• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus-kontrol (case-control study). 3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan di poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian mulai dilakukan bulan Desember 2011 sampai Mei 2012. 3.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik pengambilan sampel 3.3.1 Populasi

a. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah seluruh kasus rinitis alergi. b. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh rinitis alergi yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan. 3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

a. Kriteria inklusi

• Kasus adalah subjek rinitis alergi yang diagnosanya ditegakkan berdasarkan definisi operasional.

• Kontrol adalah pasien yang secara klinis tidak berhubungan dengan alergi dan disfungsi tuba Eustachius

• Usia lebih dari 15 tahun dan kurang dari 60 tahun

• Bebas obat antihistamin selama 3 hari dan bebas kortikosteroid oral selama 2 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan Tes cukit kulit

• Bersedia ikut dalam seluruh proses penelitian dan memberikan persetujuan secara tertulis setelah mendapat penjelasan (inform

consent)

b. Kriteria eksklusi kelompok kasus dan kelompok kontrol

• Subjek dengan rinosinusitis, polip nasi, tumor kavum nasi, hipertropi tonsil/adenoid, tumor nasofaring dan palatoskisis.

• Wanita hamil dan menyusui

• Sudah pernah mendapat imunoterapi. 3.3.3 Besar Sampel

Penentuan jumlah besar sampel dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

N = Jumlah sampel minimal tiap kelompok P1

P

= Proporsi paparan pada kelompok kasus

2

OR = Nilai odds ratio = 3 (Wulandari DP 2010) = Proporsi paparan pada kelompok kontrol

α = tingkat kemaknaan 0,05 Z α = 1,960 β = Kekuatan uji 20% , Z β

Dengan rumus diatas di dapat jumlah kelompok kasus = kontrol sebanyak 28 orang.

= 0,842

3.3.4 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian diambil secara non probability

consecutive sampling dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi

dimasukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Pada penelitian ini kelompok kasus dan kontrol dilakukan padanan (matching)terhadap umur dan jenis kelamin.

3.4 Variabel Penelitian

• Variabel independen = Rinitis alergi

• Variabel dependen = Disfungsi tuba Eustachius 3.5 Definisi Operasional

N1=N2 = [Zα/2+ Zβ√PQ]2 (P-1/2)

a. Rinitis alergi adalah penderita yang dari anamnesa dan pemeriksaan fisik menunjukkan gejala dan tanda rinitis alergi serta hasil Tes cukit kulit positif. Gejala utama rinitis alergi adalah bersin, ingus encer dan hidung tersumbat. Tanda yaitu konka berwarna pucat dan atau kebiruan, dijumpai sekret yang bening seperti air, dengan foto hidung dan sinus paranasal yang normal.

b. Tes cukit kulit (Skin prick test) disebut positif jika bintul yang timbul pada kulit adalah +3 (bila bintul sama besar dengan kontrol positif) dan +4 (bila bintul lebih besar dari kontrol positif). Penilaian sesuai metode Pepys.

c. Jenis alergen yang digunakan hanya aeroallergen yang terdiri dari alergen indoor (tungau, tungau debu rumah, bulu anjing, bulu kucing) dan alergen outdoor (serbuk sari bunga dan kapuk).

d. Disfungsi tuba Eustachius adalah adanya gangguan pembukaan tuba Eustachius sehingga tuba tidak mampu menyeimbangkan tekanan pada telinga tengah. Dinilai dengan alat timpanometer. e. Penilaian disfungsi tuba Eustachius dilihat dari MEP (Mean Ear

Pressure) dari gambaran grafik timpanogram dan hasil tes fungsi tuba, dimana disebut :

Normal : Timpanogram tipe A dengan nilai MEP (Mean Ear Pressure) ≥ -25 daPa dan hasil tes fungsi tuba yang baik

Abnormal : Timpanogram tipe A dengan nilai MEP (Mean Ear Pressure) <-25 daPa, tipe B dan C disertai hasil tes fungsi tuba yang tidak baik.

