• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu unsur yang penting dan mutlak dalam suatu penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan, demikian pula dengan penelitian ini digunakan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Metode pendekatan

24 Ibid., hlm.137

25 Jonkers., dalam Bambang Poernomo., Ibid.,

26 Pompe., dalam Bambang Poernomo., Ibid.,

Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif.27 Dalam hal ini mengkaji dan menguji secara logis Pasal 263 ayat (1) KUHP, Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Undang-Undang Jabatan Notaris dalam hal unsur-unsur memberikan keterangan palsu untuk membuat akta otentik. Tujuannya adalah untuk menemukan hukum dalam kenyataan (in-concreto).28 2. Spesifikasi Penelitian

Sesuai dengan bidang yang dikaji, maka spesifikasi penelitian dalam penelitian ini, adalah termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis,29 yaitu tidak hanya menggambarkan fakta-fakta berupa data saja, akan tetapi juga bahan hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Pasal 263 ayat (1) KUHP, Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Undang-Undang Jabatan Notaris, bahan hukum sekunder yaitu semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku dan karya ilmiah, serta bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan maupun menjelaskan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan penelitian yang penulis lakukan, selanjutnya menjelaskan asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum pidana, serta bagaimana pelaksanaannya dalam praktik.

27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005, hlm.7

28 Ibid

29 Ibid

3. Tahap Penelitian

Penelitian ini lebih ditekankan pada kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap data-data sekunder. Dilakukan untuk mencari landasan teoritis juga hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dibahas dalam penelitian ini, terdiri dari :

a. Bahan hukum primer terutama peraturan perundang-undangan, dokumen, hasil-hasil penelitian, yang dapat membantu dalam menemukan landasan yuridis, konsep-konsep dan teori yang bersifat umum dan relevan dengan topik masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, yang dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, berupa buku-buku teks, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum yang berhubungan dengan topik masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, ensiklopedi, koran, tabloid, majalah dan artikel-artikel dari internet yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan tahap penelitian tersebut di atas, maka data yang diperoleh menggunakan teknik studi dokumen, yaitu dengan : Studi Pustaka (Library Research).30 Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan seluruh dokumen berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data-data tersebut dipelajari dan diperoleh dengan menggunakan teknik dokumentasi.

Disamping studi dokumen, penelitian ini dilakukan tahap studi lapangan untuk memperoleh data primer.

5. Analisis Data

Akhirnya seluruh data yang telah penulis peroleh, dianalisis dengan menggunakan metode yuridis kualitatif.31 Yuridis karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif. Sedangkan kualitatif yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara uraian kalimat, sehingga tidak mempergunakan rumus maupun angka-angka.

30 Ibid

31 Ibid

20 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN NOTARIS A. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan pidana (perbuatan kejahatan), sedangkan menurut istilah hukum tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan hukuman.32

Suatu peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan seseorang (pembuat) mendapat hukuman atau dapat dihukum,33 kemudian tindak pidana ialah suatu perbuatan yang :34

1. Oleh hukum diancam dengan hukuman.

2. Bertentangan dengan hukum.

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah.

4. Orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada

32 Moeljatno, Asas-Asas Hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.34

33 Van Hattum., dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.33

34 Simon., dalam Andi Hamzah., Ibid

perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.35

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Dari pengertian perbuatan tindak pidana tersebut terlihat unsur-unsur sebagai berikut :36

1. Suatu perbuatan manusia, akibat unsur ini adalah antara peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

2. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang atau diancam dengan hukuman.

Kelakuan manusia yang termasuk dalam tindak pidana harus dilarang atau diancam dengan hukuman, maka oleh karenanya tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah merupakan suatu peristiwa pidana, sehubungan dengan hal tersebut terdapat dua gambaran, yaitu :37

1. Teoritis.

Suatu tindak pidana ialah suatu pelanggaran kaidah (pelanggaran tata hukum) yang terjadi karena kesalahan pelanggar dan yang harus diberi hukuman untuk mempertahankan tata hukum dan untuk menyelamatkan kesejahtaraan umum, menurut gambaran teoritis ini, maka unsur-unsur tindak pidana, ialah :

a. Suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige) atau melanggar hukum (wederechtelijk).

