• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. Minyak kayu manis

Minyak atsiri merupakan produk samping dari tanaman kayu manis. Minyak atsiri merupakan campuran dari senyawa-senyawa yang mudah menguap yang berbeda-beda dalam hal susunan kimia maupun titik didihnya. Secara visual minyak atsiri C. Burmanii tidak berwarna sampai kuning kecoklatan dan

mempunyai bau yang sama dengan minyak C.zeylanicum tetapi kurang lembut (Mulyono, 2001).

Minyak atsiri kayu manis dapat diperoleh melalui proses penyulingan (destilasi) terhadap kulit batang, kulit cabang maupun daun kayu manis (Rismunandar, 1993). Sebelum proses penyulingan perlu dilakukan perlakuan pendahuluan berupa pengeringan dan pengecilan ukuan untuk mempercepat proses penyulingan dan memperoleh rendemen yang tinggi dengan mutu yang lebih baik (Guenther, 1987).

Gambar 1. Skema penyulingan minyak atsiri kayu manis (Rismunandar, 1993) Kulit kayu manis kering

Pengecilan ukuran

Destilasi uap

Uap (air + minyak)

Pendinginan

Pemisahan air dengan minyak

Air Minyak atsiri kulit

Ada tiga metode penyulingan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan minyak atsiri kayu manis yaitu metode penyulingan air, metode penyulingan air dan uap, serta metode penyulingan uap langsung. Pemilihan metode penyulingan tergantung pada jenis bahan yang akan disuling, dengan mempertimbangkan cara penyulingan yang paling ekonomis untuk mendapatkan minyak atsiri yang mutunya baik (Guenther, 1987).

a. Metode penyulingan air

Pada metode ini bahan langsung berkontak dengan air dan terendam dalam air mendidih. Pengisian bahan tidak boleh terlalu padat dan penuh sebab dapat meluap ke dalam kondensor atau bahan tidak dapat bergerak leluasa sehingga dapat menggumpal dan dapat menyebabkan rendemen mnyak turun. Pemanasan air dilakukan dengan sistem mantel uap sehingga bahaya hangus dapat dihindarkan, untuk itu penambahan air yang cukup selama penyulingan akan mencegah hasil yang tidak diinginkan. Metode penyulingan ini merupakan metode penyulingan yang praktis dengan peralatan penyulingan yang relatif sederhana dan murah (Guenther, 1987).

b. Metode penyulingan air dan uap

Pada penyulingan ini, bahan yang akan disuling diletakkan di atas saringan berlubang. Ketel diisi dengan air sampai permukaan air tidak jauh berada di bawah saringan. Uap yang dihasilkan pada penyulingan ini selalu dalam keadaan basah dan jenuh serta bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap, tidak dengan air panas. Secara umum, pada penyulingan ini uap air jenuh akan berpenetrasi ke dalam bahan sehingga akan terbentuk campuran uap air dan minyak dalam jaringan tanaman. Selanjutnya minyak akan berdifusi ke permukaan bahan dan diuapkan. Peningkatan suhu penyulingan akan mempercepat proses difusi. Pada penyulingan ini pengisian dan keseragaman ukuran bahan harus diperhatikan sehingga uap akan mudah berpenetrasi dan merata dalam bahan. Penyulingan dengan uap dan air baik digunakan untuk bahan yang permukaannya tidak terlalu tebal dan keras, misalnya daun-daunan dan kulit yang tipis (Guenther, 1987).

c. Metode penyulingan uap

Pada metode penyulingan ini, uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap panas yang bertekanan 1 atm yang dihasilkan oleh ketel uap yang letaknya terpisah dari ketel suling. Uap dialirkan melalui pipa uap berlingkar dan berpori yang terletak di bawah bahan olah, dan bergerak ke atas melalui bahan di atas saringan. Pada penyulingan ini, tekanan uap dalam ketel suling diatur sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Proses difusi akan berlangsung dengan baik jika uap sedikit basah. Penyulingan sebaiknya dimulai dengan tekanan rendah (1 atm), kemudian dinaikkan perlahan-lahan. Penyulingan dengan uap langsung ini baik digunakan untuk memisahkan minyak atsiri dari biji-bijian, akar dan kayu yang permukaannya keras dan biasanya mengandung minyak yang bertitik didih tinggi (Guenther, 1987).

