Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Januari 2013 sampai September 2013 di Laboratorium Biofisika Material Departemen Fisika IPB dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan Kementerian Kehutanan RI, di Bogor.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah tabung aluminium untuk proses aktivasi pemanasan sampel. Vakum untuk proses pencucian sampel. Buret untuk uji daya jerap iodin. SEM tipe EVO Zeiss detector Bruker 133 eV Jerman untuk melihat morfologi sampel. XRD Shimadzu untuk melihat struktur sampel arang aktif. Peralatan-peralatan tersebut milik Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Bogor . eDAQ Potensiostat untuk uji elektokimia di Laboratorium Bersama Departemen Kimia IPB.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain arang sabut kelapa, arang bambu, KOH, HCl 10%, akuades, pH indikator, PVDF 10%, larutan NMP, larutan elektrolit H2SO4 1 M, larutan AgNO3 0,1 M, membran PTFE, plastik acrylic,
stainless stell 100 mesh.
Metode Kerja
Dalam proses pembuatan elektroda karbon aktif, dilakukan tiga tahap pengerjaan yaitu tahap pembuatan arang aktif sabut kelapa dan bambu, pembuatan elektroda karbon aktif, dan pembuatan elemen superkapasitor. Analisis elektrokimia dilakukan setelah tahap pembuatan elemen superkapasitor. Diagram alir keseluruhan proses dapat dilihat pada lampiran.
Proses Aktivasi Arang Sabut Kelapa dan Bambu
Proses pertama adalah pembentukan arang karbon melalui proses karbonisasi yaitu sabut kelapa dan bambu sebanyak 1000 gram dipanaskan pada temperatur 400°C selama 4 jam dalam tanur. Proses kedua adalah mencampur KOH dan arang karbon dengan perbandingan 1:1, 2:1, 3:1
b
b . Campuran ini didiamkan selama 24 jam untuk menjamin keberlangsungan proses difusi ke bagian dalam pori arang. Tahap selanjutnya campuran dijemur selama ± 7 hari sampai kering. Serbuk arang yang sudah kering tersebut diaktivasi dalam tabung aluminium pada temperatur 800°C selama 60 menit (Aripin et al 2010) dengan laju uap air 25 ml/bar. Setelah itu, arang hasil aktivasi diambil sebanyak 5 gram, direndam dalam larutan HCl 10% selama 1 jam, kemudian dicuci dengan akuades sampai hasil cucian mencapai pH netral. Perlakuan perendaman dengan larutan HCl dan pencucian dengan akuades dimaksudkan untuk membuang senyawa garam alkali. Karbon aktif yang telah bebas dari senyawa garam alkali selanjutnya dikeringkan pada temperatur 100°C selama ± 24 jam untuk mengeluarkan uap air yang terjebak di dalam pori.
Penentuan Efektivitas Aktivasi Arang aktif dengan Variasi Penambahan KOH
Uji Daya Serap Iodin
Metode yang digunakan dalam pengujian daya serap iodin adalah metode titrasi iodometri (Rumidatul 2006). Karbon aktif ditimbang sebanyak 0,25 gram,
kemudian dilarutkan dalam 25 mL larutan iodin 0,1 N dalam labu Erlenmeyer. Labu Erlenmeyer tersebut selanjutnya digoyang selama 15 menit, kemudian disaring dengan kertas saring. Larutan iodin hasil saringan tersebut diambil sebanyak 10 mL dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna larutan
menjadi bening. Perlakuan titrasi tersebut dilakukan sebanyak 2 kali (duplo). Uji Konduktivitas
Karbon aktif ditimbang sebanyak 0,3 gram, kemudian dimasukkan ke dalam tabung silinder berdiameter 1,51 cm dan panjang ± 10 cm. Arang aktif yang telah dimasukkan dalam tabung ditutup dengan cara ditekan dengan penutup tabung hingga tertutup rapat. Setelah itu tabung silinder yang telah berisi arang tersebut diuji konduktivitasnya dengan menggunakan LCR meter.
