• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Migrasi Internal

Migrasi internal merupakan mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara. Migrasi internal yang terjadi di Indonesia terdiri dari transmigrasi dan urbanisasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya di Indonesia. Dalam analisis ini transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sebaliknya urbanisasi yang merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota, umumnya terjadi pada penduduk pulau lain yang ingin memperoleh pekerjaan yang lebih baik di pulau Jawa.

Migrasi penduduk antar propinsi dan migrasi desa-kota memperlihatkan

pola yang sangat sentris ke Pulau Jawa. Pola ini mencerminkan suatu disparitas wilayah, yang merupakan perwujudan kebijakan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, khususnya industri dan jasa yang umumnya berlokasi di kota-kota besar dan di Pulau Jawa. Dengan kondisi seperti itu aliran penduduk ke kota-kota besar tidak akan dapat dihambat, meskipun dengan tindakan menahan pendatang untuk masuk ke daerah tersebut.

Perubahan pola mobilitas pada masa yang akan datang sangat tergantung pada perkembangan wilayah di luar Jawa. Jika wilayah-wilayah tersebut dapat mengembangkan kewenangan (otonomi) yang lebih luas bagi pembangunannya sendiri, maka diharapkan pada masa yang akan datang dapat menjadi penarik bagi mobilitas penduduk. Wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua diharapkan dapat menyeimbangkan mobilitas penduduk yang selama ini sangat terpusat pada kota-kota besar di Pulau Jawa.

Tapi kondisi ini tidak dapat terjadi secara otomatis, namun tergantung pada keberhasilan pengembangan wilayah dan kota (permukiman). Dengan demikian untuk pencapaian mobilitas penduduk yang lebih seimbang, agendanya akan sangat melekat pada program pengembangan wilayah dan perkotaan, khususnya di luar Jawa.

Transmigrasi merupakan salah satu unsur utama rencana pembangunan Indonesia. Tujuan sosial transmigrasi adalah menolong rakyat Indonesia yang termiskin, yaitu petani tanpa lahan, penganggur di kota dan gelandangan. Transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum diolah, mengubah tanah yang belum digarap menjadi tanah yang lebih produktif (Levang, 2003).

Program transmigrasi telah dimulai sejak Indonesia masih dibawah pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada Fase Percobaan (1905-1931). Pada masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti yang terdiri atas 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga tersebut mendapat jaminan selama satu tahun pertama. Setiap keluarga juga diberi subsidi yang mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu migrasi spontan (Levang, 2003).

Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941). Tahun 1931 terjadi krisis pada sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa.

Fase Pemecahan Masalah Pascaperang. Pada fase ini pemimpin Republik Indonesia tetap menerapkan cara dan pola yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tetapi tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi

transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri. Kondisi ini terus berlangsung, dan tahun 1983 transmigrasi sepenuhnya dibawah Departemen Transmigrasi.

Pelita III dan IV merupakan masa target. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah memutuskan untuk membagi tugas kepada departemen-departemen terkait. Departemen pekerjaan umum bertugas mempersiapkan lokasi, departemen transmigrasi bertugas merekrut, memindahkan, dan membina para transmigran. Departemen pertanian mengurus masalah pertanian, departemen agama mengurus masalah tempat ibadah dan departemen kesehatan mengurus masalah puskesmas. Untuk memecahkan masalah koordinasi antar dinas dari departemen-departemen tersebut, maka pemerintah menciptakan instansi baru yang dinamakan Badan Koordinasi Transmigrasi (Bakortrans). Pada Pelita IV (1984-1989), pemerintah memindahkan 750 ribu kepala keluarga. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena lama kelamaan penduduk asli menjadi minoritas di daerahnya sendiri (Levang, 2003).

Pada Pelita V kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi ditangani oleh satu departemen yaitu departemen transmigrasi. Pola usaha pertanian tetap dilanjutkan, tetapi lebih ditingkatkan pada pola-pola perkebunan, perikanan, dan perindustrian. Pada Pelita VI, kebijaksanaan pembangunan transmigrasi diarahkan pada kawasan Indonesia Timur, mendukung pembangunan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan menggalakkan Transmigrasi Swakarsa Mandiri.

Tahun 2001 pada periode Kabinet Gotong Royong, penyelenggara transmigrasi dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Penyelenggaraannya diarahkan pada penanganan pengungsi

sesuai kondisi politik saat itu. Pada era otonomi daerah pemerintah pusat berperan sebagai regulator, fasilitator dan mediator. Transmigrasi diposisikan pada program masyarakat bersama antara dua pemerintahan setempat, dan bukan pemerintahan pusat. Transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama antar daerah otonom (Pusdatintrans, 2004).

