• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan di daerah aliran sungai (DAS) Way Besai Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Penelitian lapang dilakukan pada bulan September 2008 sampai dengan bulan Desember 2008. Secara administratif lokasi penelitian terletak di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung, adapun secara geografis terletak antara 04o98’ LS – 05o07’ LS dan 104o23’ BT – 104o34’ BT. Lokasi ini merupakan tempat penelitian dari World Agroforestry Centre (ICRAF) sejak tahun 2002. Untuk lebih jelasnya lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 15.

ŀ

42

4.2. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara pengambilan data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan pengambilan contoh secara sengaja ( ), yaitu pengambilan contoh yang bersifat tidak acak. Contoh dipilih berdasarkan kondisi daerah, keberadaan responden dan keterwakilan contoh di lokasi penelitian (Singarimbun, 1995).

Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawancara terhadap responden yang berkaitan dengan penelitian yaitu menggunakan kuisioner. Kelompok responden yang diambil adalah kelompok yang memiliki keterkaitan secara langsung maupun tidak langsung terhadap hutan dan aktifitas yang berhubungan dengan sumberdaya air.

Responden tersebut adalah masyarakat di tiga desa di Kecamatan Sumberjaya yaitu Desa Simpang Sari yang mewakili desa di hulu, Desa Sukajaya mewakili desa yang terletak di tengah dan Desa Tribudi Sukur yang mewakili desa di hilir DAS Way Besai.

Data sekunder didapatkan dari World Agroforestry Centre (ICRAF) Bogor, Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Way Besai, PLTA Way Besai , pengelola Bendungan Way Besai, Dinas Kehutanan Lampung Barat dan Instansi terkait lainnya.

Wawancara mendalam ( ) dengan sejumlah informan ( ) yang dinilai memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hal7hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Jenis data dan sumber data yang dikumpulkan disajikan pada Tabel 6.

43

Tabel 6. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

No Jenis data Sumber Keterangan A.Sekunder Curah Hujan

Intensitas Hujan Infiltrasi Aliran permukaan Penutupan lahan PLTA Data kependudukan ICRAF Bogor ICRAF Bogor ICRAF Bogor ICRAF Bogor ICRAF Bogor

PLTA Way Besai, PLN Bandarlampung ICRAF Bogor, BPS, Kec Sumberjaya, desa terkait 1970 – 2006 1970 – 2006 2002 – 2006 2002 – 2006 1970, 1976, 1984, 1990, 2000, 2005 B.Primer Pendapatan Penggunaan air Desa&desa: • Tribudi Sukur • Sukajaya • Simpang Sari Instansi terkait: • PLTA • BAPPEDA • Dinas Kehutanan • Dinas Pertanian • Kecamatan Hulu DAS Tengah DAS Hilir DAS

4.3. Metode analisis data

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer yaitu menggunakan program Software Stella dan Statistical Product and Service Solution (SPSS) maupun Microsoft excel. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

4.3.1. Penggunaan air dan nilai ekonominya

4.3.1.1. Penggunaan air untuk konsumsi masyarakat

Konsumsi rumah tangga yang dijadikan sebagai variabel meliputi kebutuhan air minum dan memasak, mandi, cuci dan kakus. Nilai air didekati dengan pendekatan pengukuran secara langsung yaitu dengan menanyakan secara langsung kepada responden mengenai keinginan mereka membayar ( ) terhadap penggunaan air bagi kebutuhan rumah tangga. Jika WTPi merupakan

44

kesanggupan membayar maksimum rumah tangga ke7i untuk suatu kebijakan tertentu, maka berdasarkan atas teori permintaan konsumen, WTPi merupakan suatu fungsi dari atribut permintaan air yang ada dan yang dikembangkan, karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan kualitas air yang digunakan

4.3.1.2. Nilai air untuk pertanian

Variabel yang digunakan dalam penggunaan air untuk pertanian adalah penggunaan air untuk memproduksi tanaman kopi dan untuk memproduksi tanaman padi sawah yang berada di Kecamatan Sumberjaya.

a. Nilai air untuk memproduksi buah kopi

Tanaman kopi dalam pertumbuhannya membutuhkan air, air tersebut diserap melalui akar dan didistribusikan ke seluruh tubuh tanaman. Air dibutuhkan dari pertumbuhan, pembungaan hingga pembuahan dan ketersediaan air akan mempengaruhi kualitas dari produk kopi.

