• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. TAFSIR PERUMPAMAAN ORANG SAMARIA YANG

C. Metode Tafsir Naratif

Pada awal dipaparkan bahwa pada jaman Bapa Gereja, perumpamaan orang Samaria yang baik hati ditafsirkan dengan pendekatan alegoris. Sekarang pendekatan alegoris dalam menafsirkan perumpamaan orang Samaria yang baik

hati tidak berlaku lagi. Penafsiran perumpamaan orang Samaria yang baik hati sekarang menggunakan pendekatan naratif. Dimana metode cerita/narasi dipakai Yesus sebagai media untuk mengajar dalam bentuk perumpamaan.

Perumpamaan orang Samaria yang baik hati merupakan pengisahan didalam kisah. Kisah adalah peristiwa, kejadian, atau laporan seperti adanya. Sedangkan pengisahan adalah pemaparan kisah yang disusun sedemikian rupa untuk mencapai sebuah wahana komunikatif yang dapat dipahami dengan baik oleh oleh penerimaan atau pendengar kisah (A. Hari Kustono 2012:244).

Sebelum masuk dalam cerita terlebih dahulu diuraikan mengenai unsur-unsur yang ada dalam cerita yang nantinya akan dibahas.

1. Plot : Alur atau plot adalah urutan peristiwa yang bersambung-sambung

dalam sebuah cerita berdasarkan sebab-akibat. Plot pada kisah adalah dialog awal, perumpamaan orang Samaria yang baik hati, dialog akhir. Sedangkan plot pada pengisahan perumpamaan orang Samaria yang baik hati adalah eksposisi, momen yang menggugah, komplikasi I dan II, klimaks, resolusi I dan II.

2. Karakterisasi : tokoh dan plot saling terkait. Tokoh dan plot adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam membangun cerita. Tokoh tidak selalu manusia, melainkan juga binatang atau tanaman, malaikat, dll. Sering dibedakan macam-macam tokoh bukan dari segi psikologis melainkan dari fungsi mereka terhadap plot. Pada perumpamaan orang Samaria yang baik hati ada 2 macam tokoh. Pertama tokoh kisah yaitu Yesus dan Ahli Taurat. Kedua, tokoh dalam

pengisahan perumpamaan orang Samaria yang baik hati yaitu penyamun, orang yang disamun, Imam, Lewi, orang Samaria, pemilik penginapan.

3. Setting : Latar (setting) merupakan konteks, arena, panggung kejadian atau

tindakan para tokoh. Ada tiga latar utama yaitu: (1)”latar tempat”, (2)”latar waktu” dan “latar sosial”. Latar tempat dan waktu memiliki makna tipologis atau simbolis pada kisah Kitab Suci. Latar sosial berhubungan dengan sistem politik, ekonomi, budaya, keagamaan. Setting dalam perumpamaan ini dibedakan antara setting kisah dan setting pengisahan.

D. Plot (Alur) :

Skema umum alur cerita perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Luk10:25-37) adalah, sbb:

Gambar 2: Alur perumpamaan orang Samaria yang baik hati menurut ayat

Gambar 3: Alur perumpamaan orang Samaria yang baik hati menurut peristiwa Klimaks (ay.33)

Komplikasi II (ay.32) Resolusi I (ay. 34)

Komplikasi I (ay.31) Resolusi II (ay.35)

Momen yang mengugah Eksposisi (ay.30)

Seorang Samaria tergerak hatinya

Seorang Lewi lewat Orang Samaria merawat orang yang

disamun ditempat yang aman

Seorang Imam lewat Menitipkan orang yang disamun

kepada pemilik penginapan Orang jatuh ke tangan penyamun

Ada orang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho

Dialog akhir (ay. 36-37) Dialog awal (ay. 25-29) O ra ng ya ng m enun jukk an be las ka si h S iapa k ah s esa m ak u m anu si a?

Perumpamaan orang Samaria yang baik hati

Plot mempunyai dua tipe utama yaitu unified plot dan episodic plot.

Unified plot adalah kesatuan seluruh rentetan episode mempunyai arti bagi narasi

dan menentukan hasil akhir, setiap episode mengandaikan episode sebelumnya dan mempersiapkan episode berikutnya. Sedangkan episodic plot adalah setiap episode berdiri sendiri dan hanya disatukan dengan yang lain karena kesamaan tokoh utama (Martin Suhartono, 1999:5-6).