35 Moeljatno, Syarat Pertanggungjawaban Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1999, hlm.29

36 Ibid

37 Ibid

b. Suatu kelakuan yang diadakan dan pelanggar bersalah.

c. Suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar).

2. Hukum Positif.

Peristiwa pidana itu adalah suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.

Unsur atau elemen perbuatan tindak pidana adalah :38 1. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian dalam alam lahir.

2. Hal-ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

Hal ikhwal dibagi menjadi dua golongan yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat, kadang-kadang dalam rumusan perbuatan dan mengenai di luar diri si pembuat, kadang-kadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu dijumpai pula adanya hal ikhwal tambahan yang tertentu pula, misalnya dalam Pasal 165 KUHP yaitu tentang kewajiban untuk melaporkan kepada yang berwajib apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan, Orang yang tidak melapor baru melakukan perbuatan pidana apabila kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi, hal terjadinya kejahatan itu merupakan unsur tambahan.

38 Anwar Nasution, Teori Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta Raya, Jakarta, 2002, hlm.49

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

Keadaan tambahan tesebut dinamakan unsur-unsur yang memberatkan pidana, misalnya penganiayaan menurut Pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, tetapi apabila penganiayaannya itu menimbulkan luka berat ancaman pidana diperberat menjadi lima tahun penjara dan jika menyebabkan mati menjadi tujuh tahun (Pasal 351 ayat (2) dan (3) KUHP).

4. Unsur melawan hukum yang obyektif.

Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti dirumuskan dengan unsur-unsur diatas maka sifat pantang dilakukannya itu sudah tampak dengan wajar, sifat yang demikian itu sifat melawan hukumnya perbuatan tidak perlu dirumuskan lagi sebagai unsur tersendiri, misalnya dalam Pasal 285 KUHP yaitu tentang perkosaan, ditentukan bahwa memaksa seseorang wanita dengan kekerasan untuk bersetubuh diluar perkawinan diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, dari rumusan tersebut telah nyata sifat melawan hukumnya perbuatan.

5. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Sifat melawan hukum perbuatan adalah tidak terletak pada keadaan yang obyektif tetapi keadaan yang subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri misalnya dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang milik orang lain dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan

hukum, sifat melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lain tetapi digantungkan pada niat orang yang mengambil barang tadi. Apabila niat hatinya itu baik misalnya barang tersebut untuk diberikan kepada pemiliknya maka perbuatan itu tidaklah dilarang karena bukan pencurian, sebaliknya kalau niat hatinya jelek yaitu barang akan dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum maka dilarang dan masuk ke dalam rumusan pencurian.

3. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana

Hukum pidana mengenal bentuk-bentuk tindak pidana (delik) yaitu kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).39 Bentuk-bentuk tindak pidana (delik), terdiri dari :40

1. Delik formal (formeel delict), ialah delik yang selesai setelah perbuatan itu dilakukan dan terhadap perbuatan tersebut diancam dengan hukuman, adapun ada tidaknya akibat dari perbuatan itu tidak menjadi soal.

2. Delik materiil (materieel delict), ialah delik yang selesai setelah timbul akibat dari perbuatan yang bersangkutan.

3. Delik Komisionis (delicta Commissionis), melakukan pelanggaran atau berbuat sesuatu yang dilarang oleh undang-undang hukum pidana.

39 Barda Nawawi Arief, Teori Pertanggungjawaban Pidana Pada Kesalahan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.37

40 Ibid

4. Delik omisionis (delicta ommissionis), tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu yang diperintahkan oleh undang-undang hukum pidana.

5. Delik yang tersendiri (zelfstandige delicten), dalam delik ini terdapat gabungan perbuatan yang dapat dihukum (samenloop) yang terdiri dari:

a. Concursus Idealis, dalam hal ini meliputi semua perkara pidana yang terjadi karena dengan dilakukannya hanya satu perbuatan materiil saja (memukul, menusuk, menembak dan lain sebagainya), maka sebenarnya perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pidana sekaligus, concursus idealis ini diatur dalam Pasal 63 KUHP.

b. Concursus Realis, kasus ini terjadi dalam hal beberapa fakta yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan masing-masing merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta itu tidak ada putusan hukuman terhadap salah satu fakta tersebut, yang dimaksud dengan perbuatan dalam Pasal 65 dan Pasal 66 KUHP adalah setiap kompleks kejadian yang berdiri sendiri dan dapat dilihat oleh mata umum serta termasuk dalam satu ketentuan pidana.

