• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Kabupaten Cianjur dipilih sebagai lokasi penelitian atas pertimbangan wilayah tersebut merupakan salah satu sentra produksi beras di Jawa Barat serta menerima program SLPTT padi pada tahun 2012. Pengambilan kecamatan sampel dilakukan secara purposive yaitu Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang, dengan pertimbangan kedua kecamatan merupakan sentra produksi beras di Cianjur dengan tingkat produktivitas padi di atas rata-rata produktivitas padi secara keseluruhan di Kabupaten Cianjur, di mana produktivitas padi masing-masing kecamatan adalah sebesar 65.77 kuintal/ha dan 63.93 kuintal/ha sedangkan rata-rata produktivitas padi Kabupaten Cianjur adalah sebesar 61.76 kuintal/ha (Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur 2013). Selanjutnya pemilihan desa dilakukan secara purposive, dengan memenuhi syarat: sebagian besar penduduk desanya berprofesi sebagai petani padi, menerima program bantuan SLPTT padi pada tahun 2012, serta berproduksi pada musim tanam Januari – Mei 2014. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2014.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan bantuan kuesioner dengan petani sampel. Data yang diperoleh kuesioner ini berupa data tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan, faktor-faktor apa saja yang memengaruhi petani dalam melakukan adopsi teknologi, kendala dalam menerapkan teknologi, faktor-faktor produksi, serta hasil produksi usahatani padi. Selain itu dilakukan pula wawancara dengan pengurus kelompok tani, dan Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan penerapan teknologi PTT oleh para petani. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran berbagai bahan pustaka terkait penelitian, antara lain buku, hasil penelitian, website, dan data dari lembaga pemerintahan yaitu dari Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur, Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur, profil Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang .

Metode Penentuan Sampel

Unit analisis dalam penelitian ini adalah usahatani padi dan petani padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang yang mengikuti pelaksanaan program bantuan SLPTT padi pada tahun 2012 dan menerapkan teknologi PTT pada tahun 2014. Pemilihan sampel unit analisis dilakukan secara stratifikasi dengan memenuhi kriteria: menerima bantuan SLPTT padi pada tahun 2012 dan memiliki musim tanam padi yang sama yaitu Januari – Mei 2014. Populasi penelitian adalah petani padi yang mengikuti program SLPTT padi pada tahun 2012, yakni sebanyak 500 petani, di mana masing-masing kecamatan terdapat 250 petani yang tergabung dalam 10 kelompok tani. Dari 250 petani di masing-masing kecamatan, petani yang

menanam padi pada musim tanam Januari-Mei 2014 di Kecamatan Warungkondang adalah sebanyak 101 petani, sementara di Kecamatan Gekbrong adalah sebanyak 125 petani. Untuk mendapatkan hasil model regresi linear berganda, maka diambil sampel masing sebanyak 31 petani dari masing-masing kecamatan yang diperoleh secara acak, tanpa proporsi dari masing-masing-masing-masing desa di setiap kecamatan. Berdasarkan kriteria tersebut terdapat 5 desa dan 10 kampung terpilih, dimana desa sampel terdiri dari: Desa Sukaratu, Desa Bunikasih, Desa Bunisari, Desa Jambudipa, dan Desa Cieundeur. Pemilihan petani sampel sebanyak 62 sampel dilakukan secara simple random sampling dengan bantuan software Microsoft Excel 2007 dengan kerangka contoh daftar nama petani padi yang mengikuti program SLPTT padi 2012 yang diperoleh dari Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikutura Kecamatan Gekbrong dan Kecamatan Warungkondang.

