• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat

Sampel ikan diperoleh dari hasil penangkapan ikan Tongkol Komo di Selat Malaka yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Medan Belawan, Sumatera Utara (Gambar 7).

Gambar 7. Lokasi Pengambilan Sampel Ikan Tongkol Komo (Badan Penelitian dan Observasi Laut, 2014)

Ikan Tongkol Komo yang tertangkap merupakan ikan-ikan yang umumnya ditangkap dengan menggunakan pukat cincin (Lampiran 6). Waktu pengambilan sampel ikan dilakuan selama 6 bulan yaitu dari bulan November 2014 hingga bulan April 2015, setiap bulan satu kali melakukan pengukuran panjang bobot ikan pada minggu ke-4 (Lampiran 6 dan Lampiran 7).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan data primer antara lain alat tulis, millimeter block (Lampiran 5) dengan tingkat ketelitian 1 mm, kamera digital, cool box, timbangan digital dengan tingkat ketelitian 1 gram (Lampiran 4). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Tongkol Komo (Euthynnus affinis) dan Program software FISAT II.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Jenis dan sumber data yang dibutuhkan untuk keperluan penelitian adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer ikan Tongkol Komo diperoleh dari metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS) terhadap ikan yang didaratkan di PPS Belawan (Lampiran 2), Medan Belawan, Sumatera Utara. Menurut Effendie (1979) teknik pengambilan contoh yang lazim digunakan dalam penelitian Biologi Perikanan adalah pengambilan contoh secara acak (random sampling), dengan metode ini diharapkan dapat mewakili populasi yang sedang diteliti. Sampel ikan yang diambil berjumlah 30–100 ekor tergantung kelimpahan ikan pada tiap waktu pengambilan dengan pengambilan sampel satu bulan satu kali (Lampiran 10), mulai dari bulan November 2014 sampai April 2015. Sampel ikan yang telah diambil kemudian diukur panjang total dan ditimbang bobot basahnya di KUD Gabion, Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (Lampiran 2). Data sekunder yaitu meliputi data curah hujan dan data suhu yang digunakan sebagai data penunjang untuk analisis mortalitas dan laju eksploitasi.

Analisis Data

Sebaran Frekuensi Panjang

Dalam metode sebaran frekuensi panjang data yang digunakan adalah data panjang total dari ikan Tongkol Komo. Dilakukan pengukuran ikan Tongkol Komo dengan menggunakan millimeter block yang memiliki ketelitian 1 mm. Adapun langkah-langkah untuk membuat sebaran frekuensi panjang adalah sebagai berikut (Walpole 1992) :

1. Menentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan dengan rumus: n = 1+3,32 Log N

Keterangan :

n = Jumlah kelompok ukuran N = Jumlah ikan pengamatan 2. Menentukan wilayah data tersebut

3. Bagilah wilayah tersebut dengan banyaknya kelas untuk menduga lebar selang kelasnya

4. Menentukan limit bawah kelas bagi selang yang pertama dan kemudian batas bawah kelasnya, kemudian tambahkan lebar kelas pada batas bawah kelas untuk mendapatkan batas atas kelasnya

5. Mendaftarkan semua limit kelas dan batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang sebelumnya

6. Menentukan titik tengah kelas bagi masing-masing selang dengan merata- ratakan limit kelas atau batas kelasnya

7. Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas

8. Menjumlahkan kolom frekuensi kemudian periksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan.

Hubungan Panjang dan Bobot

Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot dapat diketahui dengan rumus (Effendie, 1979):

W = a Lb Keterangan:

W = Bobot (gram) L = Panjang (mm)

a = Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y) b = Penduga pola pertumbuhan panjang bobot

Jika rumus umum tersebut ditransformasikan ke dalam logaritma, maka akan didapatkan persamaan linier atau persamaan garis lurus sebagai berikut :

Log W = log a + b log L

Bilamana nilai b= 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik). Sedangkan apabila b>3 menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjangnya (allometrik positif), dan jika b<3 menunjukkan pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya (allometrik negatif) (Effendie, 1979). Untuk mengkaji dalam penentuan nilai b maka dilakukan uji T, dimana terdapat usaha untuk melakukan penolakan atau penerimaan hipotesis yang dibuat.

