• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pulau Uta, Kabupaten Halmahera Tengah, Propinsi Maluku Utara yang secara geografis terlatak pada 129037¹ BT – 129038¹ BT dan 000¹25¹¹ LU – 0001¹24¹¹ LU dan dilaksanakan pada Bulan Mei – September 2011. Peta lokasi penelitian dapati dilihat pada Gambar 5.

Penentuan Stasiun Penelitian

Pulau Uta adalah sebuah pulau kecil tidak berpenduduk yang terletak di sebelah utara Pulau Yoi. Dataran yang rata dan pantai yang landai di sepanjang garis pantai dengan vegetasi tumbuhan yang cenderung homogen memungkinkan kondisi habitat di semua lokasi sama. Pengambilan data dilakukan di empat stasiun pengamatan masing-masing di bagian barat, timur, selatan dan utara pulau yang dianggap representatif mencirikan wilayah penelitian secara keseluruhan.

Alat dan Bahan Penelitian

Berdasarkan parameter-parameter yang diukur dan alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Metode Pengambilan Sampel

Pengumpulan kepiting kelapa dilakukan dengan survey jelajah dengan mencari langsung kepiting kelapa di tempat persembunyiannya. Penangkapan

N 0001’30.72”

N 0000’38.88” E 129037’56.64”

E 129037’.30.72”

Sumber Peta : Map data ©2013, Tele Atlas S U

dilakukan pada siang dan malam hari langsung di lubang-lubang tanah dan pada pohon-pohon kayu yang tumbang yang mereka gali sebagai tempat persembunyiannya. Kepiting yang terperangkap disinari dengan senter dengan fokus agar kepiting tetap diam. Agar dia tidak meronta, bagian punggungnya diinjak kemudian capit dan kakinya diikat menjadi satu dengan tali tambang. Kepiting kelapa yang tertangkap kemudian dikumpulkan untuk dilakukan pengukuran terhadap panjang karapas tambah rostrum (CP + r) dan ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 1 gram. Preservasi dilakukan dengan menggunakan formalin 10 %.

Kelimpahan dan pola penyebarannya di lokasi penelitian dihitung berdasarkan metode kuadran berukuran 100 x 100 m dengan menempatkannya secara acak di setiap stasiun pengamatan. Pengambilan data morfometrik dan kualitas tanah dilakukan pada setiap ulangan sementara tekstur tanah diambil di sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting kemudian diayak dengan menggunakan ayakan berlapis untuk pengelompokan fraksi lumpur, pasir dan tanah liat ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh The

International Society of Soil Science (Michael 1994).

Tabel 2. Paramater yang diukur dan alat yang digunakan

No Parameter Satuan Jenis Alat

FISIKA

1. Tekstur tanah % Ayakan berlapis

2. Suhu Tanah 0C Thermometer Tanah

3. Kelembaban % Psikrometer

4. Curah Hujan mm Data Sekunder

KIMIA

5. Bahan Organik Tanah % Metode Welkey-Black

6. pH Tanah pH Soil tester

BIOLOGI

7. Kondisi Vegetasi m2 Kuadran

8. Morfometrik

- Panjang CP + r mm Jangka sorong

- Berat Total g Timbangan digital

10. Berat Gonad g Timbangan digital

11. Kelimpahan m2 Kuadran

Pengukuran Aspek Biologi Morfometrik

Pengambilan data morfometrik meliputi pengukuran panjang kerapas termasuk rostrum dengan menggunakan jangka sorong. Bobot tubuh ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Penimbangan bobot dilakukan sebelum dan sesudah dikeluarkan gonadnya dengan menggunakan timbangan digital. Pengukuran dilakukan setiap bulan. Bagian-bagian tubuh dari kepiting kelapa yang diukur pada kepiting kelapa dapat dilihat pada Gambar 6.

Penentuan TKG

Pengamatan TKG dilakukan secara visual yaitu dengan melihat perubahan morfologi gonad. Tingkat kematangan gonad (TKG) kepiting kelapa jantan dan betina diklasifikasikan berdasarkan perubahan ciri-ciri morfologi gonad menurut Rafiani dan Sulistiono (2009) disampaikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Ciri-ciri morfologi gonad jantan menurut Rafiani dan Sulistiono (2009)

Tingkat Kematangan

Gonad (TKG) Ciri-ciri morfologis

Tidak Matang (TKG I)

Sepasang gonad jantan terdapat pada bagian abdomen dengan warna putih kekuningan dan berukuran kecil serta mengisi sekitar 5% rongga abdomen.