2.1.2. Migrasi Internasional

Migrasi merupakan fenomena yang telah berlangsung mengikuti perjalanan peradaban manusia. Perpindahan penduduk dari negara asal ke luar batas negaranya makin sering terjadi di hampir seluruh belahan dunia, dengan jumlah yang terus meningkat dan alasan yang beragam. Alasan yang mendasari migrasi tersebut adalah alasan ekonomi, situasi politik di dalam negeri yang tidak menentu sampai terjadinya bencana alam. Migrasi tenaga kerja merupakan bagian dari proses migrasi internasional. Pada awalnya, migrasi tenaga kerja ini terjadi

untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja jangka pendek (short-terms labor

shortages), seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1950-an, dengan

mendatangkan pekerja-pekerja asal Meksiko. Pertumbuhan penduduk yang lambat dikombinasikan dengan kondisi perekonomian yang cukup baik di kawasan Eropa Utara dan Eropa Barat pada tahun 1960 sampai pertengahan tahun 1970 juga membuka peluang bagi masuknya pekerja asing (Weeks, 1974).

Hingga akhir dekade 80-an, masalah-masalah migrasi tenaga kerja masih dipandang dalam perspektif ekonomi-politik. Perspektif ini memandang terjadinya migrasi internasional difokuskan pada ketidaksamaan tingkat upah yang terjadi secara global, hubungan ekonomi dengan negara penerimanya, termasuk juga masalah perpindahan modal, peran yang dimainkan oleh

perusahaan multinasional, serta perubahan struktural dalam pasar kerja yang berkaitan dengan perubahan dalam pembagian kerja di tingkat internasional

(international division of labour). Perpindahan penduduk dari negara pengirim

(sending country) ke negara penerima tenaga kerja migran (receiving country)

akan membuat negara pengirim mendapat keuntungan remittance, sedangkan

negara penerima akan mendapat keuntungan pasokan tenaga kerja murah (Mulyadi, 2003).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka pengangguran yang cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, sebaliknya kesempatan kerja semakin menurun, sehingga mendorong masyarakat untuk migrasi ke tempat bahkan ke negara lain untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Pengiriman tenaga kerja migran Indonesia (TKI) ke luar negeri secara resmi telah diprogramkan oleh pemerintah sejak 1975. Program ini merupakan salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut.

Umumnya migrasi internasional sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan transisi demografi dalam suatu negara. Ketika suatu negara mengalami kemunduran ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan pertumbuhan populasinya masih tinggi, sangat tidak mungkin aktivitas perekonomian negara tersebut dapat menyerap kelebihan tenaga kerja. Untuk alasan ini, pengiriman tenaga kerja merupakan suatu pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dalam teori ekonomi kependudukan dan ketenagakerjaan, hal

ini sering dinyatakan sebagai “the first stage of labor migration transition

Jumlah tenaga kerja migran internasional Indonesia hingga saat ini terus meningkat. Sekitar 70 persen dari jumlah tenaga kerja tersebut adalah perempuan yang rentan terhadap masalah. Migrasi internasional dapat membawa dampak positif bagi negara tujuan, negara asal dan para migran beserta keluarganya. Bagi negara tujuan, kehadiran migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja yang sudah ditinggalkan oleh penduduk setempat karena tingkat kemakmuran negara tersebut semakin meningkat. Lapangan kerja tersebut seperti sektor perkebunan dan bangunan atau konstruksi di Malaysia yang banyak digantikan oleh pekerja-pekerja dari Indonesia, atau menambah kebutuhan tenaga-tenaga terampil yang jumlahnya kurang, seperti kebutuhan tenaga kerja teknisi dan jasa di negara-negara Timur Tengah. Bagi negara asal merupakan sumber penerimaan

devisa dari remittancess hasil kerja migran di luar negeri, sementara untuk para

migran, kesempatan ini merupakan pengalaman internasional dan kesempatan meningkatkan keahlian dan mengenal disiplin kerja di lingkungan yang berbeda. Bagi keluarga migran hal tersebut merupakan sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Syahriani, 2007).

