• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip (tanah mineral) dan Desa Mulyasari (tanah mineral bergambut), Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Palembang dari bulan April-September 2014.

Bahan

Bahan yang digunakan meliputi benih kedelai varietas Tanggamus, inokulan

Bradyrhizobium sp, pupuk kandang, kapur dolomit, pupuk daun N, SP36, KCl, insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%.

Alat

Alat yang digunakan adalah peralatan tanam dan peralatan pertanian lainnya seperti sprayer, alat tulis, timbangan analitik, pressure plate apparatus dan tabung kuningan.

Analisis Data

Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terpisah (Split Plot) dengan rancangan acak kelompok sebagai rancangan lingkungan. Percobaan diulang 3 kali. Petak utama adalah kedalaman muka air yang terdiri dua taraf, yaitu 10 cm (T1) dan 20 cm (T1) di bawah permukaan tanah. Anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri dari empat taraf, yaitu 2 m (L1), 4 m (L2), 6 m (L3) dan 8 m (L4). Berdasarkan Mattjik dan Sumertajaya (2002), model linear dari rancangan petak terpisah secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :

Yijk = µ + i + αj + ij + βk + (αβ)jk + Єijk Keterangan:

i : Ulangan/kelompok

j : Kedalaman muka air (1, 2) k : Lebar bedengan (1, 2, 3, 4)

Yijk : Nilai hasil pengamatan pengaruh kedalaman muka air ke-j, lebar bedengan ke-k dan ulangan ke-i

µ : Rataan umum/nilai tengah

i : Pengaruh ulangan/kelompok ke-i

αj : Pengaruh kedalaman muka air ke-j

ij : Pengaruh galat yang muncul pada kedalaman muka air ke-j dan ulangan ke-i

βk : Pengaruh lebar bedengan ke-k

(αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor kedalaman muka air taraf ke-j dan lebar

bedengan taraf ke-k

Єijk : Pengaruh galat kedalaman muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada ulangan ke-i

9 Percobaan ini merupakan combined experiment antara kedua lokasi. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada taraf 5% dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test pada taraf 5% yang kemudian dilanjutkan dengan uji t student untuk membandingkan antara kedua lokasi lahan.

Prosedur Percobaan

1. Persiapan lahan

Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, 8 m x 5 m sehingga petak utama berukuran 20 m x 5 m. Setiap petak utama dibuat saluran air dengan lebar 30 cm dan kedalaman 25 cm untuk menjaga kondisi bedengan selalu lembab (Gambar 4).

Gambar 4 Denah penelitian pada kedua lahan pasang surut

Air irigasi diberikan sejak tanam dengan pengaturan kedalaman muka air sesuai dengan perlakuan. Pemberian air irigasi pada lahan mineral setiap satu minggu sekali, sedangkan untuk lahan mineral bergambut setiap 3 hari sekali apabila air pada parit turun 5 cm untuk kedalaman muka air 10 cm (T1) sedangkan untuk kedalaman muka air 20 cm (T2) diupayakan untuk tetap dipertahankan sesuai dengan perlakuan pada penerapan di lapang (Gambar 5).

10

2. Penanaman

Penanaman kedelai menggunakan jarak tanam 40 cm x 12.5 cm dan setiap lubang tanam diisi 2 benih kedelai ditanam dangkal 1-2 cm. Sebelum benih kedelai ditanam, diinokulasi dengan Bradyrhizobium sp sebanyak 5 g kg-1 benih terlebih dahulu. Pemberian insektisida berbahan aktif Karbosulfan

25.53% sebanyak 15 g kg-1 benih diberikan bersamaan pada saat tanam. 3. Pemupukan

Pemberian pupuk kandang sebanyak 2 t ha-1 dan pemberian kapur sebanyak 1 t ha-1 dilakukan pada saat pengolahan lahan, setelah itu lahan diinkubasi selama 2 minggu. Pupuk SP 36 sebanyak 200 kg ha-1 dan KCl sebanyak 100 kg ha-1 diberikan pada saat tanam dengan cara ditugal. Pupuk N tidak diberikan pada saat tanam, karena diharapkan bintil akar dapat memenuhi kebutuhan nitrogen bagi tanaman, pupuk N daun dengan konsentrasi 10 g urea l-1 air diberikan pada umur 3, 4 dan 5 minggu setelah tanam (MST) untuk membantu pemulihan daun pada saat aklimatisasi.

