perairan pantai dengan cara pengukuran dilapangan (In situ) dengan menggunakan water quality cheker. Sedangkan pengaruh air pasang surut yang dilihat adalah genangan air pasang surut pada petak contoh pengamatan. Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 10 cm pada tiap petak pengamatan dan diukur pH nya. Selanjutnya sampel substrat di analisis di laboratorium untuk dikelompokkan berdasarkan fraksi substrat kategori pasir, lumpur dan liat.

Data Sosisal Ekonomi Nelayan Kepiting Bakau

Pengumpulan data sosial ekonomi menggunakan metode survey dengan alat bantu kuisioner dan wawancara mendalam kepada responden yang terkait pemanfaatan kepiting bakau dengan metode purposive sampling, dengan substansi (a) pemanfaatan kepiting bakau, (b) permasalahan kerusakan mangrove, (c) kebijakan pemerintah. Responden pengambil kebijakan yang dipilih yaitu Kepala Desa, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Badan Lingkungan Hidup.

Penentuan Jumlah Responden

Penentuan jumlah responden dilakukan secara sensus jika unit sampelnya sedikit, sedangkan jika jumlah sampelnya besar maka penentuan jumlah sampel diambil dengan cara random sampling berdasarkan estimasi proporsi (Nazir 2003).

... ... (1) Dimana n=jumlah unit sampel yang diinginkan, N = jumlah total jenis responden, D=B2/4 (B adalah bound of error = 0,10), dan p (estimator dari proporsi populasi = 0,1).

Data Sosial Ekomomi Jenis Respinden Pengambil kebijakan Pengumpul kepiting Nelayan

kepiting Nelayan lain

N1= 5 N2= 4 N3= 38 N4 = 150 n1= 5 n2= 4 Ukuran sampel n3= 23 n4= 29 Sensus Random sampling 52 Sensus 9 Purposive sampling Jumlah responden (sampel) Pemilihan responden

Gambar 5 Kerangka penentuan jumlah dan jenis responden Sumber : Modifikasi dari Wijaya (2011)

Analisis Data

Analisis Status Biologi Populasi Kepiting Bakau

Biologi kepiting bakau yang dianalisis meliputi Struktur ukuran, hubungan panjang bobot, parameter pertumbuhan berupa lebar karapas (Carapace Width) infinitif (CW∞) dan koefisien pertumbuhan (K), mortalitas total (Z), mortalitas alami (M), laju penangkapan (F) dan tingkat eksploitasi (E).

Struktur Ukuran

Analisa ukuran kepiting bakau yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi: ukuran lebar karapas dan bobot tubuh minimum dan maksimum kepiting bakau yang tertangkap, ditribusi frekuensi lebar karapas berdasarkan klasifikasi tiga fase yaitu juvenil, muda dan dewasa (La Sara 2010; Bonine et al. 2008). Distribusi frekuensi ukuran lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap dianalisa dengan menentukan jumlah selang kelas, lebar selang kelas dan frekuensi setiap kelas (Walpole 1992), yang kemudian akan digunakan sebagai data input untuk analisis pendugaan parameter pertumbuhan dan laju mortalitas. Ukuran panjang kepiting bakau yang digunakan adalah ukuran lebar karapas, karena kenyataannya bahwa pertumbuhan tubuh kepiting bakau lebih mempengaruhi pertambahan ukuran lebar karapas dari pada ukuran panjang karapas (Siahainenia 2008).

Hubungan Lebar Kapapas dan Bobot

Hubungan panjang bobot digunakan untuk menganalisa pola pertumbuhan kepiting bakau dengan menggunakan analisis regresi. Hubungan panjang bobot digambarkan dalam dua bentuk yaitu isometrik dan allometrik (Effendie 2006) dengan persamaan :

W = aCWb ... (2) W = bobot individu (g);

CW = lebar karapas kepiting (mm); a dan b = adalah konstanta

a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-bobot dengan sumbu y; b = penduga pola pertumbuhan panjang-bobot

Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan Ln W = Ln a + b Ln CW dan untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan Ln W sebagai Y dan Ln CW sebagai X, maka didapatkan persamaan regresi :

Y = a + b*X ... (3) Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis: H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, yaitu allometrik positif, jika b > 3 (pertambahan berat lebih cepat dari pada pertambahan panjang) dan allometrik negatif, jika b < 3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat).