f. Tes fungsi tuba adalah pemeriksaan untuk menilai kemampuan tuba Eustachius menyeimbangkan tekanan yang lebih tinggi atau lebih rendah pada telinga tengah dengan cara menentukan tekanan telinga tengah saat istirahat, setelah perasat Toynbee dan perasat Valsava dengan alat timpanometri.

g. Hasil tes fungsi tuba tidak baik bila tekanan telinga tengah pada saat istirahat, setelah perasat Toynbee dan perasat Valsava hampir sama atau pergeseran tekanannya kurang dari 15 daPa. 3.6 Alat dan Bahan Penelitian

3.6.1 Alat

1. Lampu kepala merek Riester 2. Spekulum telinga tipe Hartman 3. Otoskop merek Heine mini 2000

4. Alat penghisap (suction) merek Thomas Medi-Pump tipe 1132 5. Kanul penghisap no.6 dan 8 tipe ferguson

6. Spekulum hidung tipe Hartmant 7. Kaca nasofaring

8. Bunsen

9. Penekan/spatel lidah tipe Burning

10. stickduotip test

11. Teleskop 00 dan 300

12. Light source Olympus CLH 250

merk Olympus Germany A70940A

13. Digital Processor Olympus Ulsera OTV-S7

14. Timpanometer merk Inter Acoustics, tipe Audio Traveller AA222. 3.6.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah ekstrak alergen inhalan dr.Indrajana, Lembaga Alergen Pertama Indonesia (LAPI). Inhalan terdiri dari 6 jenis alergen yaitu tungau, debu rumah, serbuk sari bunga, kapuk, bulu anjing, bulu kucing dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (buffer). 3.7 Cara Kerja

Semua peserta penelitian yang memenuhi kriteria menjalani penelitian dengan urutan tata cara sebagai berikut :

1. Semua peserta penelitian diminta persetujuan tertulis bersedia mengikuti penelitian sampai selesai dengan menandatangani formulir

2. Setelah dilakukan diagnosis secara klinis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik THT dan pemeriksaan penunjang, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol yang telah menjalani Skin prick test dilakukan pemeriksaan timpanometri selanjutnya data dicatat pada formulir status penelitian.

3. Skin prick test dilakukan dengan cara :

• Lengan bawah bagian volar dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian dibersihkan sampai kering, dengan jarak 2 cm, jarak dari lipatan siku 10 cm dibawahnya dan jarak dari pergelangan tangan 5 cm diatasnya. Buffer diberikan sebagai kontrol negatif dan histamin sebagai kontrol positif.

• Alergen di tetesi di tempat yang sudah ditentukan, kemudian dilakukan cukit kulit dengan stick duotip test 45° sedalam epidermis atau dengan memutar stick duotip test tersebut. Setiap stick duotip test hanya dipakai satu kali untuk satu jenis alergen.

• Penilaian dilakukan setelah 15-20 menit dengan cara melingkari bintul yang timbul dengan pena. Penggaris transparan digunakan untuk mengukur bintul dengan meletakkannya tepat diatas bintul tersebut.

• Untuk menilai ukuran bintul berdasarkan Pembacaan hasil menurut Metode Pepys.

Gambar 2.6 A. stick duotip test B. stickduotip test dalam wadah alergen. C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit

• Pemeriksaan timpanometri dan tes fungsi tuba dilakukan dengan menggunakan alat timpanometer merk Inter Acoustics, tipe Audio Traveller AA222.

Cara penggunaannya dengan memasukkan probe yang sesuai dengan besar liang telinga subjek sehingga telinga tertutup rapat kemudian alat akan secara otomatis memberikan tekanan udara dan suara ke telinga subjek yang kemudian akan dipantulkan kembali oleh membran timpani. Pantulan gelombang suara inilah yang akan ditangkap oleh mikrofon yang ada pada probe dan kemudian diterjemahkan sebagai gambar pada grafik timpanogram. Pada grafik ini terdapat gambaran kurva timpanogram, nilai tekanan telinga tengah dan volume kanalis auditorius eksternus Selanjutnya pada alat timpanometer ditekan tanda yang bertulis timpanometri, jika pada probe terlihat lampu hijau menandakan tidak ada kebocoran; gambaran timpanogram akan terlihat di layar (Mikolai, 2006). Pemeriksaan dilakukan saat istirahat, setelah perasat Toynbee dan Valsava. Saat pemeriksaan subjek diberitahukan supaya tetap diam dan tidak melakukan gerakan yang bisa membuat tuba terbuka, seperti menguap, menelan ludah dan berbicara.