Aktivasi Karbon Aktif dengan Efektivitas Terbaik Hasil Variasi Penambahan KOH
Arang sabut kelapa dan bambu diaktivasi kembali dengan prosedur yang sama sesuai kondisi terbaik yang didapatkan pada metode aktivasi dan penentuan efektivitas aktivasi karbon aktif pada variasi penambahan KOH dengan menggunakan metode uji kadar iod dan uji konduktivitas. Perbandingan campuran KOH dan arang yang terbaik dari hasil diatas diulang kembali dengan menggunakan arang dan KOH baru, tetapi dalam prosedur ini laju uap air yang digunakan ditingkatkan menjadi 50 mL/bar. Setelah itu karbon aktif yang telah diaktivasi tetap diuji kadar iod dan konduktivitasnya untuk menentukan jumlah pori dan sifat listrik dari bahan karbon aktif tersebut.
Pembuatan Elektroda Karbon Aktif
Karbon aktif dikeringkan pada suhu 100°C dalam oven selama 1 jam untuk menghilangkan kelembaban. Setelah itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Dibuat campuran karbon aktif dengan PVDF (polyvinylidene flouride) sebanyak 0,5 gram, dengan perbandingan karbon aktif:PVDF (9:1(b/b)). Kemudian campuran 0,5 gram tersebut ditambahkan larutan NMP (pyrrolidinone) hingga membentuk gel, sambil diaduk selama 15 menit. Setelah itu gel yang terbentuk tersebut dioles diatas permukaan stainless steel 100 mesh, dan dikeringkan di dalam oven pada temperatur 100°C selama ± 24 jam.
Pembuatan Elemen Superkapasitor
Sebuah elemen superkapasitor terbuat dari empat komponen :
i) 2 potongan elektroda karbon aktif; ii) membran PTFE (polytetrafluoroethylene) sebagai separator diantara 2 potongan elektroda karbon aktif; iii) kolektor arus yang terbuat dari stainless steel 100 mesh di bagian belakang setiap elektroda dan iv) 2 potongan plastik akrilik (3 cm x 3 cm x 0,1 cm) untuk menempelkan tiga komponen pertama.
Prosedur pembuatan elemen superkapasitor adalah sebagai berikut: dua elektroda karbon aktif ditimbang. Setelah ditimbang masing-masing elektroda tersebut beserta separator dibasahi dengan larutan elektrolit H2SO4 1 M.
Selanjutnya dua buah elektroda karbon aktif dan separator yang telah dibasahi H2SO4 disusun, dimana separator berada di antara kedua elektroda dan ketiga
susunan tersebut dimampatkan dengan menggunakan plastik akrilik dan sekrup (Gambar 1).
Gambar 1. Skema keseluruhan sebuah sistem uji elemen superkapasitor
Berdasarkan Gambar 1, memperlihatkan struktur elemen superkapasitor adalah simetris. Dua buah kolektor arus, dua elektroda karbon aktif dan separator untuk membagi dua bagian yang berada diantara dua buah plastik akrilik. Selanjutnya rangkaian sistem uji elemen superkapasitor (Gambar 1) diatas, diuji dengan menggunakan eDAQ Potensiostat untuk menentukan nilai kapasistansi spesifiknya. Nilai kapasitansi spesifik ditentukan berdasarkan persamaan di bawah ini : m dt dv I I C c d s Ket : Cs = Kapasitansi spesifik (F/g)
Ic = Arus pengisian (charge) (A)
Id = Arus pengosongan (discharge) (A)
dv/dt = Laju scan (scan rate) (V/s)
m = massa elektroda (gram)
Analisis SEM dan XRD
Bubuk karbon aktif yang dihasilkan dari proses aktivasi dianalisis menggunakan SEM dan XRD. Analisis SEM dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa morfologi permukaan sampel, sedangkan analisis XRD dilakukan untuk mengidentifikasi derajat kristalinitas dan struktur lapisan karbon aktif yang meliputi tinggi lapisan (Lc), lebar lapisan (La), jarak antar lapisan (d) dan jumlah
Stainless steel 100 mesh Plastik akrilik Elektroda karbon aktif Separator Sekrup
lapisan (N) dengan melihat spektrum difraksinya. Persamaan yang digunakan dalam penentuan ciri fisika-kimia diatas adalah:
d L N K L K L d c a c cos / cos / sin 2 100 002 Ket :
d = Jarak antar lapisan (nm)
Lc = Tinggi lapisan (nm)
La = Lebar lapisan (nm)
N = Jumlah lapisan
= Panjang gelombang dari radiasi sinar Cu (0,15406 nm)
= Intensitas ½ tinggi dan lebar (radian )
K = Tetapan untuk lembar graphena (0,89)
= Sudut difraksi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daya Serap Iodin
Karbon aktif adalah bahan dengan porositas tinggi yang terdiri dari lapisan graphane hidrofobik serta gugus-gugus fungsional permukaan hidrofilik, sehingga memungkinkan bahan ini sangat efektif untuk penyerapan. Struktur mikropori karbon aktif ditunjukkan pada Gambar 2.