Awal matang (TKG II)

Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya yang berbentuk tabung melingkar (spiral) berukuran sedang. Gonad berwarna putih kekuningan dan mengisi sekitar 10% rongga abdomen.

Sedang matang (TKG III)

Gonad terdiri ats testis dan saluran-salurannya berukuran cukup besar dengan warna putih kekuningan dan mengisi sekitar 30% rongga abdomen

Matang (TKG IV)

Gonad terdiri dari testis dan saluran-salurannya yang berbentuk spiral berukuran besar. Gonad berwarna putih susu dan mengisi sekitar 40% dari rongga abdomen. Keterangan : CP + r = panjang kerapa+ rostrum CP-r = Panjang kerapas tanpa rostrum

Tabel 4. Ciri-ciri morfologi gonad betina menurut Rafiani dan Sulistiono (2009) Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ciri-ciri morfologis Tidak Matang (TKG I)

Permukaan ovarium halus, belum terbentuk butiran- butiran telur. Ovarium belum mulai berkembang, berbentuk sepasang, ovarium berwarna abuabu muda. Pengisian ovarium di dalam abdomen adalah sekitar 25 persen.

Awal matang (TKG II)

Permukaan ovarium lembut, mulai terlihat butiranbutiran telur, jika di tekan mudah hancur. Ukuran ovarium semakin bertambah dan meluas, warna dari putih menjadi abu-abu tua. Pengisian ovarium didalam abdomen sekitar 30 persen.

Sedang matang (TKG III)

Permukaan ovarium terasa kasar, karena butiranbutiran telur semakin membesar dan padat, jika di tekan kuat dan tidak mudah hancur. Volume ovarium semakin membesar, berwarna orange. Butiran telur terlihat dengan jelas, namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak. Pengisian ovarium

Matang (TKG IV)

Permukaan ovarium terasa kasar dan padat, karena butiran-butiran telur yang semakin membesar dan jelas, jika di tekan kuat dan tidak akan hancur. Hampir semua telur mempunyai ukuran yang relatif sama dan bentuknya bulat. Butir-butir telur semakin membesar, hampir mengisi seluruh abdomen dan terlihat dengan jelas berwarna merah tua dengan mudah dapat dipisahkan karena lapisan minyak yang menyelubungi sudah berkurang. Pengisian ovarium didalam abdomen sekitar 80 %.

Berat Gonad dan IKG

Penentuan berat dan indeks kematangan gonad, maka gonad yang sudah dikeluarkan dan diawetkan dengan formalin 10 % ditimbang dengan menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 gram. Indeks kematangan gonad pada jantan dan betina adalah perbandingan berat gonad terhadap berat tubuh dikalikan dengan 100%.

Pengukuran Aspek Fisika

Parameter aspek fisika yang akan diukur adalah curah hujan dan kelembaban udara. Pengukuran pH tanah dilakukan dengan menggunakan pHmeter. Kelembaban udara diukur dengan menggunakan hygrometer sedangkan curah ujan datanya bisa diperoleh dari BMG Maluku Utara.

Pengukuran Aspek Kimia Tekstur Tanah

Pada analisis komposisi tekstur tanah yang ada di lokasi penelitian, digunakan ayakan berlapis. Sebelum diayak, contoh tanah yang akan diambil di sekitar lubang-lubang yang dibuat kepiting dibersihkan terlebih dahulu permukaannya dari sisa-sisa tanaman atau kotoran lainnya. Komposisi tanah yang diukur meliputi tiga bagian fraksi yaitu lumpur, liat dan pasir. Pengelompokan ukuran partikel tanah menurut ukurannya ditentukan berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh The International Society of Soil Science Michael (1994).

Bahan Organik Tanah

Kandungan bahan organik yang terdapat dalam tanah beradal dari sisa-sisa tumbuhan, hewan dan organism lainnya yang telah mati termsuk kotorannya. Perombakan oleh jasad renik terhadap material tersebut menyebabkan pelapukan dan memperkaya bahan organik tanah. Analisis kandungan bahan organik tanah dilakukan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.