Penghitungan jumlah air yang digunakan tanaman kopi di Kecamatan Sumberjaya dilakukan dengan pendekatan jumlah produksi kopi setiap hektar dengan luasannya serta dikalikan jumlah air yang digunakan untuk memproduksi setiap ton kopi. Faktor pengali tanaman kopi sebesar 17.665 didapatkan dari penelitian Chapagain and Hoekstra (2004), yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan satu ton kopi di Indonesia diperlukan air sebanyak 17.665 m3 untuk evapotranspirasi mulai dari penanaman sampai dengan panen biji kopi.

Penghitungan tersebut disajikan pada rumus dibawah ini (Chapagain and Hoekstra, 2004):

Σ

JAkp =

Σ

Pkp x

Σ

Lkp x kkp

Keterangan :

Σ

JAkp = Jumlah air yang digunakan tanaman kopi ( m3 )

Σ

Pkp = Produksi tanaman kopi ( ton/ha )

Σ

Lkp = Luas tanaman kopi ( ha)

kkp = faktor pengali tanaman kopi, 17.665 (m3 /ton),

45

Penghitungan nilai air yang dibutuhkan untuk memproduksi buah kopi di Kecamatan Sumberjaya dilakukan dengan mengalikan jumlah air yang digunakan dalam berproduksi dikalikan dengan harga air di Kecamatan Sumberjaya.

Pendekatan harga air (rupiah) dilakukan dengan menggunakan harga air rata7 rata yang dicerminkan oleh kemauan membayar (WTP) masyarakat di Kecamatan Sumberjaya sebesar Rp. 503,30,7 setiap m3 , sedangkan pendekatan dengan menggunakan air sebagai faktor produksi dari Pembagkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Way Besai tidak mencerminkan kemauan masyarakat karena harga air tersebut merupakan harga faktor produksi untuk memproduksi listrik.

Pendekatan Nilai air yang dipergunakan untuk memproduksi komoditas kopi di Kecamatan Sumberjaya dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Σ

NAkp =

Σ

JAkp x HAkp

Keterangan :

Σ

NAkp = Nilai air yang digunakan untuk tanaman kopi ( Rp )

Σ

JAkp = Jumlah air yang dibutuhkan tanaman kopi ( m3 )

HAkp = Harga air di Kecamatan Sumberjaya ( Rp 503,30,7/ m3 )

b. Nilai air untuk memproduksi padi

Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman padi di Kecamatan Sumberjaya dihitung dengan pendekatan jumlah produksi padi setiap hektar dengan luasannya dan dikalikan dengan jumlah air yang dibutuhkan untuk memproduksi setiap ton padi yang dihasilkan. Faktor pengali padi sebesar 2.150 didapatkan dari penelitian Chapagain dan Hoekstra. (2004), yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan satu ton padi di Indonesia diperlukan air sebanyak 2.150 m3 untuk evapotranspirasi mulai dari pembibitan sampai dengan panen padi. Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman padi dihitung dengan persamaan dibawah ini (Chapagain and Hoekstra, 2004) :

46

Σ

JApd =

Σ

Ppd x

Σ

Lpd x kpd

Keterangan :

Σ

JApd = Jumlah air yang digunakan tanaman padi ( m3 )

Σ

Ppd = Produksi tanaman padi ( ton/ha )

Σ

Lpd = Luas tanaman padi ( ha)

kpd = faktor pengali padi, 2.150 (m3 /ton)

