• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.4 Semiotika Roland Barthes

2.2.4.2 Mitos

Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berhujud. Mitos dapat berangkai menjadi Mitologi yang memainkan peran penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat di dalamnya.

Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, akan tetapi melalui anggapan bedasarkan observasi kasar

yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam “gosip” kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu dibentuk oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadapsuatu hal yang dinyatakan dalam mitos.

Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle matière peut être dotée arbitrairement de signification „materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer. Seperti kita ketahui, parole adalah rea-lisasi dari langue (Barthes, 2006:16).

Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (démontage sémiologique).

Ciri-ciri mitos (Barthes, 2006:121):

1. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation. Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan, mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks

linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form. 2. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan

secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang harus menemukan mitos tersebut. Contoh: ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.

3. Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan: baca-membaca- dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis.

Minuman anggur adalah salah satu contoh penerapan mitos. Denotasi dari minuman anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usia yang semakin tua semakin mahal harganya. Di dalam menu makan, anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dan sebagainya. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos. Menurut Barthes, mitos merupakan cara berpikir

kebudayaan tentang suatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sebuah hal (Sobur, 2004:224a).

Selain itu, mitos juga sering diiringi oleh ritual-ritual tertentu. Hal ini biasanya menyangkut dengan mitos yang ada dalam sebuah agama tertentu. Dan ritual ini digunakan oleh pemuka-pemuka agama dengan tujuan untuk menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan. Seperti yang diungkapkan oleh van Peursen bahwa mitos data dikatakan sebagai “sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (Sobur, 2004:225a).

Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara historis. Jadi, mitos menjadikan pandangan dunia tentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. ‘Mitos bertugas memberikan kehendak historis atau justifikasi alamiah, dan mejadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi’ (Barthes, 2006; 155). Dalam analisis lain, Barthes menjabarkan iklan berbahasa Prancis demikian:

Di sini kita punya iklan Panzani: beberapa paket pasta, sedikit saja, satu bungkus, beberapa tomat, bawang Bombay, lada, jamur, semua keluar dari tas tali yang setengah terbuka, dengan latar belakang kuning dan merah (Barthes, 2006; 33).

Dalam analisis berikutnya, Barthes membedakan kode linguistik (bahasa Prancis, label Panzani) dan kode visual yang dibangun dari serangkai tanda, dia mengulas penanda visual ‘tas setengah terbuka dan membiarkan persediaan makanan itu tumpah keatas meja’. Dia membacannya sebagai ‘suatu kepulangan dari pasar’, suatu penanda yang berarti ‘kesegaran’ dan ‘persiapan aktivitas domestik’. Tanda kedua membawa serta ‘tomat, lada dan naungan triwarna (kuning, hijau,merah) poster tersebut; petandanya adalah Italia, atau lebih tepat disebut Italianicty’ (Barthes, 2006; 34). Komposisi citra penampilan sebuah lukisan hidup yang menambah karakter ke-Italia-an citra ini.

Karya Saussure dah karya Barthes di awal merupakan dua di antara sekian banyak teks pelopor dalam cultural studies kontemporer dan

merepresentasikan gerak menjauh dari kulturalisme kearah strukturalisme. Keduannya berpengaruh dalam cultural studies yang membantu para kritikus untuk mennyerang pandangan teks sebagai ibu kandung maknayang bersifat transparan. Mereka memperjelas argument bahwa semua teks budaya dikonstruksikan dengan tanda. Namun, pandangan strukturalis tentang bahasa dengan sendirinya menjadi subjek kritik. Terutama gagasan bahwa tanda dapat memiliki makna yang stabil, yang ditampilkan oleh gagasan pasangan biner dan denotasi, dilemahkan dalam karya Barthes, Volosino/Bakhtin dan Derrida (Barker, 2004: 74).

 

Dokumen terkait