Secara umum, struktur karbon aktif terdiri dari lembaran aromatik seperti kertas kusut atau serutan kayu. Rongga antar lembaran aromatik ini dianggap sebagai mikropori.
Daya serap iodin adalah parameter untuk mengetahui kemampuan karbon aktif dalam menyerap molekul-molekul dengan berat molekul kecil. Pada proses penyerapan ini, molekul-molekul iodin mengisi pori-pori karbon aktif. Daya serap iodin biasanya dijadikan indikator utama dalam menentukan kualitas karbon aktif. Hasil pengujian daya serap iodin menunjukkan bahwa daya serap iodin pada masing-masing sampel arang, baik karbon aktif sabut kelapa maupun karbon aktif bambu menunjukkan hasil terbaik, yaitu pada perlakuan perbandingan variasi KOH (3 : 1) dengan nilai 839,01 (mg/g) untuk karbon aktif sabut kelapa dan 851,29 (mg/g) untuk karbon aktif bambu (Tabel 1).
Jika dibandingkan dengan kontrol (arang tanpa perlakuan penambahan KOH dan steam) didapatkan bahwa arang yang telah diaktivasi dengan KOH dan steam 25 mL/bar, menunjukkan nilai daya serap iodin yang cenderung lebih besar seiring dengan makin besarnya perbandingan variasi KOH dan mencapai nilai terbesar pada perbandingan (3 : 1), hal ini disebabkan karena meningkatnya rasio penambahan KOH distribusi ukuran pori juga meningkat (Aripin et al. 2010; Babel 2004 ; Kierzek 2004). Selama proses perendaman arang sabut kelapa dan bambu dengan bobot KOH yang kecil, sebagian besar KOH meresap ke bagian dalam arang. Oleh karena itu, pada saat aktivasi pori yang terbentuk pada permukaan arang relatif kecil. Perendaman arang sabut kelapa dan bambu dengan bobot KOH yang lebih besar menyebabkan sebagian KOH melapisi permukaan arang dan pada bagian dalam arang terisi penuh KOH (Tseng RL et al. 2005). Hal ini menyebabkan pori yang terbentuk pada permukaan maupun bagian dalam arang meningkat.
Tabel 1. Hasil Uji Daya Jerap Iodin
Jenis sampel Uji Daya Jerap Iodin (mg/g) Arang Sabut (kontrol)
Variasi KOH, dengan steam 25 Sabut Kelapa
1:1 2:1 3:1
Arang Bambu (kontrol)
703,87
726,75 726,75 839,01 699,22 Variasi KOH, dengan steam 25
Bambu 1:1 2:1 3:1 765,29 765,29 851,29 Aktivasi dengan steam 50
Sabut 3:1 Bambu 3:1 761,87 839,01
Dalam penelitian ini, nilai daya serap iodin yang terbaik adalah pada perbandingan variasi KOH (3:1), diulang kembali menggunakan sampel arang yang baru dengan perbandingan KOH (3:1) dan steam 50 mL/bar. Dari hasil aktivasi dengan kondisi terbaik tersebut didapatkan nilai daya serap iodin pada masing-masing sampel yaitu 761,87 (mg/g) untuk karbon aktif sabut kelapa dan 839,01 (mg/g) untuk karbon aktif bambu. Ketika dibandingkan nilai daya serap iodin antara perbedaan perlakuan steam (25 mL/bar dan 50 mL/bar) pada arang yang diaktivasi KOH (3:1), didapatkan hasil bahwa daya serap iodin sampel karbon aktif sabut kelapa dan karbon aktif bambu dengan perlakuan steam 25 mL/bar memiliki nilai yang lebih besar dari perlakuan steam 50 mL/bar. Hal ini diduga, bahwa dengan peningkatan steam, semakin memperbesar ukuran pori dari mikropori menjadi mesopori dan makropori yang sulit untuk diukur dengan daya serap iodin sehingga menunjukkan nilai daya serap iodin yang lebih kecil.
