• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian lapangan dilakukan di berbagai tempat yang terdapat pohon sikas di wilayah Bogor, sedangkan pemeriksaan specimen dilakukan di Laboratorium Ekologi Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Penelitian berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus 2012.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain beberapa tingkatan larutan alkohol yaitu 80%, 95%, 96%, 100%, larutan KOH, larutan acid alkohol 50%, acid fuchsin, glacial acetic acid, carbol xylene, minyak cengkeh, dan tanaman yang terinfestasi oleh KAS. Alat yang digunakan adalah tabung penyimpanan, kotak pemeliharaan, mikroskop compound dan mikroskop stereo, kaca preparat beserta penutupnya, gunting, kamera digital, hand tally counter, label, kuas, jarum bertangkai, logbook, dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui pengamatankerapatan populasi dan tingkat serangan KAS di wilayah Bogor, menginventarisasi musuh alaminya, dan mengumpulkan informasi tentang persebarannya di Indonesia.

Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diambil secara purposive di wilayah Bogor pada halaman rumah, kantor, atau kebun (Gambar 1). Pemilihan diawali dengan survey pendahuluan dengan menyebarkan surat izin kepada pemilik tanaman. Dari perizinan tersebut, didapat sepuluh titik pengamatan tanaman sikas yang terinfestasi oleh KAS.

 

Gambar 1 Lokasi pengamatan KAS: Warung Jambu (A), Yasmin III (B), FKH IPB (C), Cimanggu (D), Bogor View (E), Cibeureum (F), RM. Ampera (G), Rafflesia Raya (H), Kebun Raya Bogor I (I depan) dan II (I belakang)

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan setiap dua minggu dengan memotong pelepah sepanjang 10 cm. Pengamatan berikutnya dilakukan pada pelepah yang sama dengan asumsi dinamika populasi hama terjadi secara alami pada daun yang sama, sehingga dapat diketahui kerapatan hamanya berdasarkan waktu pengamatan. Pemindahan daun sampel dilakukan bila daun sampel sebelumnya telah habis terpotong atau karena dilakukan sanitasi oleh pemiliknya. Daun sampel kemudian diamati di Laboratorium Ekologi Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB).

A B C

D E F

 

Kerapatan KAS

Pengamatan kerapatan KAS dilakukan dengan memotong daun dengan ukuran 1 cm2 sebanyak tujuh helai kemudian dilakukan perhitungan populasi A. yasumatsui. Pengamatan jumlah telur dilakukan pada satu imago betina yang masing-masing terdapat pada tujuh anak daun berukuran luas 1 cm2. Begitu pula pengamatan komposisi A. yasumatsui berdasarkan jenis kelamin dilakukan pada tujuh helai anak daun seluas 1 cm2. Pengamatan dilakukan di laboratorium dengan menggunakan mikroskop stereo dan dihitung dengan bantuan hand tally counter. Pengamatan dilakukan setiap dua minggu.

Pembuatan preparat KAS menggunakan metode seperti yang dikembangkan oleh William dan Watson (1988). Kutu yang sudah dibuat preparatnya kemudian dikirim ke Plant Pest Diagnostic Center, California. Identifikasi dilakukan oleh Dr. Natalia von Ellenrieder dan Dr. Gillian Watson.

Intensitas Serangan

Intensitas serangan didekati dengan dua cara perhitungan, yaitu persentase banyaknya daun terserang serta tingkat keparahan serangan. Persentase daun terserang KAS ditentukan sebagai berikut:

Persentase daun terserang N %, dengan

n = jumlah daun yang terserang

N = jumlah total daun pada pohon sampel

Keparahan serangan didasarkan pada kategori serangan sebagai berikut: Skor Uraian

0 Tidak ada hama

1 Hama dalam jumlah sangat sedikit

2 Hama sedikit, dominasi kutu betina, daun berwarna hijau 3 Hama cukup banyak, gejala lebih sedikit dari hijau daun 4 Hama cukup banyak, gejala sama luasnya dengan hijau daun 5 Hama banyak, gejala lebih luas dari hijau daun

