TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Minyak Dedak Pad
Produksi biodiesel yang dikembangkan saat ini umumnya dibuat dari minyak tumbuhan (minyak kedelai, canola oil, rapeseed oil, crude palm oil, rice bran oil), lemak hewani (beef talow,lard, lemak ayam, lemak babi) dan bahkan dari minyak goreng bekas [27]. Bahan baku yang digunakan untuk produksi biodiesel bervariasi sesuai dengan wilayah geografis tergantung pada kondisi budidaya dan ketersediaannya. Indonesia sebagai salah satu produsen padi terbesar di dunia dengan urutan ketiga setelah China dan India, yang juga berkontribusi pada kebutuhan padi dunia.
Berdasarkan jumlah produksi padi Indonesia pada tahun 2015 sebesar 74.991.788 ton [13] dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 1,65% pada tahun 2016 [14]. Padi sebagai tanaman pangan ini dapat pula dimanfaatkan salah satu bagiannya sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel. Hal ini disebabkan karena padi terdiri dari beberapa komposisi yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Salah satu dari bagian padi yang terlihat pada Gambar 2.1 adalah bekatul atau rice bran. Bekatul atau rice bran merupakan hasil samping proses penggilingan padi yang berasal dari lapisan terluar beras yaitu bagian antara butir beras dan kulit padi. Serta memiliki kandungan minyak sekitar 10-26% dari massanya [15].
Minyak dedak padi (rice bran oil) dapat didefinisikan sebagai minyak alami yang dihasilkan dari bekatul yang berada disamping sekam (kulit) padi. Oleh karena bekatul dan sekam padi sulit untuk dipisahkan, maka campuran keduanya yang diekstrak menjadi minyak [12]. Perbedaan komposisi minyak dedak padi yang dihasilkan ini tergantung pada varietas padi, proses penggilingan, metode ekstraksi, kondisi, dan lama penyimpanan dedak padi. Kadar FFA dari Rice Bran Oil (RBO) adalah sebesar 6-70% tergantung dengan kualitas dedak padinya [16].
Soares, dkk (2015) pada penelitiannya mendapatkan yield RBO sebesar 12,68% dengan menggunakan teknologi dengan Liquefied Petroleum Gas (LPG) [17]. Sedangkan kadar FFA yang terdapat pada RBO menurut Liu, dkk (2015) adalah sebesar 30,52%. Kadar FFA dari RBO yang besar ini disebabkan karena aktivitas enzim lipase yang tinggi setelah proses penggilingan padi [18]. Kadar FFA yang tinggi pada RBO dapat dikurangi dengan dilakukannya berbagai cara perlakuan sebelum RBO disimpan dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Salah satu caranya adalah pemanasan bekatul sebelum digiling dan juga pemanasan RBO untuk menonaktifkan kerja enzim lipase dalam membentuk FFA [16]. Selain itu pula RBO ini memiliki sifat fisika dan kimia yang ditunjukkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Sifat Fisika dan Kimia dari RBO [28]
Asam Lemak Nilai
Palmitat (C16:0) dalam % 18,8 Stearat(C18:0) dalam % 2,4 Oleat (C18:1) dalam % 43,1 Linoleat (C18:2) dalam % 33,2 Linolenat (C18:3) dalam % 0,6 Arasidat (C20:0) dalam % 0,7 Densitas (kg/m3) 922
Viskositas Kinematik pada 40oC (cSt) 43,52 Viskositas Kinematik pada 100oC (cSt) 9,21
Titik nyala (°C) 316/337
Titik tuang (°C) 13/01
Berdasarkan uraian diatas yang menunjukkan bahwa RBO memiliki potensi besar digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Hal ini disebabkan karena ketersediaan dedak padi yang tinggi di Indonesia dan harga bahan baku yang murah. Biodiesel memiliki kandungan oksigen lebih tinggi dari bahan bakar fosil seperti solar. Hal tersebut menunjukkan pengaruh besar terhadap pengurangan senyawa polutan, seperti senyawa-senyawa karbon, emisi partikulat, mono oksida, poliaromatik, sulfur, hidrokarbon, asap, dan kebisingan yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Terlepas dari keuntungannya pada lingkungan, aspek ekonomi produksi biodiesel menjadi penghalang bagi pembangunan karena adanya fakta bahwa sebagian besar biodiesel dihasilkan dari minyak nabati yang berharga mahal.