4. Pemeliharaan

Penyulaman dilakukan pada tanaman berumur 5 hari setelah tanam. Pemeliharaan meliputi penjagaan kecukupan air sesuai dengan perlakuan tinggi muka air, pengendalian gulma dan pengendalian hama. Pengendalian gulma dilakukan secara mekanik, sedangkan pengendalian hama menggunakan insektisida.

5. Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap 2 minggu dan dimulai sejak tanaman berumur 4 MST. Peubah-peubah yang diamati adalah :

1) Tinggi tanaman pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (cm).

2) Jumlah daun trifoliate pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah). 3) Jumlah cabang pada umur 4, 6, 8, 10 MST dan saat panen (buah). 4) Bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (g).

5) Jumlah polong total, isi dan hampa per tanaman (buah). 6) Bobot biji per tanaman (g).

Dilakukan dengan cara menimbang biji yang dipanen pada setiap tanaman sampel.

7) Produktivitas (t ha-1).

8) Pengamatan dilakukan terhadap komponen sifat fisik dan kimia tanah meliputi :

a. Porositas total tanah

Menghitung porositas total dengan rumus : Porositas total = (1 -

) x 100% (Sitorus et al. 1980).

b. Tekstur tanah

Penentuan tekstur tanah secara kuantitatif dilakukan melalui proses analisis mekanis. Proses ini terdiri atas pendispersian agregat tanah menjadi butir-butir tunggal dan kemudian diikuti dengan sedimentasi.

c. Analisis tanah sebelum tanam

Analisis tanah dilakukan untuk komposisi tekstur tanah (pasir, debu, dan liat). pH, C organik, N, P2O5, K2O, nilai tukar kation Ca, Mg, K, Na, dan KTK, Kejenuhan basa, Al3+, H+, unsur hara mikro Fe, S, Mn, Cu dan Zn serta pirit. Tekstur tanah ditentukan dengan metode pipet. Keasaman tanah

11 (pH) ditentukan dengan ekstrak 1 : 5 menggunakan H2O dan KCl, C organik ditentukan dengan metode kurmis. N ditentukan dengan metode Kjeldahl. P2O5 ditentukan dengan metode Bray I, K2O ditentukan dengan metode Morgan. Kation dan unsur hara mikro dengan metode AAS, KTK dengan metode titrasi.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum dan Agroekologi Lokasi Penelitian

Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah dengan posisi yang terletak di bagian hilir aliran sungai Musi dan sungai Banyuasin. Wilayah Kabupaten Banyuasin hampir 80% adalah dataran rendah berupa rawa pasang surut dan lebak sedangkan 20% sisanya merupakan penyebaran lahan kering dengan topografi datar sampai dengan bergelombang. Lahan tersebut banyak dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut. Areal lahan kering merupakan sentra perkebunan rakyat dan usaha milik negara terutama karet, kelapa sawit dan hortikultura (Banyuasin 2012).

Batas wilayah Tanjung Lago antara 104o20’15” – 104o52’39” bujur timur dan

2o23’33” – 2o47’51” lintang selatan. Kecamatan Tanjung δago memiliki luas

wilayah 829.40 km2. Keadaan topografi wilayah Kecamatan Tanjung Lago sebagian besar terdiri dari dataran rendah, beberapa desa berada di pinggir aliran anak sungai musi. Ketinggian wilayah berkisar antar 0 – 4 m di atas permukaan laut. Secara rata-rata 40.33% luas wilayah Kecamatan Tanjung Lago digunakan untuk lahan pertanian, 54.97% luas wilayah sebagai lahan usaha non pertanian termasuk hutan rakyat, 4.73% digunakan untuk pemukiman dan fasilitas umum lainnya termasuk jalan. Lahan pertanian di Kecamatan Tanjung Lago meliputi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan.