3.8 Kerangka Kerja

3.9 Hipotesa Penelitian

Ada hubungan rinitis alergi terhadap disfungsi tuba Eustachius 3.10 Analisa Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk mengetahui hasil analisa deskriptif karakteristik subjek penelitian, distribusi rinitis alergi sesuai klasifikasi ARIA-WHO, distribusi allergen dan distribusi hasil timpanogram, dan menilai besar hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius.

Pasien poliklinik THT-KL FK USU/HAM

Kontrol Kasus

Anamnesa, pemeriksaan fisik THT rutin, nasoendoskopi dan foto hidung

dan SPN

Anamnesa, pemeriksaan fisik THT rutin, nasoendoskopi dan foto hidung

dan SPN

Tes cukit kulit Tes cukit kulit

Tes cukit kulit + Tes cukit kulit - Tes cukit kulit + Tes cukit kulit -

Eksklusi Timpanometri dan tes Eksklusi

fungsi tuba Eustachius

3.11 Jadwal Penelitian Jenis Kegiatan Waktu Sept 2011 Okt 2011 Nov 2011 Des 2011 Jan - Mei 2012 Juni 2012 Juli 2012 Agus 2012 1. Persiapan proposal 2. Seminar proposal 3. Pengump ulan data 4. Pengolah an data 5. Penyusun an laporan 6. Seminar 7. Penggan daan laporan

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan case–control studies yang dilakukan pada 30 kasus rinitis alergi dan 30 kontrol yang bukan rinitis alergi yang sesuai kriteria penelitian di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan. Karakteristik sampel penelitian disajikan pada tabel 4.1

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian

Kasus Kontrol n (%) n (%) Jenis Kelamin • Perempuan 22(73.3) 22(73.3) • Laki-laki 8(26.7) 8(26.7) Umur • ≤ 20 4(13.3) 4(13.3) • 21-30 15(50.0) 15(50.0) • 31-40 7(23.3) 7(23.3) • 41-50 4(13.3) 4(13.3) Total 30(100.0) 30(100.0)

Dari tabel diatas terlihat bahwa distribusi jenis kelamin terbanyak pada kedua kelompok adalah perempuan sebanyak 22 orang (73.3%) dengan kelompok umur terbanyak adalah usia 21-30 tahun sebanyak 15 orang (50%) dengan rata-rata umur 29.33 tahun.

Tabel 4.2 Distribusi rinitis alergi menurut klasifikasi ARIA-WHO

Rinitis Alergi n (%) Intermintten Ringan 5(16.7) Intermintten Sedang-berat 7(23.3) Persisten Ringan 7(23.3) Persisten Sedang-berat 11(36.7) Total 30

Dari tabel 4.2 menunjukkan bahwa jumlah kasus terbanyak menurut klasifikasi ARIA-WHO yaitu rinitis alergi persisten sedang berat sebanyak 11 orang (36.7%) dan yang paling sedikit adalah rinitis alergi intermitten ringan yaitu 5 orang (16.7%).

Alergen n(%)

Tungau 29(96.6)

Tungau Debu rumah 27(90.0)

Bulu anjing 12(40.0)

Bulu kucing 13(43.3)

Serbuk sari bunga 10(30.3)

Kapuk 21(70.0)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa jenis alergen inhalan terbanyak yaitu tungau sebanyak 29 orang (96.6%) dan tungau debu rumah 27 orang (90.0%), dimana tiap subjek memiliki lebih dari satu alergen, minimal tiga alergen yang sensitif.