Suatu hal yang diharapkan saat ini adalah menjadikan Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja yang terampil dan ahli, serta berdaya saing. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa, akses informasi teknologi dan budaya dimana mereka bekerja, terutama bagi tenaga kerja migran internasional yang bekerja pada lembaga-lembaga atau institusi seperti rumah sakit, restoran, pertokoan maupun lembaga lain yang menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi adalah persoalan yang sangat penting. Kondisi ini berarti kualitas pendidikan menjadi pertimbangan penting dalam mengirim tenaga kerja

ke luar negeri, dan ini menjadi fokus utama pemerintah untuk membekali pendidikan ketrampilan kepada tenaga kerja tersebut.

Menjadi tenaga kerja migran tidak hanya mempertimbangkan skill atau teknis keahlian saja, tetapi pemahaman dan wawasan terutama budaya masyarakat tempat dimana mereka akan bekerja juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Karena kualitas tenaga kerja dan tingkat pendidikan selalu memiliki keterkaitan. Tenaga kerja migran yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, umumnya bekerja pada lembaga jasa seperti rumah sakit, pertokoan, dan restoran yang memang memerlukan keahlian khusus dari pekerjanya. Pola rekrutmennya dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan kejuruan yang memiliki jaringan kerja sama dengan penempatan tenaga kerja dengan luar negeri. Kondisi tenaga kerja migran ini umumnya lebih baik, dan sangat berbeda dengan tenaga kerja migran yang berangkat hanya berbekal pendidikan dan keahlian yang tidak memadai. Tenaga kerja migran yang mempunyai latar pendidikan rendah lebih banyak ditempatkan pada sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sopir, pekerja perkebunan dan sebagainya.

Menindaklanjuti kondisi tersebut, maka diperlukan suatu manajemen terpadu antara program pemantauan kebutuhan tenaga kerja asing di luar negeri oleh diplomasi perwakilan Republik Indondesia di luar negeri, program perlindungan buruh migran, dan program-program peningkatan keterampilan di dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional.

Informasi mengenai kondisi serta kebutuhan tenaga kerja di mancanegara diharapkan dapat tersedia bagi para calon tenaga kerja migran, sehingga mereka mengetahui dengan jelas kondisi dan resiko kesempatan tersebut. Umumnya informasi yang paling baik bukan dari sumber resmi pemerintah tetapi dari

mantan tenaga kerja migran, tetapi pemerintah sebaiknya dapat membantu menyediakan informasi yang benar.

Peran jasa pengerah tenaga kerja Indonesia tetap sangat penting, karena pemerintah tidak akan berhasil melaksanakannya sendiri, tetapi ketertiban dan pemantauan merupakan tujuan pemerintah untuk melindungi calon tenaga kerja. Salah satu hal yang perlu diketahui oleh calon tenaga kerja migran Indonesia adalah menyiapkan diri untuk memenuhi kualifikasi yang diharapkan oleh pengguna jasa tenaga kerja tersebut.

Oleh karena itu tanggal 18 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam undang-undang ini selain mengatur tentang landasan hukum bagi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, juga mengatur tentang kompetensi calon tenaga kerja. Dalam hal ini dinyatakan bahwa calon tenaga kerja wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan prasyarat jabatan. Jika belum memiliki, wajib mengikuti pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia. Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk (Sembiring, 2006):

1. Membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon

tenaga kerja Indonesia.

2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat

istiadat, budaya, agama, dan resiko kerja diluar negeri.

3. Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan dan

4. Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon

Oleh karena itu dalam sudut pandang normatif, dengan dikeluarkannya undang- undang ini, maka perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri semakin kuat.

2.2. Kebijakan Migrasi

Kebijakan migrasi yang dibahas dalam sub bab ini adalah kebijakan migrasi internal dan kebijakan migrasi internasional. Kebijakan migrasi internal dan internasional ini ditinjau dari sisi kebijakan migrasi formal yaitu kebijakan migrasi yang ditetapkan oleh pemerintah baik dalam bentuk undang-undang, keputusan presiden, maupun peraturan menteri. Kemudian dibahas pula instrumen-instrumen kebijakan yang mendorong terlaksananya kebijakan migrasi yang telah ditetapkan pemerintah.

2.2.1. Migrasi Internal

2.2.1.1. Kebijakan Migrasi Internal

Beberapa kebijakan (formal) yang mengatur tentang migrasi internal khususnya periode pasca kemerdekaan tentang ketransmigrasian telah ditetapkan pemerintah untuk mengatasi masalah distribusi penduduk yang tidak merata dan membantu pembangunan daerah yang ditinggalkan dan daerah tujuan migrasi. Beberapa kebijakan tersebut yaitu: Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999, dan Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1960 yang mengatur tentang pokok- pokok penyelenggaraan transmigrasi, menitikberatkan pada jenis penempatan

transmigrasi secara teratur dalam jumlah yang sebesar-besarnya. Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan pokok transmigrasi menetapkan (Departemen Transmigrasi RI, 1986):

1. Transmigrasi merupakan pemindahan penduduk dari satu daerah ke daerah

lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah.