 

Selanjutnya dilakukan penentuan tingkat keparahan dengan rumus:

Tingkat keparahan ∑ N V %, dengan

n = banyaknya daun yang tergolong dalam satu kategori serangan v = skor pada tiap kategori serangan

N = banyaknya daun yang diamati

V = skor untuk kategori serangan terberat

Parasitoid dan Predator

Pengamatan parasitoid dilakukan setiap dua minggu dan didasarkan pada individu parasitoid yang muncul dari tubuh KAS. Untuk maksud tersebut anak daun yang ada pada petiol sepanjang 10 cm dikumpulkan dari lapangan, kemudian disimpan pada wadah plastik yang diberi lubang udara dan ditutup dengan kain organdi. Parasitoid yang muncul lalu dimasukkan ke dalam tabung yang berisi alkohol 96%. Spesimen parasitoid dikirim ke USDA-APHIS (United States Departement of Agriculture – Animal and Plant Health Inspection Service) atau Departemen Pertanian Amerika untuk diidentifikasi.

Pengamatan predator dilakukan langsung pada pohon sampel di lapangan bersamaan dengan pengamatan kerapatan populasi KAS dan intensitas serangan. Predator yang dijumpai dicatat jumlahnya dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerapatan Populasi, Banyaknya Telur dan Nisbah Kelamin

Tanaman yang terinfestasi oleh KAS dicirikan oleh adanya koloni kutu. Pada serangan awal, KAS umumnya terdapat pada permukaan bawah anak daun..Dengan meningkatnya serangan, kutu ini dapat ditemukan pada permukaan atas daun, tangkai daun,bagian bunga, bahkan kuncup yang baru muncul dari bagian tengah batang dapat juga diserangnya (Gambar 2).

Gambar 2 Letak koloni KAS: permukaan bawah daun (A), permukaan atas daun (B), petiol daun (C), bunga jantan (D, Foto: A. Rauf), kuncup yang baru muncul (E, Foto: A Rauf)

Pohon sikas yang terserang berat biasanya penuh ditutupi lapisan kerak putih, yang tiada lain terdiri dari kutu yang telah mati pada bagian atas dan kutu yang masih hidup di bagian bawahnya (Weissling et al. 1999). Hasil pengamatan lapangan menunjukkan kerapatan KAS dapat mencapai 200-an ekor per 1 cm2 luasan permukaan anak daun (Tabel 2). Segarra-Carmona dan Perez-Padilla (2008) melaporkan kerapatan KAS dapat mencapai 500 ekor per 1 cm2 pada sikas di Puerto Rico. Karena hidupnya menetap, kutu KAS diperkirakan tidak

A

E D

C B

 

mengalami penurunan populasi akibat migrasi.KAS menyebar secara pasif, yaitu terbawa oleh angin, alat-alat pemeliharaan tanaman, menempel pada baju manusia, dan terbawa hewan lain seperti burung atau lebah.

Tabel 2 Kerapatan kutu sikas A. yasumatsui pada berbagai lokasi di Bogor (ekor/1 cm2anak daun)

Lokasi Waktu Pengamatan 11 Apr 25 Apr 9 Mei 23 Mei 6 Jun 20 Jun 4 Jul 18 Jul FKH IPB 146.33 226.67 137.67 77.00 126.00 165.33 158.67 139.00 Cibeureum 0.00 0.00 0.00 0.67 1.00 0.33 113.67 14.33 Bogor View 108.67 85.33 55.67 93.67 40.67 34.67 116.00 85.00 Yasmin III 185.00 126.00 16.67 35.33 72.33 112.67 172.00 124.67 Rafflesia Raya 124.00 147.00 131.33 147.67 160.33 237.00 150.00 136.00 Cimanggu 141.67 105.33 117.00 161.67 135.33 155.00 122.33 129.00 RM. Ampera 75.67 76.33 55.00 21.00 88.33 24.33 43.00 22.00 Warung Jambu 9.00 51.67 52.33 42.67 45.00 83.67 78.00 35.00 Botani Square 145.00 117.67 149.00 144.67 2.33 25.33 35.00 57.33 KRB (I) *  * * * 47.00 184.67 193.67 104.33 KRB (II) *  * * * 94.00 90.00 173.00 48.33 KRB (III) *  * * * 51.00 3.00 0.00 0.00

