• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap penelitian pendahuluan meliputi penetapan bumbu, penetapan kisaran maksimum dan minimum surimi, air, karagenan, dan susu skim serta penentuan perbandingan jenis karagenan yang cocok (kappa-

karagenan atau iota-karagenan) yang dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan.

Tahap penetapan bumbu dilakukan untuk mengetahui komposisi bumbu-bumbu yang paling disukai yang dapat ditambahkan pada sosis ikan patin. Bumbu-bumbu tersebut meliputi bawang putih, merica, MSG, bawang merah, pala, dan jahe. Tahap penetapan bumbu ini dilakukan secara trial and error sehingga dihasilkan formula dengan komposisi bumbu yang sama, kecuali untuk bumbu bawang merah, pala, dan jahe karena perbedaan persentase ketiga jenis bumbu ini dianggap cukup dominan dalam menghasilkan rasa yang berbeda. Formula bumbu dengan variasi persentase bawang merah, pala, dan jahe dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Formulasi bumbu

Bumbu Jumlah (%) A1 A2 A3 A4 Garam 1.8 1.8 1.8 2 Bawang putih 0.6 0.6 0.6 0.6 MSG 0.5 0.5 0.5 0.5 Merica 0.4 0.4 0.4 0.4 Bawang merah 0.3 0.3 0.3 0.1 Pala 0.2 0 0.1 0.2 Jahe 0.2 0.4 0.3 0.2 Total 4 4 4 4

Tahap penetapan batas maksimum dan minimum penggunaan surimi dan air dilakukan untuk memperoleh nilai kisaran maksimum dan minimum penambahan surimi dan air sehingga dapat menghasilkan sosis dengan tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Formula sosis dengan variasi persentase surimi dan air dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Formula sosis dengan variasi persentase surimi dan air

Bahan Jumlah (%)

B1 B2 B3 B4 B5 B6 Surimi 30 35 40 55 60 65

Air 42 37 32 17 12 7

Tahap penetapan perbandingan jenis karagenan dilakukan untuk memperoleh perbandingan kappa- dan iota-karagenan yang dapat ditambahkan untuk menghasilkan sosis dengan tekstur yang paling disukai panelis. Formula sosis dengan variasi perbandingan kappa- dan iota-karagenan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Formulasi perbandingan kappa- dan iota-karagenan

Karagenan Jumlah (%)

C1 C2 C3 C4 C5

Kappa- 100 75 50 25 0

Iota- 0 25 50 75 100

Total 100 100 100 100 100

Tahap penetapan kisaran maksimum dan minimum penggunaan karagenan dilakukan untuk memperoleh batas maksimum dan minimum penambahan karagenan sehingga dapat menghasilkan sosis dengan tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Penentuan hanya dilakukan terhadap batas maksimum penambahan karagenan karena tanpa penggunaan karagenan pun tekstur sosis masih dapat diterima, sehingga batas minimum penggunaan karagenan ditetapkan sebesar 0 %. Jumlah karagenan yang diujikan adalah 2% (D1), 3% (D2), dan 4% (D3). Penentuan jumlah maksimum dimulai sebanyak 2% karena menurut hasil penelitian Hsu dan Chung (2001), penambahan kappa-karagenan kurang dari 2% pada produk daging secara signifikan berefek pada peningkatan cooking yield, kekerasan, adesi, daya kunyah, kekenyalan, dan viskositas.

Tahap penetapan kisaran maksimum dan minimum penggunaan susu skim dilakukan untuk memperoleh batas maksimum dan minimum penambahan susu skim sehingga dapat menghasilkan sosis dengan tekstur yang masih dapat diterima oleh panelis. Penentuan susu skim hanya dilakukan terhadap batas maksimum karena tanpa penggunaan susu skim pun tekstur sosis masih dapat diterima, sehingga batas minimum penggunaan susu skim ditetapkan sebesar 0 %. Jumlah susu skim yang diujikan adalah 3.5 % (E1), 4% (E2), 5% (E3), dan 6% (E4). Penentuan

jumlah maksimum dimulai sebanyak 3.5% karena menurut Pearson dan Tauber (1984), penambahan susu skim diatas batas legalnya yaitu 3.5% dapat meningkatkan tekstur dan flavor pada sosis emulsi.