Konduktivitas
Konduktivitas bubuk karbon aktif sabut kelapa dan bambu dikaji untuk menentukan seberapa besar resistansi yang terdapat pada bubuk karbon aktif sabut kelapa dan bambu. Semakin tinggi nilai konduktivitas suatu bahan, menyebabkan nilai resistansinya semakin rendah. Konduktivitas yang tinggi menyebabkan transfer elektron semakin efektif selama proses charge/discharge berlangsung. Hasil pengukuran konduktivitas bubuk karbon aktif sabut kelapa dan bambu dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2. Hasil Pengukuran Konduktivitas
Jenis sampel Resistivitas (Ohm) Konduktivitas (S/m)
Arang Sabut (kontrol) Variasi KOH, dengan steam 25
Sabut Kelapa 1:1 2:1 3:1
Arang Bambu (kontrol)
0,40 44,03 0,25 0,25 0,20 82,41 77,33 108,95 0,38 43,63
Variasi KOH, dengan steam 25 Bambu 1:1 2:1 3:1 0,02 0,01 0,01 750,05 1455,41 1521,05 Aktivasi dengan steam 50
Sabut 3:1 Bambu 3:1 0,26 125,78 0,01 1530,83
Hasil pengukuran konduktivitas menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan aktivasi pada arang sabut kelapa dan arang bambu pada berbagai variasi penambahan KOH dan steam, nilai konduktivitas dari kedua sampel arang cenderung makin besar seiring dengan bertambahnya nilai perbandingan variasi KOH dan steam yang mencapai nilai terbesar pada perbandingan (3:1) dengan steam 50 mL/bar yaitu sebesar 125,78 (S/m) untuk karbon aktif sabut kelapa dan 1530,83 (S/m) untuk karbon aktif bambu. Nilai-nilai konduktivitas tersebut terlihat lebih besar dari nilai konduktivitas sampel arang kontrol (tanpa perlakuan penambahan KOH dan steam) (Tabel 2).
Faktor yang membuat konduktivitas arang teraktivasi KOH lebih besar dari arang kontrol karena adanya perbedaan resistansi (hambatan) antara arang kontrol dengan arang yang teraktivasi KOH, dimana arang kontrol memiliki resistansi yang lebih besar dibandingkan dengan arang yang teraktivasi KOH (Tabel 2). Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa nilai konduktivitas suatu bahan akan berbanding terbalik dengan resistansinya.
Karakteristik Morfologi Karbon aktif
Morfologi karbon aktif sabut kelapa dan bambu, dapat diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). SEM dapat memberikan gambaran terinci mengenai morfologi permukaan, yaitu spesifik pada partikel karbon dan pori pada permukaan karbon aktif. Gambar 3 menunjukkan hasil SEM pada karbon aktif sabut kelapa dan bambu dengan perlakuan steam 25 mL/bar dan 50 mL/bar dengan perbesaran hingga 1000 kali. Perlakuan aktivasi mengakibatkan terbentuknya pori pada permukaan karbon aktif baik karbon aktif sabut kelapa maupun bambu. Perlakuan steam 25 mL/bar dan 50 mL/bar pada proses aktivasi masing-masing sampel karbon aktif menyebabkan terbentuknya perbedaan struktur maupun ukuran diameter pori pada permukaan karbon aktif. Morfologi permukaan karbona aktif sabut kelapa dan bambu dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini :
Gambar 3. Citra SEM karbon aktif sabut kelapa dan bambu dengan Steam 25 mL/bar dan 50 mL/bar
Dari Gambar 3 tampak bahwa struktur pori pada permukaan karbon aktif bambu (b) dan sabut kelapa (d) dengan steam 50 mL/bar memiliki struktur pori dengan distribusi yang lebih seragam, teratur dan halus dibandingkan karbon aktif bambu (a) dan sabut kelapa (c) dengan steam 25 mL/bar. Ukuran diameter pori pada permukaan masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel 3 :
Tabel 3. Hasil Pengukuran Diameter Pori
Jenis sampel Ukuran diameter pori (m)
Arang sabut (kontrol) 17,3
Arang bambu (kontrol) 33,3
Bambu steam 25 mL/bar 16,24
Bambu steam 50 mL/bar 14,77
Sabut steam 25 mL/bar 14,55
Sabut steam 50 mL/bar 7,88
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa ukuran diameter pori pada permukaan masing-masing sampel semakin kecil dengan peningkatan perlakuan steam pada proses aktivasi. Hal ini diduga dapat disebabkan karena perlakuan steam yang lebih besar hingga 2 kali lipat menyebabkan tekanan yang besar pada permukaan karbon aktif sehingga ukuran pori pada permukaan menjadi semakin kecil.