2. Fungsi transmigrasi adalah sebagai sarana pembangunan yang penting baik

ditinjau dari segi pengembangan proyek-proyek pembangunan nasional maupun regional. Dalam hal ini, transmigrasi berarti penyebaran dan penyediaan tenaga kerja serta ketrampilan, baik untuk perluasan produksi maupun pembukaan lapangan kerja baru di daerah tujuan.

Tahun 1973 ditetapkan Keputusan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1973 tentang penetapan daerah penempatan transmigran yaitu: Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Lembaga penyelenggaraannya adalah departemen transmigrasi dan koperasi.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan transmigrasi menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan migran, maka para migran memperoleh hak-hak sebagai berikut: hak kepemilikan tanah atas namanya; rumah tempat tinggal yang layak dengan aksessibilitas yang memadai; lahan sebagai modal usaha atau sarana lainnya sebagai sarana penyediaan kesempatan

kerja sesuai pola pengembangannya; bimbingan, sarana dan prasarana usaha; sarana dan fasilitas sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan.

Selanjutnya kebijakan umum penyelenggaraan transmigrasi juga diatur dalam GBHN 1983 antara lain :

1. Transmigrasi ditujukan untuk meningkatkan penyebaran penduduk dan tenaga

kerja serta pembukaan dan pengembangan daerah produksi baru, terutama daerah pertanian dalam rangka pembangunan daerah, khususnya di luar Jawa dan Bali, yang dapat menjamin peningkatan taraf hidup para transmigran dan masyarakat di sekitarnya.

2. Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan transmigrasi, yang perlu

ditingkatkan adalah jumlah migran, koordinasi dan penyelenggaraan migrasi yang meliputi penetapan daerah transmigrasi, penyediaan lahan usaha dan pemukiman, penyelesaian masalah pemilikan tanah, prasarana jalan dan transportasi, sarana produksi, dan usaha pengintegrasian migran dengan penduduk setempat.

Namun demikian hingga periode reformasi, program transmigrasi masih dinilai kurang berhasil. Penilaian ini didasarkan pada kondisi tidak terpenuhinya asumsi dasar yang dibuat oleh pengkritisi masalah transmigrasi. Menurut Tirtosudarmo (1996) ada empat asumsi dasar yang mempertautkan antara kebijakan pengerahan mobilitas penduduk yang dilakukan secara langsung melalui transmigrasi.

Asumsi Demographic Fallacy, mengasumsikan pemindahan penduduk

yang diatur pemerintah dapat mengurangi ketidakseimbangan distribusi penduduk antara Jawa dan Luar Jawa. Asumsi ini tidak terbukti karena dengan transmigrasi ternyata tidak secara otomatis menyeimbangkan penduduk Jawa dan luar Jawa.

Pembangunan di Jawa yang relatif cepat menjadi magnit bagi migran luar Jawa, sehingga ketimpangan jumla penduduk tetap terjadi antara Jawa dan luar Jawa.

Asumsi Geographic Fallacy yang mengasumsikan bahwa masih banyak tanah

luas di luar Jawa yang belum berpenghuni, sehingga sangat tepat jika penduduk jika penduduk Jawa dipindahkan ke tempat kosong tersebut.

Asumsi Economic Fallacy yang mengasumsikan bahwa melalui

pemindahan penduduk Jawa yang miskin ke luar Jawa untuk bekerja sebagai petani pemilik dan buruh perkebunan pola PIR akan meningkatkan kesejahteraan

kaum miskin tersebut. Asumsi Political Fallacy mengasumsikan bahwa

terjadinya keresahan politik di daerah-daerah padat penduduk di Jawa dapat dihilangkan dengan memindahkan penduduk ke luar Jawa. Namun asumsi ini sulit dibuktikan kebenarannya. Penempatan transmigran dari Jawa justru banyak menimbulkan kecemburuan sosial penduduk setempat, sedangkan di Jawa keresahan politik tetap saja terjadi.