Penggunaan minyak dedak padi diharapkan mampu mengurangi biaya produksi biodiesel seperti halnya minyak nabati lainnya, lemak hewan, daur ulang atau limbah minyak dan produk sampingan dari pemakaian minyak bekas. Pengembangan sumber alternatif lain dari minyak terbarukan adalah kepentingan, tidak hanya untuk lebih meningkatkan kelayakan ekonomi biodiesel, tetapi juga untuk meningkatkan pasokan dan keberlanjutan produksi bahan bakar ini.
2.2.2 Metanol
Pelarut yang paling umum digunakan untuk produksi biodiesel adalah metanol, karena harganya yang relatif rendah. Selain itu, beberapa alkil asetat rantai pendek seperti metil asetat dan etil asetat dihasilkan sebagai akseptor asil. Laju reaksi tertinggi biasanya diperoleh ketika menggunakan pelarut ini [29].
Tujuan penggunaan pelarut organik untuk transesterifikasi yaitu untuk memastikan campuran reaksi bersifat homogen, mengurangi viskositas campuran reaksi sehingga meningkatkan laju difusi, mengurangi masalah perpindahan massa di sekitar katalis enzim [30]. Untuk meningkatkan stabilisasi katalis enzim sehingga memungkinkan untuk digunakan berulang kali [31]. Sifat-sifat fisika dan kimia metanol dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Sifat-Sifat Fisika dan Kimia Metanol [32]
No. Sifat Fisika Sifat Kimia
1. Wujud berupa cairan tidak berwarna
Berat molekul: 32 g/mol 2. Merupakan produk yang stabil Titik didih: 64,5 °C (148,1 °F) 3. Larut dalam air, metanol, dan
dietil eter
Titik leleh: -97,8 °C (144 °F) 4. Bereaksi tinggi dengan agen
pengoksida
Specific gravity: 0,796 pada 20 °C 5. Tidak korosif pada kaca pH: 7 (netral)
6. Beracun Tekanan uap: 97,68 mmHg pada 20 °C
7. Berbahaya apabila terkena kulit tangan, mata
Densitas uap: 1,11
8. Mudah terbakar Nilai ambang bau: 160 ppm
2.2.3 Zeolit
Katalis digunakan untuk meningkatkan kecepatan reaksi dan nilai yield. Klasifikasi katalis dapat berupa alkali, asam dan enzim [33]. Reaksi transesterifikasi dapat dikatalisasi baik dengan katalis homogen maupun heterogen [34]. Dalam metode homogen konvensional, pemulihan katalis setelah reaksi secara teknis sulit. Jumlah air limbah yang dihasilkan untuk memisahkan katalis dan membersihkan produk sangat besar. Oleh karena itu, katalis heterogen digunakan untuk sintesis biodiesel. Katalis ini memiliki banyak keunggulan dibandingkan katalis homogen. Sifat noncorrosive, ramah lingkungan dan masalah pembuangan yang ditimbulkan lebih sedikit. Katalis heterogen juga lebih mudah untuk dipisahkan dari produk cair, dapat digunakan kembali dan dapat dirancang untuk memberikan aktivitas yang lebih tinggi, selektivitas dan tahan lama katalis [26].
kristal aluminasilikat dengan struktur 3 dimensi. Sifat fisika dan kimianya yang penting, maka bahan ini telah diaplikasikan sebagai absorben, resin penukar ion dan katalis dengan aktivitas tinggi [35]. Rumus molekul dari zeolit secara umum adalah Mx/n{(AlO2)x(SiO2)y}.pH2O, dimana M adalah jumlah kation n yang dapat
dipertukarkan, x adalah jumlah alumunium, y adalah jumlah silika, sedangkan p adalah jumkah kristal air [36].
Struktur kristal zeolit berdasarkan pada jaringan 3 dimensi yang terdiri dari (SiO4)-4 dan (AlO4)-5 yang tetrahedral serta terhubung melalui atom oksigen (O).