Pendugaan Parameter Pertumbuhan

Pendugaan parameter pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) yaitu :

Lt= L∞ (1-e[-K(t-t0)]) ... (4)

Lt adalah Panjang kepiting pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama

dengan nol. Nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analisis) yang terdapat dalam program FISAT II. Untuk menetukan t0 (umur teoritis) kepiting pada saat lebar karapas

sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (1983) dalam Sparre dan Venema (1999), sebagai berikut :

log (-t0) = 0.3922 – 0.2752 (log L∞) – 1.038 (log K) ... (5) Pendugaan Laju Mortalitas dan Eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) dihitung dengan menggunakan data L∞ dan K sebagai data input program FISAT II. Pendugaan M mengunakan persamaan empiris Pauly dalam Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

Log M = 0.0066–0.279*logL∞+0.6543*Log K + 0.4634*LogT ... (6) dimana T adalah suhu permukaan perairan.

Pendugaan laju mortalitas penangkapan (F), digunakan rumus :

... (7) Keterangan :

F = Laju mortalitas penangkapan (per tahun) Z = Laju mortalitas total (per tahun)

M = Laju mortalitas alami (per tahun)

Pendugaan laju eksploitasi (E) dihitung dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) dengan persamaan Pauly 1984 dalam Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

atau ... (8) Keterangan :

E = laju eksploitasi (per tahun).

F = laju mortalitas penangkapan (per tahun) M =Laju mortalitas alami (per tahun)

Z = total laju mortalitas (per tahun)

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi (E) optimum menurut Gulland (1971) dalam Pauly (1984) adalah: Foptimum=M dan Eoptimum=0,5.

Jika E>0,5 menunjukkan telah tejadi over fishing; E<0,5 menunjukkan tingkat eksploitasi rendah (under fishing); E=0, menunjukkan pemanfaatan optimal (Sparre dan Venema 1999).

Analisis Status Ekologi Habitat Kepiting Bakau Vegetasi Mangrove

Analisis jenis vegetasi mengacu pada Noor et al. (1999) dan perhitungan komposisi jenis dan struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menganalisis parameter yang mengacu pada Kusmana (1997); Natividad et al. (2015) yaitu:

a. Kerapatan Suatu Jenis (K), dihitung dengan rumus:

b. Kerapatan Relatif (KR), dihitung dengan rumus:

Substrat dan Kualitas Air

Analisis substrat untuk melihat sebaran fraksi substrat di lokasi penelitian dilakukan dengan metode pengayakan dan pipet. Pengelompokkan kedalam kelas tekstur substrat mengacu pada Hanafiah (2007) yang digunakan untuk melihat hubungan substrat yang disenangi atau yang sesuai bagi habitat kepiting bakau. Parameter kualitas air berupa suhu, salinitas, dan pH air diukur dengan cara pengukuran dilapangan (In situ) dengan menggunakan water quality cheker. Data ditabulasikan dan diolah dengan menggunakan software excel, serta dianalisis secara deskriptif.

Karakteristik Habitat Kepiting Bakau

Hubungan kepiting bakau dengan karakteristik habitat yang terdiri dari parameter biofisik dan kimia lingkungan pada tiap stasiun, dianalisa dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Componend Analysis/PCA) (Bengen 2000) Analisis ini bertujuan untuk mencari hubungan yang erat antara struktur komunitas dengan lingkungan atau hubungan erat antar variabel.

Hubungan Kualitas Habitat terhadap Kepiting Bakau

Hubungan kualitas habitat terhadap lebar karapas dan biomassa kepiting bakau dianalisis dengan pendekatan korelasi (r) sederhana (Sarwono 2006), dengan persamaan :

√ ∑ ∑ ∑ ∑ ... (11) Kualitas Habitat Kepiting Bakau

Kualitas ekosistem mangrove bagi habitat kepiting bakau dinilai melalui pendekatan indeks kualitas habitat (IKH). IKH disusun dengan membuat matrik kriteria kualitas habitat yaitu dengan cara melakukan pembobotan dan pembuatan kelas kualitas berupa baik, sedang dan buruk pada tiap variabel. Pembobotan (weigthing) didasarkan pada tingkat peran variabel yang memiliki hubungan erat terhadap kepiting bakau berdasarkan studi pustaka, sedangkan skoring didasarkan pada nilai atau kondisi aktual dilapangan. IKH bagi kepiting bakau disususn berdasarkan modifikasi dari indeks kesesuaian untuk pengembangan Silvofishery kepiting bakau yang susun oleh Setiawan dan Triyanto (2012) dan modifikasi dari kelayakan kualitas air dan tanah untuk budidaya kepiting bakau yang disusun oleh Agus (2008).