Penghitungan nilai air yang digunakan untuk memproduksi padi di Kecamatan Sumberjaya dilakukan dengan mengalikan jumlah air yang dibutuhkan untuk berproduksi dikalikan dengan harga air di Kecamatan Sumberjaya. Pendekatan harga air (rupiah) dilakukan dengan menggunakan harga air rata7rata yang dicerminkan oleh kemauan membayar (WTP) masyarakat di Kecamatan Sumberjaya sebesar Rp. 503,30,7 setiap m3

Pendekatan Nilai air yang dipergunakan untuk memproduksi komoditas padi di Kecamatan Sumberjaya dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Σ

NApd =

Σ

JApd x HApd

Keterangan :

Σ

NApd = Nilai air yang dibutuhkan untuk tanaman padi ( Rp )

Σ

JApd = Jumlah air yang dibutuhkan tanaman padi ( m3 ) HApd = Harga air di Kecamatan Sumberjaya ( Rp503,30,7/ m3 )

4.3.1.3. Tenaga Listrik Swadaya (Microhidro)

Penghitungan nilai air yang dipergunakan oleh masyarakat untuk pembangkit listrik swadaya (mikrohidro) mempertimbangkan beberapa asumsi sebagai berikut: (1) harga setiap Kwh listrik sama dengan harga yang ditetapkan oleh PLN di

Kecamatan Sumberjaya yaitu sebesar Rp 650,7 per Kwh (tanpa adanya subsidi dari pemerintah),

(2) setiap KK menggunakan 100 watt per7hari dan

(3) biaya investasi awal mikrohidro sebesar Rp 2.000.000,7 setiap pembangkit listrik. Berdasarkan asumsi7asumsi tersebut, nilai air yang dipergunakan sebagai pembangkit listrik swadaya (mikrohidro) di Kecamatan Sumberjaya dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini.

47

( )

365 1 5. =    = +       

∑ ∑ ∑ ∑

Keterangan:

Σ

NAhpw = Nilai air Mikrohidro

Σ

InVhpw = Investasi Mikrohidro

Σ

KKhpw = Jumlah kepala keluarga pemakai Mikrohidro

Σ

Kwhhpw = Pemakaian listrik 5 jam setiap hari

HAhpw = Harga air di Kecamatan Sumberjaya (Rp 503,30/m3)

4.3.1.4. Nilai air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Way Besai

Untuk mengetahui nilai air yang digunakan untuk menggerakkan turbin di PLTA Way Besai dihitung dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan penghitungan debit air di Sub7DAS Way Besai dengan bantuan program GenRiver dan tahap selanjutnya dilakukan penghitungan nilai air (rupiah).

Model Aliran Sungai Generik (GenRiver ) merupakan model yang dikembangkan berdasarkan proses hidrologi (Van Noordwijk, ., 2004). GenRiver merupakan model simulasi yang dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi perubahan aliran sungai akibat dinamika perubahan penutupan lahan. Model GenRiver disusun dalam skala lansekap, dimana daerah aliran sungai (DAS) direpresentasikan sebagai sekumpulan sub7DAS. Masing7masing sub7DAS mempunyai anak sungai dan pola hujan tersendiri. Pola spasial sub7DAS direpresentasikan secara implisit di dalam model, melalui pertimbangan jarak capai setiap sub7DAS ke suatu titik pengamatan di sungai ( ). Model ini dapat bermanfaat untuk mempelajari perubahan aliran air sungai akibat adanya alih guna lahan.

Secara umum model GenRiver menggunakan Neraca air dan dalam bentuk persamaan dapat disederhanakan seperti persamaan berikut (Van Noordwijk, ., 2004) :

48 P = Q + E + S Keterangan : P = Curah Hujan Q = Debit sungai E = Evaporasi (evapotraspirasi)

S = perubahan kadar air tanah dan simpanan air tanah

Dalam model GenRiver, persamaan diatas disusun kedalam bentuk neraca air harian seperti terlihat pada Gambar 16 dibawah ini dan neraca air dihitung untuk setiap sub7catchment.