* Tidak dilakukan pengamatan karena belum diberikan izin.

Kerapatan KAS maksimum terdapat pada sampel lokasi FKH pada tanggal 25 April yang mencapai nilai rataan 226.67 ekor. Kerapatan KAS minimum terdapat pada sampel lokasi Cibeureum pada tanggal 20 Juni dengan nilai rataan 0.33. Penurunan populasi yang tajam lebih disebabkan oleh perpindahan daun sampel karena habis terpotong atau perpindahan pohon karena dilakukan pemangkasan tajuk oleh pemilik tanaman. Hal ini terjadi di lokasi pengamatan Cimanggu 25 April, Yasmin III 9 Mei, FKH IPB 23 Mei, dan Botani Square 6 Juni.

Telur berwarna oranye dan tidak terlihat dari luar karena berada di bawah perisai imago betina (Gambar 3).Hasil pengamatan menunjukkan banyaknya telur yang ditemukan di bawah tubuh betina tergantung pada kerapatan populasi atau tingkat serangan. Pada keadaan serangan berat (populasi tinggi), rataan banyaknya telur yang terdapat di bawah tubuh imago betina yaitu 23.86 butir (n = 7), sementara pada keadaan serangan ringan yaitu 49.71 butir (n = 7) (Gambar 4). Kualitas makanan yang tersedia diduga sebagai faktor yang mempengaruhi banyaknya telur yang diletakkan. Namun demikian, kedua angka ini bukan menunjukkan keperidian kutu, karena larva instar satu (crawler) yang telah meninggalkan tubuh induknya tidak terhitung, begitu pula telur yang masih ada

 

dalam ovari. Hasil penelitian Baranowski and Glenn pada tahun 1999 dalam Bailey et al. (2010) mendapatkan rataan banyaknya telur yang diletakkan yaitu 256 butir telur per betina selama hidup betina (5 minggu), dengan masa inkubasi telur 9.6 hari pada suhu 25oC (Cave et al. 2009).

Gambar 3 Telur yang berada di bawah perisai imago betina

Gambar 4 Banyaknya telur yang terdapat di bawah tubuh imago betina pada tingkat serangan yang berbeda.

Crawler (nimfa instar satu) yang baru keluar dari tubuh imago betina kemudian bergerak mencari tempat untuk makan, lalu menetap pada suatu titik dimana kutu akan menghisap cairan tumbuhan sampai menyelesaikan satu siklus hidupnya. Serangga jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk tubuhnya (Gambar 5). Imago betina dewasa ditutupi struktur seperti perisai berbentuk bundar dengan diameter 0.15 cm serta berwarna putih. Serangga pradewasa jantan juga ditutupi perisai putih, tetapi berbentuk memanjang dan berukuran lebih kecil. Berbeda dengan betina, imago jantan berwarna cokelat-jingga, bersayap satu pasang, memiliki tungkai dan antena.

49.71 23.86 0 10 20 30 40 50 60 Ringan Berat Ju m lah telu r Tipe Serangan

 

Gambar 5 Perbedaan bentuk perisai KAS: betina (kiri) danjantan (kanan)

Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pada keadaan serangan ringan, kutu betina lebih banyak daripada jantan, dengan perbandingan 62% terhadap 38% (Gambar 6). Sebaliknya pada keadaan serangan berat, kutu betina jauh lebih sedikit daripada kutu jantan dengan perbandingan 5% terhadap 95%. Pola yang sama dilaporkan pula oleh Heu et al. (2003) di Florida.