Variabel yang berpengaruh lebih kuat bagi kehidupan dan pertumbuhan kepiting diberi bobot 3, bobot 2 diberikan pada variabel yang memiliki pengaruh sedang dan bobot 1 diberikan pada variabel yang lebih lemah pengaruhnya terhadap kehidupan dan pertumbuhan kepiting bakau. Kriteria kualitas habitat kepiting bakau disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria kualitas ekologi habitat kepiting bakau (Scylla serrata) No Variabel Bobot

Kisaran Kualitas Habitat

Referensi Baik Sedang Buruk

(skor 5) (skor 3) (skor 1)

1 Suhu (oC) 2 25-35 20-25 <20 & >35 Shelley dan Lovatelli (2011), DKP (2002)

Cholik (1999) 2 Salinitas

(ppt)

2 15 - 25 >25-30 <15 & >30 Setiawan dan Triyanto (2012) Shelley dan Lovatelli (2011) Karim (2007)

3 pH air 1 7,5 - 9 6,5 - 7,5 <6,5 & >9 Shelley dan Lovatelli (2011), Siahainenia 2008

4 pH substrat (pHs)

1 6,5 - 7,5 4-6,5 & 7,5- 9

<4 & >9 Nirmala et al. (2005) Ristiyani (2012)

5 DO (mg/L) 2 > 4 3 – 4 < 3 Susanto dan Murwani (2006), 6 Genangan Air pasut 2 TT TSP TSPP Observasi Lapangan 7 Tekstur substrat (TS) 3 Lumpur- berliat (Halus) Liat, umpur, lumpur berpasir (Sedang) Pasir (kasar) DKP (2002),

Setiawan dan Triyanto (2012)

8 Jenis Vegetasi Dominan 2 Rhizophora spp. Xylocarpus spp. Avecennia spp. Aegiceras spp. Bruguiera spp. Ceriops sp. Nypa sp. Wijaya 2011 Observasi lapangan 9 Kerapatan Vegetasi/KV (ind/ha)

3 Padat Sedang Rusak Kepmen LH No.201 2004 Siahainenia 2008

Ket : TT (Tetap Tergenang meskipun surut), TSP (Tergenang Saat Pasang) dan TSPP (Tergenang Saat Pasang Purnama)

Tabel 6 Perhitungan skor dan bobot habitat kepiting bakau.

No. Variabel Skor

Min Skor Maks Bobot Total Skor Min Total Skor Maks 1 Suhu (oC) 1 5 2 2 10 2 Salinitas (ppt) 1 5 2 2 10 3 pH air 1 5 1 1 5 4 pH substrat 1 5 1 1 5 5 Oksigen terlarut (mg/L) 1 5 2 2 10

6 Genangan Air pasut 1 5 2 2 10

7 Tekktur substrat 1 5 3 3 15

8 Jenis Vegetasi Dominan 1 5 2 2 10

9

Kerapatan Vegetasi

(ind/ha) 1 5 3 3 15

Nilai total indeks kualitas habitat (IKH) di peroleh dari jumlah total hasil perkalian nilai skor tiap variabel (Vi) dengan bobot variabel itu sendiri (bi), dengan perhitungan sebagai berikut :

IKH = Σ(bi x Vi) ... (12) dimana, bi adalah bobot variabel ke-i dan Vi adalah skor variabel i.

Penentuan interval kelas kualitas habitat diperoleh berdasarkan metode equal interval, yang berfungsi untuk membagi jangkauan nilai-nilai atribut kedalam sub-sub jangkauan dengan ukuran yang sama dengan rumus sebagai berikut :

Dimana, I adalah Interval kelas kualitas , k adalah jumlah klas kualitas yang ditentukan. Berdasarkan rumus metode equal interval, maka diperoleh interval kelas kualitas lingkungan habitat kepiting bakau sebagai berikut :

( ) Maka diperoleh nilai klas kualitas habitat kepiting bakau sebagai berikut :

67 - 90 = Kualitas habitat kategori baik 43 - 66 = Kualitas habitat kategori sedang 18 - 42 = Kualitas habitat kotegori buruk

Analisis Aspek Ekonomi Nilai Ekonomi Kepiting Bakau

Pendugaan nilai ekonomi kepiting bakau dihitung melalui pendekatan Effect on Production (EOP). EOP merupakan penilaian ekonomi yang memandang sumber daya alam sebagai input dari produk akhir yang kemudian digunakan oleh masyarakat (Adrianto 2006). Analisis data dilakukan dengan cara mentrasformasikan data ke dalam bentuk logaritma, kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi dan dilanjutkan dengan perhitungan surplus konsumen dengan bantuan sofware microsof exel.