Menurut Nurdjannah (1992), cara destilasi dan pengetahuan mengenai bahan serta cara penanganannya memegang peranan penting dalam memperoleh minyak atsiri kulit kayu manis. Minyak kulit kayu manis mengandung bahan-bahan aromatik yang larut dalam air, hal ini dapat menyebabkan rendemen yang rendah pada destilasi minyak kulit kayu manis.

Rusli, Ma’mun dan Triantoro (1990) melakukan percobaan penyulingan

minyak kulit kayu manis terhadap tiga jenis mutu kulit kayu manisCinnamomum burmanii yaitu mutu KA, mutu KB dan mutu KC. Hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kadar minyak atsiri dan rendemen hasil penyulingan Cinnamomum burmanii

Bahan Kadar air (%) Kadar minyak (%) Rendemen (%)

Mutu KA 10,97 3,59 0,86

Mutu KB 13,63 2,78 0,47

Mutu K 16,00 2,14 0,36

Sumber : Rusli, Ma’mun dan Triantoro (1990)

Kadar minyak atsiri Cinnamomum burmanii lebih rendah daripada kadar minyak atsiri Cinnamomum zeylanicum. Percobaan yang dilakukan oleh Simarmata (1989) yang melakukan penyulingan Cinnamomum zeylanicum secara

dikukus menghasilkan rendemen minyak 0,70 – 0,80%. Perlakuan sebelum penyulingan seperti kebersihan kulit kayu manis dan pengecilan ukuran mempengaruhi rendemen minyak yang dihasilkan, dimana semakin kecil ukuran bahan yang disuling maka semakin besar rendemen minyak yang akan diperoleh, karena luas permukaan bertambah besar dan difusi minyak ke permukaan bahan semakin mudah. Percobaan yang dilakukan oleh Widiyatmoko (1989), didapatkan rendemen dan mutu minyak atsiri terbaik dari perlakuan bahan yang dibersihkan, dengan ukuran panjang 1 cm dan waktu penyulingan selama 8 jam, yang menghasilkan rendemen sebesar 0,97%, bobot jenis 0,98, indeks bias 1,56 dan kadar sinamaldehid 60,47%.

Komponen aromatik minyak kulit kayu manis larut dalam air sehingga dalam proses destilasi dengan air menyulitkan proses pemisahan minyak dengan airnya. Untuk mengatasi hal ini telah ada percobaan ekstraksi minyak kayu manis dengan CO2 cair. Cara ekstraksi ini telah dilakukan oleh Tateu dan Chizzina (1989) dengan mengekstrak bubuk kulit kayu manis Cinnamomum zeylanicum. Percobaan ekstraksi minyak kulit kayu manis dengan CO2 cair juga telah dicoba oleh Nurdjannah dan Syarif (1991) dengan memakai kulit kayu manis dari jenis

Cinnamomum burmanii dan Cinnamomum zeylanicum, sebagai pembanding dilakukan pula penyulingan kayu manis dengan cara uap. Dari berbagai tekanan yang dicobakan pada suhu operasi antara 35 - 40ºC, tekanan yang paling cocok untuk mendapatkan minyak atsiri kulit kayu manis adalah 81,65 atm. Dari percobaan tersebut, rendemen dan kandungan sinamaldehid yang diperoleh dengan ekstrasi CO2 cair lebih besar dibandingkan dengan cara destilasi uap (Tabel 5). Dengan uji organoleptik, minyak yang diperoleh mempunyai aroma yang lebih mendekati bahan asal. Warna dari minyak yang dihasilkan dari destilasi uap lebih kuning, sedangkan dengan destilasi CO2 cair berwarna kuning kecoklat-coklatan dan jernih.

Tabel 5. Rendemen dan kandungan sinamaldehid minyak kulit kayu manis yang diperoleh dengan destilasi uap dan ekstraksi CO2cair

Komposisi C. burmanii C.zeylanicum

Rendemen (%) - Destilasi uap - Destilasi CO2cair 1,04 1,75 0,80 2,04 Kadar sinamaldehid - Destilasi uap - Destilasi CO2cair 28,42 67,68 21,40 47,00 Sumber : Nurdjannah dan Syarif (1991)

Rendemen minyak yang diperoleh dengan ekstraksi CO2 cair lebih tinggi daripada destilasi uap, tetapi harganya lebih tinggi dan lebih sulit penerapannya terutama untuk skala kecil. Penerapan destilasi uap lebih memungkinkan karena harganya lebih rendah dan sederhana (Nurdjannah dan Sjarif, 1991).