Gambar 6 Komposisi A.yasumatsui berdasarkan jenis kelamin.

Pola komposisi hama berdasarkan jenis kelamin ini berkaitan dengan faktor ketersediaan makan yang ada, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada serangan ringan, baik kualitas maupun kuantitas makanan yang ada masih dapat menjamin kelangsungan hidup KAS jantan maupun betina. Namun pada saat serangan berat di mana kualitas tanaman menurun dalam arti tanaman merana akibat aktifitas makan KAS yang berlangsung secara terus menerus dan kuantitas makanan yang tersedia semakin sedikit, maka dalam perkembangannya KAS lebih banyak berkembang menjadi imago jantan. Hal ini berkaitan dengan cara hidup KAS, di mana spesies jantan hidup hanya satu hari saja sedangkan lama hidup imago betina dapat mencapai enam puluh tujuh hari (Bailey et al. 2010). Agar tetap dapat bertahan dan menyelesaikan satu siklus hidup, KAS pradewasa

38% 62% Serangan Ringan 95% 5% Serangan Berat Jantan Betina

 

lebih cenderung berkembang menjadi imago jantan di mana KAS jantan memiliki aktifitas makan yang jauh lebih singkat.

Intensitas Serangan

Serangan berat KAS dapat menyebabkan serluruh tajuk mengering dalam waktu 2-3 bulan, karena terjadinya pengisapan cairan tanaman oleh kutu secara terus-menerus (Gambar 7). Jika serangan ini terus berlanjut, KAS dapat menyebabkan seluruh tajuk menjadi berwarna cokelat dan kering sehingga mengakibatkan tangkai daun patah. Hampir seluruh tajuk mengalami kerontokan sehingga tanaman hanya memiliki dua sampai tiga daun saja atau bahkan tidak ada daun sama sekali. Dalam kondisi ini, tanaman dapat mengalami kematian seperti yang terjadi pada sikas yang tumbuh di Rafflesia Raya, FKH IPB, dan KRB III (Gambar 8).

Gambar 7 Perkembangan serangan KAS: Gejala pada tanggal 25 April 2012 (A) dantanggal 23 Mei 2012 (B)

Gambar 8 Tanaman sikas yang terserang berat KAS: Rafflesia Raya (A), FKH IPB (B), KRB III(C)

A B C

 

Intensitas serangan yang didasarkan pada persentase banyaknya daun terserang disajikan pada tabel 3. Tampak bahwa sebagian besar pohon sikas yang diamati, seluruh daunnya terserang oleh KAS. Penurunan intensitas serangan pada sampel 23 Mei di FKH, 9 Mei di Yasmin III, dan 6 Juni di Botani Square disebabkan oleh pergantian tanaman sampel, karena tanaman sampel sebelumnya telah dipangkas oleh pemiliknya. 

Tabel 3 Intensitas serangan berdasarkan persentase daun terserang (%)

Lokasi Waktu Pengamatan 11 Apr 25 Apr 9 Mei 23 Mei 6 Jun 20 Jun 4 Jul 18 Jul FKH IPB 100.00 100.00 100.00 76.19 90.48 100.00 100.00 100.00 Cibeureum 0.00 0.00 0.00 40.00 51.11 62.22 100.00 100.00 Bogor View 22.73 29.41 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Yasmin III 100.00 100.00 96.55 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Rafflesia Raya 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 Cimanggu 11.86 7.02 90.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 RM. Ampera 100.00 100.00 100.00 100.00 46.32 46.32 40.00 37.89 Warung Jambu 40.00 53.33 53.33 100.00 93.75 100.00 80.00 47.62 Botani Square 100.00 100.00 100.00 100.00 64.00 89.29 100.00 100.00 KRB (I) * * * * 100.00 63.64 100.00 100.00 KRB (II) * * * * 100.00 87.18 100.00 100.00 KRB (III) * * * * 100.00 100.00 0.00 0.00