Metode Pengolahan dan Analisis Data Tingkat Penerapan Teknologi PTT dalam Usahatani Padi

Analisis tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kecamatan Gekbrong dan Warungkondang dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui tingkat penerapan/adopsi dari ke-13 komponen teknologi PTT padi yang dianjurkan oleh para petani padi peserta program SLPTT 2012 di Kabupaten Cianjur. Data yang digunakan dalam analisis ini merupakan data kualitatif dari hasil wawancara langsung dengan petani yang dikuantitantifkan dengan metode skor dengan daftar komponen faktor penentu (impact point). Komponen faktor penentu yang digunakan dalam scoring tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur diturunkan dari 6 komponen teknologi dasar dan 7 komponen teknologi pilihan yang telah ditetapkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kementerian Pertanian yang terdapat pada Petunjuk Teknis SLPTT Padi Jawa Barat serta telah dimodifikasi oleh petugas penyuluh lapang (PPL) Kecamatan sesuai dengan kebutuhan petani dan agroekosistem setempat.

Berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan Teknis SLPTT Padi, 6 komponen teknologi dasar dan 7 komponen teknologi pilihan yang telah dikeluarkan oleh BPTP bukan merupakan hal yang mutlak, sehingga komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar begitupula sebaliknya sesuai dengan kebutuhan lokasi pelaksanaan SLPTT. Oleh karena itu, dalam metode scoring tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur tidak dilakukan persentase pembobotan yang berbeda antara kelompok komponen teknologi dasar dengan kelompok komponen teknologi pilihan.

Masing-masing komponen teknologi dijabarkan ke dalam beberapa indikator tertentu, di mana nilai maksimum dari setiap indikator adalah 4, dan nilai terendah adalah 1. Nilai 4 diberikan jika komponen teknologi diterapkan sesuai dengan anjuran yang diberikan dalam SLPTT, baik dari segi jumlah, waktu, maupun perlakuan, sementara nilai 3, 2 diberikan jika komponen teknologi tidak sesuai anjuran, dan nilai 1 diberikan jika komponen teknologi tidak dilakukan. Daftar faktor penentu tingkat penerapan teknologi PTT padi di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 1.

No. Faktor penentu Bobot 1. Benih (1-20) 1.1 Jumlah benih a. 25 kg/hektar 4 b. 26-35 kg/hektar 3 c. 36 - 45 kg/hektar d. > 45 kg/hektar 2 1 1.2 Benih varietas unggul baru (VUB)

a. Benih VUB sesuai yang dianjurkan (Ciherang/Mekongga/Inpari 7/Sintanur/IR 64)

4 b. VUB dengan varietas benih selain yang dianjurkan

c. Campuran VUB dengan varietas lokal

3 2 d. Menggunakan benih varietas lokal (tidak VUB) 1 1.3 Benih bermutu dan berlabel

a. Benih 100% bermutu dan bersertifikat 4

b. Benih campuran berlabel dan tidak, komposisi benih berlabel lebih banyak 3 c. Komposisi benih berlabel dan tidak berlabel 50:50 2

d. Benih 100% tidak berlabel 1

1.4 Bibit muda a. 15-21 hari 4 b. 22 - 25 hari c. 26 – 29 hari d. > 29 hari 3 2 1 1.5 Jumlah bibit per lubang tanam

a. 2 - 3 bibit 4 b. 4 - 6 bibit 3 c. 6 – 8 bibit d. > 8 bibit 2 1 2. Pupuk (1-28) 2.1 Pupuk organik a. 500 – 1 000 kg/hektar 4 b. 250 kg ≤ x < 500 kg/ hektar 3 c. < 250 kg/hektar 2