Pada susunan adegan perumpamaan ini adegan satu membutuhkan adegan sebelumnya dan juga mempersiapkan adegan berikutnya. Plot perumpamaan ini adalah tipe unified plot.

Macam-macam plot kesatuan dibedakan tiga macam yaitu: 1) perubahan pengetahuan, 2) perubahan nilai-nilai (sikap), 3) perubahan situasi. Cerita yang baik menggunakan ketiga kombinasi perubahan bentuk (Martin Suhartono, 1999:6).

Pada cerita ini Ahli Taurat mengalami perubahan terhadap pengetahuan. Semula Ahli Taurat semula memahami sesama adalah bangsanya sendiri, bangsa Yahudi. Pada akhirnya Ahli Taurat mengetahui menjadi bahwa yang disebut sesama adalah orang yang menunjukkan belas kasih.

Meskipun mengalami perubahan pengetahuan akan tetapi Ahli Taurat tidak mengalami perubahan sikap. Ia tetap tidak mau menanggung malu oleh karena merasa kalah. Pada awal kisah Ahli Taurat ketahuan mencobai Yesus, Ahli Taurat mencari persoalan lain untuk menutupi rasa malunya dengan mengajukan pertanyaan tentang sesama manusia. Pada akhir kisah Ahli Taurat masih menutupi

rasa malunya dengan tidak menyebut orang Samaria sebagai sesama bagi orang yang disamun, akan tetapi menjawab orang yang menunjukkan belas kasih.

1. Dialog awal (ay. 25-29)

Kisah perumpamaan orang Samaria yang baik hati diawali dengan dialog antara Ahli Taurat dengan Yesus. Keterangan waktu “Pada suatu kali (ay.25)” tidak menjelaskan secara detail kapan tepatnya diskusi antara Yesus dan Ahli Taurat terjadi. Akan tetapi dari penjelasan dua injil Markus (Mrk 12:28) dan Matius (Mat 22: 34) pembicaraan Yesus dan Ahli Taurat ini berlangsung setelah adanya diskusi Yesus dengan orang Saduki mengenai kebangkitan. Pertanyaan Ahli Taurat yang menanyakan cara memperoleh hidup kekal masih ada kesinambungannya dengan pembahasan Yesus dengan orang saduki yang membahas mengenai kebangkitan.

Ahli Taurat menyapa Yesus dengan sebutan “Guru” dalam menanyakan kepada Yesus mengenai cara mendapatkan hidup kekal (ay.25). Pertanyaan Ahli Taurat ini sekiranya mewakili pertanyaan banyak orang. Sungguh mengherankan seorang Ahli Taurat yang menanyakan cara memperoleh hidup kekal kepada Yesus. Bukankah dia sudah mempelajarinya dalam Hukum Taurat? Kekal menunjukkan abadi, final/masa akhir. Bertanya tentang cara mewarisi hidup yang kekal, tidak jauh berbeda dengan pertanyaan cara memasuki Kerajaan Allah (Stefan Leks 2003:296) .

Yesus disapa dengan sebutan guru. Yohanes Pembaptis pun juga disebut dengan kata guru (3:12). Sebutan guru seringkali diberikan kepada orang yang sedang dalam proses belajar mengajar. Seorang guru adalah seorang yang lebih

tahu dan lebih mengerti dari pada muridnya. Seorang guru yang baik diharapkan bukan saja mentransfer ilmu akan tetapi juga membantu murid untuk menuju pada kesempurnaan. Pada akhir perumpamaan ini Yesus berhasil menjadi guru sejati. Yesus bukan saja menjadikan murid tahu dan menghafal suatu hukum, akan tetapi juga mengarahkan murid untuk menghayati dan melaksanakannya.

Ahli Taurat bertanya apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup kekal? Kata “Perbuat” menunjukkan Ahli Taurat menanyakan aksi bukan teori. Dari keterangan injil selanjutnya maksud dari Ahli Taurat menanyakan hal ini adalah untuk mencobai Yesus. Jika Yesus sungguh seorang guru sejati Yesus tentu Ia tahu jawabannya.