* tidak dilakukan pengamatan karena belum dapat izin

Intensitas serangan yang didasarkan pada tingkat keparahan disajikan pada Tabel 4. Tingkat keparahan yang tinggi terjadi pada sikas yang ada di FKH IPB dan Rafflesia Raya. Penurunan tingkat keparahan lebih disebabkan oleh perpindahan pohon sampel atau perpindahan daun sampel. Habisnya daun karena pemotongan akan mengurangi keberadaan daun yang terserang dengan kategori skor tertentu. Daun yang habis terpotong tidak dimasukkan sebagai data karena skor serangan hama hanya dapat ditentukan dengan adanya sampel daun utuh.

Penurunan intensitas serangan akibat perpindahan sampel pohon tampak nyata pada sampel 23 Mei di FKH, 9 Mei di Yasmin III, dan 6 Juni di Botani Square. Pengaruh perpindahan sampel daun terlihat cukup nyata pada pengamatan 20 Juni di Cimanggu dan RM. Ampera. Faktor lain yang dapat menurunkan intensitas serangan adalah munculnya daun baru. Hal ini dapat dilihat dari data pada pengamatan 6 Juni di RM. Ampera dan 20 Juni di KRB I dan II. Penurunan

 

intensitas serangan pada pengamatan 25 April di Cimanggu karena pemotongan daun yang terserang berat oleh KAS.

Tabel 4 Intensitas serangan berdasarkan tingkat keparahan (%)

Lokasi Waktu Pengamatan 11 Apr 25 Apr 9 Mei 23 Mei 6 Jun 20 Jun 4 Jul 18 Jul FKH IPB 100.00 100.00 100.00 23.02 26.98 33.33 45.24 50.88 Cibeureum 0.00 0.00 0.00 6.67 8.52 9.63 18.52 26.30 Bogor View 5.30 7.84 20.59 27.45 36.27 40.20 43.14 39.74 Yasmin III 48.00 65.33 16.09 17.82 31.03 35.65 51.39 54.17 Rafflesia Raya 86.84 91.52 92.37 93.79 94.07 94.07 86.11 81.94 Cimanggu 4.80 3.22 40.83 46.11 47.95 47.15 58.54 72.06 RM. Ampera 33.33 34.44 45.45 45.45 7.72 7.37 6.67 6.32 Warung Jambu 6.67 8.89 8.89 16.67 15.63 16.67 15.00 15.08 Botani Square 40.63 52.78 60.12 81.25 10.67 14.88 28.57 32.14 KRB (I) * * * * 16.67 16.67 36.36 42.42 KRB (II) * * * * 20.10 17.95 20.51 26.50 KRB (III) * * * * 66.67 100.00 0.00 0.00

* tidak dilakukan pengamatan karena belum dapat izin

Parasitoid dan Predator

Terdapat dua jenis parasitoid yang muncul dari tubuh KAS, yaitu

Arrhenophagus chionaspidis Aurivillius (Hymneoptera: Encyrtidae) dan

Signiphora bifasciata Ashmead (Hymenoptera: Signiphoridae) (Gambar 9). Kedua spesies parasitoid ini diidentifikasi oleh Dr. Gregory A. Evans dari USDA – APHIS (United States Departement of Agriculture – Animal and Plant Health Inspection Service), Beltsville, Maryland, USA. Walaupun dalam penelitian ini tidak dilakukan penghitungan tingkat parasitisasi, tetapi imago parasitoid yang muncul cukup berlimpah (Tabel 5). Dilaporkan bahwa A. chionaspidis memarasit kutu jantan, sementara S. bifasciata kemungkinan besar adalah hiperparasitoid (Muniappan et al. 2012). Hasil pengamatan menunjukkan bila populasi S. bifasciata rendah maka populasi A. chionaspidis tinggi, seperti terjadi di lokasi FKH IPB dan Bogor View. Sebaliknya, bila populasi S. bifasciata tinggi maka populasi A. chionaspidis rendah, seperti terjadi di lokasi Yasmin III dan Cimanggu (Tabel 5). Dari pengamatan perkembangan kedua parasitoid ini diketahui bahwa A. chionaspidis hadir saat serangan KAS beranjak dari tipe serangan ringan menuju serangan berat. Hal ini dapat dimengerti karena pada tahap ini seiring dengan meningkatnya kerapatan KAS dan menurunnya kualitas