Pemasaran Kulit Kayu Manis

Pemasaran kulit kayu manis di daerah Sumatera Barat cukup sederhana. Menurut Gusmailina (1995) umumnya di setiap desa terdapat pedagang yang menampung hasil produksi langsung dari petani. Walaupun ada sebagian petani penghasil yang menjual langsung ke ibukota kecamatan atau kabupaten, akan tetapi jumlahnya sedikit. Tahapan-tahapan yang lazim berlangsung dalam pemasaran kulit kayu manis adalah :

1. Petani –pedagang pengumpul desa – pedagang pengumpul kecamatan –

pedagang pengumpul kabupaten–eksportir.

2. Petani – pedagang pengumpul kecamatan – pedagang pengumpul kabupaten–eksportir.

3. Petani–pedagang pengumpul kabupaten–eksportir.

Menurut Dinas Perkebunan Sumatera Barat (1991), dalam mata rantai pemasaran kayu manis, petani berperan sebagai produsen kayu manis, eksportir memproses bahan asalan menjadi bahan mutu ekspor. Sedangkan pedagang

pengumpul desa/kecamatan dan pedagang kabupaten hanya sebagai pengumpul. Mengenai harga, lebih banyak ditentukan oleh pihak eksportir.

Menurut Nurdjannah (1992), petani produsen kayu manis hanya melakukan pengolahan yang sangat sederhana, yaitu mengeringkan kulit yang sudah dipanen. Kulit yang sudah dikupas atau dibersihkan dari kulit luarnya dibelah-belah dengan ukura 3-4 cm lebarnya, dikikis setelah bersih dijemur selama 2-3 hari. Pada keadaan kering kulit kayu manis akan menggulung sendiri. Lamanya penjemuran tergantung pada keadaan sinar matahari Setelah dirasa cukup kering, dilakukan sortasi menurut syarat-syarat kualitas. Kayu manis yang berasal dari petani yang dikenal sebagai kayu manis asalan mempunyai kadar air sekitar 30–35%.

Dalam proses pemasaran kulit kayu manis, resiko yang sering dialami petani adalah faktor musim yang berpengaruh dalam penurunan mutu kulit kayu manis. Jika musim penghujan maka mutu kulit kayu manis akan rendah karena banyak mengandung air, dan harga jual akan rendah. Karena pada umumnya para petani belum memiliki tempat penyimpanan yang sesuai dengan kondisi persyaratan. Strategi perdagangan yang dilakukan oleh lembaga perniagaan bertujuan untuk mengurangi resiko dan memperoleh keuntungan. Pada waktu harga kulit kayu manis turun, para petani tidak menjual kecuali bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Biasanya kulit kayu manis tersebut disimpan dulu dan baru dijual jika harga membaik (Gusmailina, 1995).

Kulit kayu manis hasil olahan petani diolah kembali oleh pedagang atau eksportir sebelum dikirim ke luar negeri. Pengolahan kembali ini dimaksudkan untuk menaikkan kualitas, supaya diperoleh harga yang lebih tinggi dan terutama juga berusaha untuk meningkatkan kebersihan serta menghilangkan jamur yang sering ditemui pada hasil olahan rakyat. Pengolahan yang dilakukan di perusahaan eksportir terdiri dari pencucian, pengeringan, pemotongan, sortasi dan pengepakan. Kayu manis yang siap ekspor mempunyai kadar air 5-6% (Nurdjannah, 1992).

Menurut Sanusi dan Isdiyoso (1977), di tingkat pedagang pengumpul desa/kecamatan dan pedagang pengumpul kabupaten, proses pengolahan yang

dilakukan biasanya adalah proses penyortiran untuk perbaikan mutu kulit kayu manis yang dihasilkan rakyat.