Yesus menjawab dengan tidak langsung. Ia menuntun Ahli Taurat untuk menjawab pertanyaannya sendiri. Yesus merujuk pada Hukum Taurat yang merupakan keahlian dari Ahli Taurat, dengan menanyakan inti dasariah Hukum Taurat yang juga dasar dari ajaran agama Yahudi. Tentu saja Ahli Taurat dapat menjawabnya dengan benar. Setiap orang Yahudi menghafal dan juga menjadikan doa harian yaitu dari Ul 6: 5 dan Im 19:18 (Bili Kii 1993:56): Kasihanilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul 6:5). Kasihanilah sesamamu

manusia seperti dirimu sendiri (Im 19:18). Mengasihi Allah disejajarkan dengan

mengasihi manusia. Ahli Taurat tentu saja sudah tahu apa yang harus diperbuat untuk memperoleh kehidupan kekal. Ahli Taurat terlihat sengaja untuk menanyakan pertanyaannya dengan maksud mengadu kepintaran dengan Yesus.

Setelah jelas bahwa Ahli Taurat dapat menyebut Hukum Terutama dan Taurat, Yesus mengajak Ahli Taurat untuk melaksanakan penghayatannya. Usaha Ahli Taurat untuk mencobai Yesus gagal, namun ia tidak begitu saja menyerah. Ia tidak mau malu. Ia menemukan celah baru dalam Hukum Terutama yaitu mengenai siapakah yang disebut sesama (ay. 29).

Yesus tidak mudah menyebutkan sesama adalah semua orang. Jika Yesus menyebutkan sesama adalah semua orang, maka orang Romawi yang menindas orang Yahudi pada waktu itu disebut juga sesama. Yesus akan dianggap sebagai komplotan penjajah oleh orang Yahudi. Sebaliknya jika Yesus menyebutkan bahwa yang disebut sesama adalah orang Yahudi, Yesus akan dianggap pembelot oleh orang Romawi. Yesus tidak mau masuk dalam jebakan. Untuk itu Dia menjawab tanpa menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan.

2. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati (ay.30-35)

a. Eksposisi (ay. 30)

Eksposisi bisa berupa suatu pemaparan (summary) abstrak, singkat, agak umum, namun membantu pembaca atau pendengar untuk memahami narasi (A. Hari Kustono, 2012:245). Dalam eksposisi hal-hal pokok dalam kisah ditampilkan, antara lain tokoh utama dalam kisah, tempat dan waktu kejadian, peristiwa yang terjadi.

Eksposisi dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati adalah Yesus menjawab pertanyaan Ahli Taurat mengenai sesama dengan mengisahkan sebuah cerita seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho yang dalam perjalanan dirampok oleh penyamun. Dalam naskah Yunani kata “dia (orang yang disamun)

turun” ditulis dalam bentuk waktu tidak selesai, (Yunani: Aorist) yang berarti berulang-ulang. Artinya, sudah menjadi kebiasan orang itu berjalan melalui jalan Yerusalem-Yerikho. Karena tempatnya yang turun dari Yerusalem ke Yerikho kemungkinan orang ini adalah orang Yahudi (Frans Mussner, 1969:41).

b. Momen yang menggugah (ay. 30)

Momen yang menggugah terjadi saat konflik atau problem muncul pertama kalinya dan membangkitkan minat si pembaca (Martin Suhartono, 1999:7).

Momen yang menggugah dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati yaitu ada seorang yang jatuh kepada seorang penyamun. Penyamun merampok korban secara habis-habisan. Penyamun dalam merampok tidak segan-segan mengambil segala milik orang yang disamunnya. Penyamun juga tega menghajar orang yang menjadi korbannya sampai mati demi menghilangkan jejak ataupun kepuasan hati. Bisa diduga dengan dirampok secara habis-habisan, orang yang disamun itu sudah tidak memilik apa-apa lagi. Masih ditambah penyamun memukul dan pergi meninggalkan orang yang disamun setengah mati. Mungkin saja orang yang disamun itu pingsan dan seperti orang mati.

c. Komplikasi I (ay. 31)

Komplikasi merupakan saat berbagai usaha ditampilkan untuk menyelesaikan problem atau konflik yang ada, dapat pula berupa berbagai langkah pencarian (quest) atau perubahan, atau berbagai cara untuk mendekati kebenaran (Martin Suhartono, 1999:7). Dalam kisah ini ada dua tahap komplikasi yaitu komplikasi I (ay. 31) dan komplikasi (II ay. 32).