Penelitian pendahuluan ini dilakukan secara trial and error dan hasil yang diperoleh pada tahap ini akan dimasukkan pada program Design Expert version 7 untuk merancang formula yang dilakukan pada tahap penelitian utama.

2. Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan formula optimum berupa proporsi relatif (%) masing-masing komponen. Penelitian utama ini dilakukan setelah diketahui jenis karagenan yang cocok dan batas maksimum dan minimum surimi, air, karagenan, dan susu skim yang diperoleh pada penelitian pendahuluan. Batas-batas ini yang akan menjadi input dalam tahap perancangan formula oleh program Design Expert version 7 dengan D-optimal untuk mencari formulasi dari komponen- komponen yang dicampurkan sehingga dihasilkan respon yang optimal.

Setelah tahap perancangan formula, ditentukan respon yang diukur dan dioptimasi. Respon yang diukur dan dioptimasi adalah berdasarkan karakteristik yang berubah-ubah akibat perubahan proporsi relatif komponen surimi, air, karagenan dan susu skim. Respon-respon yang diukur dan dioptimasi yaitu RM cost (biaya / 350 g sosis), skor kesukaan berdasarkan analisis subyektif (tekstur dan rasa), analisis obyektif (air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan).

Selanjutnya dilakukan pembuatan sosis ikan patin berdasarkan rancangan formula dari program Design Expert version 7 untuk mengukur masing-masing respon yang telah ditetapkan. Selanjutnya, respon-respon yang telah diukur tersebut dimasukkan sebagai input pada program Design Expert version 7 untuk mendapatkan formula sosis ikan patin optimum berdasarkan target yang telah ditetapkan. Setelah diperoleh formula optimum, dilakukan uji coba untuk membuktikan nilai respon dari formula optimum yang diprediksikan oleh program Design Expert version 7.

Tahap pembuatan sosis ikan patin dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pembuatan surimi dan pembuatan sosis ikan. Beberapa modifikasi dilakukan terhadap prosedur Erdiansyah (2006). Pada tahap pembuatan surimi, yaitu STPP yang digunakan lebih banyak, yaitu 0.3% bobot daging (Suzuki, 1981), bukan 0.2% bobot ikan. Surimi tidak divakum dan dibungkus dengan plastik PP (Polypropilene), tetapi dibungkus dengan plastik PE (Polyetilene) (Suzuki, 1981).

Modifikasi juga dilakukan pada tahap pembuatan sosis ikan, yaitu pada tahap thawing, tidak dilakukan pada suhu dingin di dalam refrigerator selama 1 malam melainkan dilakukan pada suhu ruang sampai surimi dapat dipotong untuk memudahkan proses cutting (Suzuki, 1981). Penambahan sisa es pertama dilakukan setelah minyak dan bahan pengikat ditambahkan. Penambahan sisa es dilakukan setelah penambahan minyak dan bahan pengikat dengan tujuan menurunkan suhu adonan karena kenaikan suhu akibat penambahan minyak pada proses cutting cukup cepat. Lama serta suhu pada tiap proses cutting juga dilakukan modifikasi. Adonan dicutting hingga tercampur merata dengan menjaga suhu akhir 6- 8o C, karena menurut Kramlich et al. (1973), pada tahap penggilingan bahan kuring (serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lain) ditambahkan sehingga dapat terdistribusi secara merata dan suhu adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3-11 oC agar diperoleh stabilitas emulsi maksimum.

Stuffer yang digunakan bukan mesin stuffer melainkan stuffer manual karena kapasitas adonan yang tidak cukup banyak untuk dimasukkan ke dalam mesin stuffer. Kisaran suhu perebusan sosis lebih lebar, yaitu 80-83oC dengan waktu perebusan yang lebih lama, yaitu 20 menit. Hal ini dilakukan agar tercapai kecukupan panas pada titik coldest point sosis yaitu sebesar 72-75oC sehingga produk sosis aman dikonsumsi (Pearson dan Tauber, 1984). Diagram alir pembuatan surimi dapat dilihat pada Gambar 3 dan tahapan pembuatan sosis ikan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Diagram alir pembuatan surimi (modifikasi dari Erdiansyah, 2006) Ikan Patin