Grading di tingkat petani biasanya dilakukan secara visual. Faktor yang menentukan grading di tingkat petani adalah asal kulit, warna, kotoran, tebal kulit, umur panen. Dalam hal ini, grading yang dilakukan petani belum sesuai dengan yang diminta oleh pedagang eksportir, dimana kadar air, kadar kotoran, ukuran gulungan juga digunakan sebagai standar mutu (Kemala, 1980).

Mutu kulit kayu manis yang baik didapatkan dari kulit batang, kemudian kulit cabang dan ranting. Dari kulit batang akan diperoleh kualitas AA dan A/KA, dari cabang akan diperoleh kualitas B atau KB dan dari ranting kualitas C atau KC (Asfaruddin dan Kasim, 1983).

Standar mutu kulit kayu manis untuk tujuan ekspor dibagi 7 jenis mutu ekspor yaitu :

1. Kualitas AA. Cirinya gulungan rata dan licin, bentuknya seperti pipa yang panjangnya antara 50 – 60 cm dengan diameter 1 cm. Kulit berwarna coklat kekuning-kuningan dan tidak terdapat benjolan.

2. Kualitas KA. Cirinya gulungan rata dan licin, bentuknya seperti pipa tetapi lebih besar dan lebih tebal daripada AA. Warna merah tua kecoklatan, terdapat benjolan dan kotoran.

3. Kualitas KB. Cirinya gulungan tidak rata, kulit ada yang tebal dan ada yang tipis, serta mempunyai cacat dan mempunyai tonjolan-tonjolan. 4. Kualitas KC. Cirinya gulungan ada yang rata dan ada yang tidak rata. Kulit

tipis, banyak kotoran dan pecah-pecah. Umumnya berasal dari sisa KA dan KB

5. Kualitas A. Cirinya gulungan rata dan licin, kulit tipis dari KA dan tidak terdapat kotoran.

6. Kualitas B. Gulungan tidak rata dan kulit lebih tipis dari KB, agak cacat dan terdapat benjolan-benjolan.

7. Kualitas C. Cirinya kulit tipis dan pecah-pecah, merupakan pecahan dari pengepakan.

Penetapan mutu ini berdasarkan pengamatan visual dan teknis. Pengamatan visual meliputi keadaan pengikisan kulit, asal kulit, warna kulit,

panjang gulungan dan tebal kulit. Pengamatan teknis meliputi kadar minyak minimum, kadar air maksimum, kadar pasir maksimum dan kadar abu maksimum (Rismunandar, 1993).

Secara visual standar mutu yang dikeluarkan oleh Direktorat Standarisasi Mutu dari Kementerian Perindustrian dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Analisis Finansial

Menurut Sutojo (1991), aspek finansial yang perlu dikaji dalam perencanaan suatu proyek adalah jumlah dana yang digunakan untuk pembiayaan (membangun dan mengoperasikan proyek), sumber pembiayaan serta kegiatan evaluasi keuangan. Kriteria pemilihan keputusan dilakukan terhadap hal-dal yang dapat menggambarkan keadaan di masa mendatang dengan kajian waktu dari uang, fluktuasi aliran dana serta resiko yang akan dihadapi jika proyek terlaksana (Kadariyah, Karlina dan Gray, 1978).

Menurut Djamin (1984) ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam analisa finansial yaitu :

a. Harga. Dalam analisa finansial, untuk mencari nilai sebenarnya dari barang dan jasa digunakan harga pasar.

b. Bunga (Interes). Dalam analisa finansial, buangan merupakan biaya proyek, oleh karena itu harus dihitung.demikian pula angsuran hutang bila mendapat pinjaman/kredit dari bank.

c. Pajak (Tax). Dalam analisa finansial, pajak merupakan biaya proyek sehingga harus dihitung.

Analisa aspek ekonomi finansial dapat didekati dengan perhitungan Break Event Point (BEP), Net Preset Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net

B/Cratiodan Aliran Kas (Cash flow). 1. Break Event Point(BEP)

Perhitungan BEP digunakan untuk mengetahui tingkat penjualan dan produksi dalam keadaan perusahaan tidak mendapatkan keuntungan dan tidak rugi. Analisa BEP biasanya digunakan untuk memperkirakan barapa minimal perusahaan harus bisa menghasilkan dan menjual produknya agar tidak menderita

rugi. Variabel-variabel yang menentukan dalam perhitungan BEP adalah fix cost,

variabel cost, dan harga jual per unit (Husnan dan Suwarsono, 1997).

Biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tetap selama setahun periode kerja. Biaya variabel merupakan biaya yang selalu mengalami perubahan sesuai produktivitas pabrik.

2. Net Present Value(NPV)

NPV merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Proyek akan diteruskan jika NPV yang dihasilkan lebih besar atau sama dengan nol. Jika nilai NPV sama dengan nol berarti proyek mengembalikan persis sebesar

discount rate. Sedangkan jika nilai NPV kecil dari nol, dana proyek sebaiknya digunakan untuk penggunaan lain (Husnan dan Suwarsono, 1997).

3. Internal Rate of Return(IRR)

Menurut Sutojo (1991), IRR merupakan tingkat bunga yang bila digunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan jumlah investasi proyek (menggambarkan laba nyata proyek).

Nilai IRR suatu proyek lebih besar atau sama besar dengan nilai i (tingkat suku bunga) maka proyek layak untuk dilaksanakan, sebaliknya jika nilainya lebih kecil dari i maka proyek tidak layak.

4. NetB/Cratio

Nilai net B/C merupakan nilai yang menggambarkan perbandingan antara

benefit (manfaat) total dengan total biaya yang dikeluarkan. Nilai net B/C ratio lebih besar atau sama dengan satu berimplikasi proyek layak untuk diteruskan, sebaliknya nilai yang lebih kecil dari satu merupakan tanda proyek tidak layak untuk diteruskan (Djamin, 1984).

5. Pay Back Period

Pay Back Period merupakan jangka waktu pengembalian investasi awal proyek yaitu waktu suatu usaha dapat mengembalikan seluruh modal yang

ditanam. Pengembalian dilakukan dengan pembayaran laba bersih ditambah penyusutan (Husnan dan Suwarsono, 1997).

III. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dalam empat tahapan penelitian yaitu tahap pengumpulan data dan informasi, tahap pengkajian pengembangan produk, tahap pengkajian teknologi, tahap uji coba dan analisis finansial.

Tahap Pengumpulan Data dan Informasi

Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan survey lapangan pada bulan Mei sampai bulan September 1999. Dari studi pustaka didapatkan data sekunder yang meliputi data mengenai potensi tanaman kayu manis (luas areal, produktivitas, pola perkebunan), pola tata niaga komoditi kayu manis (lokal dan ekspor) serta berbagai kondisi optimum proses pengolahan kayu manis dari hasil-hasil penelitian terdahulu.

Melalui survey lapangan didapatkan data primer yang meliputi struktur biaya pada tingkat petani, struktur biaya pengolahan kayu manis dengan melakukan pengamatan pada industri sejenis. Selain itu juga data hasil produksi dan mutu produk melalui uji coba produksi.

Tahap Pengembangan Produk

Kajian terhadap pengembangan produk kulit kayu manis dilakukan dengan menganalisa produk-produk yang dapat dihasilkan dari bahan baku kulit kayu manis. Produk yang dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi akan dikaji untuk dikembangkan.

Untuk pengembangan produk lebih lanjut dilakukan analisa bahan baku untuk mengetahui potensi bahan baku yang tersedia pada beberapa tahun yang akan datang. Analisa potensi bahan baku dilakukan dengan menggunakan metode prakiraan berdasarkan data produksi bahan baku pada beberapa periode sebelumnya. Apabila potensi bahan baku untuk beberapa tahun yang akan datang cukup tersedia maka dilakukan proses pengembangan produk. Pemilihan produk yang akan dikembangkan juga dilakukan dengan memperhatikan potensi pasar dan kemampuan teknologi pengolahan. Terhadap produk yang terpilih kemudian akan dilakukan kajian teknologi yang dapat diterapkan dan selanjutnya dilakukan uji coba produksi.

Tahap Pengkajian Teknologi dan Uji Coba

Kajian terhadap teknologi pengolahan yang akan digunakan dilakukan dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknologi pengolahan yang tepat kemudian akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan uji coba produksi.

Menurut Manning (1984), metode perbandingan eksponensial merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Penetapan keputusan dilakukan dengan format matriks seperti dapat dilihat pada Gambar 2.