Gambar 16 . Diagram skema neraca air (Icraf, 2004)

Input utama dari model tersebut adalah curah hujan, tingkat penutupan lahan dan sifat fisik tanah dengan keluaran utama berupa aliran sungai dan neraca air untuk skala daerah aliran sungai (DAS).

Bagian utama dari GenRiver meliputi neraca air pada skala plot (

) dan penutupan lahan. Plot7plot ini memiliki kontribusi terhadap aliran sungai melalui permukaan tanah pada saat terjadinya hujan (

), aliran air dalam tanah yang terjadi setelah hujan ( ) dan aliran dasar ( ) yang berasal dari pelepasan air tanah secara bertahap menuju sungai ( ). Komponen utama model GenRiver dan proses7 proses yang terlibat adalah sebagai berikut:

49

Curah hujan untuk skala sub7DAS diambil dari data empiris atau menggunakan data bangkitan dari pembangkit data acak ( ) yang mempertimbangkan pola temporer atau model yang mempertimbangkan korelasi ruang (

) dari hujan pada waktu tertentu.

Intensitas hujan dihitung dari rata7rata data empiris intensitas hujan (mm/jam) dengan mempertimbangkan koefisien variasi dari kumpulan data tersebut. Lamanya hujan menentukan waktu yang tersedia untuk proses infiltrasi, parameter ini dapat dimodifikasi dengan mempertimbangkan intersepsi oleh kanopi dan lamanya penetesan air dari kanopi ( ) dengan penetapan awal. ( ) 30 menit.

Kapasitas penyimpanan air terintersepsi merupakan fungsi linier dari luas area daun dan ranting dari berbagai tipe penutupan lahan. Evaporasi dari air yang terintersepsi ( ) mempunyai prioritas sesuai dengan kebutuhan transpirasi tanaman.

Proses infiltrasi dihitung berdasarkan nilai minimum dari:

a) Kapasitas infiltrasi harian dan waktu yang tersedia untuk infiltrasi (ditentukan oleh intensitas hujan dan kapasitas penyimpanan lapisan permukaan tanah). b) Jumlah air yang dapat disimpan oleh tanah pada kondisi jenuh dan jumlah air

yang dapat memasuki zona air tanah pada rentang waktu satu hari. Jika kondisi pertama yang terjadi maka Model akan menghasilkan aliran permukaan yang dibatasi oleh infiltrasi ( ), sedangkan pada kondisi kedua aliran permukaan yang terjadi merupakan aliran jenuh permukaan (

).

Total evapotranspirasi yang digunakan dalam model ini mengikuti evapotranspirasi potensial Penman7Monteith dengan faktor koreksi yang dipengaruhi oleh:

50

a) Air yang terintersepsi oleh kanopi

b) Kondisi tutupan lahan yang terkait dengan sensitifitas setiap jenis penutupan lahan terhadap kekeringan

c) Faktor pembobot pada evapotranspirasi potensial harian yang mengikuti fenologi dan pola tanam

d) Relatif potensial evapotranspirasi (bulanan) untuk setiap tipe penutupan lahan

Selama kejadian hujan tanah dapat mencapai kondisi jenuh air, namun sehari setelah hujan kondisi akan kembali pada kapasitas lapang (kondisi air tanah setelah 24 jam dari kejadian hujan lebat). Perbedaan antara kondisi jenuh dan kapasitas lapang dipengaruhi oleh:

a) transpirasi

b) adanya aliran air ke zona bawah

c) adanya aliran air ke sungai sebagai aliran cepat air tanah ( ) apabila air yang ada melebihi kapasitas lapang

!

Jarak titik pengamatan atau outlet DAS ditentukan dari titik pusat masing7masing sub7DAS. Waktu tempuh (routing time) dari masing7masing sub7DAS dapat diturunkan dari data jarak dan asumsi rata7rata kecepatan aliran air.