Adapun langkah-langkah analisis manfaat langsung kepiting bakau di ekosistem mangrove sebagai berikut.

a. Menentukan parameter fungsi permintaan kepiting bakau sebagai salah satu manfaat langsung ekosistem mangrove, sebagai berikut:

Q = Jumlah kepiting hasil tangkapan (kg/tahun) P = Harga kepiting (Rp/kg)

U = Umur responden (tahun) Ed = Lamanya pendidikan (tahun) F = Jumlah tanggungan kelaurga Ex = Lamanya menjadi nelayan (tahun) I = Pendapatan (Rp/tahun)

b. Melakukan transformasi data parameter pemanfaatan kedalam bentuk logaritma dengan microsof exell, kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi sehingga menjadi fungsi linier agar dapat diestimasi koefisien masing-masing parameter, sebagai berikut:

Q = β0+ β1X1 + β2X2 +…… βnXn +………...……(15)

c. Hitung nilai konsumen surplus yang merupakan nilai manfaat langsung ekosistem

mangrove persatuan individu nelayan, sebagai berikut.

CS = U- C ………...………. (16) d. Hitung Nilai Ekonomi Total (NET) eksosistem mangrove dari pemanfaatan

langsung kepiting bakau dengan persamaan sebagai berikut:

NET = (CS x N)/L ………...……... (17) Dimana:

NET = Nilai ekonomi total (Rp/ha/tahun) CS = Konsumen surplus per individu

N = Jumlah nelayan kepiting bakau (individu) L = Luas kawasan mangrove (ha)

Analisis Kelayakan Usaha

Analisis kalayakan usaha bertujuan menilai apakah suatu kegiatan tertentu yang dilaksanakan adalah layak, atau dapat memberikan keuntungan bagi suatu perusahaan maupun perorangan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungannya (Umar 2003). Analisis usaha yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis pendapatan (π), Rasio usaha (R/C), Payback Period (PBP) dan Break Even Point (BEP). Hal ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha perikanan kepiting bakau di lokasi penelitian.

a. Analisis pendapatan

Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang terlibat dalam usaha dan besar keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut. Pendapatan usaha penangkapan kepiting dihitung dengan menggunakan rumus :

π = TR − TC ... (18) Dimana, � adalah keuntungan, TR adalah total penerimaan (hasil tangkapan x harga kepiting), TC adalah total biaya (biaya tetap + biaya variabel)

b. Analsis Revenue Cost Ratio (R/C)

Analisis ini digunakan untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha yang dilakukan dengan membandingkan penerimaan dengan biaya produksi selama periode waktu tertentu (satu musim tanam). Secara matematis R/C dituliskan:

Dimana :

TR : Total penerimaan (Total Revenue) NB : Total biaya (Total Cost)

Kriteria Usaha : R/C > 1, usaha menguntungkan R/C = 1, usaha impas

R/C < 1, usaha merugikan c. Payback Period (PBP)

Payback period dapat diartikan sebagai jangka waktu kembalinya investasi yang telah dikeluarkan, melalui keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang telah direncanakan. Menurut Riyanto (2004) payback period adalah suatu periode yang diperlukan untuk dapat menutup kembali pengeluaran investasi dengan menggunakan aliran kas netto (net cash flows). Sehingga payback period dari suatu investasi menggambarkan panjang waktu yang diperlukan agar dana yang tertanam pada suatu investasi dapat diperoleh kembali seluruhnya. Secara matematis PBP dihitung dengan persamaan :

Dimana :

TBT : Total biaya tetap TBV : Total biaya variabel

NB : Net benefit (penerimaan bersih)

Kriteria: Periode pengembalian lebih cepat : layak Periode pengembalian lebih lama : tidak layak d. Analisis Break Even Point (BEP)

Analisis BEP merupakan sebuah pengukuran untuk mengetahui berapa volume atau kapasitas produksi minimum agar investasi itu tidak menderita rugi tetapi juga belum memperoleh keuntungan, yang diformulasikan sebagai berikut :

Dimana TBT = total biaya tetap, Hu = harga per unit, BVu = biaya variable per unit, TBV = total biaya variabel, NB = net benefit.

Analisis Keberlanjutan Perikanan Kepiting Bakau

Salah satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk mengevaluasi status keberlanjutan dari perikanan kepiting bakau adalah dengan pendekatan RAPFISH (Rapid Appraissal for Fisheries). Dengan menggunakan RAPFISH akan diperoleh gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumber daya perikanan, khususnya di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam rangka mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, sebagaimana yang disyaratkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (Fauzi dan Anna 2002).

RAPFISH adalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia Canada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan menggunakan Multi-Dimensional Scaling (MDS) (Pitcher dan Preikshot 2001). MDS sendiri pada dasarnya adalah teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah.