Desa Mulya Sari memiliki luas wilayah 18.83 km2 dengan letak geografis bukan pantai dan topografi wilayah merupakan dataran rendah. Desa Mulya Sari berdasarkan tipe luapan air pasang termasuk tipe luapan B dan C. Desa Banyu Urip memiliki luas wilayah 14.37 km2 dengan letak geografis bukan pantai dan topografi wilayah merupakan dataran rendah. Berdasarkan tipe luapan, areal ini termasuk dalam tipe luapan C dan D. Daerah reklamasi rawa pasang surut ini dibuka dengan cara membuat jaringan drainase. Semua saluran belum dilengkapi pintu air, sehingga sistem pengelolaan hanya tergantung pada fluktuasi pasang surut. Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan saluran kuarter (Banyuasin 2012).

Menurut Susanto (2000), pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah di petak lahan. Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Upaya pengendalian harus dilakukan agar muka air dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral bergambut pada awal pertumbuhan tanaman mengandalkan air luapan pasang besar dan membuang kelebihan air melalui pintu air, selanjutkan perlakuan muka air pada saat memasuki musim kemarau dibantu dengan memompa air ke dalam saluran pada petakan. Perlakuan kedalaman muka air pada lahan mineral sejak awal tanam dibantu dengan memasukkan air melalui pompa air dikarenakan sudah tidak

12

terpengaruh hempasan air pasang dari sungai.

Penelitian dilakukan pada bulan April hingga September 2014 di lahan mineral bergambut dan lahan mineral. Persiapan lahan membutuhkan 3 minggu sebelum tanam. Perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan dilakukan pada saat olah tanam hingga panen. Penanaman pada lahan mineral bergambut dan mineral dilakukan pada bulan Mei 2014.

Penanaman pada kedua lahan dilakukan pada akhir musim hujan dengan curah hujan pada bulan Mei sebesar 93 mm bulan-1 dengan suhu mencapai 27.9 oC. Pembentukan polong dan pengisian polong terjadi pada bulan Juli dengan curah hujan sebesar 112 mm bulan-1 dan suhu mencapai 28 oC. Pemasakan biji terjadi pada bulan Agustus dengan curah hujan 63 mm bulan-1 dan suhu mencapai 27.5 oC, sedangkan pada saat panen di bulan September untuk curah hujan hanya sebesar 16 mm bulan-1 dengan suhu mencapai 28 oC (Lampiran 1 dan 2).

Tabel 1 Hasil analisis tanah awal kedua lahan penelitian

Parameter Mineral bergambut Mineral

1. pH H2O 4.2 (sangat masam) 4.5 (masam)

2. pH KCl 3.3 (sangat masam) 3.7 (sangat masam) 3. C Organik (%) 38 (mineral bergambut) 3.4 (mineral) 4. N total (%) 1.85 (sangat tinggi) 0.22 (sedang) 5. P tersedia (ppm) 45.8 (sangat tinggi) 7.7 (sedang) 6. Ca (me 100g-1) 8.30 (sedang) 5.65 (sedang) 7. Mg (me 100g-1) 2.76 (tinggi) 6.15 (tinggi) 8. K (me 100g-1) 0.71 (tinggi) 0.32 (sedang) 9. Na (me 100g-1) 0.45 (sedang) 1.74 (sangat tinggi) 10.KTK (me 100g-1) 89.68 (sangat tinggi) 28.43 (tinggi) 11.Al (me 100g-1) 2.50 (sangat tinggi) 1.45 (sangat tinggi) 12.Mn (ppm) 24.85 (sangat tinggi) 19.05 (tinggi) 13.Fe (ppm) 59.76 (sangat tinggi) 11.74 (tinggi) 14.KB (%) 13.6 (sangat rendah) 48.75 (sedang) 15.Porositas total (%)

16.Berat volume tanah (g cm-3) 17.Tekstur tanah 60.65 0.65 bergambut 46.57 1.12 Lempung liat berdebu Sumber : Balai Penelitian Tanah (2009) (Lampiran 4)