Ditimbang

Disiangi kepala, ekor, sirip, kulit, jeroan

Difillet

Digiling

Dicuci air dingin (10oC), dua kali Disaring Diaduk Dikemas dalam plastik PE Disimpan dingin (-18oC) Surimi Dicuci air dingin

(10oC) Garam 0.3%

sorbitol 4%, Sukrosa 4%, STPP 0.3%

Gambar 4. Diagram alir pembuatan sosis ikan patin (modifikasi dari Erdiansyah, 2006) Surimi beku thawing Es 10% Garam 2% Cutting 1 Cutting 2 Minyak 15% Es 5% Bahan pengikat

(susu skim, IPK 2%)

Cutting 3

Es 5%

Bahan pengisi (tapioka 6 %, karagenan) Bumbu 2% Stuffing Direbus (80-83oC), 20 menit Didinginkan

3. Penelitian Pendukung

Sosis ikan patin dari formula yang terpilih akan dianalisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat). Dilakukan pula uji mikrobiologi terhadap angka lempeng total (TPC) untuk mengetahui kandungan bakteri, kapang, dan kamir yang ada pada sosis formula optimum. Hasil yang diperoleh, akan dibandingkan dengan SNI sosis daging. Pembanding yang digunakan adalah SNI sosis daging karena di Indonesia sampai saat ini belum ada standar yang mengatur mengenai sosis ikan. Produk SNI sosis daging dianggap paling mendekati produk sosis ikan.

Setelah itu, dilakukan uji kesukaan (hedonik) sosis formula terpilih dengan mengikutsertakan produk sosis ikan komersil yang beredar di pasaran. Dipilih 3 sosis ikan yang memiliki variasi harga jual yang besar sebagai pembanding. Pemilihan sosis ikan berdasarkan variasi harga jual yang besar ini dianggap mewakili sosis ikan komersil yang ada di pasaran sehingga hasil yang diperoleh nantinya dapat menggambarkan kedudukan sosis formula optimum secara lebih jelas diantara sosis sejenisnya di pasaran.

Dilakukan juga perhitungan kasar biaya produksi (dalam skala lab) sosis ikan formula optimum yang dihitung hanya dari biaya variabel yang meliputi biaya bahan baku, listrik, gas, dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi sosis ikan formula optimum. Besarnya biaya produksi ini akan ditambahkan dengan asumsi laba yang diinginkan sehingga diperoleh perkiraan harga jual sosis ikan formula optimum (dalam skala lab). Perkiraan harga jual sosis formual optimum ini akan dibandingkan dengan harga jual sosis ikan komersil.

C. PROSEDUR ANALISIS 1. Analisis Proksimat

a. Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1995)

Sampel sejumlah 3-5 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kemudian

sampel dan cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam. Cawan didinginkan dan ditimbang, kemudian dikeringkan kembali sampai diperoleh bobot tetap. Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Kadar Air (% bb) = a-(b-c) x 100% a

Kadar Air (% bk) = a-(b-c) x 100% (b-c)

Keterangan : a = berat sampel awal (g)

b = berat sampel akhir dan cawan (g ) c = berat cawan (g)

b. Kadar Abu Total dengan Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995)

Sejumlah 3-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya. Kemudian cawan dan sampel tersebut dibakar dengan pemanas listrik dalam ruang asap, sampai sampel tidak berasap dan diabukan pada tanur pengabuan pada suhu 550oC sampai dihasilkan abu yang berwarna abu-abu terang atau bobotnya telah konstan. Selanjutnya kembali didinginkan di desikator dan ditimbang segera setelah mencapai suhu ruang. Cara perhitungan kadar abu total :

Kadar Abu (% bb) = Bobot abu (g) x 100% Bobot sampel (g)

c. Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl-mikro (AOAC, 1995) Mula-mula sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan 50 mg HgO, 2 mg K2SO4, 2 ml

H2SO4, batu didih, dan didihkan selama 1.5 jam sampai cairan menjadi

jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan. penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S203. Hasil destilasi detampung dengan erlenmeyer yang

telah berisi 5 ml H3B03 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian

metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metil biru 0.2% dalam alkohol). Destilat yang diperoleh dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25. Kadar protein dihitung berdasarkan rumus :