Alternatif Kriteria Urutan prioritas 1 2 . . . m 1 2 . . . n Bobot

Gambar 2. Format matrik keputusan Metode Perbandingan Eksponensial.

Pengambilan keputusan dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dilakukan melalui lima tahap yang meliputi penyusunan alternatif keputusan yang akan dipilih, penyusunan kriteria-kriteria yang akan dikaji, penentuan tingkat kepentingan (bobot) tiap kriteria, penentuan skor untuk setiap alternatif dan penghitungan total skor setiap alternatif dengan persamaan sebagai berikut:

m

Total skor = Ʃ S(ij)Kj

j=1

dimana :

S(ij) = nilai skor ke-i pada kriteria ke-j Kj = bobot kriteria ke-j

Penentuan keputusan dapat diambil berdasarkan nilai-nilai yang ada pada urutan prioritas. Alternatif keputusan dapat diambil berdasarkan urutan prioritas yang tertinggi.

Uji coba di lapangan dilakukan terhadap teknologi pengolahan yang dipilih dari hasil perhitungan MPE untuk mendapatkan gambaran hasil yang sebenarnya dari kondisi optimum laboratorium. Uji coba dilakukan dengan menggunakan alat pengolahan dari industri yang sejenis. Alat ini kemudian dicobakan untuk bahan kulit kayu manis dengan berdasarkan parameter-parameter yang sesuai dengan proses pengolahan secara laboratorium. Proses uji coba dilakukan sebanyak dua kali. Dalam tahap ini dilakukan analisa sebagai berikut: 1. Pengukuran rendemen

2. Pengukuran mutu produk

3. Penghitungan neraca massa produk

Analisis Finansial

Analisis finansial terhadap industri pengolahan kulit kayu manis dilakukan dengan menghitung nilaiNet Present Value (NPV),Internal Rate of Ratio (IRR),

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Pay Back Period (PBP), Break Event Point

(BEP) dan analisa sensitivitas.

Net Present Value(NPV)

Net Present Value(NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Dengan demikian apabila NPV bernilai positif, dapat diartikan sebagai keuntungan yang diperoleh dari proyek. Sedangkan nilai NPV negatif menunjukkan sebagai kerugian yang didapatkan dari proyek tersebut (Husnan dan Suwarsono, 1997). NPV dapat dihitung dengan persamaan berikut :

N (Bt–Ct) NPV = Ʃ

t=1 (1 + i )t dimana :

Bt= keuntungan kotor pada tahun ke t Ct= biaya kotor pada tahun ke t n = umur ekonomis

Internal Rate of Ratio(IRR)

Internal Rate of Ratio (IRR) merupakan tingkat bunga yang menyebabkan nilai NPV sama dengan nol, sehingga nilai sekarang (present value) dari aliran uang tunai yang masuk sama dengan nilai sekarang dari aliran uang tunai yang keluar (Kadariahet al, 1978). Nilai IRR dapat dicari dengan rumus :

PV (i2–i1) IRR = i1 + PV + NV Dimana : PV = NPV positif NV = NPV negatif i1 = tingkat bunga PV i2 = tingkat bunga NV

Net Benefit Cost Ratio(Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan antara Present Valuetotal dari hasil keuntungan bersih terhadap Present Value dari biaya bersih (Kadariahet al, 1978). Rumus untuk menghitung net B/C adalah :

n Bt–Ct Ʃ (untuk Bt –Ct > 0 ) t=0 (1 + i) Net B/C = n Ct–Bt Ʃ (untuk Bt –Ct < 0) t=0 (1 + i)t

Pay Back Period (PBP)

Pay Back Period (PBP) atau waktu pengembalian modal merupakan jangka waktu yang dipelrukan untuk pengembalian investasi semula (Husnan dan Suwarsono, 1997).

Modal PBP =

Break Event Point(BEP)

Break Event Point (BEP) atau titik pulang pokok menunjukkan suatu kondisi dimana tingkat penjualan perusahaan tidak menguntungkan dan tidak merugikan (Husnan dan Suwarsono, 1997). Titik pulang pokok dicari dengan cara :

Biaya tetap BEP (dalam unit) =

Dokumen terkait