6. Perbuatan terus-menerus (voortgezette handeling), yang dimaksud dengan perbuatan terus-menerus adalah beberapa perbuatan (tindak

pidana) yang berhubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan (tindak pidana) yang diteruskan, mengenai perbuatan terus-menerus ini diatur dalam pasal 64 KUHP.

7. Delik yang selesai seketika (aflopende delict), yang dimaksud dengan delik yang selesai seketika adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau beberapa perbuatan tertentu yang menimbulkan suatu akibat tertentu yang selesai dalam jangka waktu yang singkat, misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian, dimana akibatnya juga selesai pada waktu mengambil benda milik orang lain tanpa persetujuannya, kemudian Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, akibatnya juga selesai pada waktu si korban menghembuskan nafasnya yang terakhir dan biasanya dalam waktu 24 jam dapat diketahui apakah korban akan meninggal dunia atau tidak, jadi dapat diketahui apakah terjadi pembunuhan atau percobaan pembunuhan saja.

8. Delik yang meneruskan keadaan terlarang, dalam hal terjadi satu atau beberapa perbuatan yang juga meneruskan keadaan terlarang yang telah ada, contoh Pasal 221 KUHP.

9. Delik majemuk (samengestelde delicten), delik ini disebut juga delik kebiasaan yaitu si pembuat baru dapat dihukum setelah delik itu dilakukannya berturut-turut, contoh Pasal 296-Pasal 481 KUHP.

10. Delik Tunggal (enkelvoudige delicten), yaitu apabila satu kali saja delik itu dilakukan maka sudah cukup untuk menetapkan hukuman terhadap pembuatnya, contoh Pasal 362 KUHP.

11. Delik dengan kualifikasi (gequalificeerde delicten), delik ini adalah suatu bentuk istimewa dari delik dasar dan mengandung semua unsur delik dasar ditambah satu atau beberapa anasir lain yang menjadi alasan untuk memperberat hukuman terhadap si pembuat, contoh Pasal 362 KUHP adalah delik dasar (ground delict), apabila ditambah dengan perbuatan-perbuatan misalnya membongkar, memecahkan kaca, memanjat dan lain sebagainya, maka delik dasar itu menjadi delik dengan kualifikasi.

12. Delik sengaja (dolus delict), dalam delik ini disyaratkan adanya unsur sengaja (opzetelijk), menurut Memorie Van Toelichting yang dimaksud dengan sengaja itu adalah sama dengan dikehendaki dan diketahui (willens en wetens).

13. Delik kealpaan (colpuse delict), ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyatakan culpa, yaitu :

a. Kekhilapan.

b. Kelalaian.

c. Patut dapat menduga/menyangka.

d. Tidak hati-hati.

14. Delik jabatan (delicta propia), yang dimaksud dengan delik jabatan adalah suatu delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai kedudukan/jabatan (kualifikasi) tertentu seperti pegawai negeri, anggota TNI, anggota POLRI dan lain sebagainya, dalam

KUHP dimuat pada buku II Bab XXVIII Pasal 413 sampai dengan Pasal 435.

15. Delik aduan (klacht delict), delik aduan adalah suatu delik yang hanya dapat dituntut apabila yang dirugikan mengajukan pengaduan (klachten), contoh Pasal 284 KUHP, Pasal 287 KUHP, Pasal 332 KUHP. Dalam delik aduan dituntut tidaknya delik tersebut tergantung pada ada atau tidaknya persetujuan dari yang dirugikan, tegasnya jaksa hanya dapat menuntut sesudah diterima pengaduan dari yang dirugikan, jadi selama yang dirugikan belum mengajukan pengaduannya maka jaksa tidak dapat mengadakan penuntutan.

4. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan

Pengertian pemalsuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara memalsukan. Unsur-unsur dari kejahatan pemalsuan adalah :41

1. Keterangan palsu itu harus di bawah sumpah.

2. Dengan sengaja bertentangan dengan sebenarnya.

3. Sumpah itu diharuskan oleh suatu peraturan undang-undang, atau kepada sumpah yang tidak diharuskan dikenakan suatu akibat hukum.

Keterangan di bawah sumpah dapat diberikan :42 1. Oleh dirinya sendiri atau wakilnya.

Maksudnya keterangan itu secara langsung diberikan oleh yang bersangkutan atau oleh wakilnya. Apabila keterangan di bawah

41 Ibid

42 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 173

sumpah diberikan oleh seorang wakil, maka wakil itu harus diberi kuasa khusus, artinya dalam surat kuasa itu harus disebutkan dengan jelas isi keterangan yang akan diucapkan oleh wakil itu.

2. Secara lisan atau dengan tulisan.

Keterangan secara lisan maksudnya bahwa seseorang mengucapkan keterangan di muka seorang pejabat dengan disertai sumpah, yaitu memohon kesaksian Tuhan bahwa ia memberi keterangan yang benar.

Cara-caranya bersumpah menurut peraturan agama masing-masing, umpamanya seorang saksi dalam sidang pengadilan. Keterangan dengan tulisan, maksudnya bahwa seorang pejabat menulis keterangan dengan menyatakan, bahwa keterangan itu diliputi oleh sumpah jabatan yang diucapkan pada waktu ia memulai memangku jabatannya.

Keterangan palsu artinya keterangannya harus tidak benar atau bohong.

Untuk keterangan palsu ini tidak perlu keterangannya itu bohong, akan tetapi cukup apabila sebagian dari keterangannya tidak benar. Tindak pidana pemalsuan surat dianggap lebih bersifat menyangkut kepentingan masyarakat dalam keseluruhannya, yaitu kepercayaan masyarakat pada isi surat-surat daripada bersifat mengenai kepentingan dari individu-individu yang mungkin secara langsung dirugikan dengan pemalsuan surat ini.43

Tindak pidana pemalsuan menurut Teguh Prasetyo adalah :

“Kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (objek) yang sesuatunya itu nampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang

43 Ibid., hlm.178

sebenarnya itulah yang dinamakan dengan tindak pidana pemalsuan dalam bentuk (kejahatan dan pelanggaran).”44

Objek tindak pidana selalu berhubungan erat dengan suatu kepentingan hukum (rechtsebelang) yang hendak dilindungi dengan dibentuknya tindak pidana yang bersangkutan. Pada pemalsuan surat, objeknya adalah surat. Dengan dibentuk Pasal 263 ayat (1) KUHP, maka telah dibentuk suatu perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum terhadap kepercayaan masyarakat mengenai kebenaran isi surat-surat. Isi surat dalam bentuk tulisan dapat mengenai macam-macam hal, misalnya informasi, berita, keadaan tertentu dan sebagainya. Dari sudut objek yang selalu berhubungan dengan suatu kepentingan hukum yang hendak dilindungi, tindak pidana dapat dibeda-bedakan. Informasi atau berita, atau isi suatu tulisan sebagai objek tindak pidana dapat bentuknya yang tertulis dan lisan atau verbal. Untuk melindungi kepentingan hukum mengenai kepercayaan masyarakat terhadap informasi atau berita yang disampaikan atau dituliskan maka dibentuklah beberapa macam tindak pidana, salah satunya yaitu tindak pidana pemalsuan surat.45

Keadaan palsu atau tidak benar dari suatu isi tulisan atau berita yang diucapkan atau disebarkan dapat memberikan pengaruh terhadap aspek kehidupan. Isi tulisan atau berita dalam keadaan tertentu atau dengan syarat-syarat tertentu tidak boleh mengandung sifat palsu. Sifat palsu dari isi tulisan atau berita

44 Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm.58

45 Adami Chazawi., Op.Cit., hlm.80

yang mengandung pengaruh buruk itulah yang perlu dihindari, dengan cara mengancam pidana bagi perbuatan yang membuat maupun menyampaikannya.46