d. Tidak menggunakan pupuk organic 1

2.2 Pupuk NPK Phonska

a. 300 kg/hektar 4

b. 150 kg ≤ x < 300 kg / hektar 3

c. < 150 kg/hektar 2

d. Tidak menggunakan pupuk NPK Phonska 1

2.3 Pupuk Urea

a. 100 kg/hektar 4

b. 50 ≤ x < 100 kg/hektar 3

c. < 50 kg/hektar 2

d. Tidak menggunakan pupuk urea 1

2.4 Intensitas pemupukan/ musim tanam

a. 3 kali/ musim tanam 4

b. 2 kali/musim tanam 3

c. 1 kali/musim tanam 2

d. Tidak melakukan pemupukan 1

2.5 Waktu pemupukan

a. Pemupukan dilakukan pada waktu yang sesuai anjuran: 4 - Pemupukan I: 0-7 HST

- Pemupukan II: 15-25 HST - Pemupukan III: 40-45 HST

b. Pemupukan dilakukan pada waktu yang tidak sesuai anjuran 1

No. Faktor penentu Bobot 2.6 Komposisi pupuk pada setiap pemupukan

a. Komposisi pupuk pada setiap kali pemupukan sesuai anjuran: - I: 1 ton organik, jerami kering, 33.33 persen dari 1 kw urea - II: 60 persen dari 3 kw NPK Phonska, 33.33 persen dari 1 kw urea - III: 40 persen dari 3 kw NPK Phonska, 33.33 persen dari 1 kw urea.

4

b. Komposisi pupuk pada setiap pemupukan tidak sesuai anjuran 1 2.7 Menggunakan jerami kering sebagai pupuk dasar

a. Seluruh jerami tanpa dibakar,dibusukkan dengan pupuk organic 4 b. Seluruh jerami tanpa dibakar

c. Sebagian jerami dibakar

3 2

d. Tidak menggunakan jerami 1

3. Menerapkan jarak tanam jajar legowo (1-4)

a. Jajar legowo 2,4

b. Jajar legowo modifikasi (3,5)

4 3

c. Jajar legowo dan tegel 2

d. Tegel 1

4. Melakukan penyiangan (1-4)

a. Penyiangan sesuai anjuran: - Penyiangan I: 15-25 HST - Penyiangan II: 45 HST

4

b. Penyiangan sebanyak 2 kali, waktunya tidak sesuai anjuran 3

c. Melakukan penyiangan sebanyak 1 kali 2

d. Tidak melakukan penyiangan 1

5. Melakukan pengendalian hama terpadu (PHT) (1-4)

a. PHT 100% organik dengan pemanfaatan musuh alami dengan membuat pestisida alami

4 b. PHT dengan pemanfaatan musuh alami, tidak menggunakan pestisida

kimia, tidak membuat pestisida alami

c. PHT, dengan penggunaan obat kimia sebagai pilihan terakhir setelah usaha lainnya dilakukan

3

2 d. Tidak melakukan pengamatan hama, obat kimia solusi utama 1

6. Panen tepat waktu (1-4)

a. Panen sesuai umur tanaman padi VUB tersebut 4

b. Panen tidak sesuai umur tanaman padi VUB 1

7. Perontokan gabah secara langsung setelah panen (1-4)

a. Gabah dirontokkan langsung 4

b. Gabah tidak dirontokkan langsung 1

8. Pengairan (1-8)

Waktu pengairan

a. Waktu pengairan sesuai anjuran: - Pengairan I: 2-3 HST

- Pengairan berselang setiap 2 hari sekali

- 10 hari menjelang panen lahan sudah dikeringkan

4

b. Melakukan pengairan berselang setiap 2 hari sekali namun 10 hari menjelang panen lahan masih digenangi air

3 c. Tidak melakukan pengairan berselang setiap 2 hari sekali 2

d. Tidak melakukan pengairan berselang 1

Total Nilai Maksimum 72

Total Nilai Minimum 18

Cara perhitungan tingkat penerapan keseluruhan paket teknologi PTT yang dilakukan oleh masing-masing petani sampel dilakukan dengan menjumlahkan nilai dari masing-masing faktor penentu yang telah disebutkan. Adapun cara perhitungan persentase (%) tingkat penerapan dari masing-masing komponen teknologi PTT oleh seluruh petani sampel adalah sebagai berikut:

% TPT = �� �

�� � x 100%

dimana:

% TPT : Persentase (%) tingkat penerapan teknologi dari komponen teknologi tertentu

Bobot aktual : Penjumlahan bobot dari masing-masing sampel untuk komponen teknologi PTT tertentu

Bobot maks : Bobot maksimum yang dapat diperoleh keseluruhan sampel untuk komponen teknologi PTT tertentu

Selanjutnya, tingkat penerapan teknologi PTT oleh masing-masing petani sampel diklasifikasikan ke dalam 3 golongan: rendah, sedang, dan tinggi, dimana pembagian interval kelas dilakukan dengan rumus Sturges. Rumus Sturges merupakan sebuah rumus untuk menentukan jumlah kelas interval kelas yang sebaiknya digunakan dalam pengelompokan data (Supranto 2008). Rumus Sturges dapat dituliskan sebagai berikut:

I = r / k dimana:

I = interval kelas

r = rentang (selisih nilai terbesar dengan terkecil) k = jumlah interval kelas

Dari rumus tersebut, didapatkan pembagian kelas tingkat penerapan teknologi PTT sebagai berikut:

Rendah : 18.0 – 36.0 Sedang : 36.1 – 54.0 Tinggi : 54.1 – 72.0

Model Regresi Linear Berganda

Analisis regresi merupakan studi tentang hubungan antara satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel yang dijelaskan dan satu atau lebih variabel bebas atau variabel penjelas. Model regresi linier merupakan model regresi linier yangmempunyai lebih dari satu variabel penjelas (Gujarati 2004).

Dalam penelitian ini, model regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT dalam usahatani padi, dengan variabel dependen tingkat penerapan teknologi PTT padi oleh petani dan variabel independen faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani.

Model regresi linier berganda faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT pada usahatani padi merupakan model regresi yang didapat dari data sampel atau bisa disebut juga fungsi regresi sampel. Maka untuk menaksir fungsi regresi keseluruhan populasi berdasarkanfungsi regresi sampel yang ada digunakan metode kuadrat terkecil biasa atau ordinary least square (OLS). Menurut Gujarati (2004), terdapat beberapa 10 asumsi yang harus dipenuhi dalam merumuskan model regresi linear berganda dengan metode OLS agar model tersebut memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimation) yang dapat diukur melalui 4 uji, yaitu:

1. Uji autokorelasi

Uji autokorelasi digunakan untuk mendeteksi ada/tidaknya hubungan antar covarians variabel-variabel independen. Uji autokorelasi memenuhi kriteria BLUE apabila tidak terdapat hubungan antar covarians variabel-variabel independen. Untuk mendeteksi ada tidaknya gejala autokorelasi pada model, dapat digunakan uji Durbin-Watson, dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: p = 0 (jika p = 0, maka tidak terdapat gejala autokorelasi) H1μ p ≠ 0 (jika p ≠ 0 , maka terdapat gejala autokorelasi) Keputusan ada/tidaknya autokorelasi dapat ditentukan jika:

a. Bila nilai DW lebih kecil daripada dL, koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, hal ini mengindikasikan terdapat gejala autokorelasi positif. b. Bila nilai DW berada di antara dU sampai dengan 4 - dU maka koefisien

autokorelasi sama dengan nol, hal ini menunjukkan tidak ada autokorelasi. c. Bila nilai DW terletak di antara dL dan dU, maka tidak dapat disimpulkan. d. Bila nilai DW lebih besar daripada 4 - dL, koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, hal ini mengindikasikan terdapat gejala autokorelasi negatif.

e. Bila nilai DW terletak di antara 4 – dU dan 4 - dL, maka tidak dapat disimpulkan.