Nilai air yang dipergunakan untuk menggerakkan turbin dihitung berdasarkan jumlah air yang dipakai untuk menghasilkan listrik dan dikalikan harga airnya. Harga air untuk memproduksi listrik di PLTA Way Besai dipergunakan harga sebesar Rp 76,67,7 setiap m3. Harga ini didapatkan dari setiap produksi listrik sebesar 1 KWh dibutuhkan air sebanyak 1,80 m3 (Verbish, 2009) dan harga listrik setiap KWh sebesar Rp 1380,7, maka harga setiap m3 air untuk memproduksi listrik di PLTA Way Besai sebesar Rp 1380,7 / 1,80 m3 = Rp 766,67,7

Berdasarkan Perda Kabupaten Lampung Utara Nomor 07 tahun 1999 tentang pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan dikenakan pajak air sebesar 10%, besaran pajak air permukaan ini digunakan pendekatan untuk mendapatkan harga air

51

yang digunakan oleh PLTA Way Besai sehingga harga air yang dipakai sebesar Rp 766,67,7 X 10% = Rp 76,67,7 setiap m3. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai air adalah sebagai berikut.

NAplta =

[ Σ MW x 1800 m

3

/mw

][

Hair

]

Keterangan:

NAplta = Nilai air yang dipakai menggerakkan Turbin PLTA ( Rp )

Σ

MW = Jumlah listrik yang dihasilkan Turbin PLTA (MW) Hair = Harga air yang digunakan PLTA ( Rp76,67,7/ m3 )

4.3.2. Skenario penggunaan lahan

Dalam penelitian ini dilakukan skenario perubahan penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya untuk mengetahui komposisi tipe penggunaan lahan yang seharusnya berada dalam suatu bentang lahan (lanskap) yang mampu menyediakan air yang memadai untuk produksi listrik dan mendukung kegiatan usaha masyarakat dalam rangka memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara berkelanjutan.

Skenario penggunaan lahan dilakukan dengan mengubah penggunaan lahan di daerah hulu Sub7DAS Way Besai dari kondisi saat ini ( !" dasar skenario yang digunakan adalah perkembangan pola penggunaan lahan pada kurun waktu 1970 sampai dengan 2007.

Persentase perubahan penggunaan lahan untuk tanaman hortikultur, sawah dan pemukiman relatif kecil sehingga dalam skenario tersebut dianggap tetap. Sedangkan penggunaan lahan untuk kopi monokultur, semak belukar, hutan dan agroforestri berbasis kopi banyak terjadi perubahan, dasar skenario yang dilakukan adalah penggunaan lahan yang banyak mengalami perubahan. Tabel 7 menyajikan pola skenario yang dilakukan terhadap penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya.

52 Tabel 7. Skenario penggunaan lahan di Kecamatan Sumberjaya, Lampung

Tipe tutupan

lahan Aktual

( % )

S k e n a r i o ( % luas penggunaan lahan)

Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5

Kopi Monokultur 9 13 0 0 0 0 Semak Belukar 4 0 0 0 0 0 Hutan 10 10 10 23 30 84 Kopi Naungan Sederhana 13 13 13 13 13 0 Agroforestri berbasis kopi 48 48 61 48 41 0 Hortikultura 3 3 3 3 3 3 Sawah 10 10 10 10 10 10 Pemukiman 3 3 3 3 3 3 T o t a l ( % ) 100 100 100 100 100 100

4.3.2.1.Skenario 1: Penggunaan lahan kopi monokultur

Skenario ini dilakukan dengan merubah penggunaan lahan saat ini menjadi pola monokultur tanaman kopi yaitu semak belukar sebesar 4 persen diubah semuanya menjadi kebun kopi monokultur, sehingga total kebun kopi monokultur dalam skenario ini menjadi 13 persen, sedangkan penggunaan lahan untuk hutan (10%), kopi naungan sederhana (13%), agroforestri berbasis kopi (48%), hortikultur (3%), sawah (10%) dan pemukiman (3%) dianggap tetap.