Tabel 4.4 Distribusi tipe timpanogram telinga pada kelompok kasus dan kontrol Tipe Timpanogram Kasus Kontrol n(%) MEP (daPa) kanan/kiri n (%) MEP (daPa) kanan/kiri A 22(73.3) -40.8/-40.9 28(93.3) -17.9/-14.8 As 3(10.0) -35.3/-40.6 2(6.7) -19/-22 Ad 1(3.30) -16/-17 0 0 B 1(3.30) -112/-101 0 0 C 3(10.0) -115/-113 0 0 Total 30(100) 30(100)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa tipe timpanogram yang terbanyak pada kedua kelompok yaitu tipe A, dimana kelompok kasus tipe A sebanyak 22 orang (73.3%) sedangkan tipe As 3 orang (10%), tipe Ad

dan tipe B masing-masing 1 orang (3.3%), tipe C 3 orang (10.0%) dan kelompok kontrol tipe A sebanyak 28 orang (93.3%) sisanya tipe As 2

orang (6.7%).

Tabel 4.5 Distribusi hasil tes fungsi tuba pada kelompok kasus dan kontrol

Tes fungsi tuba Normal Abnormal

n(%) n(%)

Kasus 5(16.7) 25(83.3)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 25 kasus (83.3%) yang hasil tes fungsi tuba abnormal dan 5 (16.7%) normal, sedangkan kelompok kontrol yaitu 28 (93.3%) normal dan 2 (6.7%) abnormal.

Tabel 4.6 Hubungan hasil tes fungsi tuba terhadap tipe rinitis alergi menurut klasifikasi ARIA-WHO (lamanya gejala)

ARIA WHO ETF Normal Abnormal n (%) n(%) Intermiten 5 (100,0) 7 (28,0) Persisten 0 (0,0) 18 (72,0) Total 5 (100,0) 25 (100,0) nilai p = 0,006

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 12 orang (40.0%) rinitis alergi intermitten, terdapat masing-masing 5 orang (16.6%) dengan hasil tes fungsi tuba yang normal dan 7 orang (23.4%) yang abnormal, sedangkan dari 18 orang (60.0%) kasus rinitis alergi persiten, semuanya mengalami fungsi tuba yang abnormal. Uji Pearson menunjukkan perbedaan yang signifikan antara tipe rinitis alergi intermitten dan persisten dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.006). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa disfungsi tuba 3 kali lebih sering ditemukan pada pasien dengan rinitis alergi dibandingkan non-rinitis alergi (OR 2.5 ; 95% IK: 2.36-2.99).

Tabel 4.7 Hubungan jenis alergen terhadap hasil tes fungsi tuba Alergen ETF Normal Abnormal n (%) n (%) In Door 2(40,0) 22(88,0) Out Door 3(60,0) 3(12,0) Total 5(100,0) 25(100,0)

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 5 orang dengan hasil tes fungsi tuba yang normal, terdapat 2 orang (40%) dengan alergen indoor, dan 3 orang (60%) alergen outdoor. Sedangkan dari 25 orang dengan

hasil tes fungsi tuba yang abnormal, terdapat 22 orang (88%) dengan alergen indoor dan 3 orang dengan alergen outdoor. Uji Fisher Exact

menunjukkan perbedaan yang signifikan antara jenis alergen indoor dan

outdoor dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.041). Hasil analisis

bivariat menunjukkan bahwa jenis alergen indoor 3 kali lebih sering ditemukan pada pasien dengan hasil tes fungsi tuba yang abnormal dibandingkan jenis alergen outdoor (OR 2.8 ; 95% IK: 0.011-0.787).

Tabel 4.8 Pengaruh tipe rinitis alergi dan jenis alergen terhadap hasil tes fungsi tuba

Variabel OR 95%CI Nilai p

Tipe rinitis alergi 2.9 1.52-241.90 0.022*

Alergen 2.2 0.01-7.31 0.295

Tabel diatas merupakan hasil uji multivariat, dimana ketiga variabel yaitu tipe rinitis alergi, jenis alergen serta hasil tes fungsi tuba di uji dengan regresi logistik dimana hasilnya menunjukkan bahwa tipe rinitis alergi berpengaruh tiga kali lebih besar terhadap disfungsi tuba Eustachius (OR 2.9 ; 95% IK: 1.52-241.90 dan nilai p=0.022) sedangkan jenis alergen dua kali lebih berpengaruh terhadap disfungsi tuba dengan OR 2.2; 95% IK: 0.01-7.31 dan nilai p=0.295.