 

juga kuantitas makanan yang tersedia, kutu akan lebih banyak berkembang menjadi jantan. Saat populasi A. chionaspidis sangat tinggi, kehadiran S. bifasciata mulai terlihat. Sebagai hiperparasitoid, secara perlahan populasinya semakin meningkat. Sementara itu, populasi A. chionaspidis mengalami penurunan. Dari pola perkembangan kedua musuh alami ini, diketahui bahwa parasitoid yang kini ada di lapangan tidak mampu menekan perkembangan populasi KAS.

Tabel 5 Banyaknya parasitoid yang muncul pada berbagai lokasi dan waktu pengamatan

Lokasi Jenis Parasitoid

Waktu Pengamatan Total 11 Apr 25 Apr 9 Mei 23 Mei 6 Jun 20 Jun 4 Jul 18 Jul FKH IPB A. chionaspidis 0 0 0 1674 1301 1338 241 1469 6023 S. bifasciata 0 0 0 14 30 4 0 121 169 Cibeureum A. chionaspidis 0 0 0 0 0 0 48 4 52 S. bifasciata 0 0 0 0 0 0 0 3 3

Bogor View A. chionaspidis 77 11 119 152 9 54 71 219 712

S. bifasciata 5 4 8 8 2 1 0 175 203

Yasmin III A. chionaspidis 8 43 11 78 44 14 5 47 250

S. bifasciata 118 439 54 24 309 454 287 369 2054

Rafflesia Raya A. chionaspidis 11 41 75 58 70 15 19 41 330

S. bifasciata 154 43 44 61 104 68 14 22 510

Cimanggu A. chionaspidis 53 0 54 23 19 40 15 78 282

S. bifasciata 347 218 301 100 120 391 189 314 1980

RM. Ampera A. chionaspidis 17 0 0 2 0 0 0 0 19

S. bifasciata 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Warung Jambu A. chionaspidis 31 8 0 24 200 570 14 1 848

S. bifasciata 5 24 1 2 18 49 213 2 314

Botani Square A. chionaspidis 12 58 7 16 1 60 257 857 1268

S. bifasciata 173 141 60 15 1 0 6 11 407 KRB (I) A. chionaspidis * * * * 13 4 63 49 129 S. bifasciata * * * * 11 80 73 746 910 KRB (II) A. chionaspidis * * * * 10 9 260 24 303 S. bifasciata * * * * 5 64 92 222 383 KRB (III) A. chionaspidis * * * * 0 0 0 0 0 S. bifasciata * * * * 2 0 0 0 2

 

Gambar 9 Musuh alami KAS: Parasitoid A. chionaspidis (A, Foto: B.M. Shepard), hiperparasitoid S. bifasciata (B), predator Halmus sp.(C), predator C. nipponicus (D)

Selain parasitoid, selama pengamatan dijumpai juga dua spesies kumbang predator yaitu yaitu Cybocephalus nipponicus Endrody-Younga (Coleoptera: Cybocephalidae) dan Halmus sp. (Coleoptera: Coccinellidae). Di lokasi Warung Jambu, kumbang C. nipponicus selalu ditemukan setiap kali pengamatan dengan jumlah berkisar antara 14 sampai 57 ekor. Tidak diketahui dengan pasti pengaruh dari kumbang predator ini terhadap populasi KAS. Namun pada tahun 1998, kumbang C. nipponicus sengaja didatangkan dari Thailand ke Florida untuk mengendalikan KAS (Cave 2006). Kumbang Halmus sp. ditemukan pada dua pengamatan terakhir di Kebun Raya Bogor dengan jumlah empat dan dua ekor.

