• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR

H. Metode Pengujian Efek Analgesik

Secara umum, pengujian aktivitas analgetika dilakukan secara in vitro dan in vivo. Uji in vitro lebih banyak dilakukan untuk menguji aktivitas analgetika sentral yaitu dengan menguji kemampuan suatu zat uji dalam menduduki atau berikatan dengan reseptor (Vogel, 2002).

Berdasarkan jenis analgetika, metode pengujian efek analgesik dibagi menjadi 2 (Turner, 1965), yaitu:

a. Metode induksi kimia

Pada metode ini digunakan rangsang kimia berupa zat kimia yang secara intraperitonial pada mencit yang sudah diberi senyawa uji secara oral pada selang waktu tertentu. Zat kimia yang biasa digunakan untuk memberikan respon berupa nyeri yaitu fenilkuinon. Respon nyeri pada mencit adalah geliat berupa kontraksi perut disertai tarikan kedua kaki belakang dan perut menempel pada lantai. Geliat diamati setiap 5 menit selama 1 jam. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat yang terjadi berkurang. Penelitian ini menggunakan metode rangsang kimia sebagai mentode pengujian efek analgesik karena metode ini sederhana, mudah dilakukan, dan cukup peka untuk pengujian senyawa-senyawa yang memiliki daya analgesik lemah. Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen penghambatan terhadap geliat, yaitu :

% penghambatan terhadap geliat = 100-[(P/K)x 100] Keterangan :

P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang telah ditetapkan K = jumlah rata-rata geliat hewan uji kelompok control

b. Metode pedolorimeter

Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan mencit yang sudah diberi senyawa uji pada tempat yang sudah berarus listrik dengan tegangan 20 volt. Respon mencit yang ditimbulkan berupa suara mencicit. Pengukuran dialkukan setiap 10 menit selama 1 jam. Senyawa uji yang mempunyai daya analgesik dapat menaikkan tegangan untuk dapat menimbulkan teriakan mencit.

c. Metode rektodolometer

Pada metode ini hewan uji tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan menggunakan alas tembaga yang kemudian dihubungkan dengan sebuah gulungan yang berfungsi sebagai penginduksi. Ujung lain dari gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda tembaga. Pada gulungan bagian atas terdapat suatu konduktor yang dihubungkan dengan suatu voltmeter yang sensitif untuk dapat mengubah 0,1 volt. Respon berupa suara teriakan tikus dapat ditimbulkan dengan pemberian teganagn sebesar 1 sampai 2 volt.

2. Golongan analgetika narkotika a. Metode jepitan ekor

Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan mencit yang sudah diberi senyawa uji dengan dosis tertentu secara subkutan atau intravena 30 menit sebelumnya pada jepitan arteri yang dilapisi karet tipis selama 30 detik. Mencit yang tidak diberi analgetika akan berusaha terus untuk melepaskan diri dari kekangan tersebut, sedangkan mencit yang diberi analgetika akan mengabaikan kekangan tersebut. b. Metode rangsang panas

Metode ini dilakukan dengan cara menempatkan mencit yang sudah diberi senyawa uji di atas pelat panas (hot plate) yang bersuhu 50º-55º C. Mencit memberikan respon berupa mengangkat, menjilat telapak kakinya, melompat. Hewan uji yang dibutuhkan tiap kelompok yaitu 5 ekor. Metode ini paling sederhana dan efisien. Evaluasi: efek analgesik dinyatakan positif jika waktu reaksi setelah pemberian obat lebih besar dari 30 detik yang tejadi paling sedikitnya satu kali, atau apabila paling

sedikitnya tiga kali pembacaan memperlihatkan waktu reaksi yang sama dengan atau lebih besar dari 3 kali rata-rata waktu reaksi kelompok kontrol negatif (Anonim, 1991).

c. Metode pengukuran tekanan

Alat yang digunakan pada metode ini menggunakan dua buah syringe yang dihubungkan pada kedua ujungnya, bersifat elastis, fleksibel, serta terdapat pipa plastik yang diisi dengan cairan. Sisi dari pipa dihubungkan dengan manometer.

Syringe yang pertama diletakkan dengan posisi vertikal dengan ujungnya

menghadap ke atas. Ekor tikus diletakkan di bawah penghisap syringe. Ketika tekanan diberikan pada syringe kedua, maka tekanan akan terhubung pada sistem hidrolik pada syringe yang pertama lalu pada ekor tikus. Tekanan sama pada

syringe kedua akan meningkatkan tekanan pada ekor tikus, sehingga akan

menimbulkan respon dan akan terbaca pada manometer. Respon tikus yang pertama adalah meronta-ronta kemudian akan mengeluarkan suara (mencicit) sebagai tanda kesakitan.