(ml HCL x ml Blanko)N HCI x 14.007 x 100 x 6.25 Kadar Protein (% bb) = mg sample

d. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Sejumlah 5 gram sampel ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring. Kemudian dimasukkan dalam alat ekstraksi Soxhlet bersama dengan dietil eter. Selanjutnya direfluks selama 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwama jernih. Pelarut dalam labu lemak didestilasi, labu yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai pelarut menguap semua. Setelah didinginkan dalam desikator, labu lemak tersebut ditimbang sampai memperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus :

Kadar Lemak (% bb) = Bobot lemak (g) x 100% Bobot sampel (g)

e. Kadar Karbohidrat dengan Metode By Difference (AOAC, 1995) Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan mengurangi 100% kandungan gizi sampel dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :

Kadar Karbohidrat (% bb) = 100% - (% bb Air + % bb Protein + % bb Lemak+ % bb Abu)

2. Pengukuran Daya Iris dan Kekenyalan (Faridah et al., 2006)

Pengukuran tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i. Prinsip dari pengukuran ini adalah memberikan gaya

tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan dapat diukur. Jenis bahan pangan yang dianalisis berpengaruh terhadap jenis probe yang digunakan. Probe yang digunakan untuk mengukur daya iris sosis adalah probe berbentuk pisau yang disebut blade set sedangkan probe yang digunakan untuk mengukur kekenyalan adalah probe yang berbentuk tumpul. Probe pisau dan probe tumpul secara berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 5.

Pengukuran daya iris dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah probe pisau dengan kecepatan 2 mm/s dengan jarak 30 mm sedangkan untuk pengukuran kekenyalan, sampel diletakkan di bawah probe tumpul dan sampel ditekan sebanyak 25% selama 60 detik. Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg. Texture analyzer TA-XT2i dinyalakan lalu dipasang probe. Komputer dinyalakan untuk menjalankan program Texture analyzer TA-XT2i. Dilakukan setting kondisi pengukuran seperti pada Tabel 11.

Tabel 11. Setting kondisi pengukuran daya iris dan kekenyalan pada Texture Analyzer TA-XT2i

TA setting Daya iris Kekenyalan

Mode Measure force in compression Measure force in compression Option Return to start Return to start

Pre-test 2 mm/s 1mm/s Test-speed 2 mm/s 1mm/s Post-test speed 10 mm/s 10 mm/s Distance 30 mm 25% Trigger type Auto 20 g Auto 20 g Acquisition rate 200 pps 200 pps Rupture Test Dist 1.0 mm 1% Force 2500 g 2500 g Time 5.00 secon 60 sec

Sampel sosis diletakkan di atas meja uji dan dilakukan pengujian tekstur. Grafik akan tergambar pada layar komputer dan data tekstur dapat diperoleh seperti yang dapat terlihat pada Gambar 6.

Gambar 5. Probe pisau dan probe tumpul

Gambar 6. Grafik pengukuran daya iris dan kekenyalan dengan Texture Analyzer TA-XT2i

3. Penentuan Air Bebas yang Dikeluarkan (Hamm, 1974 yang dikutip Yanis, 2006)

Sampel sosis sebanyak 0.3 gram diletakkan diantara dua kertas saring Whatman kemudian ditekan dengan beban seberat 35 kg selama 5

menit. Makin tinggi jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC makin rendah dan semakin rendah jumlah air bebas yang dikeluarkan maka WHC semakin tinggi. Daerah yang tertutup sampel daging yang telah menjadi rata serta luas daerah basah disekitarnya diberi tanda dan diukur menggunakan planimeter. Daerah basah diperoleh dengan mengurangkan daerah yang tertutup sampel dari total (basah ditambah sampel) dan luas daerah yang tertutup sampel dengan menggunakan rumus :

mg H2O = Daerah basah (cm2) - 8.0

0.0948

4. Penentuan Cooking Loss (Modifikasi dari Soeparno, 1994)

Sampel ditimbang sebelum dan sesudah dimasak pada suhu 80-83oC selama 20 menit. Kehilangan yang terjadi menunjukkan banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan. Cooking loss dihitung dengan menggunakan rumus :

Cooking loss (%) = a – b x 100 % a

Keterangan : a = Bobot sampel sebelum dimasak (g) b = Bobot sampel sesudah dimasak (g)