Analisis Statistik Indeks Kematangan Gonad

Indeks Kematangan Gonad diperoleh dengan menggunakan menurut Effendi (1979) yaitu:

IKG= BG

BT x 100 keterangan :

IKG = Indeks Kematangan Gonad BG = Berat Gonad (g)

BT = Berat tubuh (g)

Hubungan Panjang Berat

Hubungan panjang (CP+r) berat (bobot) kepiting dilakukan secara terpisah antara jenis kelamin jantan dan betina di masing-masing stasiun pengamatan. Perhitungan hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Ricker (1975) dalam Effendi (19779) sebagai berikut:

W = a (CP+r)b keterangan :

W = Bobot Total Kepiting CP+r = Panjang Kerapas + rostrum A dan b = konstanta

Persamaan diatas dilogaritmakan untuk mendapatkan persamaan linier menjadi : Log W = Log a + b Log (CP+r)

Selanjutnya dari persamaan di atas harga a dan b didapatkan untuk menentukan kriteri pertumbuhan. Menurut effendi (1979), jika b > 3, maka pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan bobot dan sebaliknya jika

b < 3, maka pertambahan panjang kepiting lebih lambat daripada pertambahan bobotnya. Kedua jenis pertumbuhan ini disebut pertumbuhan allometrik. Jika b = 3, maka berarti bahwa pertambahan berat dan panjang sama atau disebut dengan pertumbuhan isometrik.

Penentuan nilai b, dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95% (α, 0,05) (Steel dan Torrie, 1949).

Pada uji ini berlaku hipotesis : h0: b = 3

h1: b ≠ 3,

Kaídah keputusan:

a. Jika thitung > ttabel keputusannya adalah tolak h0

b. Jika thitung < ttabel maka keputusannya adalah terima h0(Walpole, 1995).

Panjang Infinitif dan Umur Teoritis

Panjang asimtut dan umur teoritis diketahui dengan melakukan analisis panjang karapas dengan menggunakan persamaan von Bertallanffy sebagai berikut :

Lt = L∞[1-e-K(t-to)]

atau Lt = L∞ (1-e-Kt)+Lo e-Kt (Pauly,1987)

keterangan :

Lt = panjang pada waktu t,

L∞ = panjang asimptot, yaitu panjang kepiting dari suatu stok yang muncul bila

mereka tumbuh secara tidak terbatas,

Lo = panjang pada waktu t = 0, K = koefisien pertumbuhan.

to = panjang pada saat umur = 0 bulan

Menurut Pauly (1987) pengukuran pertumbuhan dapat didasarkan pada data frekwensi panjang baik pada ikan maupun invertebrate.

Faktor Kondisi

Perhitungan faktor kondisi ditentukan berdasarkan pola pertumbuhannya. Adapun pola pertumbuhan isometrik dihitung dengan menggunakan rumus:

K = (10

5𝑊) (𝐶𝑃 + 𝑟)3

Pola pertumbuhan allometrik, dihitung dengan rumus :

K = 𝑊

keterangan :

K = Faktor Kondisi Kepiting

W = Bobot Tubuh yang diukur (gram) CP+r = Panjang kerapas + rostrum (mm) a = Koefisien pertumbuhan

b = Ukuran dari perbedaan rata-rata tumbuh

Rasio Kelamin

Penentuan jenis kelamin dilakukan berdasarkan ciri kelamin sekunder. Pada kelamin betina terdapat 3 buah pleopoda yang terdapat pada abdomen. Ciri lain yang membedakan jantan dan betina adalah ukuran tubuh, biasanya jantan lebih besar daripada betina. Rasio kelamin jantan dan betina dapat diduga dengan menggunakan rumus menurut Effendi (1979):

P = A : B keterangan:

P = Rasio kelamin jantan dan betina, A = Jumlah kelamin jantan

B = Jumlah kelamin betina

Selanjutnya rasio kelamin diuji dengan menggunakan Chi-Square menurut Steel dan Torrie (1993) sebagai berikut :

X2 = (𝑂𝑖 − 𝑒𝑖) 2 𝑒𝑖 n 𝑖=1 keterangan:

Oi = Frekuensi jumlah kepiting jantan dan betina yang diamati ei = Frekuensi harapan (jumlah rata-rata jantan dan betina)