T hit = βo − βiSβi

Keterangan:

Sβi = Simpangan Baku βi βo = Intercept (3)

βi = Slope (hubungan dari panjang bobot) Sehingga diperoleh hipotesis:

H0 : b = 3 (isometrik)

H1: b ≠ 3 (allometrik)

Setelah itu, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel sehingga keputusan yang

dapat diambil adalah sebagai berikut: Thitung > Ttabel, maka tolak H0

Thitung <Ttabel, maka gagal tolak H0

Apabila pola pertumbuhan allometrik maka dilanjutkan dengan hipotesis sebagai berikut: Allometrik positif H0: B≤ 3 (isometrik) H1 : b>3 (allometrik) Allometrik negatif H0: b ≥ 3 (isometrik) H1 : b < 3 (allometrik)

Keeratan hubungan panjang bobot ikan ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari rumus √� : dimana R adalah koefisien determinasi. Nilai mendekati 1 (r > 0,7) menggambarkan hubungan yang erat antara keduanya, dan nilai menjauhi 1 (r < 0,7) menggambarkan hubungan yang tidak erat antara keduanya (Walpole, 1992).

Parameter Pertumbuhan (L∞, K) dan t0 (Umur Teoritis)

Model pertumbuhan yang berhubungan dengan panjang ikan, dimana rumus ini digunakan untuk menunjukkan pertumbuhan panjang ikan pada umur

satu tahun lebih muda, artinya pertumbuhan ikan pada umur tertentu tidak mengalami perubahan panjang pada satu tahun kemudian. Yang rumusnya dikemukaan oleh Von Bertalanffy kemudian disebut Model Von Bertalanffy adalah sebagai berikut (Sparre dan Venema, 1999) :

Lt = L∞ ( 1 – e [– K ( t-t0)]) Keterangan:

Lt = Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)

L∞ = Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik) K = Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)

t0 = umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol

Untuk nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN 1 yang terdapat dalam program FISAT II. Sedangkan nilai t0 (umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol) dapat diduga

dengan persamaan empiris Pauly (1984) sebagai berikut :

Log (-t0) = -0,3922 –0,2752 (Log L∞) – 1,038 (Log K)

Keterangan:

L∞ = Panjang asimptot ikan (cm)

K = Koefisien laju pertumbuhan (tahun)

t0 = Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (tahun)

Faktor Kondisi

Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka untuk menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi. Perhitungan faktor kondisi

didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Effendie 1979) sebagai berikut :

Jika nilai b ≠ 3 (allometrik), maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus: FK = �

���

Jika nilai b = 3 (isometrik), maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus FK =

5 �3 Keterangan:

K = faktor kondisi W = bobot ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta

Mortalitas dan Laju Eksploitasi (E)

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan menggunakan metode Jones dan Van Zalinge yang dikemas dalam program FISAT II. Sedangkan untuk menduga laju mortalitas alami (M) menggunakan rumus empiris Pauly (1984). Untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan bergerombol dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang bergerombol seperti ikan Tongkol Komo nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly dalam Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut :

Keterangan:

M = Mortalitas alami

L = Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy K = Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy T = Rata-rata suhu permukaan air (oC)

Laju mortalitas penangkapan (F) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

F = Z - M

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z). Perhitungan laju eksploitasi digunakan untuk menduga jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun faktor penangkapan (Pauly, 1984):

E =F + MF =FZ

Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland dalam Sparre dan Venema (1999) adalah:

Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5

Pauly (1984) menyatakan bahwa nilai Eksploitasi optimal adalah 0,5. Sehingga jika nilai eksploitasi lebih dari 0,5 maka dapat dikatakan indikasi dari kondisi lebih tangkap terutama akibat penangkapan.

Dokumen terkait