Karakteristik Struktur Karbon aktif
Hasil penelitian derajat kristalinitas karbon aktif sabut kelapa dan bambu dapat dilihat pada Tabel 4 :
Tabel 4. Derajat Kristalinitas dan Jarak Antar Lapisan Aromatik Sampel Derajar kristalinitas (%) d (nm)
Bambu Sabut Bambu Sabut
Kontrol 40 34,6 0,3 0,3
Steam 25 43,1 35,1 0,3 0,3
Steam 50 46,8 39,2 0,3 0,3
Tabel 4 menunjukkan bahwa derajat kristalinitas yang dimiliki oleh karbon aktif bambu lebih besar dibandingkan sabut kelapa dan cenderung semakin bertambah dengan peningkatan steam, sementara jarak antar lapisan aromatik (d) relatif tetap. Hal ini diduga karena kandungan selulosa yang lebih dominan pada bambu dibandingkan sabut kelapa yang lebih dominan lignin. Selulosa merupakan polimer linier glukosa, sedangkan lignin merupakan polimer tiga dimensi alkohol aromatik. Struktur kompleks tiga dimensi pada lignin menyebabkan kristalinitas yang dimiliki lignin lebih rendah dibandingkan selulosa. Hal inilah yang menyebabkan derajat kristalinitas bambu lebih besar dibandingkan sabut kelapa.
Gambar 4 menunjukkan pola difraksi sinar-X (XRD) karbon aktif sabut kelapa dan bambu. Pola difraksi yang ditunjukkan melalui difraktogram XRD pada Gambar 4, mengindikasikan bahwa sampel karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk grafit, amorf, dan tersusun dari atom-atom karbon. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pari et al. (2004) dengan menggunakan sampel karbon aktif dari serbuk sengon.
Gambar 4. Difraktogram XRD Karbon Aktif Sabut Kelapa dan Bambu pada Variasi Steam ((A) Bambu Kontrol; (B) Bambu Steam 25 mL/bar; (C) Bambu Steam 50 mL/bar; (D) Sabut Kontrol; (E) Sabut Steam 25 mL/bar; (F) Sabut Steam 50 mL/bar).
Setelah diketahui bentuk dan struktur sampel karbon aktif dengan mengidentifikasi pola difraksinya, maka dapat ditelusuri lebih lanjut mengenai tinggi lapisan (Lc), lebar lapisan (La) dan jumlah lapisan (N) sampel karbon aktif
tersebut, yang dirangkum pada Tabel 2.