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan terhadap ke enam puluh pasien yang terbagi atas kasus dan kontrol dijumpai bahwa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki yaitu masing-masing 73.3% dan 26.7%. Hal yang sama dilaporkan oleh Lazo-Saens et al (2005), Karya, et al., (2007)

et al., (2010) dengan kisaran antara 55-65% adalah perempuan.

Penelitian epidemiologik multisentra di Eropa melaporkan bahwa prevalensi perempuan dan laki-laki hampir samet al., 2010). Berdasarkan observasi lapangan dalam penelitian ini perempuan dan laki- laki sering memiliki persepsi yang berbeda terhadap rasa sakit. Penelitian baru dari Stanford University menunjukkan bahwa ketika perempuan dan laki-laki memiliki kondisi yang sama, seperti masalah punggung, arthritis atau infeksi sinus, wanita biasanya lebih merasa sakit. Sebanyak 21 dari 22 penyakit yang diteliti, perempuan yang melaporkan tingkat nyeri yang lebih tinggi daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih banyak memeriksakan diri (Ratnadita, 2012).

Kelompok umur 21-30 merupakan kelompok paling banyak dijumpai (46.6%), dengan umur paling muda adalah 17 tahun dan yang paling tua adalah 43 tahun. Lumbanraja (2007) dan Rahmawati, Suprihati, dan Muyassaroh (2011) melaporkan hal yang sama distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok umur 21-30 tahun sebanyak 35-38%. Hal yang hampir sama dilaporkan oleh Karya, et al.,

(2007) yang melaporkan kelompok umur paling banyak adalah ≤ 20 tahun (40%) dan paling sedikit kelompok umur 51-60 (3.3%). Bousquet, et al.,

(2001) mengatakan bahwa puncak prevalensi rinitis alergi terjadi pada masa setelah pubertas dan berangsur-angsur menurun pada usia pertengahan dan umur tua.

Jumlah kasus terbanyak menurut klasifikasi ARIA-WHO yaitu rinitis alergi persisten sedang berat sebanyak 36.6%, rinitis alergi intermiten sedang berat dan persisten ringan masing-masing 23.3% dan yang paling

sedikit adalah rinitis alergi intermitten ringan yaitu 16.7% (tabel 4.2). Hal yang mirip dilaporkan oleh Karya, et al., (2007) danet al., 2010

dan yaitu kasus terbanyak tipe rinitis alergi persisten sedang berat berkisar 46-49%.

Pada penelitian ini jumlah rinitis alergi persisten lebih banyak karena hampir semua subjek penelitian merupakan polisensitif (sensitif lebih 3 alergen), terutama aero-alergen indoor seperti tungau, tungau debu rumah dan bulu binatang, sehingga resiko lebih tinggi pada subjek terpapar alergen yang berbeda secara bergantian dan menyebabkan gejala yang berlangsung lama dan menggangu kualitas hidup subjek.

Jenis alergen inhalan terbanyak terpapar yaitu tungau sebanyak 96.6% dan tungau debu rumah 90% dan yang paling sedikit adalah serbuk sari bunga sebanyak 30.3%. Seluruh subjek penelitian pada kelompok kasus menunjukkan alergi terhadap minimal tiga alergen pada masing-masing subjek. Dengan alergen yang tersering adalah tungau dan yang paling jarang adalah serbuk sari bunga. Hal yang mirip dilaporkan oleh Lazo- Saens, et al., (2005) dan Lumbanraja (2007) alergen inhalan yang paling sering adalah tungau debu rumah (62%). Rinitis perennial terjadi pada daerah yang beriklim tropis seperti indonesia yang berhubungan erat dengan jenis antigen bulu/ serpihan kulit binatang, tungau, kecoa dan tungau debu rumah sedangkan rinitis seasonal