Pola Penyebaran

Pola penyebaran kepiting kelapa di lokasi penelitian akan ditentukan dengan menggunakan indeks Morisita menurut (Browler dan Zaar, 1977) sebagai berikut : 𝐼𝑑 = 𝑛 ( 𝑋𝑖 2 − 𝑋𝑖) ( 𝑋𝑖)2− 𝑋𝑖 keterangan: Id = Indeks Morisita, n = Jumlah Plot (unit),

X = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot Kriteria pola penyebaran:

jika nilai Id = 1: pola penyebaran acak,

jika nilai Id > 1: pola penyebaran mengelompok, dan jika nilai Id < 1: pola penyebaran seragam.

Menghitung Mu dan Mc

Pola sebaran ditunjukkan dengan perhitungan Mu dan Mc sebagai berikut :

𝑀𝑢 = 𝑋0,975 2 − 𝑛 + 𝑋1 ( 𝑋1 ) − 1 𝑀𝑐 = 𝑋0,0252 − 𝑛 + 𝑋1 ( 𝑋1 ) − 1 keterangan :

Mu : Indeks Morisita untuk pola sebaran seragam

X20,975 : nilai Chi-square tabel dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 97,5 %

Mc : Indeks Moristita untuk posa sebaran mengelompok

X20,0,25 : nilai Chi-square dengan derajat bebas n-1 dan selang kepercayaan 2,5 % Menghitung Standar derajat Morisita :

Ip = 0,5 + 0,5 𝐼𝑑 − 𝑀𝑐 𝑛 − 𝑀𝑐 ; jika Id ≥ Mc > 1 Ip = 0,5 𝐼𝑑 − 1 𝑀𝑐 – 1 ; jika Mc > Id ≥ 1 Ip = 0,5 𝐼𝑑 − 1 𝑀𝑢 − 1 ; jika 1 > Id > Mc, dan Ip = -0,5 + 0,5 𝐼𝑑 − 𝑀𝑢 𝑀𝑢 ; jika 1 > Mu > Id

Ip disini ada 4 rumus. Jadi ada 4 kondisi kita menghitung Ip dengan rumus

sebagai berikut :

Pertama, jika nilai Id > 1, dan Id > atau = Mc, maka pakai rumus 1. Kedua, jika nilai Id > 1, dan Id < Mc, maka pakai rumus 2.

Ketiga, jika nilai Id < 1, dan Id > Mu , maka pakai rumus 3. Keempat jika nilai Id < 1, dan Id < Mu, maka pakai rumus 4.

Kemudian, langkah yang terakhir adalah menentukan pola sebaran berdasar nilai Ip di atas. Jika Ip < 0 maka pola sebarannya seragam. Jika Ip = 0 maka pola sebarannya acak, dan jika Ip > 0 maka pola sebarannya mengelompok.

Karakteristik Habitat

Determinasi sebaran karaktristik habitat kepiting kelapa antara sub stasiun digunakan pendekatan Analisis Multivariat yang didasarkan pada Analisis Cluster. Analisis ini dilakukan untuk mengelompokkan obyek berdasarkan

kesamaan karakteristik di antara variable-variabel yang diteliti (Stockburge

1997). Analisis tersebut akan mendapatkan: Homogenitas internal (within

cluster); yaitu kesamaan antar anggota dalam satu cluster. Langkah

pengelompokan dalam analisis cluster mencakup 3 hal berikut : 1. Mengukur kesamaan jarak

2. Membentuk cluster secara hirarkis 3. Menentukan jumlah cluster.

Adapun metode pengelompokan dalam analisis cluster dibagi menjadi dua metode, meliputi :

 Metode Hirarkis; memulai pengelompokan dengan dua atau lebih obyek

yang mempunyai kesamaan paling dekat. Kemudian diteruskan pada obyek

yang lain dan seterusnya hingga cluster akan membentuk semacam „pohon‟ dimana terdapat tingkatan (hirarki) yang jelas antar obyek, dari yang paling mirip hingga yang paling tidak mirip. Alat yang membantu untuk memperjelas proses hirarki ini disebut “dendogram”.