Herudjito dan Haridjaja (1978) mengklasifikasikan tanah berdasarkan tingkat kematangan tanah menjadi 3 kelompok yaitu tanah mineral (kandungan C organik hingga 18%), tanah mineral bergambut (kandungan C organik antara 18% ̶ 38%)

dan tanah organik (kandungan C organik lebih dari 38%). Berdasarkan analisis tanah awal, kedua tanah penelitian tergolong pada tanah sulfat masam potensial yang memiliki reaksi tanah sangat masam hingga agak masam (pH > 4) dengan warna tanah kelabu tua sampai kelabu gelap.

Sifat kimia tanah kedua tanah memiliki kandungan Al dan Fe yang sangat tinggi pada lahan mineral bergambut dan tinggi pada lahan mineral. Keberadaan Fe secara fisik dapat terlihat dari lapisan berwarna karat pada tanah dan air (Gambar 6). Lapisan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Pada tanah mineral, kandungan Na yang sangat tinggi ternyata belum sampai mempegaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan penerapan teknologi BJA.

13

Gambar 6 Lapisan pirit di lahan mineral bergambut (kiri) dan mineral (kanan) Porositas total tanah mineral bergambut lebih besar dibandingkan tanah mineral. Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah mineral bergambut. Pada berat volume tanah mineral bergambut yang lebih rendah disebabkan karena tingginya kandungan bahan organik pada lapisan tanah. Yong-Yong et al. (2015) menjelaskan bahwa rendahnya berat volume tanah akan memicu peningkatan volume kebasahan tanah yang disebabkan oleh tingginya porositas tanah dan kelembaban tanah. Berat volume serta porositas tanah merupakan indikator fisik yang dapat menggambarkan dan berhubungan dengan keadaan infiltrasi, permeabilitas, kekompakan-pemadatan tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah. Kondisi dari karakteristik tersebut akan berkaitan dengan fungsi tata udara dan air yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, organisme lainnya serta konservasi tanah dan air (Wall dan Heiskanen 2009; Cannavo et al. 2011).

Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Mineral

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dengan uji lanjut DMRT untuk pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai di lahan mineral dipengaruhi oleh perlakuan kedalaman muka air dan lebar bedengan (Lampiran 5). Pada fase vegetatif, perlakuan kedalaman muka air tanah hanya berpengaruh pada awal pertumbuhan tanaman di lahan mineral. Berdasarkan uji DMRT, kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan jumlah terbanyak pada daun dan cabang umur 4 MST (Tabel 2).

Tabel 2 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral

Kedalaman muka air DPT (cm) Umur (MST) 4 6 8 10 Tinggi tanaman (cm) 10 30.1 64.9 86.9 87.9 20 32.2 68.4 91.1 91.1 Jumlah daun 10 6.5 b 12.8 16.5 14.3 20 9.5 a 15.9 19.1 17.9 Jumlah cabang 10 0.3 b 2.2 2.8 3.1 20 1.0 a 2.5 3.1 3.2

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%

14

Pemberian jenuh air menyebabkan tanaman menyesuaikan diri (aklimatisasi) terhadap kondisi lingkungan yang suboptimum untuk pertumbuhannya. Tanaman kedelai beraklimatisasi sebagai respon terhadap kondisi jenuh air dimulai pada umur 3 MST hingga umur 5 MST. Ghulamahdi (1999) menjelaskan bahwa aklimatisasi ditunjukkan dengan gejala klorosis akibat penurunan penyerapan nitrogen. Penurunan penyerapan nitrogen disebabkan oleh kematian beberapa akar yang tumbuh melebihi lapisan jenuh air. Pemberian pupuk nitrogen cair melalui daun bertujuan untuk pemulihan klorosis selama proses aklimatisasi.