Dimensi dalam RAPFISH yang menyangkut aspek keberlanjutan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi 5 dimensi yaitu: (1) ekologi; (2) ekonomi; (3) sosial; (4) kelembagaan; dan (5) teknologi. Adapun tahapan analisis keberlanjutan perikanan kepiting bakau di lokasi penelitian adalah sebagai berikut :

1. Idendtifikasi dan Penentuan Atribut

Penentuan atribut pada masing-masing dimensi disusun berdasarkan atribut atau indikator yang memiliki keterkaitan dengan keberlanjutan (sustainability) perikanan sesuai yang disyaratkan dalam Code of Conduct FAO dan telah dirumuskan oleh Pitcher dan Preikshot (2001), kemudian atributnya dimodifikasi berdasarkan karakteristik kepiting bakau yang telah dibuat oleh Wijaya (2011). Menurut Garcia dan Staples (2000) bahwa penentuan atribut dapat dimodifikasi tergantung kepada karakteristik yang dikaji dan bisa saja berbeda–beda.

2. Pembuatan Skor dan Pemberian Nilai Skor

Tahap kedua dari analisis ini adalah melakukan pembuatan skor melalui pemberian peringkat pada atribut. Pembuatan skor mengacu pada teknik RAPFISH (Pittcher and Preikshot 2001; Susilo 2003), yaitu skor yang diberikan

berupa nilai “buruk (bad)” yaitu mencerminkan kondisi yang paling tidak

menguntungkan dan sebaliknya nilai “baik (good)”, yaitu kondisi yang paling menguntungkan. Diantara nilai yang ekstrim “baik” dan “buruk”, biasanya

terdapat satu atau lebih nilai antara. Peringkat yang diberikan pada setiap atribut yang dinilai berkisar antara 0 – 3. Sedangkan pemberian nilai skor tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari baik sampai buruk. 3. Proses Ordinasi

Posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu vertikal dan horisontal). Melalui metode rotasi sumbu maka posisi titik-titik

tersebut dapat diproyeksikan pada garis mendatar dimana titik ekstrem “buruk” diberi nilai skor 0 % dan titik ekstrim “baik” diberi skor 100 %. MDS (Multi Dimensional Scalling) dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain. Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna 2005).

Proses ordinasi berikutnya setelah titik acuan utama horizontal (Susilo, 2003) adalah:

a) Membuat titik acuan utama lainnya yaitu “titik tengah” merupakan titik tengah

baik dan titik tengah buruk. Dua titik tambahan ini akan menjadi acuan arah

vertikal (“atas” atau “up” dan “bawah” atau “down”) dari ordinasi;

b) Membuat titik acuan tambahan yang disebut dengan titik acuan “jangkar”

(anchors) yang berguna untuk stabilizer dan menempatkan titik pada posisi yang tidak sama pada ruang multidimensi yang sama;

c) Melakukan standarisasi skor untuk setap atribut sehingga setiap atribut mempunyai bobot yang seragam dan perbedaan antar skala pengukuran dapat dihilangkan;

d) Meghitung jarak antar titil-titik acuan dengan metode Euclidean distance squared (seuclied). Alder et al. (2000) menyatakan bahwa titik ordinasi dengan mengkonigurasikan jarak antar titik dalam t- dimensi yang mengacu pada jarak euclidien antar titik. Dalam ruang dua dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:

Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidien dirumuskan sebagai berikut:

e) Membuat ordinasi baik untuk seluruh dimensi dan seluruh atribut berdasarkan algoritme analisis MDS. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress. Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al. 2000).

f) Menghiting nilai “stress” (standart residual sum of square), dengan

menggunakan nilai jarak pada saat dua dimnesi dan hasil analisis regresi antara dua dimensi dengan nilai jarak pada saat p dimensi (nilai harapan jarak pada saat dua dimensi). Analisis MDS berhenti jikan nilai “stress” telah memenuhi

persyaratan yang dikehendaki, dalam hal ini <0,25 atau jika “stress” tidak turun

lagi di dalam iterasi (Fauzi dan Anna 2002). Stress dideinisikan sebagai berikut:

4. Skala indeks Keberlanjutan

Skala indeks keberlanjutan pengelolaan perikanan kepiting bakau diadopsi pada selang kelas yang digunakan oleh Susilo (2003), dimana nilai selang kelas dari 0 - 100 di bagi kedalam 4 kategori yang menggambarkan status dari indeks keberlanjutan sebagaimana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Kategori Status Keberlanjutan pengelolaan Perikanan

Dokumen terkait