5. Penentuan Rendemen (BSN, 2000)

Rendemen dihitung sebagai presentase bobot bahan baku awal dengan bobot produk yang dihasilkan. Pengukuran rendemen surimi dilakukan terhadap bobot fillet dan bobot ikan patin utuh. Rendemen dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

Rendemen (% terhadap fillet) = Bobot surimi x 100 % Bobot fillet

Rendemen (% terhadap ikan utuh) = Bobot surimi x 100 % Bobot ikan patin utuh

6. Analisis Biaya Bahan Baku

Analisis biaya dilakukan terhadap bahan baku (biaya variabel) yang dilakukan dengan menghitung jumlah bahan baku yang digunakan dikalikan dengan harga per satuan bahan baku. Dalam perhitungan harga jual produk sosis optimum, dilakukan juga perhitungan terhadap biaya variabel lainnya selain harga bahan baku, yaitu perhitungan biaya listrik, gas, dan tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi sosis ikan formula optimum yang ditambahkan dengan asumsi laba yang ingin diperoleh.

7. Analisis Mikrobiologi terhadap Total Plate Count (TPC) (Fardiaz, 1989)

Analisis mikrobiologi dilakukan terhadap Total Plate Count menggunakan media PCA (Potato Count Agar). Sampel sebanyak 10 g disiapkan secara aseptik, lalu ditambah pengencer 90 ml dan dihancurkan dengan stomacher selama 2 menit sehingga diperoleh pengenceran 1:10. Kemudian dibuat pengenceran berturut-turut 1:100, 1:1000, 1:10000, dan 1:100000. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan untuk memisahkan sel-sel mikroba yang bergabung menjadi satu.

Pemupukan dengan metode tuang dilakukan dengan mengambil sampel hasil pengenceran (1:100 hingga 1:100000) sebanyak 1 ml dipipet ke dalam setiap cawan petri. Setelah itu ke dalam setiap cawan petri dimasukkan agar cair steril (nutrient agar) sebanyak 12-15 ml. Setelah penuangan, cawan petri segera ditutup kemudian cawan digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar memadat, cawan tersebut diinkubasi ke dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 30-32 oC selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total count per gram contoh.

8. Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 1999)

Analisis organoleptik dilakukan dengan uji hedonik dan uji penerimaan pada tahap penelitian pendahuluan. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan 5 skala kesukaan, yaitu 1 (tidak suka), 2 (agak suka), 3 (netral), 4 (agak suka), dan 5 (suka). Jumlah panelis yang digunakan pada tahap penelitian pendahuluan sebanyak 5-9 panelis tidak terlatih yang pernah memakan produk sosis. Uji hedonik juga dilakukan pada tahap penelitian utama dengan menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm mulai dari sangat tidak suka hingga suka dengan parameter tekstur (daya gigit, kekerasan, kekenyalan, juiceness) dan rasa. Uji organoleptik pada tahap penelitian utama menggunakan minimal 30 panelis tidak terlatih yang pernah memakan produk sosis.

Uji hedonik formula sosis terpilih dengan sosis ikan komersil pada tahap penelitian pendukung menggunakan garis skalar sepanjang 15 cm mulai dari sangat tidak suka hingga suka dengan parameter tekstur (daya gigit, kekerasan, kekenyalan, juiceness), rasa, aroma, warna, dan overall. Uji organoleptik pada tahap penelitian pendukung menggunakan minimal 30 panelis tidak terlatih yang pernah memakan produk sosis. Pengolahan data uji hedonik pada tahap penelitian pendukung menggunakan bantuan program statistik, yaitu SPSS 11.0 dengan uji lanjut menggunakan uji LSD untuk melihat pengaruh satu per satu komponen terhadap komponen yang lain.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN

Proses pembuatan sosis dibagi atas dua tahap, yaitu proses pembuatan surimi dan proses pembuatan sosis ikan dari bahan baku surimi. Menurut Suzuki (1981) ada empat tahapan prinsip dalam proses pembuatan surimi, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan, dan pembekuan.