Gambaran timpanogram kelompok kasus hampir semua mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius, yaitu dengan hasil timpanogram tipe A (73.3%) dengan nilai MEP -40.8 daPa pada telinga kanan dan -40.9 daPa di telinga kiri, tipe B 3.4% dan tipe C 10% dengan nilai rata-rata MEP telinga kanan -115 daPa dan telinga kiri -113 daPa. Sedangkan kelompok kontrol paling banyak tipe A yaitu 93.4% dengan nilai rata-rata MEP telinga kanan -17.9 daPa dan telinga kiri -14.8 daPa dan sisanya adalah tipe As 6.6% dengan nilai rata-rata MEP telinga kanan -19 daPa dan (musiman) yang berhubungan dengan jenis antigen serbuk sari dan jamur (Bousquet et al, 2001; Karya, et al., 2007).

telinga kiri -22 daPa. Hasil pemeriksaan tes fungsi tuba (ETF: Eustachian Tube function) pada semua subjek penelitian, pada kelompok kasus terdapat 83.3% dengan gangguan fungsi tuba dan fungsi tuba normal (16.7%) sedangkan kelompok kontrol 93.3% normal dan 6.7% abnormal. Lazo-Saens, et al., (2005) melaporkan 80 orang rinitis alergi dan 50 orang normal sebagai kontrol, 3% kelompok rinitis alergi dengan timpanogram tipe B dan 13% tipe C sedangkan pada kelompok kontrol semuanya tipe A. Hasil penelitian lain di Makassar oleh Karya, et al.,

(2007), melaporkan tipe timpanogram yang paling banyak yaitu tipe A (83.3%), tipe As (10.0%), tipe Ad dan tipe B (0%) dan tipe C (6.7%), sedangkan pada kelompok kontrol semuanya dengan tipe A dan tipe As. Hasil penelitian lain di Semarang oleh Rahmawati, Suprihati dan Muyassaroh (2011) melaporkan tipe timpanogram pada rinitis alergi persisten yaitu sebanyak 85% normal (tipe A) dan selebihnya adalah abnormal (tipe B dan C).

Ghosh dan Kumar (2002) melaporkan setelah dilakukan reevaluasi secara obyektif, demi keamanan pada penerbangan militer di India, nilai MEP (Mean Ear Pressure) yang aman adalah ± 25 daPa. Artinya nilai MEP (Mean Ear Pressure) <-25 daPa mulai menunjukkan adanya disfungsi tuba Eusthacius.

Hubungan rinitis alergi klasifikasi ARIA-WHO dengan hasil tes fungsi tuba digambarkan pada tabel 4.6 dimana dengan Uji Pearson

menunjukkan perbedaan yang bermakna antara tipe rinitis alergi intermitten dan persisten dengan disfungsi tuba Eustachius (p=0.006). Uji bivariat menunjukkan kasus rinitis alergi mempunyai resiko gangguan fungsi tuba Eustachius tiga kali lebih sering dibanding dengan kasus non rinitis alergi OR:2.5 (95% CI 2.36-2.99) p=0.000.

Penelitian lain melaporkan hal yang hampir sama, sebanyak 76.7% dari 30 subjek penelitian mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius, dimana sebanyak 12 orang merupakan rinitis alergi persisten dan 11 orang rinitis alergi intermitten (Karya, et al., 2007). Wulandari, DP (2010)

melaporkan hasil penelitiannya yaitu subjek rinitis alergi empat kali lebih sering mengalami perubahan tekanan telinga tengah dibandingkan subjek non rinitis alergi dengan OR 3,6;95%, P =0,001.

Setelah dilakukan uji multivariat dengan regresi logistik untuk melihat pengaruh jenis alergen dan tipe rinitis alergi terhadap terjadinya disfungsi tuba Eustachius, didapatkan hasil seperti disajikan di tabel 4.8 yang menggambarkan variabel tipe rinitis alergi (intermitten dan persisten) dan variabel jenis alergen (indoor dan outdoor) berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi tuba eustachius. Namun hanya variabel tipe rinitis alergi saja yang signifikan (p=0.022), sedangkan variabel jenis alergen tidak signifikan (p=0.295). Hal ini disebabkan karena variabel jenis alergen sendiri mempengaruhi tipe dari rinitis alergi. Alergen indoor (tungau dan tungau debu rumah) sangat berpengaruh terhadap tipe rinitis alergi persisten dan jenis alergen outdoor (pollen) berpengaruh terhadap terjadinya tipe rinitis alergi intermiten (berhubungan dengan musim). Dalam hal ini terjadi tumpang tindih antar kedua variabel dan varibel yang lebih dominan adalah tipe rinitis alergi.