Tabel 5. Tinggi (Lc), Lebar (La), dan Jumlah (N) Lapisan Aromatik dari Karbon Aktif
Sampel Lc (nm) La (nm) N
Bambu Sabut Bambu Sabut Bambu Sabut
Kontrol 8,411 8,411 34,130 70,416 22,671 22,671
Steam
25 3,561 8,411 54,362 73,355 9,598 22,671
Steam
50 2,753 7,254 104,82 77,240 7,420 19,553
Berdasarkan Tabel 5, Perlakuan steam 25 mL/bar dan 50 mL/bar menyebabkan tinggi lapisan (Lc) antar susunan aromatik pada masing-masing
sampel baik bambu maupun sabut cenderung semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi gasifikasi atau oksidasi parsial dalam bagian tertentu kristal karbon. Hasil dari gasifikasi ini yaitu terbentuknya jenjang antar struktur. Dengan demikian proses aktivasi menyebabkan terjadinya penataan kembali struktur karbon aktif. Seong-Ho You et al. (2004) mengusulkan model yang menggambarkan proses aktivasi KOH pada Gambar 5 dibawah ini :
Gambar 5. Model untuk aktivasi karbon nanofiber (Seong-Ho Yoon et al. 2004) Model di atas menjelaskan bahwa gasifikasi selektif graphane dengan –C-OK menyebabkan terbentuknya secara in-situ K2O dan K2CO3 selama proses
aktivasi KOH, perluasan lapisan graphane serta rusaknya morfologi serat karbon dengan penataan kembali lapisan graphane. Selain itu, penurunan pada nilai Lc
menggambarkan ikatan atom antar karbon menyempit sehingga memperpendek jarak atom antar karbon yang berakibat memperkecil nilai Lc. Begitu juga dengan
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 -1,0 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 Arus (mA) Tegangan (V) 200 mV/s 100 mV/s 50 mV/s 10 mV/s
perlakuan steam, sementara jarak antar lapisan aromatik (d) relatif tetap. Namun, lebar lapisan (La) mengalami peningkatan dengan meningkatnya perlakuan steam.
Kolektor Arus
Bahan kolektor arus harus bersifat non-korosif dalam larutan elektrolit H2SO4. Pada penelitian ini, bahan yang digunakan sebagai kolektor arus adalah
stailess steel 100 mesh (M.A Azan 2013). Stainless steel pada dasarnya adalah sebuah bahan metal yang memiliki ketahanan cukup baik dalam larutan elektrolit H2SO4. Pengujian siklik voltametri terhadap stainless steel dilakukan untuk
memastikan kesesuaiannya sebagai kolektor arus dalam larutan elektrolit H2SO4
(Chijuan Hu 2008). Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Kurva siklik voltammogram Stainless Steel pada berbagai laju scan. Gambar 6 menunjukkan respon stainless steel terhadap laju scan yang diberikan. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa stainless steel tidak bereaksi terhadap tegangan yang diberikan. Hal ini menunjukkan tidak adanya kapasitansi yang dihasilkan pada pengujian siklik voltammetri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa stainless steel cocok digunakan sebagai kolektor arus pada elektroda karbon aktif sabut kelapa dan bambu.
Nilai Kapasitansi
Superkapasitor atau ultrakapasitor adalah perangkat penyimpanan energi listrik yang memiliki kerapatan energi lebih besar dari kapasitor konvensional dan kerapatan daya yang lebih besar dari baterai serta memiliki siklus hidup yang cukup panjang. Superkapasitor apapun jenisnya selalu diukur dari seberapa besar
kemampuannya dalam menyimpan muatan listrik. Berdasarkan bahan elektroda yang digunakan, superkapasitor terbagi atas :
a) Kapasitor Lapisan Ganda Elektrokimia (KLGE): kapasitansi muncul dari antarmuka antara elektroda dan elektrolit. Lapisan antarmuka antara elektroda dan elektrolit disebut lapisan ganda atau lapisan Helmholtz.
b) Pseudokoapasitor : kapasitansi muncul dari reaksi Faradaik senyawa kimia. Ini menyebabkan kapasitansi yang muncul jauh lebih besar dari KLGE namun siklus hidup yang dimiliki lebih pendek karena adanya perubahan fase akibat reaksi kimia yang terjadi
c) Kapasitor Asimetris : gabungan antara elektroda non-faradaik misalnya karbon dan elektorda faradaik misalnya PbO2.