Susunan bentuk senyawa pada sisi negatif ini diseimbangkan dengan kehadiran kation, seperti Na+, K+, dan Ca2+ yang dimodifikasi kedalam zeolitnya [37]. Kenampakan unsur utama penyusun zeolit alam dan struktur molekul zeolit alam yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 4.1 dan 4.2 berikut.
a b
Gambar 2.2 Bentuk dari SiO4dan AlO4yang tetrahedral. (a) Penyusun utama
zeolit (b) struktur kimia zeolit [38]
Gambar 2.3 Kerangka Struktur Molekul Zeolit Secara Umum [39]
Pada dasarnya zeolit dapat dibedakan atas dua jenis berdasarkan cara perolehannnya yaitu, zeolit alam dan zeolit sintetik. Zeolit alam (natural zeolite) adalah zeolit yang berasal dari alam, yang diperoleh dari gunung berapi atau daerah sumber air panas. Zeolit sintetik adalah zeolit yang berasal dari bahan- bahan sintetik murni, yang direkayasa atau dibuat oleh manusia dengan
mempunyai saluran, rongga, kation, dan pori tertentu. Disetiap daerah gunung berapi memiliki jenis zeolit yang berbeda karena kandungan mineral yang berbeda pula, sehingga zeolit alam memiliki 40 jenis diantaranya klinoptilotit, mordernit, filipsit, kabasit, dan erionit. Sedangkan zeolit sintetik memiliki 14 jenis yang biasanya dengan cara hidrotermal yang tergantung dengan pemanfaatannya. Contoh dari zeolit sintetik yaitu zeolit ZSM, zeolit NaY, dan lain-lain [40, 41]. Oleh sebab itu, zeolit alam sangat berpotensi di Indonesia mengingat bahwa banyaknya daerah gunung berapi sehingga banyak pula potensi zeolit alam yang dapat dimanfaatkan sebagai katalis biodiesel.
Sebelum digunakan zeolit perlu diaktivasikan guna mempertinggi daya kerjanya, memperluas permukaannya dengan membentuk pori, serta menghilangkan pengotor. Ada beberapa dua cara, dengan fisika dan kimia. Dengan cara fisika dapat dilakukan dengan pemanasan, sedangkan kimia dapat dilakukan dengan penukar ion atau impregnasi dengan senyawa asam atau basa. Impregnasi yaitu cara yang paling mudah dilakukan dengan penambahan beberapa ion dalam porinya [40, 41]. Zeolit dapat ditambahkan atau divariasikan dengan beberapa kation seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+dan lain-lain. Selain itu, penambahan
kation guna menyeimbangkan zeolit karena jumlah elektron dari alumunium lebih sedikit dari silika sehingga menyebabkan ketidakseimbangan zeolit. Zeolit dapat digunakan sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel [42].
Kemampuan zeolit sebagai katalis didasarkan pada adanya ruang kosong atau pori dimana terjadi difusi molekul dan reaksi kimia. Keasaman dari zeolit tergantung pada ratio Si/Al nya, dimana jika ratio Si/Al nya rendah maka zeolit akan memiliki aktivitas katalis yang lebih tinggi. Dengan adanya ruang kosong pada zeolit sehingga dapat digunakan pada minyak yang memiliki FFA tinggi [43], sehingga dengan penambahan kation alkali pada zeolit alam dapat menambah aktivitas katalis dalam pembuatan biodiesel yang dapat merangkap reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Modifikasi zeolit alam tersebut dilakukan dengan cara impregnasi. Proses impregnasi permukaan zeolit dengan kation terjadi pada permukaan katalis. Kation akan menempel pada permukaan zeolit seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Ilustrasi Proses Modifikasi Zeolit Alam dengan Kation [44] Zeolit alam juga telah digunakan oleh Kusuma dkk (2013). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa zeolit alam Indonesia yang digunakan adalah jenis kristal mordenit. Kemudian dimodifikasi dengan cara impregnasi KOH memiliki aktivitas katalitik yang baik untuk digunakan sebagai katalis reaksi transesterifikasi [7].
Selain itu juga pada penelitian yang dilakukan oleh Kusuma dkk (2013), Noiroj dkk (2009), dan Soetaredjo dkk (2011) [7, 45, 46] bahwa KOH sebagai sumber logam K yang ditambahkan ke dalam struktur zeolit saat dikalsinasi, akan terkonversi menjadi K2O. K2O ini memiliki aktivitas yang tinggi sebagai katalis
untuk reaksi transesterifikasi, sehingga pembentukkan senyawa ini pada permukaan zeolit menjadi sisi aktif untuk proses transesterifikasi. Hal ini dibuktikan dengan yield biodiesel tinggi yang dihasilkan [7]. Adapun reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis KOH/zeolit alam yang membentuk K2O menjadi biodiesel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5.