Komplikasi I (ay. 31) dikisahkan seorang Imam turun dari jalan dan melihat orang yang disamun itu. Imam dan orang yang disamun sejalan atau sejalur. Pendengar kisah Yesus mungkin saja berharap Imam akan menolong orang yang disamun itu. Akan tetapi tidak terjadi demikian, Imam melewati orang yang disamun. Masih ada keterangan bahwa Imam melewatinya dari seberang jalan. Imam ditunjukan secara jelas sengaja menghindari orang yang disamun itu. Mungkin saja Imam mengira orang yang disamun sudah mati, sehingga Imam menjauhi orang itu sejauh mungkin untuk menghindari diri dari kenajisan.

d. Komplikasi II (ay. 32)

Komplikasi II (ay. 32) diceritakan seorang Lewi lewat dan melihat orang yang disamun. Tindakan yang diambil Lewi pun sama dengan dilakukan oleh Imam. Lewi melewati orang yang disamun bahkan menghindari sejauh mungkin.

Lewi dan Imam adalah orang-orang yang bekerja di lingkungan Bait Allah. Meskipun mereka melihat dan tahu bahwa ada orang yang membutuhkan pertolongan, mereka malahan berusaha untuk menghindar sejauh-jauhya dengan mengambil seberang jalan.

Ada beberapa alasan yang dapat dipakai mengapa Lewi dan Imam sampai mereka memilih melewati orang yang disamun itu. Pertama, mungkin saja Imam dan Lewi baru selesai tugasnya di Bait Allah di Yerusalem, mereka hendak pulang ke Yerikho. Mereka terikat dengan hukum pentahiran dan tidak boleh menyentuh barang najis. Mayat adalah barang najis. Mereka mengira bahwa orang yang disamun itu sudah mati. Jika mereka menyentuhnya mereka akan najis. Butuh waktu seminggu untuk upacara pentahiran dan mereka tidak boleh juga

melayani serta mengikuti upacara keagamaan dalam Bait Allah. Mereka memilih untuk tidak najis dari pada menunjukkan belas kasihan.

Imam dan Lewi terhalang bertindak oleh jabatan yang mereka sandang. Sikap serta tindakan Imam dan orang Lewi itu menggambarkan orang-orang yang terhambat untuk menolong sesama karena alasan tugas dan status mereka (Hukum pentahiran). Padahal mereka adalah tokoh-tokoh agama yang seharusnya bisa memberikan teladan (A. Hari Kustono, 2011:29).

Kedua, Lewi dan Imam tidak mau repot dengan mengurusi dan mengobati orang yang disamun itu. Mereka akan berkorban banyak. Perjalanan mereka masih jauh melewati padang gurun yang pastinya panas dan melelahkan, akan lebih merepotkan jika harus membawa seorang lagi yang tidak bisa apa-apa bersamanya. Orang yang disamun akan menjadi beban bagi perjalanan mereka. Mungkin saja mereka berpikir “Tenang saja pasti nanti ada orang lain yang akan lewat dan menolong”.

Imam dan Lewi tahu, tetapi tidak peduli. Pandangan Edward (1999:56) demikian juga dengan Martin Olsthoorn (1980:61) mengatakan bahwa Imam dan Lewi dalam perumpamaan ini, adalah petugas di Bait Allah. Mereka tahu bagaimana menghormati dan mengabdi Allah dengan korban dan ibadat. Akan tetapi mereka tidak melaksanakan inti pengabdian pada Allah yaitu melayani sesama yang menderita. Mereka melihat orang yang sedang membutuhkan pertolongan akan tetapi mereka hanya melewatinya. Imam dan Lewi sering kali berteori namun tidak mempraktekan apa yang diucapkannya.

Ketiga, bisa jadi penyamun masih bersembunyi disuatu tempat untuk menemukan korban berikutnya. Atau mungkin saja orang yang disamun itu merupakan jebakan dari penyamun bagi orang yang melintas di jalan itu agar berhenti. Demi alasan keselamatan diri sendiri Imam dan Lewi hanya melewati orang yang disamun itu.