Ghulamahdi et al. (2006), juga menyimpulkan pertumbuhan kedelai mengalami tekanan pada awal pemberian jenuh air. Akar dan bintil akar menjadi mati dan selanjutnya tumbuhan di atas muka air, kemudian pertumbuhan meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Perlakuan kedalaman muka air tidak berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, meskipun secara statistik tidak berbeda nyata namun rata-rata nilai disetiap pertambahan umur yang ditunjukkan pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan pada kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah. Pertumbuhan kedelai pada lahan mineral lebih stabil sejak awal pertumbuhan hingga umur 10 MST yang ditunjukkan berdasarkan tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang (Tabel 2).

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan kedalaman muka air berpengaruh nyata terhadap jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi panen, bobot per tanaman dan produktivitas. Berdasarkan uji duncan diperoleh bahwa kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah nyata lebih tinggi untuk peubah jumlah bintil umur 9 MST, jumlah polong panen, jumlah polong isi panen, bobot biji per tanaman dan produktivitas.

Tabel 3 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan kedalaman muka air di lahan mineral

Pengamatan Kedalaman muka air DPT (cm)

10 20

Panjang akar 9 MST (cm) 28.6 30.5

Bobot kering tajuk 9 MST (g) 30.2 34.1

Bobot kering akar 9 MST (g) 2.4 2.6

Bobot kering bintil 9 MST (g) 0.5 0.8

Jumlah bintil 9 MST 46.9 b 85.5 a

Jumlah polong panen 103.5 b 128.9 a

Jumlah polong isi panen 99.8 b 123.8 a

Jumlah polong hampa panen 3.6 5.1

Bobot biji per tanaman (g) 21.2 b 25.8 a

Produktivitas (t ha-1) 3.6 b 4.4 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.

Kedalaman muka air berpengaruh pada fase generatif tanaman kedelai di lahan mineral. Ketersediaan air selama pembungaan hingga pengisian polong merupakan periode kritis untuk produksi kedelai. Oleh karena itu dengan pemberian jenuh air akan menyediakan ketersediaan air bagi tanaman selama periode tersebut. Ketersediaan air pada budidaya jenuh air memperpanjang fase vegetatif tanaman kedelai dan menunda senesen daun selama pengisian polong sehingga memperpanjang waktu remobilisasi unsur hara dari daun menuju biji. Hasil fotosintesis di lahan mineral lebih banyak di distribusikan pada pembentukan dan

15 pengisian polong, hal ini terlihat dari jumlah polong panen dan polong isi (Tabel 3). Jumlah polong panen berkorelasi dengan jumlah polong isi (p-value 0.00). Jumlah polong isi kemudian berkorelasi dengan bobot biji per tanaman (p-value 0.00) dan berkorelasi dengan produktivitas kedelai (p-value 0.00) (Lampiran 8).

Kirkham (2005) melaporkan bahwa muka air pada kedalaman ± 20 cm di bawah permukaan tanah memberikan sumbangan kelengasan tanah 20 – 50%. Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan BJA mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi karena mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisisan polong, dan mengalami penundaan penuaan. Agarwal et al. (2012) juga menambahkan penundaan senesen dapat terjadi dengan peningkatan biosintesis etilen yang dapat terjadi pada kondisi jenuh air. Sudaryono

et al. (2007) kemudian menambahkan bahwa dengan kecukupan penyediaan air untuk kelengasan tanah optimal merupakan komponen budidaya kedelai yang sangat penting. Berdasarkan pertumbuhan tanaman di lapang, ditunjukkan dengan penundaan masa vegetatif maksimum tanaman yang lebih lama dengan budidaya jenuh air di lahan mineral.

Ghulamahdi et al. (2009) juga menunjukkan produktivitas kedelai yang tinggi pada kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah sebesar 4.63 ton ha-1 di lahan mineral. Ghulamahdi et al. (2009) menyimpulkan bahwa kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah merupakan kedalaman terbaik secara ekonomi (lebih

murah) yang tetap dapat menghasilkan produktivitas tinggi. Potensial air tanah pada

tinggi muka air 5 sampai 10 cm dari dasar parit akan menyebabkan kondisi selalu berada di sekitar kapasitas lapang.

Gambar 7 Kedelai 9 MST pada perlakuan kedalaman muka air 10 (kiri) dan 20 cm (kanan) di lahan mineral.