 Metode Non-Hirarkis; dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah

cluster yang diinginkan (dua, tiga, atau yang lain). Setelah jumlah cluster

ditentukan, maka proses cluster dilakukan dengan tanpa mengikuti proses hirarki. Metode ini biasa disebut “K-Means Cluster”.

Asumsi yang harus dipenuhi dalam Analisis Cluster yaitu sampel yang diambil benar-benar dapat mewakili populasi yang ada. Jika data yang terkumpul mempunyai variabilitas satuan, maka perlu dilakukan langkah standarisasi atau

transformasi terhadap variabel yang relevan ke bentuk z-score terlebih dahulu.

Selanjutnya hasil z-score inilah yang akan dipakai sebagai dasar dalam analisis cluster. Namun apabila data yang terkumpul tidak mempunyai variabilitas satuan, maka prose analisis cluster dapat langsung dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan transformasi atau standardisasi.

Pengklasteran dengan menggunakan analisis non-hirarki atau K-Means Klaster dapat dilakukan apabila data sampelnya relatif besar (> 200) dan sudah ada data sebelumnya mengenai cluster objek yang akan dianalisis. Sedangkan objek yang beluam ada data clusternya dan variabelnya relatif kecil (< 200), maka digunakan analisis cluster hirarki. Pada penelitian ini, belum ada data sebelumnya mengenai objek yang dianalisis, oleh karena itu, maka metode analisis yang digunakan adalah metode hirarki.

Konsep dari metode hirarkis ini dimulai dengan menggabungkan 2 obyek yang paling mirip, kemudian gabungan dua obyek tersebut akan bergabung lagi dengan satu atau lebih obyek yang paling mirip lainnya. Proses clustering ini pada akhirnya akan menggumpal menjadi satu cluster besar yang mencakup semua obyek. Metode ini disebut juga sebagai “metode aglomerativ” yang digambarkan dengan dendogram. Output yang akan dihasilkan dengan metode ini adalah :

Case Processing Summary (untuk memastikan bahwa semua data atau objek

telah diproses tanpa ada data yang hilang);

Proximity Matrix (untuk menunjukkan jarak antara variabel satu dengan

variabel yang lain). Jarak antar variabel diukur dengan jarak euclidean, semakin kecil jarak euclidean, semakin mirip kedua variabel tersebut sehingga membentuk kelompok atau cluster;

Agglomeration schedule (hasil proses clustering dengan mtode between

group lingkage. Setelah jarak anatar varaiebl diukur dengan jarak euclidean,

maka dilakukan pengelompokan, yang dilakukan secara bertingkat

Cluster membership (perincian jumlah cluster yang terbentuk); dan

Dendogram (berguna untuk menunjukkan anggota cluster yang ada jika akan

Analisis Vegetasi

Menurut Syafei (1990), analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh-tumbuhan. Salah satu metode yang digunakan dalam mempelajari vegetasi adalah metode kuadrat. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), metode kuadrat ada dua cara, yaitu dengan cara petak tunggal dan petak ganda. Pada petak tunggal hanya mempelajari satu petak sampling yang mewakili suatu vegetasi. Ukuran minimum dari suatu petak sampling menggunakan kurva spesies area. Luas minimum ditetapkan dengan dasar penambahan luas petak tidak menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 10%. Pada cara petak ganda pengambilan contoh menggunakan petak contoh yang tersebar merata, sebaiknya secara matematis petak contoh yang digunakan dapat ditentukan dengan kurva spesies area (Soerianegara dan Indrawan 1998). Di dalam metode ini dibuat satu petak sampling dengan ukuran 20 m x 20 m yang mewakili tegakan hutan. Ukuran petak ini ditentukan dengan kurva spesies-area.

Dalam hal ini Oosting (1956) dalam Syafei (1990) menyarankan penggunaan kuadrat berukuran seperti pada umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan yang membedakan option ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu: semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi < 1,5 m), pancang (permudaan dengan > 1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter < 10 cm), tiang (pohon muda berdiameter 10 s/d 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm). Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan tersebut, yaitu umumnya 20 m x 20 m (pohon dewasa), 5 x 5 m (pancang), dan 2 x 2 m (semai dan tumbuhan bawah). Sketsa petak tunggal yang digunakan dalam pengambilan sampel vegetasi di Pulau Uta dapat dilihat pada Gambar 7.

Dokumen terkait