Belajar dari pengalaman kegagalan hingga periode reformasi yang

merupakan kebijakan langsung (direct policy) tersebut, maka dengan berlakunya

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan transmigrasi mengalami perubahan. Transmigrasi yang semula

merupakan program Top Down, bergeser menjadi Bottom Up. Daerah diberi

keleluasaan untuk menentukan pilihan apakah menerima atau menolak program transmigrasi di daerahnya. Dalam penerimaan calon transmigran dari daerah asal harus ada kerja sama antara daerah penerima dan daerah pengirim, dengan fasilitator pemerintah pusat.

2.2.1.2. Instrumen Kebijakan Migrasi Internal

Pada era paradigma baru ketransmigrasian dalam mendukung otonomi daerah, sebaiknya keunggulan program tidak hanya terletak pada kebijakan

migrasi langsung (direct policy) yaitu pemerintah memindahkan penduduk secara

massal ke daerah tujuan migrasi, tetapi lebih mengutamakan keterbukaan dan sosialisasi kebijakan dan program, yang lebih fokus pada kebijakan tidak

langsung ( indirect policy) dengan mengedepankan potensi daerah tujuan migrasi.

Berdasarkan kebijakan migrasi internal yang telah ditetapkan pemerintah, maka beberapa bentuk kebijakan tidak langsung yang merupakan instrumen kebijakan makroekonomi yang mendukung kebijakan-kebijakan tersebut adalah:

1. Upah Minimum Regional. Tujuan seseorang untuk migrasi adalah untuk memperoleh kesejahteraan dan pendapatan yang lebih baik. Jika upah minimum regional atau upah minimum propinsi di luar Jawa ditingkatkan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan upah minimum regional di Pulau Jawa, diharapkan dapat mengurangi keinginan penduduk di luar Jawa untuk migrasi ke Jawa dan meningkatkan keinginan penduduk Jawa untuk migrasi ke luar Jawa, sehingga distribusi penduduk di Indonesia lebih merata.

2. Pengeluaran Infrastruktur. Pembangunan infrastruktur berfungsi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, mengingat fondasi utama untuk mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika ada peningkatan stok dan perbaikan kualitas infrastruktur. Dampak pembangunan dan perbaikan infrastruktur diharapkan dapat menjadi daya tarik bagi penduduk setempat dan pendatang untuk meningkatkan aktivitas ekonominya, sehingga dapat memperluas dan membuka kesempatan kerja. Jika peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di luar Jawa lebih besar

dibanding peningkatan jumlah anggaran pengeluaran infrastruktur di Jawa, diharapkan dapat meningkatkan jumlah migran dari Jawa ke luar Jawa, dan menurunkan jumlah migran dari luar Jawa untuk migrasi ke Jawa.

3. Suku Bunga. Suku bunga merupakan variabel penting yang mempengaruhi

investasi. Penurunan suku bunga diharapkan dapat mendorong perusahaan-

perusahaan daerah untuk meningkatkan dan membuka investasi baru. Pembukaan dan peningkatan investasi tersebut, diharapkan juga dapat membuka kesempatan kerja di daerah bersangkutan, sehingga dapat menurunkan jumlah pengangguran dan keinginan migrasi penduduk ke daerah lain, serta menjadi daya tarik bagi penduduk lain untuk migrasi ke daerah tersebut.

2.2.2. Migrasi Internasional

2.2.2.1. Kebijakan Migrasi Internasional

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional.

Untuk mewujudkan kondisi tersebut, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah (formal) menetapkan beberapa kebijakan yaitu: Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999, Peraturan Presiden R.I. No.81 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan penempatan tenaga kerja migran merupakan kegiatan pelayanan untuk mempertemukan tenaga kerja migran sesuai bakat, minat dan kemampuannya dengan pemberi kerja diluar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

Perlindungan tenaga kerja migran adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon tenaga kerja migran dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlindungan tenaga kerja migran ditingkatkan tidak hanya menyangkut perlindungan hak dan perlindungan hukum, tetapi juga menyangkut perlindungan terhadap ancaman tindak kekerasan, ancaman terhadap upaya penempatan tenaga kerja migran secara illegal dan perlindungan terhadap kegagalan penempatan. Perlindungan tenaga kerja migran diberikan tiga tahap, yaitu tahap pra penempatan (di dalam negeri), tahap penempatan (di luar negeri), dan tahap purna penempatan (di dalam negeri) (Sembiring, 2006).

Selanjutnya pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa calon tenaga kerja migran yang diizinkan untuk bekerja ke luar negeri harus memenuhi syarat minimal berumur 18 tahun dan berpendidikan sekurang- kurangnya lulus SLTP atau sederajat. Untuk calon tenaga kerja migran yang akan

Dokumen terkait