Surat adalah lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan kata, frasa, dan kalimat yang terdiri dari huruf-huruf dan/atau angka dalam bentuk apapun dan dibuat dengan cara apapun yang tulisan mana mengandung arti dan/atau makna buah pikiran manusia. Kebenaran mengenai arti dan/atau makna tersebut harus mendapat perlindungan hukum. Sebagai suatu pengungkapan dari buah pikiran tertentu yang terdapat di dalam surat harus mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dibentuknya tindak pidana pemalsuan surat ini ditujukan sebagai perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran mengenai isi surat-surat tersebut. Tindak pidana pemalsuan ini dibentuk untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kepercayaan yang diberikan oleh umum (piblica fides) pada surat.47

Pasal 263 KUHP merumuskan sebagai berikut :

(1). Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

46 Ibid., hlm.81

47 Ibid., hlm.82

(2). Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pemalsuan surat dalam Pasal 263 KUHP terdiri dari dua bentuk tindak pidana, masing-masing dirumuskan dalam ayat (1) dan ayat (2). Berdasarkan unsur perbuatannya pemalsuan surat ayat (1), disebut dengan membuat surat palsu dan memalsu surat. Sementara pemalsuan dalam ayat (2) disebut dengan memakai surat palsu atau surat yang dipalsu. Meskipun dua bentuk tindak pidana tersebut saling berhubungan, namun masing-masing berdiri sendiri-sendiri, yang berbeda tempos dan locus tindak pidananya serta dapat dilakukan oleh si pembuat yang tidak sama.48

Rumusan pemalsuan surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP terdapat dua perbuatan yaitu membuat palsu dan memalsu. Bila dihubungkan dengan objeknya sebuah surat, perbuatan yang pertama biasanya disebut sebagai perbuatan membuat surat palsu. Pengertian membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada surat yang isi seluruhnya atau pada bagian-bagian tertentu tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu ini disebut dengan surat palsu atau surat yang tidak asli.49

Dari sudut objek tindak pidana, pemalsuan surat ini hanya dapat dilakukan terhadap empat macam surat saja, tidak terhadap semua surat. Empat macam surat tersebut ditentukan dari sudut isinya surat. Bukan pada bagaimana isi surat yang

48 Ibid., hlm.83

49 Ibid., hlm.84

palsu atau yang dipalsu, atau bentuknya surat. Surat tersebut yaitu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, surat yang menimbulkan suatu perikatan, surat yang membebaskan hutang, dan surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.50

Pasal 263 ayat (1) KUHP terdapat unsur pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau yang dipalsu tersebut digunakan. Akibat timbulnya kerugian tersebut dapat dipikirkan oleh semua orang, ialah bila surat semacam itu digunakan maka dapat (potensial) menimbulkan kerugian. Bagi siapa yang menderita kerugian, tidak harus ditentukan orangnya, kerugian itu bagi siapa saja atau bagi kepentingan umum.51

Unsur kesalahan dalam tindak pidana membuat surat palsu atau memalsu surat tersebut, adalah berupa kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk), atau kesengajaan dalam arti sempit. Maksud si pembuat membuat surat palsu atau memalsu surat tersebut ditujukan untuk digunakan olehnya sendiri atau digunakan oleh orang lain. Sementara perbuatan menggunakan surat tersebut tidak perlu sudah diwujudkan. Sebab unsur maksud hanya ada dalam batin atau sikap batin si pembuat, yang harus sudah terbentuk sebelum melakukan perbuatan. Sikap batin ini harus dibuktikan, bukan penggunaannya yang harus dibuktikan.52

Pemalsuan surat (valschheid in geschriften) diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 sampai Pasal 276, yang bentuk-bentuknya adalah:

50 Ibid., hlm.85

51 Ibid., hlm.86

52 Ibid., hlm.87

1. Pemalsuan surat dalam bentuk standar atau bentuk pokok, yang juga disebut sebagai pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP).

2. Pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 264 KUHP).

3. Menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal

3. Menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam akta otentik (Pasal

Dokumen terkait