Pada penelitian ini, jenis superkapasitor yang dibuat adalah Kapasitor Lapisan Ganda Elektrokimia (KLGE). Lapisan ganda pada superkapasitor ini terdiri dari lapisan mikropori elektroda karbon aktif dan lapisan difusi ion elektrolit H2SO4. Lapisan ganda terjadi apabila dua elektroda direndam dalam
elektrolit yang terpolarisasi. Polarisasi muatan pada kedua elektroda menyerupai dua buah kapasitor yang dihubungkan secara seri. Gambar 7 menunjukkan mekanisme penyimpanan muatan pada EDLC.
Gambar 7. Skema kapasitor lapisan ganda elektrokimia saat diberikan tegangan listrik (Zuleta 2005; Pandolfo et al. 2006)
Dua buah elektroda dipisahkan dengan sebuah separator untuk mencegah terjadinya konduksi elektronik. Pada saat diberikan tegangan listrik, ion positif akan terakumulasi pada elektroda negatif, sedangkan ion negatif akan terakumulasi pada elektroda positif.
Pengukuran nilai kapasitansi spesifik pada superkapasitor menggunakan teknik siklik voltametri. Siklik voltametri adalah teknik yang paling banyak
digunakan untuk pengukuran nilai kapasitansi superkapasitor. Gambar 8 menunjukkan kurva voltammogram sebuah superkapasitor dengan kapasitansi berdasarkan lapisan ganda elektrokimia tanpa reaksi kimia.
Gambar 8. Kurva siklik voltammogram ideal sebuah superkapasitor (Xu et al. 2006)
Variasi laju scan untuk masing-masing sampel dilakukan untuk
mendapatkan nilai kapasitansi tertinggi. Berdasarkan hasil pengukuran untuk masing-masing sampel diperoleh hasil seperti terlihat pada Gambar 9. Hasil pengukuran dengan metode siklik voltametri menunjukkan kurva yang hampir menyerupai empat persegi panjang. Hal ini sesuai dengan hasil yang dikemukakan oleh Rae et al. (2009) yang menyatakan bahwa bentuk kurva untuk superkapasitor yang berbahan dasar karbon adalah berupa empat persegi panjang.
Gambar 9. Hasil variasi laju scan superkapasitor berbasis sabut kelapa dan bambu dengan variasi steam
Hasil variasi laju scan pada masing-masing sampel (Gambar 9)
menunjukkan bahwa semakin rendah nilai laju scan luas daerah yang ditunjukkan semakin kecil, dimana luas daerah yang terkecil yaitu pada laju scan 10 mV/s. Hal ini karena arus yang dihasilkan pada laju scan 10 mV/s lebih rendah dibandingkan dengan laju scan 50 mV/s, 100 mV/s, dan 200 mV/s. Tingkat kemiringan kurva pada Gambar 6 menunjukkan resistansi internal pada tiap laju scan, dimana tingkat kemiringan yang tertinggi dapat dilihat pada laju scan 200 mV/s yang berarti bahwa resistansi internal tertinggi yaitu pada laju scan 200 mV/s. Resistansi ini dapat timbul dari elektroda, binder, jenis larutan elektrolit, dan separator yang digunakan Lufrano et al. (2004). Selain itu, Zheng (2004) dan Ganesh et al. (2006) melaporkan bahwa resistansi internal juga muncul dari resistansi kontak antara elektroda dan kolektor arus. Hal ini menyebabkan resistansi ohmik untuk pergerakan ion dalam elektrolit semakin besar, sehingga pembentukan lapisan ganda antara elektroda dan ion elektrolit menjadi terbatas yang menyebabkan nilai kapasitansi semakin kecil (Liu et al. 2005; Pandolfo et al. 2006). Kemiringan kurva siklik voltametri yang terendah yaitu pada laju scan 10 mV/s yang berarti resistansi internal terendah terdapat pada laju scan 10 mV/s untuk masing-masing sampel. Hal ini menunjukkan kemampuan paling tinggi superkapasitor dalam menyimpan muatan (Yang et al. 2005; Xing et al. 2006). Hasil perhitungan nilai kapasitansi untuk masing-masing sampel pada variasi laju scan dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan Gambar 10, tampak bahwa nilai kapasitansi spesifik yang dimiliki oleh superkapasitor dengan elektroda bambu baik pada steam 25 maupun steam 50 lebih tinggi dibandingkan superkapasitor dengan elektroda sabut kelapa