Berdasarkan hasil analisis tanah awal, kandungan Al dan Fe pada lahan mineral tergolong tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya lapisan pirit pada lahan mineral. Lapisan pirit pada lahan mineral berada pada kedalaman ± 30 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 6). Pemberian jenuh air pada lahan mineral menyebabkan kondisi reduktif pada lapisan pirit sehingga tidak menyebabkan

16

toksisitas Al dan Fe pada tanaman selama pertumbuhannya. Kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah juga mampu menekan oksidasi pirit yang terdapat pada lapisan tanah mineral pasang surut, hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya gejala tanaman yang keracunan Al dan Fe dari awal tanam hingga panen. Pertumbuhan tanaman pada perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 7) juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pada perlakuan kedalaman muka air 10 cm di bawah permukaan tanah.

Selama masa pertumbuhan vegetatif, perlakuan lebar bedengan hanya berpengaruh pada jumlah daun. Vegetatif maksimum terjadi pada umur 9 MST di lahan mineral dengan budidaya jenuh air. Jumlah daun pada umur 10 MST nyata lebih banyak pada lebar bedengan 2 dan 8 m (Tabel 4), hal ini berbeda dengan penelitian Sahuri (2011) yang menunjukkan jumlah daun umur 10 MST tidak berbeda nyata pada semua perlakuan lebar bedengan tanam. Hal ini disebabkan karena jumlah daun umur 10 MST mulai mengalami senesen pada lebar bedengan 4 dan 6 m, sedangkan pada lebar 2 dan 8 m jumlah daun masih dapat ditingkatkan. Tabel 4 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral

Lebar bedengan (m) Umur (MST) 4 6 8 10 Tinggi tanaman (cm) 2 31.8 66.5 89.8 89.6 4 31.8 67.3 87.8 87.5 6 30.4 67.1 89.4 90.3 8 30.7 65.9 88.9 90.5 Jumlah daun 2 8.4 13.2 b 16.4 b 18.7 a 4 7.8 16.3 a 20.1 a 13.9 b 6 7.8 15.7 a 18.6 a 13.7 b 8 7.9 12.2 b 15.9 b 18.2 a Jumlah cabang 2 0.9 2.5 3.1 3 4 0.5 2.2 3.1 3.3 6 0.6 2.3 2.7 3.3 8 0.7 2.3 2.9 3.0

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.

Selama fase generatif tanaman, perlakuan lebar bedengan hanya berpegaruh pada bobot biji per tanaman dan produktivitas kedelai di lahan mineral. Berdasarkan uji duncan untuk bobot biji per tanaman dan produktivitas diperoleh lebar 4 m tidak berbeda nyata dengan 2 dan 8 m, tetapi nyata lebih tinggi dibandingkan lebar 6 m. Hal ini dikarenakan bobot biji per tanaman pada lebar 4 m paling tinggi dibandingkan dengan lebar bedengan lainnya. Diduga translokasi fotosintat dan remobilisasi unsur hara selama pengisian dan pemasakan biji yang tinggi pada lebar bedengan 2, 4, dan 8 m menyebabkan bobot biji per tanaman juga lebih tinggi dibandingkan lebar 6 m (Tabel 5). Jumrawati (2010) juga menjelaskan bahwa, bobot biji per tanaman mengindikasikan kemampuan tanaman dalam menggunakan asimilat untuk pengisian biji.

17 Tabel 5 Komponen hasil kedelai dengan perlakuan lebar bedengan di lahan mineral

Pengamatan Lebar bedengan (m)

2 4 6 8

Panjang akar (9 MST) (cm) 31.3 27.2 29.7 30.0 Bobot kering tajuk (9 MST) (g) 33.8 30.7 30.1 33.9 Bobot kering akar (9 MST) (g) 2.6 2.5 2.3 2.6 Bobot kering bintil (9 MST) (g) 0.7 0.5 0.5 0.9

Jumlah bintil (9 MST) 81.0 50.7 52.7 80.5

Jumlah polong panen 115.9 128.7 102.3 118.0

Jumlah polong isi panen 111.1 124.5 98.1 113.7

Jumlah polong hampa panen 4.8 4.2 4.2 4.4

Bobot biji per tanaman (g) 23.4 ab 26.4 a 20.1 b 24.0 ab Produktivitas (t ha-1) 3.9 ab 4.5 a 3.4 b 4.1 ab Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris yang sama tidak berbeda nyata

dengan uji jarak berganda Duncan 5%.