d. Metode potensi petidin

Metode ini dilakukan dengan cara menyuntikkan petidin dengan dosis 2,4 mg/kg BB dan 8 mg/kg BB secara berturut-turut pada suatu kelompok hewan uji dan petidin dosis tunggal, senyawa lain dan substansi lain yang akan diteliti dengan dosis 25% dari LD50 pada kelompok hewan uji yang lain. Persen daya analgesik dihitung dengan metode rangsang panas. Metode ini memerlukan hewan uji yang cukup banyak.

e. Metode antagonis nalorfin

Metode ini dilakukan dengan cara memberikan senyawa uji dengan dosis toksik dan diikuti pemberian nalorpin dengan dosis 0,5-10,0 mg/kg BB secara intravena pada hewan uji berupa mencit, tikus, atau anjing. Segera setelah itu efek puncak dapat diamati. Nalorpin dapat menggantikan ikatan morfin dengan reseptornya sehingga meniadakan efek analgesik morfin dan obat analgesik lain yang mempunyai makanisme karja yang sama.

f. Metode kejang oksitosin

Oksitosin merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitori posterior, yang dapat menyebabkan kontraksi uterin sehingga menimbulkan kejang pada tikus. Hewan uji yang digunakan yaitu tikus betina dengan berat badan 120-140 mg, diberi estrogen dengan penanaman 15 mg dietilstilbestrol secara subkutan pada paha hewan uji. Setelah 10 minggu, hewan uji siap untuk tes daya analgesik. Senyawa yang akan diuji diberikan secara subkutan 15 menit sebelum pemberian secara intraperitonial 2 unit oksitosin (dosis ED50). Persen penurunan kejang dideterminasi dan ED50 dapat diperkirakan.

g. Metode pencelupan pada air panas

Metode ini dilakukan dengan cara mencelupkan ekor mencit pada air bertemperatur 580C, dimulai 15 menit setelah diinjeksikan substansi yang diuji secara intraperitonial. Pencelupan diulang setiap 30 menit. Respon mencit terlihat pada sentakan ekornya untuk menghindari air panas.

I. Simplex Lattice Design

Prinsip dari Simplex Lattice Design (SLD) adalah suatu metode optimasi ekstraksi untuk mengetahui profil efek campuran terhadap suatu parameter. Dasarnya terdapat 2 variabel bebas A dan B, dibuat rancangan yang terdiri dari 3 kombinasi campuran variabel A dan B dan dari setiap kombinasi diamati respon yang didapat. Hubungan antara respon dan komponen dapat digambarkan dengan rumus (Puspitasari, 2007; Bolton, 1990) sebagai berikut :

Y = a [A] + b [B] + ab[A][B] Y : respon yang diharapkan

a, b : koefisien yang didapat dari percobaaan [A], [B] : bagian komponen, dengan syarat : 0 ≤ [A] ≤ 1 ; 0 ≤ [B] ≤ 1; [A] + [B] = 1.

Untuk mendapatkan persamaan di atas diperlukan 3 formula. Ketiga formula tersebut adalah FI menggunakan 100 % komponen A, FII menggunakan 100 % komponen B, dan FIII menggunakan 50 % komponen A dan 50 % komponen B (Bolton, 1997).

Contoh penerapan simplex lattice design adalah sebagai berikut :

FI = percobaan yang menggunakan pelarut 100 % A, dari hasil percobaan dapat melarutkan zat 10 mg/ml

FII = percobaan yang menggunakan pelarut 100 % B, dari hasil percobaan dapat melarutkan zat 15 mg/ml

FIII = percobaan yang menggunakan pelarut campuran 50 % A, 50 % B, dari hasil percobaan dapat melarutkan 20 mg/ml

Cara menghitung koefisien :

Koefisien a = dihitung dari hasil percobaan yang menggunakan pelarut 100 % A berarti : [A] = 100 % = 1 bagian [B] = 0 % = 0 bagian Y = 10 mg/ml, maka : Y = a [A] + b [B] + ab[A][B] 10 = a (1) + 0 +0 a = 10

Koefisien b = dihitung dari hasil percobaan yang menggunakan pelarut 100 % B berarti : [A] = 0 % = 0 bagian [B] = 100 % = 1 bagian Y = 15 mg/ml, maka : Y = a [A] + b [B] + ab[A][B] 15 = 0 + b(1) + 0 b = 15

Koefisien ab = dihitung dari hasil percobaan yang menggunakan pelarut campuran 50 % A dan 50 % B, berarti :

[A] = 50 % = 0,5 bagian [B] = 50 % = 0,5 bagian Y = 20 mg/ml

Y = a [A] + b [B] + ab[A][B]

20 = 10 (0,5) + 15 (0,5) + ab (0,5) (0,5) 20 = 12,5 + 0,25 ab

ab = 30

Jadi persamaan yang didapat adalah Y = 10 (A) + 15 (B) + 30 (A)(B), dari persamaan tersebut dapat diprediksi jumlah kelarutan zat versus campuran pelarut pada komposisi tertentu, kemudian dapat digambarkan profil antara campuran pelarut terhadap jumlah zat yang terlarut.

Dokumen terkait