Persebaran KAS dan Tanaman Inang di Indonesia

Sejak pertama kali ditemukannya di Bogor pada tahun 2011, KAS tampaknya telah menyebar ke wilayah lainnya di Indonesia. Selain di Jawa Barat, hama ini telah ditemukan menyerang sikas di Provinsi DKI, Banten dan Jawa Tengah (Rauf, komunikasi pribadi), serta Sulawesi Utara (Sembel, komunikasi pribadi). Kiranya perlu dilakukan upaya untuk mencegah hama ini menyebar ke wilayah lainnya di Indonesia. KAS dapat menyebar ke wilayah lain melalui bahan tanaman yang terserang atau larva instar satu (crawler) yang terbawa angin atau menempel pada pakaian, burung, serangga dan hewan lain (Heu et al. 2003).

Serangan berat umumnya terjadi pada C. revoluta. Namun demikian, KAS juga ditemukan menyerang sikas asli Indonesia yaitu C. rumphii. Di Kebun Raya Bogor tanaman Zamia loddigesii Miq. dan Macrozamia miquelii F. Muell.

 

dilaporkan terserang oleh KAS (Muniappanet al. 2012). Dari hasil pengamatan di Kebun Raya Bogor, diketahui bahwa KAS menyerang tanaman Cycas sp. (KRB I), C. neocaledonica (KRB II) dan Macrozamia miquelii (KRB III). Adapun

Zamia loddigesii yang dilaporkan oleh Muniappan et al. (2012) terinfestasi KAS, pada masa penelitian tidak ditemukan. Hal ini kemungkinan besar karena adanya tindak pengendalian yang dilakukan oleh instansi terkait.

Hama Lain pada Tanaman Sikas

Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa pohon sikas, terutama C. revoluta dan C. rumphii, juga terserang oleh ulat Chilades pandava Horsfield (Lepidoptera: Lycaenidae) (Gambar 10). Ulat menyerang pucuk atau daun muda dan sering dikunjungi semut (Kalshoven 1981) karena hasil ekskresinya berupa embun madu yang berasa manis.

Beberapa ulat dipelihara di laboratorium untuk memastikan bahwa kupu – kupu yang ditemukan di lapang adalah imago dari ulat yang menyerang pucuk tanaman. Ulat disimpan di dalam kotak pemeliharaan yang dilubangi dan ditutup oleh kain organdi. Beberapa pucuk sikas disimpan di dalam kotak agar larva tetap mendapatkan makanan. Larva kemudian berubah menjadi pupa, selanjutnya keluar imago. Imago berbentuk kupu – kupu tersebut dicocokkan dengan gambar yang diambil dari lapang. Dari langkah ini diketahui bahwa kupu – kupu yang ditemukan di lapang adalah imago dari larva yang menyerang pucuk sikas.

Gambar 10 Chilades pandava: larva berasosiasi dengan semut (A), imago (B), gejala kerusakan (C)

Serangan berat KAS dapat menyebabkan daun mengering dan rontok.Hal tersebut dapat merangsang tanaman untuk mempertahankan diri agar tetap bertahan hidup, yaitu dengan inisisasi pucuk baru. Pucuk juga akan tumbuh jika

 

seluruh tajuk dilakukan pemangkasan. Pucuk yang baru tumbuh dihinggapi imago

C. pandava dan imago betina meletakkan telur pucuk. Setelah telur menetas, larva berukuran sedang, berbentuk oval, dan berwarna hijau mulai memakan anak daun dari pucuk tanaman yang sudah membuka atau menggerek pucuk tanaman yang masih menguncup. Akibatnya, pucuk baru tidak dapat tumbuh dengan baik.