Meskipun alasan ini tidak terungkap akan tetapi dengan banyaknya pertimbangan dan alasan, ujung-ujungnya jelas yaitu mereka tidak mau menolong. Walaupun orang yang disamun adalah orang bangsa Yahudi, bangsanya sendiri.

e. Klimaks (ay. 33)

Klimaks atau titik puncak adalah moment tertinggi yang dicapai oleh sang protagonis dalam perjalanan karirnya, saat ketika situasi mencapai keadaaan terbaik atau terburuk (zenith dan nadir). Klimaks merupakan puncak ketegangan yang paling tinggi dan tidak bisa ada yang lebih tinggi lagi (Frans Mido, 1994:43).

Klimak dalam cerita ini adalah orang Samaria yang dalam perjalanan datang ketempat itu, melihat orang yang disamun itu dan tergeraklah hatinya. Pendengar (Ahli Taurat dan orang-orang disekitar sinagoga) mungkin saja terkejut dengan pengambilan tokoh orang Samaria. Tindakan yang diambil oleh orang Samaria ironis dengan tindakan yang diambil oleh Imam dan Lewi. Belas kasih adalah alasan orang Samaria bertindak. Tindakan yang diambil orang Samaria menunjukkan bahwa Hukum Terutama melebihi hukum pentahiran.

Orang Samaria melihat orang yang disamun dan ia menunjukkan kepeduliannya. Ia tidak mengambil sikap seperti Imam dan Lewi yang pura-pura

tidak melihat. Orang Samaria mengesampingkan alasan lain seperti mempunyai urusan lain yang mengharus segera pergi, atau dia takut jika perampok masih bersembunyi di sekitar sana dan masih menunggu korban lain, atau orang yang tergeletak seperti orang mati itu adalah sebuah jebakan dari para penyamun, atau juga pemiikiran bahwa nanti pasti ada orang lain yang akan menolong. Orang Samaria tanpa berpikir panjang mau berhenti sejenak dari perjalanannya demi menolong orang yang bahkan tidak ia kenal dan juga musuhnya sendiri. Hati yang tergerak mengatasi ketakutan orang dalam menolong.

f. Resolusi I (ay. 34)

Resolusi merupakan ketegangan terakhir dihadirkan saat pembaca mengira bahwa akhir cerita telah dicapai, namun tiba-tiba muncul suatu peristiwa yang menghambat penyelesaian, walaupun hanya untuk sementara waktu saja (Martin Suhartono, 1999:8). Resolusi dalam kisah ini ada dua tahap. Tahap pertama adalah resolusi I (ay. 34) dan tahap kedua adalah resolusi II (ay. 35).

Resolusi I (ay. 34) diceritakan bahwa orang Samaria mendekati orang yang disamun. Menghampiri orang yang memerlukan bantuan adalah tindakan kasih yang pertama. Tanpa diminta tolong, orang Samaria sudah peka dengan kondisi disekitar dan mengulurkan bantuan.

Pertolongan pertama yang dilakukan oleh orang Samaria adalah menyirami luka orang yang disamun dengan minyak dan anggur. Campuran minyak dan anggur biasa dibawa oleh orang yang sedang dalam perjalanan. Minyak berfungsi sebagai meringankan rasa sakit pada luka sedangkan anggur

mencegah luka terinfeksi. Dengan demikian orang Samaria meringankan rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh orang yang disamun.

Kemudian orang Samaria menaikkan orang yang disamun ke atas keledai tunggangannya sendiri. Orang Samaria rela memberikan miliknya yang paling berharga yang paling dibutuhkan pada saat diperjalanan. Keledai dimaksudkan untuk sarana tranportasi yang meringankan perjalanannya di padang gurun. Namun, ia rela untuk memberikan keledai itu kepada orang yang disamun. Sedangkan ia sendiri berjalan kaki dengan menuntun keledai yang dinaiki oleh orang yang disamun.