Proses pembuatan surimi dimulai dengan penyiangan kepala, ekor, sirip, kulit, dan jeroan ikan patin. Setelah itu ikan patin difillet dan langsung digiling menggunakan penggiling daging (grinder). Menurut Forrest et al. (1975), daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan. Dengan perlakuan fisik dan kimia, jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging pada fase pre-rigor lebih besar daripada post-rigor. Menurut Amano (1965), tahap rigor mortis pada ikan umumnya terjadi lebih cepat daripada proses rigor mortis yang terjadi pada mamalia. Proses rigor mortis pada ikan terjadi 1-7 jam setelah kematian. Oleh karena itu, ikan yang baru difillet langsung digiling agar protein miofibril (aktin dan miosin) yang terekstrak cukup banyak.

Setelah penggilingan, dilakukan pencucian daging ikan. Daging ikan giling dicuci dengan air dingin (10oC) sebanyak tiga kali selama masing- masing 10 menit. Perbandingan air dengan daging ikan yang digunakan adalah 3 : 1. Ditambahkan garam sebanyak 0.3% pada pencucian terakhir ikan menggunakan air dingin. Menurut Lee et al. (1988), pencucian daging ikan dilakukan sekitara 9-12 menit. Jika terlau lama, daging ikan dapat menyerap air yang berlebihan sehingga pengeluaran air akan sulit dilakukan. Pencucian ikan sebaikanya dilakukan lebih dari dua kali karena dapat meningkatkan kekuatan gel dengan mengekstrak protein miofibril dan menghilangkan bau amis ikan, di mana perbandingan air dengan daging ikan yang digunakan adalah 3 : 1. Menurut Grantham (1981) yang dikutip Erdiansyah (2006), pencucian daging ikan dilakukan tiga sampai lima kali. Biasanya air pencuci yang terakhir mengandung NaCl sebanyak 0.01-0.3 % untuk memudahkan pembuangan air, karena pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan

sifat hidrofilik daging ikan. Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu 5-10oC. Pencucian dengan air kran (suhu kamar) dapat merusak tekstur dan mempercepat degradasi lemak sedangkan pencucian dengan air laut dapat meningkatkan kehilangan protein.

Daging giling yang telah dicuci dengan air kemudian disaring dan ditekan sehingga kadar air di dalam daging giling menjadi < 80%, karena menurut Lee (1984) yang dikutip Rahmawati (2005), kadar air maksimal untuk daging ikan lumat sebaiknya berkisar antara 78-80%. Daging giling yang telah disaring ini dinamakan surimi. Surimi ini kemudian ditimbang dan dibandingkan dengan berat ikan utuh dan berat fillet sehingga rendemen surimi dapat diketahui. Perhitungan rendemen surimi dilakukan dengan membagi berat surimi dengan berat ikan utuh (% rendemen surimi berdasarkan berat ikan utuh) atau membagi berat surimi dengan berat fillet (% rendemen surimi terhadap fillet). Rendemen surimi yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 32.76 % (terhadap ikan utuh) dan 63.20 % (terhadap fillet) (Lampiran 6). Perbandingan rendemen surimi dari dua sumber dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel12. Rendemen surimi

a

Mc Donald dan Lanier, 1988 yang dikutip oleh Lee et al., 1988

b

Latifa (2003)

Perbedaan rendemen ikan sangat bervariasi tergantung jenis ikan, bentuk tubuh, dan umur ikan (Suzuki, 1981). Ikan patin merupakan jenis ikan yang memiliki kandungan lemak sedang. Semakin banyak kandungan lemak pada suatu ikan maka rendemen surimi akan semakin rendah, karena dalam pembuatan surimi dilakukan pemisahan terhadap protein larut air dan juga lemak. Menurut Koswara (2006), pada pembuatan surimi, untuk ikan yang

Rendemen surimi terhadap ikan utuh (%)

Rendemen surimi terhadap fillet (%)

26.00 a 38.00 a

33.12 b 63.75b

berlemak tinggi, lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik.

Karena surimi yang dibuat tidak langsung digunakan, maka harus disimpan pada suhu beku untuk mencegah kerusakan surimi akibat panas maupun mikroba. Sebelum disimpan beku, ditambahkan bahan krioprotektan berupa sorbitol 4%, sukrosa 4%, dan STPP 0.3% yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan protein pada surimi akibat pembekuan. Menurut Afrianto (1995), sukrosa dan sorbitol berfungsi meningkatkan tegangan permukaan air sehingga proses pembentukan kristal es dan migrasi es dari protein menjadi terhambat sedangkan polifosfat berfungsi menghambat,

Dokumen terkait