Kombinasi perlakuan pada lahan mineral hanya berpengaruh pada tinggi tanaman 6 MST, jumlah daun 10 MST dan bobot kering bintil. Berdasarkan uji duncan, kombinasi lebar 6 m dengan kedalaman muka air 20 cm dan lebar 4 m dengan kedalaman muka air 20 cm tidak berbeda nyata pada tinggi tanaman 6 MST. Kombinasi lebar 2 m dengan kedalaman muka air 20 cm dan lebar 8 m dengan kedalaman muka air 20 cm tidak berbeda nyata pada jumlah daun 10 MST. Kombinasi lebar 8 m dengan kedalaman muka air 20 cm nyata lebih tinggi dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya pada bobot kering bintil (Tabel 6). Tabel 6 Kombinasi perlakuan terhadap pertumbuhan kedelai di lahan mineral

Kombinasi Tinggi 6 MST (cm) Jumlah daun 10 MST Bobot kering bintil (g tan-1) L1T1 66 b 17.5 bc 0.57 c L2T1 64.17 b 11.57 d 0.45 c L3T1 63.73 b 10.63 d 0.59 c L4T1 66.07 b 17.5 bc 0.51 c L1T2 67 ab 19.9 a 0.92 b L2T2 70.4 a 16.27 c 0.49 c L3T2 70.47 a 16.83 bc 0.39 c L4T2 65.9 b 18.83 ab 1.21 a

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji jarak berganda Duncan 5%.

Analisis korelasi menunjukkan bahwa jumlah daun umur 10 MST berkorelasi nyata dengan bobot biji per tanaman (p-value 0.04) dan produktivitas (p-value 0.04) (Lampiran 7). Kombinasi lebar bedengan 8 m pada kedalaman muka air 20 cm tidak berbeda nyata dengan kombinasi lebar bedengan 2 m pada kedalaman 20 cm.

Jumlah daun pada fase vegetatif maksimum merupakan source utama bagi pengisian polong yang akan terbentuk (sink). Asimilat dari hasil fotosintesis kemudian akan ditranslokasikan ke biji sebagai sink yang kuat selama proses pengisian biji pada fase generatif tanaman kedelai. Lebar bedengan 8 m dengan kedalaman muka air 20 disarankan untuk budidaya kedelai di lahan mineral, meskipun tidak memberikan interaksi antar kedua perlakuan. Lebar bedengan 8 m

18

lebih baik dibandingkan lebar bedengan lainnya dikarenakan kemudahan dalam pengolahan tanah awal, selain itu mampu menghasilkan produktivitas kedelai sebesar 4.1 t ha-1. Perlakuan kedalaman muka air 20 cm di bawah permukaan tanah lebih baik dibandingkan kedalaman muka air 10 cm dikarenakan kemudahan pemberian air di lapang serta mampu menghasilkan produktivitas kedelai sebesar 4.4 t ha-1.

Kandungan Na (1.74 me 100 g-1) berdasarkan hasil analisis pada tanah mineral tergolong sangat tinggi. Muka air tanah yang dipertahankan tetap pada budidaya jenuh air mampu menekan Na sehingga tidak menghambat pertumbuhan tanaman dikarenakan sifat natrium yang mudah tercuci. Keberadaan unsur hara Na tidak saja berpengaruh pada sifat kimia tanah tetapi juga pada sifat fisik tanah, terutama dalam kemantapan struktur. Konsentrasi yang tinggi di dalam tanah selain secara fisiologi dapat menimbulkan gangguan pada metabolisme tanaman juga

Dokumen terkait