M+(Kation) berupa K+, Na+, dan Ca2+
Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida dan KOH/zeolit alam sebagai Katalis Basa Kuat [7]
Untuk melihat bagaimana pengaruh penggantian larutan modifikasi yang digunakan dalam impregnasi katalis, maka digunakan senyawa K2CO3 sebagai
sumber kation berupa K+, yang juga memiliki kinerja yang sama seperti senyawa
KOH sebagai larutan impregnasi. Selain itu pula katalis K2CO3 ini juga telah
2.3 TRANSESTERFIKASI
Metode yang paling umum dari produksi biodiesel adalah transesterifikasi atau alkoholisis minyak trigliserida dengan alkohol dengan adanya katalis yang menghasilkan ester monoalkil dan gliserol [11]. Transesterifikasi merupakan reaksi antara trigliserida yang terkandung dalam minyak dan penerima gugus asil. Penerima gugus asil dapat berupa asam karboksilat (asidolisis), alkohol (alkoholisis) atau ester lain (interesterifikasi) [48].
Reaksi alkoholisis disebut juga sebagai reaksi transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi kimia dari minyak atau lemak dengan alkohol dengan bantuan katalis asam atau basa yang akan membentuk ester dan gliserol. Reaksi ini merupakan reaksi reversibel yang berurutan dimana trigliserida dikonversi menjadi digliserida, digliserida kemudian dikonversi menjadi monogliserida dan diikuti konversi monogliserida menjadi gliserol. Dari masing- masing tahapan tersebut terbentuk ester dan tiga molekul ester dibentuk dari satu molekul trigliserida [10]. Reaksi transesterifikasi ini dapat dituliskan pada Gambar 2.6 dan 2.7
Gambar 2.6 Reaksi Transesterifikasi Secara Umum dari Minyak Nabati [4] Trigliserida Alkohol Fatty Acid Alkyl Gliserol
gram/60
Gambar 2.7 Tahapan Reaksi Transesterifikasi [4]
Secara stoikiometri jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk 1 mol trigliserida adalah 3 mol alkohol sehingga diperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Produk samping dari reaksi pembentukan biodiesel ini adalah gliserol. Proses pembentukan biodiesel ini mengurangi viskositas dari produk akhir. Transesterifikasi sangat luas digunakan untuk mengurangi viskositas minyak tanaman. Alkohol yang biasa digunakan dalam proses transesterifikasi adalah metanol akan tetapi etanol juga dapat digunakan namun mempunyai harga yang lebih mahal [49].
Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang dihasilkan dari proses transesterifikasi, sehingga dapat mengubah viskositas tinggi dari minyak nabati ataupun hewani menjadi rendah seperti viskositas bahan bakar fosil. Biodiesel yang dihasilkan larut dengan diesel mineral dalam proporsi apapun. Titik nyala Tahap 1
Trigliserida Alkohol Digliserida
Digliserida Alkohol Monogliserida Tahap 2
Tahap 3
Monogliserida Alkohol Gliserol Fatty Acid Alkyl Ester (Biodiesel)
transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa parameter proses yang meliputi: Kandungan kelembaban dan asam lemak bebas (FFA), waktu reaksi, reaksi suhu, katalis dan rasio molar alkohol dan minyak menjadi faktor utama yang mempengaruhi transesterifikasi [50].
2.3.1 Suhu
Suhu reaksi adalah faktor penting yang akan mempengaruhi hasil biodiesel. Sebagai contoh, reaksi dengan suhu yang lebih tinggi akan meningkatkan laju reaksi dan memperpendek waktu reaksi karena pengurangan viskositas minyak. Namun, peningkatan suhu reaksi luar secara optimal menyebabkan penurunan yield biodiesel, karena suhu reaksi yang lebih tinggi mempercepat saponifikasi trigliserida dan menyebabkan metanol mudah menguap. Biasanya suhu reaksi transesterifikasi harus di bawah titik didih alkohol untuk mencegah penguapan alkohol [50]. Kisaran optimal suhu reaksi dapat bervariasi dari 50 °C hingga 60 °C tergantung pada minyak atau lemak yang digunakan. Akan tetapi banyak penelitian juga yang menggunakan temperatur reaksi yang mendekati titik didih alkohol yang digunakan untuk memperoleh konversi yang lebih cepat [51]. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Fan dkk (2012) yang memperoleh temperatur reaksi optimalnya adalah 65 °C dalam pembuatan biodiesel dari minyak kedelai. Katalis heterogen modifikasinya berupa KF/CaO-MgO dengan yield biodiesel tertinggi yang dihasilkan sebesar 97,98% [46].