• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disetiap penelitian ilmiah sudah dapat dipastikan memiliki metode yang disesuaikan dengan obyek penelitiaannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Deskriptif disini diartikan bahwa data terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar – gambar dan semua hal yang bersifat sistem tanda tidak ada yang dianggap sepele sehingga memberikan pemahaman yang kompherensif. Sedangkan analisis datanya menggunakan analisis semiotik dengan pendekakatan interpretatif, dimana hal ini untuk menginterpretasikan tanda-tanda yang terdapat dalam film, dan nantinya tanda-tanda tersebut akan membentuk satu kesatuan makna (meaning). Metode semiotika pada dasarnya bersifat kualitatif-interpretatif. Maka dari itu, melalui kajian kualitatif –interpretatif, penelitaian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan secara detail dan mendalam, serta kuat dalam analisis dan interpretasi. Seperti yang telah dijelaskan, bhawa semiotik mengkaji tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Piliang ( 2003;270) mengatakan bahwa:

“Metode semiotika pada dasarnya bersifat kualitatif interpretatif (interpretation), yaitu sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada

67 tanda dan teks sebagai obyek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut. Metode analisis teks (tekstual analisis) adalah salah satu dari metode interpretatif tersebut”.

Dasar penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan model semiotik Roland Barthes. Roland Barthes salah satu pemikir postrukturalis . Ketika berhadapan dengan dengan teks-teks yang konvensional (seperti posmedernisme), ia bersama pemikir postrukturalis yang lain membangkan model pendekatan linguistik yang cenderung menekankan aspek aspek diskursus dari sebuah teks. Ia lebih menyoroti produksi dan penggunaan tanda – tanda secara nyata pada satu komunitas bahasa tertentu ketimbang konvensi yang menopangnya. Ia cenderung menekankan produktivitas, perubahan historis, serta ketidak stabilan makna – makna (plural ketimbang mempertahankan makna ideologis yang cenderung mapan.

Barthes dalam kutipan Sobur (2001;123) mengatakan bahwa:

“Semua obyek kultural dapat diolah secara tekstual. Sobur menambahkan teks yang dimaksud Roland Barthes adalah dalam arti luas. Teks tidak hanya berarti berkaitan dengan aspek linguistik saja. Semiotik dapat meneliti teks dimana tanda- tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi dan drama”.

Barthes (1915-1980), dalam teorinya mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara

68 kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Kemudian ia meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diambil dari Saussure. Jadi, jika digambarkan Barthes lebih memfokuskan pemikirannya tentang signifikasi dua tahap ( two order of signification ) adalah sebagai berikut:

Gambar 1. 1

Signifikasi Dua Tahap Barthes

Second order First order conotation form denotation signifier signified content content denotative signified signifier connotation content

69 Sumber: John Fiske(2011: 122)

Melalui gambar diatas Barthes, seperti yang dikutip oleh Fiske menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna yang paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu denga perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak intersubyektif. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “kemerdekaan” dengan “kebebasan”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah obyek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya ( Fiske dalam Sobur (2001:128)).

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam ( Fiske dalam Sobur 2001:128). Semiotik Roland Barthes secara khusus setuju kepada sejenis tuturan (speech) yang disebut mitos. Menurut Barthes dalam Budiman (2004:63), bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk menjadi mitos, yaitu secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tatarann signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua. Pada tataran signifikasi lapis kedua inilah mitos bercokol.

70 Mitos jika dikaitkan dengan ideologi maka, seperti yang dikatakan Van Zoest, “ ideologi dan mitologi dalam hidup kita sama dengan kode-kode dalam perbuatan semiotis dan komunikasi kita (Sobur, 2003:208). Ideologi adalah sesuatu yang abstrak, sementara mitologi ( kesatuan mitos-mitos yang koheren) menyajikan inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. “ ideologi harus dapat diceritakan”, kata Van Zoest. Cerita itulah yang disebut dengan mitos ( Sobur, 2003:209).

Dari teori mitos Barthes dan salah satu penganut Saussure lainnnya yang bernama Levi-Strauss disebutkan dalam uraian Fiske (2005:182) yang dituliskan hampir semua sisi, teori-teori mitos dari Barthes dan Levi-Strauss berlawanan. Walaupun begitu namun keduanya memiliki persamaan dimana kedua teori tersebut memandang mitos sebagai bahasa, satu cara mengedarkan makna di masyarakat (Fiske, 1999:183).

Selain itu Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

71 G. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dasar teoritis penelitian kualitatif interpretasi yaitu cara untuk mengemukakan gambaran dan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejalaatau realitas komunikasi terjadi dengan menggunakan perspektif konstruktivis. Dalam hal ini, penelitian diletakkan dalam hubungan subjek dengan realitas dalam kesadaran subjek peneliti. Pendekatan konstruktivisme yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk melihat dan meninterpretasikan bagaimana pesan itu disampaikan.

Dokumen terkait