2. Uji multikolinearitas

Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan keterkaitan antar variabel-variabel independen. Uji multikolinearitas memenuhi kriteria BLUE apabila hasil uji menunjukkan tidak terdapat hubungan linear antara variabel-variabel independen (no collinearity). Untuk mendeteksi ada/tidaknya gejala multikolinearitas di antara variabel-variabel independen dalam model, dapat melihat nilai VIF pada tabel estimasi koefisien variabel independen, di mana jika nilai VIF berada di bawah 10, maka dapat disimpulkan bahwa antar variabel independen tidak terdeteksi gejala multikolinearitas.

3. Uji normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam merumuskan model, baik data variabel dependen maupun independen menyebar normal. Untuk mengetahui apakah data terdistribusi dengan normal atau tidak, dapat digunakan rasio skewness dan kurtosis. Jika rasio skewness dan kurtosis berada diantara -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan untuk merumuskan model terdistribusi normal.

4. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah setiap varians error µi untuk setiap pengamatan Xi adalah sama. Uji heteroskedastisitas memenuhi kriteria BLUE apabila varians error µi untuk setiap pengamatan Xi sama (homoskedastisitas). Untuk melihat ada/tidaknya gejala heteroskedastisitas pada model, dapat dilakukan Uji Glejser yang dinotasikan:

|e| = b1 + b2X2 + v dimana:

|e| = nilai absolut dari residual yang dihasilkan dari regresi model X2 = variabel penjelas

Jika hasil uji Glejser menunjukkan bahwa nilai t-hitung dari masing-masing variabel penjelas tidak signifikan secara statistik (ΙthitΙ> 0.05), maka tidak

terdapat gejala heteroskedastisitas pada model, atau varians error untuk setiap pengamatan Xi adalah sama.

Faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat penerapan PTT pada usahatani padi adalah pendapatan non usahatani padi, intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT padi oleh petani, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, pengalaman usahatani, jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti, lama pendidikan formal, status pekerjaan petani, dan ketersediaan bantuan input.

Persamaan regresi untuk faktor-faktor yangmemengaruhi penerapan teknologi PTT pada usahatani padi adalah sebagai berikut:

Y = β0 + β1X1 + β2X23X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7D18D2 +ε ………… (1) dimana:

Y = Tingkat penerapan teknologi SLPTT dalam usahatani padi Β0 = Konstanta

X1 = Pendapatan non usahatani padi (Rp 00000/bulan)

X2 = intensitas keiikutsertaan pelatihan SLPTT padi oleh petani X3 = Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (HOK)

X4 = Pengalaman usahatani (tahun)

X5 = Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT yang diikuti X6 = Lama pendidikan formal (tahun)

D1 = Dummy status pekerjaan petani (1= utama, 0= sampingan) D2 = Dummy ketersediaan bantuan input (1= ada, 0 = tidak) βi = koefisien dugaan dari variabel independen

ε = eror

Hipotesis yang digunakan dalam model regresi linear berganda faktor – faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT adalah sebagai berikut:

1. Pendapatan non usahatani padi

Penelitian yang dilakukan oleh Diiro (2012) menunjukkan bahwa tingkat pendapatan off-farm keluarga petani turut. berpengaruh terhadap tingkat adopsi teknologi. Penelitian ini menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan off-farm suatu rumah tangga petani, maka semakin tinggi keinginannya untuk mengadopsi teknologi, sehingga dalam model ini variabel pendapatan non usahatani berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Pendapatan non usahatani dalam model ini diukur dalam satuan 000 (ribu) rupiah.

2. Intensitas mengikuti pelatihan SLPTT padi

Semakin tinggi intensitas mengikuti pelatihan maka semakin banyak materi yang diterima oleh petani sehingga tingkat penerapan teknologi diharapkan semakin tinggi. Intensitas mengikuti pelatihan SLPTT padi berkisar dari 0 -1, di mana 0 menunjukkan bahwa petani tidak hadir sama sekali dalam pelatihan SLPTT, dan 1 menunjukkan bahwa petani 100% hadir dalam seluruh pelatihan SLPTT.

3. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga

Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) menjadi salah satu faktor yang memengaruhi penerapan teknologi PTT sebab beberapa komponen teknologi ini memerlukan keterampilan dan jumlah sumberdaya manusia yang memadai. Salah satunya adalah komponen teknologi jarak tanam jajar legowo yang belum

umum di kalangan buruh tani. Fenomena menurunnya ketersediaan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) di Kabupaten Cianjur akibat beralihnya tenaga kerja di sektor pertanian ke sektor non pertanian mengakibatkan petani harus mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dalam menjalankan usahataninya. Oleh karena itu, jumlah TKDK diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, dimana semakin banyak jumlah TKDK yang tersedia, maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT oleh petani. Jumlah TKDK diukur dalam satuang orang.

4. Pengalaman berusahatani

Pengalaman berusahatani berdampak negatif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT. Hal ini disebabkan semakin lama petani berusahatani, petani semakin mempercayai teknik bercocok tanam yang selama ini telah diterapkan dan cenderung kurang terbuka terhadap informasi teknologi yang baru. Pengalaman berusahatani padi diukur dalam satuan tahun.

5. Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT

Di samping program SLPTT, sebagian petani memiliki akses terhadap informasi mengenai teknologi pertanian lainnya berupa pelatihan manajemen pertanian lain di luar program SLPTT yang dikelola oleh Balai Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikultura kecamatan setempat. Program pelatihan di luar program SLPTT di antaranya program SRI (System Rice Intensification), pelatihan teknologi pertanian oleh lembaga akademik seperti IPB, pelatihan oleh organisasi pertanian lainnya seperti HKTI (Himpunan Kelompok Tani Indonesia) dan KTNA (Kelompok Tani Nelayan Andalan). Jumlah pelatihan pertanian di luar SLPTT berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, sebab semakin banyak informasi yang diperoleh petani dari berbagai pelatihan yang diikuti, maka pengetahuan petani mengenai teknologi semakin luas dan berdampak pada semakin tinggi tingkat penerapan teknologi PTT yang dilakukan oleh petani.

6. Pendidikan formal petani

Pendidikan formal petani diduga berpengaruh positif terhadap tingkat penerapan teknologi PTT, dimana semakin tinggi pendidikan formal petani maka semakin terbuka terhadap adanya perubahan teknologi. Lama pendidikan formal petani diukur dalam satuan tahun.

7. Dummy status pekerjaan petani padi

Status pekerjaan merupakan kedudukan pekerjaan yang dimiliki seseorang. Status pekerjaan dapat dibagi menjadi 2: pekerjaan utama dan sampingan. Dalam model faktor-faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT asumsi yang digunakan adalah petani yang menjadikan pekerjaan petani padi sebagai pekerjaan utama memiliki tingkat penerapan teknologi PTT yang lebih tinggi daripada petani sampel dengan pekerjaan petani padi sebagai pekerjaan sampingan. Status pekerjaan petani dilambangkan dalam variabel dummy dimana ‘1’ untuk kategori petani padi sebagai pekerjaan utama dan ‘0’ untuk kategori petani padi sebagai pekerjaan sampingan.

8. Dummy ketersediaan bantuan input.

Bantuan berupa input usahatani yakni benih, pupuk, obat-obatan, dan alat mesin pertanian merupakan insentif pemerintah bagi petani untuk menerapkan teknologi PTT. Dalam model faktor yang memengaruhi tingkat penerapan teknologi PTT ketersediaan bantuan dinyatakan dalam variabel dummy, di mana

kategori ‘1’ diberikan untuk petani sampel yang mendapatkan bantuan input usahatani dan ‘0’ diberikan kepada petani yang tidak mendapatkan bantuan input usahatani. Asumsi yang digunakan adalah petani yang mendapatkan bantuan input usahatani memiliki rata-rata tingkat penerapan teknologi PTT yang lebih tinggi daripada petani yang tidak mendapatkan bantuan.