Pengendalian yang Dilakukan

Berdasarkan hasil pengamatan di lapang diketahui bahwa beberapa pemilik pohon sikas telah melakukan tindak pendalian KAS. Pengendalian yang dilakukan adalah metode sanitasi, yaitu dengan memangkas daun yang terserang berat ataupun memangkas keseluruhan tajuk (Gambar 11), dengan harapan akan muncul pucuk baru. Pada pohon sikas yang terserang berat, cara pengendalian ini tidak begitu efektif, karena setelah daun yang terserang dipangkas masih banyak kutu yang tersisa pada pangkal petiol. Oleh sebab itu, seiring tumbuhnya daun baru, dalam waktu singkat segera diserang lagi oleh KAS.

Gambar 11 Pemangkasan tajuk: keadaan sebelum dipangkas (A), setelah dipangkas (B), kutu yang tersisa setelah pemangkasan (C).

Serangan yang terus-menerus menyebakan pertumbuhan terhambat atau bahkan kematian tanaman, seperti yang terjadi pada pohon sikas yang tumbuh di halaman depan gedung Radar Bogor (pengamatan lain). Oleh karena itu, pengendalian perlu dilakukan sedini mungkin pada saat serangan masih ringan. Daun yang terserang dapat dibersihkan dengan sikat agar kutu jatuh ke tanah atau dipangkas secara terbatas. Beberapa penjual tanaman menggunakan insektisida berbahan aktif sipermetrin, deltamethrin, dan profenofos untuk mengendalikan KAS. Penyemprotan dilakukan berkala dengan interval waktu antara 3 sampai 7 hari. Penggunaan insektisida yang berlebihan dapat berpengaruh buruk terhadap

 

kehidupan musuh alami. Sedikitnya musuh alami yang dijumpai pada sikas di RM. Ampera diduga berkaitan dengan intensifnya penyemprotan insektisida.

Ketiga insektisida tersebut bersifat racun lambung dan racun kontak. Insektisida racun lambung hanya efektif terhadap hama defoliator, yaitu pelahap daun. Insektisida racun lambung kurang efektif karena KAS merupakan hama pengisap daun. KAS juga termasuk hama yang sulit dikendalikan dengan racun kontak karena tubuhnya yang ditutupi lapisan perisai. Namun begitu, insektisida ini cukup ampuh dalam membunuh crawler KAS yang belum memiliki lapisan perisai.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kehadiran hama pendatang baru A. yasumatsui banyak menimbulkan kerusakan berat pada pohon sikas, khususnya C. revoluta. Serangan kutu yang terus-menerus menghambat pertumbuhan tanaman bahkan menyebabkan kematian pohon sikas. Pada awal serangan atau pada keadaan serangan ringan, jumlah individu betina jauh lebih banyak daripada jantan, sedangkan pada keadaan serangan berat jumlah individu jantan yang lebih banyak. Musuh alami yang banyak ditemukan adalah parasitoid A. chionaspidis dan S. bifasciata. Kedua parasitoid tampaknya tidak berperan dalam menekan perkembangan populasi KAS, karena parasitoid A. chionaspidis hanya memarasit kutu jantan, sedangkan

S. bifasciata berperan sebagai hiperparasitoid. Musuh alami lainnya yang dijumpai adalah kumbang predator C. nipponicus dan Halmus sp. Persebaran hama ini di Indonesia sampai saat ini masih terbatas di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara.

Saran

Pengendalian terhadap hama KAS sebaiknya dilakukan pada saat serangan masih ringan dengan metode mekanis yaitu menyikat permukaan daun atau sanitasi dengan dipangkas secara terbatas. Selain itu, perlu adanya upaya pencegahan agar hama KAS tidak menyebar ke wilayah lainnya di Indonesia.

TAKAGI (HEMIPTERA: DIASPIDIDAE) PADA TANAMAN

Dokumen terkait