Berikut ini terdapat beberapa penelitian yang mendukung hubungan rinitis alergi dengan disfungsi tuba Eustachius diantaranya Knight, Eccles & Morris (1992) mengatakan intranasal challenge dengan menggunakan alergen yang relevan pada subjek rinitis alergi dapat menyebabkan obstruksi tuba Eustachius. Penelitian lain di Eropa melaporkan bahwa tekanan telinga tengah pada subjek rinitis alergi cenderung negatif saat dilakukan paparan dengan allergen yang relevan.

Pelikan (2009) melaporkan penelitian yang dilakukan pada otitis media akut dan kronis, yang dilakukan nasal challenge menggunakan rhinomanometri anterior dimana alergen yang paling sering digunakan adalah tungau debu rumah (indoor) dan serbuk sari bunga (outdoor) yang disertai dengan timpanometri, mendapatkan bahwa terjadi perubahan tekanan telinga tengah seiring dengan terjadinya respon nasal.

Skoner (2009) melaporkan hasil penelitian yang mendukung hubungan rinitis alergi dengan obstruksi tuba, frekuensi otitis media efusi lebih tinggi terjadi pada anak-anak yang alergi dibandingkan dengan anak-anak yang non alergi, dikatakan bahwa obstruksi tuba yang lama berhubungan dengan paparan yang sering oleh perennial aeroallergen seperti tungau debu rumah, yang berperan pada kedua fase cepat dan fase lambat setelah dilakukan tes provokasi nasal.

Doyle, Boehm dan Skoner (1990) melaporkan bahwa nasal challenge

menggunakan mediator inflamasi seperti histamine dan prostaglandin D2

Sobol, Taha dan Schloss (2002) melaporkan ditemukannya sitokin pada spesimen biopsi dan cairan telinga tengah yang diambil dari subjek otitis media efusi, semua spesimen diperiksa T limfosit (CD

menyebabkan obstruksi tuba Eustachius pada subjek rinitis alergi. Hurst dan Venge (2000) melaporkan bahwa terdapat berbagai mediator inflamasi ditemukan pada cairan/spesimen biopsi dari telinga tengah anak-anak dengan otitis media efusi seperti major basic protein,

eosinophil cationic protein, myeloperoxidase, dan mediator-mediator sel

mast seperti histamine dan tryptase, ditemukan juga immunoglobulin E spesifik. Downs et al. (2001) yang melakukan percobaan pada tikus dengan menstimulasi alergi dengan cara menyuntikan histamin transtimpani yang menyebabkan rusaknya mukosiler transport sehingga terjadi disfungsi tuba Eustachius. Hardy, et al. yang menemukan alergi menyebabkan inflamasi fase lambat pada tikus yang sudah tersensitisasi yang menyebabkan disfungsi tuba Eustachius dan efusi (Bluestone dan Klein, 2001;Lazo-Saens et al., 2005).

3), eosinofil

(major basic protein), neutrofil (elastase), sel mast (tryptase) dan basofil

dengan pewarnaan imunohistokimia dan IL-4,IL-5 mRNA dan IFN-Ɣ dengan in situ hybridization. Ekspresi eosinofil, T limfosit, IL-4 dan IL-5 meningkat pada subjek otitis media efusi yang disebabkan oleh alergi, hal ini konsisten dengan respon fase lambat yang terjadi pada saluran nafas,

seperti asma dan rinitis alergi. sehingga mereka menyimpulkan hal ini menjadi bukti bahwa alergi berperan pada pathogenesis otitis media efusi. Nguyen, et al. (2010) melaporkan penelitiannya tentang ekspresi berbagai mediator TH

Dari hasil penelitian ini bahwa penderita rinitis alergi memiliki resiko mengalami disfungsi tuba Eustachius. Apabila terjadi disfungsi tuba Eustachius dan tidak mendapatkan pengobatan yang tepat, maka kondisi ini akan berlarut-larut dan menyebabkan gangguan telinga tengah yang

Dokumen terkait