Orang Samaria membawa orang yang disamun ke tempat penginapan dan merawatnya. Pertolongan yang diberikan oleh orang Samaria tidak berhenti sampai ia memberikan obat-obatan, dan memberikannya keledai. Akan tetapi ia membawa orang yang disamun itu ketempat yang aman. Tempat dimana orang yang disamun lebih nyaman dan aman dalam memulihkan kesembuhannya. Selain itu orang Samaria mau merawat orang yang disamun walaupun ia sendiri masih mempunyai kepentingan lain. Sesibuk apa pun orang Samaria masih mengutamakan tugas menolong orang lain.

g. Resolusi II (ay. 35)

Resolusi II dimulai dengan “keesokan harinya” menunjukkan bahwa orang Samaria tinggal sehari dengan orang yang disamun di penginapan. Ia menggunakan waktunya untuk merawat orang yang disamun. Ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan. Dua dinar merupakan upah dua hari seorang pekerja. Orang Samaria memperkerjakan pemilik penginapan itu untuk merawat

orang yang disamun selama ia pergi. Ia masih bertanggung jawab sampai orang yang disamun itu sembuh meskipun ia tidak sanggup untuk merawat. Orang Samaria mau menanggung biaya yang dipakai orang yang disamun. Orang Samaria memperlakukan orang yang disamun seperti kerabat dekatnya sendiri.

Mestinya orang Samaria itu senang salah seorang yang membenci dan mengucilkannya mendapat musibah. Akan tetapi sebaliknya orang Samaria tidak memperhitungkan musuh, suku, agama, budaya dalam menolong orang yang membutuh pertolongan. Walaupun ia tahu kemungkinan resiko yang akan terjadi, misalnya orang yang disamun tidak senang dan menolak pertolongan orang kafir. Tindakan orang Samaria menunjukkan ketulusan dan keiklasan tanpa tamprih. 3. Dialog akhir (ay. 36-37)

Dialog akhir merupakan bagian yang mengembalikan cerita pada keseimbangan awal. Secara struktural merupakan bagian yang mengakhiri segenap kejadian dalam cerita, memberikan jawaban yang diperlukan pembaca yang telah mengikuti segala persoalan dan menyaksikan konflik-konflik di dalamnya.

Pada akhir perumpamaan ada dialog akhir. Dialog akhir yang diajukan oleh Yesus kepada Ahli Taurat pada akhir perumpamaan merupakan akhiran terbuka (open ending). Kisah menimbulkan berbagai pertanyaan dan tafsiran yang dapat muncul pada diri pembaca. Dalam perumpamaan ini Yesus tidak membuat kesimpulan akan tetapi mengembalikan pada pertanyaan awal mengenai sesama kepada Ahli Taurat.

Pada dialog awal pertanyaan yang dilontarkan oleh Ahli Taurat adalah siapakah sesamaku manusia bagi orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? Disini Ahli Taurat diposisikan pada seorang yang disamun. Tentu saja jawabannya adalah orang Samaria. Namun Ahli Taurat tidak menjawab demikian ia menjawab bahwa yang disebut sesama adalah orang yang menunjukkan belas kasih.

Pertanyaan mengenai sesamaku manusia biasanya akan dijawab yaitu setiap orang yang membutuhkan pertolongan. Dari perumpamaan orang Samaria yang baik hati ini yang disebut sesama adalah orang yang menunjukkan belas kasih. Yang terpenting bukan lagi siapakah sesamaku? Akan tetapi bagaimana aku bisa menjadi sesama bagi orang lain? Yesus menghendaki Ahli Taurat untuk berbuat demikian yaitu menjadi seorang yang menunjukkan belas kasih. Pandangan orang Yahudi mengenai sesama yaitu sesama bangsa Yahudi tidak berlaku lagi. Imam dan Lewi yang mempunyai bangsa sama dengan orang yang disamun saja tidak menunjukkan belas kasih. Akan tetapi orang Samaria yang dianggap bangsa lain, bangsa kafir yang menunjukkan belas kasih. Belas kasih tidak terbatasi oleh suku, agama, dll.

Dua kali Yesus mengajak ahli Turat untuk perbuat demikian sesuai dengan pemahaman yang benar itu yaitu pada dialog awal (ay. 28) Yesus mengajak Ahli Taurat untuk melaksanakan hukum Cinta Kasih demi mendapatkan hidup dan dialog akhir (ay. 37) Yesus mengajak Ahli Taurat untuk menunjukkan belas kasih demi melaksanakan yang disebut sesama.

Dokumen terkait