Variabel-variabel pendidikan formal dan pengalaman usahatani dipilih dalam persamaan fungsi linear berganda di atas dengan pertimbangan bahwa variabel independen yang berhubungan dengan proses adopsi suatu teknologi (Roger and Shoemaker, 1971) dipengaruhi oleh personal petani sendiri (personality variable) dan kondisi sosial ekonomi (socioeconomic status) dari petani yang akan mengadopsi suatu teknologi dalam usahataninya. Variabel pendidikan formal dan pengalaman usahatani diharapkan dapat menggambarkan sumberdaya manusia (personality variable) dan luas lahan, biaya pupuk dan benih, dan diharapkan dapat menggambarkan sosial ekonomi (socioeconomic variable). Selain faktor personal dan sosio ekonomi, menurut Chi (2008) dan Diiro (2012) terdapat faktor-faktor eksternal lainnya yang berpengaruh pada penerapan teknologi petani, yaitu: intensitas keiikutsertaan pelatihan teknologi, akses terhadap produk input pertanian, dan keberadaan clinic station yang dapat menjadi sarana konsultasi petani terkait teknologi yang diterapkan.

Model Fungsi Produksi

Untuk menduga pengaruh tingkat penerapan teknologi PTT terhadap produksi padi dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi produksi padi sawah di Kabupaten Cianjur, digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Menurut Hernanto (1988), faktor produksi dalam usahatani terdiri dari 7 input, yaitu: lahan, tenaga kerja, manajemen, pupuk, benih, pestisida, dan teknologi. Faktor – faktor produksi tersebut yang menjadi dasar penyusunan model fungsi produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur. Berdasarkan faktor – faktor produksi tersebut, maka persamaan regresi untuk faktor produksi usahatani padi di Kabupaten Cianjur adalah sebagai berikut:

Ln Y = β01LnX12LnX23LnX34LnX45LnX5+ β6LnX6+ β7LnX7 +

β8LnX8+ ……… (2)

dimana:

Y = tingkat produksi padi (kg) β0 = intersep

X1 = luas lahan (hektar) X2 = jumlah benih (kg)

X3 = jumlah pupuk organik (kg) X4 = jumlah pupuk NPK Phonska (kg) X5 = jumlah pupuk urea (kg)

X6 = jumlah obat-obatan padat (kg) X7 = jumlah tenaga kerja (HOK)

X8 = tingkat penerapan teknologi PTT (bobot 1 – 72)

i,βi = parameter dugaan dari variabel independen = residual eror

Pada persamaan (2), variabel X1 – X7 merupakan faktor produksi usahatani padi yang dapat diukur secara kuantitatif, sementara X8 merupakan faktor produksi padi kualitatif yang menggambarkan kemampuan manajemen petani dalam mengelola usahatani serta teknologi yang digunakan petani yang diukur dengan pendekatan kuantitatif melalui pembobotan komponen – komponen teknologi PTT yang diterapkan oleh petani. Pada fungsi produksi Cobb-Douglas koefisien dari setiap input produksi menunjukkan elastisitas produksi dari masing-masing input, di mana βi merupakan persentase perubahan (peningkatan/penurunan) output Y untuk perubahan 1 persen setiap input Xi. Selain menunjukkan elastisitas produksi, jumlah dari koefisien input dalam fungsi produksi Cobb Douglas menunjukkan derajat homogenitas yang mengindikasikan skala ekonomi fungsi produksi dalam model, dengan ketentuan sebagai berikut:

(1) Jika (β123+…+βi) = 1, maka skala ekonomi fungsi produksi berada dalam kondisi constant return to scale.

(2) Jika (β123+…+βi) < 1, maka skala ekonomi fungsi produksi berada dalam kondisi decreasing return to scale.

(3) Jika (β123+…+βi) > 1, maka skala ekonomi fungsi produksi berada dalam

Dokumen terkait