4.3.2.2. Skenario 2: Penggunaan lahan agroforestri berbasis kopi

Skenario ini dilakukan dengan merubah penggunaan lahan saat ini menjadi pola tanaman agroforestri berbasis kopi yaitu kebun kopi monokultur (9%) dan semak belukar (4%) diubah semuanya menjadi kebun agroforestri berbasis kopi, sehingga total kebun agroforestri berbasis kopi dalam skenario ini menjadi 61 persen, sedangkan penggunaan lahan untuk hutan (10%), kopi naungan sederhana (13%), hortikultur (3%), sawah (10%) dan pemukiman (3%) dianggap tetap.

4.3.2.3. Skenario 3: Penggunaan hutan sebanyak 23%

Skenario ini dilakukan dengan merubah penggunaan lahan saat ini menjadi hutan yaitu kebun kopi monokultur (9%) dan semak belukar (4%) diubah semuanya menjadi hutan, sehingga total hutan dalam skenario ini menjadi 23 persen,

53

sedangkan penggunaan tanaman kopi naungan sederhana (13%), tanaman agroforestri berbasis kopi (48%), hortikultur (3%), sawah (10%) dan pemukiman (3%) dianggap tetap. Skenario ini dilakukan untuk melihat kontribusi penggunaan lahan tanaman agroforestri berbasis kopi terhadap total pendapatan masyarakat.

4.3.2.4. Skenario 4: Penggunaan hutan sebanyak 30%

Skenario ini dilakukan dengan merubah penggunaan lahan saat ini menjadi hutan. Kebun kopi monokultur (9%) dan semak belukar (4%) diubah semuanya menjadi hutan, dengan demikian total luas hutan dalam skenario ini menjadi 30 persen sedangkan agroforestri berbasis kopi menjadi (41%), penggunaan lahan untuk kopi naungan sederhana (13%), hortikultur (3%), sawah (10%) dan pemukiman (3%) dianggap tetap. Hal ini dilakukan untuk mengacu pada Undang7Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu ruang terbuka hijau minimal 30% dari total luasan.

4.3.2.5. Skenario 5: Penggunaan lahan hutan sebanyak 84% (semua hutan)

Skenario ini dilakukan dengan merubah penggunaan lahan saat ini menjadi hutan. Kebun kopi monokultur (9%), semak belukar (4%), kopi naungan sederhana (13%), agroforestri berbasis kopi (48%) diubah semuanya menjadi hutan, sehingga total luas hutan dalam skenario ini menjadi 84 persen, sedangkan penggunaan lahan untuk hortikultur (3%), sawah (10%) dan pemukiman (3%) dianggap tetap. Pada skenario ini hutan merupakan daerah yang tidak terganggu dan sumber pendapatan masyarakat hanya bersumber pada lahan hortikultur dan persawahan

4.3.3. Pendapatan masyarakat

Sumber pendapatan utama masyarakat di Kecamatan Sumberjaya adalah dalam bidang pertanian khususnya komoditas tanaman kopi. Dengan melakukan beberapa skenario terhadap pola penggunaan lahan, maka akan mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.

Analisis data yang dilakukan terhadap pendapatan masyarakat yaitu dengan menghitung nilai total produksi bersih dalam rupiah yang merupakan pengurangan produksi kotor dalam rupiah dan dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan pada

54

penggunaan lahan masing7masing. Total penerimaan masyarakat di Kecamatan Sumberjaya dihitung dengan persamaan dibawah ini:

1

#$% & $ '

=

=

Keterangan:

TPB : Total penerimaan masyarakat (Rp) Yi : Produksi dari lahan masyarakat (kg) Pi : Harga komoditas i (Rp/kg)

Ci : Pengeluaran (biaya) produksi komoditas i (Rp/kg)

4.3.4.Pendapatan Pembangkit Listrik Tenaga air (PLTA)

Pendapatan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) merupakan pendapatan kotor yang didapatkan dari penjualan listrik yang dihasilkan oleh pengoperasian dua turbin PLTA.

Y =

MW x Rp 1380,7/Kwh

]

Keterangan :

Σ

MW = jumlah produksi listrik PLTA (MW)

ŀ

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait