• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macro & Micro National

MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI WILAYAH

Sejak dua dekade terakhir, terjadi banyak perkembangan dalam ilmu ekonomi politik yang memberikan isyarat pentingnya kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE). Hal utama yang melatarbelakangi berkembangnya NIE adalah munculnya masalah yang berkaitan dengan aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah koordinasi, perubahan teknologi dan perilaku pencarian rente (rent-seeking). Dalam NIE, asumsi neo-klasik yang tidak realistik seperti informasi yang sempurna dan simetrik (perfect and symmetric information), ketiadaan biaya transaksi (transaction cost) dan rasionalitas yang tidak terbatas menjadi lebih longgar.

Perkembangan tersebut didukung oleh pemikiran North (1990) yang menyatakan bahwa kelembagaan formal dan informal merupakan hal penting dalam upaya memahami kinerja ekonomi. Akar perdebatan akhir-akhir ini adalah isu pembangunan kelembagaan (institutional development) terkait dengan penadbiran yang baik (good governance) yang mampu menekan biaya transaksi dan menghindari risiko kegagalan komitmen akibat adanya perilaku oportunistik, melalui penguatan rasa saling percaya, jaringan kerja dan norma sebagai determinan modal sosial.

Sesungguhnya perdebatan mengenai modal sosial telah berlangsung sejak tahun 1920-an namun mulai memperoleh perhatian kembali ketika Bourdieu (1980), Coleman (1988) dan Putnam (1993) mempublikasikan pandangan serta hasil penelitian mereka mengenai modal sosial. Pesatnya perkembangan penelitian modal sosial didorong pula oleh adanya publikasi social capital initiative working papers, World Bank seperti hasil penelitian Woolcock (1998), Grootaert (1999; 2001) serta Narayan dan Pritchett (1999). Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa modal tradisional (sumber daya alam, manusia dan fisik) hanya menentukan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi. Faktor penentu lainnya adalah modal sosial yaitu cara aktor ekonomi saling

berhubungan dan mengorganisasikan diri mereka untuk menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi.

Meier dan Stiglitz (2001) menggambarkan evolusi pemikiran ekonomi tersebut seperti Gambar 3. Awalnya, pembangunan ekonomi diartikan hanya sebagai pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi sehingga faktor modal fisik (physical capital) menjadi penentu keberhasilan proses pembangunan tersebut. Sejalan dengan perkembangannya, keberhasilan pembangunan tidak hanya diukur berdasarkan pencapaian indikator ekonomi (pertumbuhan) saja melainkan juga pencapaian indikator non-ekonomi. Hal tersebut juga mendorong terjadinya pergeseran pemikiran terhadap akumulasi modal secara bertahap, yang awalnya hanya menekankan pada akumulasi modal fisik kemudian disertai dengan akumulasi modal manusia, ilmu pengetahuan dan akhirnya modal sosial.

Sumber: Meier dan Stiglitz, 2001

Gambar 3 Evolusi Pemikiran Pembangunan dalam Akumulasi Modal

Menurut Lin (2001) modal sosial dapat meningkatkan efektivitas pembangunan melalui: (1) tersedianya aliran informasi (flow of information) yang semakin simetris sehingga biaya transaksi dapat dihindari; (2) terbangunnya pengaruh yang semakin kuat antar pelaku pembangunan dalam pengambilan keputusan; (3) adanya jaminan sosial (social credentials) untuk memperoleh akses yang lebih baik terhadap berbagai sumber daya, dan (4) terbangunnya rasa saling berbagi antar anggota organisasi sehingga tersedia dukungan emosional dan pengakuan publik.

Perkembangan pemikiran mengenai modal sosial memang tidak terlepas dari kritik, terutama berasal dari para ahli ekonomi klasik (Arrow, 1997; Solow, 2000; Sobel 2002) yang meragukan ketepatan istilah modal dalam menyatakan modal sosial. Modal (capital) dalam pengertian klasik adalah stok dari faktor produksi alam atau buatan manusia yang diharapkan dapat menghasilkan jasa yang produktif (Solow, 2000). Modal seringkali merupakan stok yang berbentuk tangible, solid dan durable. Arrow (1997) menyatakan bahwa ada tiga aspek dari

Physical capital Human capital Knowledge capital Social capital

modal (capital) yaitu (1) perluasan dalam waktu (extension in time), (2) memerlukan pengorbanan untuk keuntungan di masa yang akan datang (deliberate sacrifice for future benefit) serta (3) dapat dipertentangkan atau alienabilitas. Pada beberapa kasus, aspek (1) memang terpenuhi namun berbeda dengan investasi fisik, modal sosial dalam jumlah kecil tidak cukup bermanfaat jika digunakan dalam proses produksi. Menurut Arrow (1977), aspek (2) tidak dapat dipenuhi karena jaringan kerja sosial dibangun lebih didasarkan pada nilai pengawasan (monitoring) bukan nilai ekonominya. Aspek (3) memang diakui tidak selalu sesuai untuk semua kasus, sebagai contoh kasus human capital saat seseorang meningkatkan pendidikan dan keterampilannya. Berdasarkan kritik-kritik tersebut, Solow dan Arrow meyakini bahwa terdapat analogi yang lemah antara modal fisik dan modal sosial sehingga tidak dapat diperlakukan sama.

Bagaimanapun, Arrow sependapat bahwa oganisasi adalah alat untuk mencapai manfaat dari collective action pada saat terjadinya kegagalan sistem harga. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jaringan kerja (network) dan pasar bersifat subsitusi. Selain itu, jaringan kerja dan pasar dapat bersifat komplemen dimana jaringan kerja produksi dan pertukaran dari suatu komoditi berperan penting bagi berfungsinya sistem pasar. Jaringan kerja dapat menjadi alat melalui mana pasar dapat dibangun seperti perdagangan jarak jauh di masa yang lalu. Modal sosial memang menjadi faktor penting dalam teori ekonomi dan merupakan suplemen terhadap teori pasar.

Berbeda dengan Arrow dan Solow, Adler dan Woo Kwon (1999) menegaskan bahwa ada enam atribut yang melekat pada modal sosial yang memungkinkan memasukkan modal sosial dalam kelompok modal. Enam atribut tersebut yaitu: (1) modal sosial adalah sumber daya yang dapat diinvestasikan untuk penggunaan masa depan; (2) modal sosial dapat digunakan untuk berbagai keperluan; (3) modal sosial bersifat komplemen dengan modal lainnya; (4) modal sosial membutuhkan upaya pemeliharaan; (5) modal sosial dimiliki secara bersama bukan bersifat individu; dan (6) Modal sosial tergantung dari kerjasama antar individu. Meskipun dapat dihancurkan oleh seseorang namun modal sosial tidak dimiliki secara perorangan.

Robinson dalam Lawang (2005) menyatakan bahwa ada sembilan karakteristik modal fisik yang digunakan sebagai kriteria apakah modal sosial dapat dikategorikan sebagai modal. Karakteristik tersebut meliputi: (1) kapasitas transformasi; (2) kemampuan mempertahankan diri (durability); (3) fleksibilitas; (4) substitutif; (5) berkurangnya kemampuan melayani (decay, obsolete); (6) keandalan (reliability); (7) multi produktif; (8) peluang (opportunity); (9) alienabilitas.

Perdebatan dan kritik tidak hanya mengenai pemikiran yang mempertimbangkan modal sosial sebagai modal, namun juga dalam penentuan indikator yang tepat untuk mengukur modal sosial serta bagaimana cara membangun modal sosial (Bjørnskov dan Svendsen, 2005; Sabatini, 2005). Putnam (1993) menggunakan ikatan kewarganegaraan, kerapatan membaca koran dan rasa percaya sebagai proksi dari modal sosial, sedangkan Collier (1998) menggunakan indeks rasa percaya sebagai proksi dari modal sosial. Di sisi lain, modal sosial dinyatakan pula sebagai fungsi dari biaya interaksi yang diproksi dari kesamaan bahasa, kepadatan telepon dan kepadatan penduduk.

Perbedaan pandangan dan cara mendefinisikan modal sosial juga berkaitan erat dengan metode yang digunakan untuk menjelaskan modal sosial tersebut. Bagaimanapun, perbedaan cara pandang dan metode analisis dalam penelitian-penelitian modal sosial ternyata tidak saling mempertentangkan peran modal sosial itu sendiri.

Perkembangan Definisi Modal Sosial

Ahli ekonomi, sosiologi dan politik mendefinisikan modal sosial secara berbeda-beda. Secara umum, konsep modal sosial dikembangkan oleh dua aliran utama yaitu sosiolog-anthropologi serta politik dan ekonomi kelembagaan. Gylfason (2002) menyatakan modal sosial adalah infrastruktur sosial dan politik suatu negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya, modal sosial yang lemah akan ditunjukkan oleh tingginya perilaku rent seeking dan korupsi yang mengganggu efisiensi serta menghambat pertumbuhan ekonomi.

Coleman (1990) berpendapat bahwa modal sosial adalah atribut struktur sosial dimana seseorang ada di dalamnya. Modal sosial melekat dalam struktur

sosial dan memiliki karakteristik public good namun setara dengan financial capital, physical capital dan human capital. Adler dan Woo Kwon (1999) memiliki pandangan yang sama dengan menyatakan bahwa modal sosial adalah barang publik (public good), tidak dimiliki oleh orang tertentu tetapi tergantung dari seluruh anggota dalam suatu jaringan kerja. Sifat public good tersebut menyebabkan setiap individu cenderung untuk melalaikan kewajiban dalam memelihara keberlangsungannya dan sebaliknya mempercayakan pada anggota yang lain untuk jaminan pemeliharaannya.

Bank Dunia (1998) menyatakan modal sosial secara spesifik sebagai norma-norma dan hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat dan memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan kegiatan serta mencapai tujuan yang diinginkan. Sejalan dengan definisi Bank Dunia tersebut, Woolcock dan Narayan (2000) menyatakan bahwa modal sosial merupakan norma dan jaringan kerja yang memungkinkan orang melakukan sesuatu secara bersama-sama. Menurut Woolcock dan Narayan, ada empat perspektif modal sosial dalam pembangunan ekonomi, yaitu: (1) Communitarian View; (2) Network View; (3) Institutional View; dan (4) Synergy View.

Pandangan Communitarian mempersamakan modal sosial dengan organisasi lokal seperti asosiasi, klub atau kelompok masyarakat. Pandangan ini mengukur secara sangat sederhana melalui kepadatan suatu organisasi dalam komunitas tertentu. Modal sosial secara inheren adalah ”barang” sehingga semakin banyak akan lebih baik dan selalu memberikan dampak yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Network view berusaha untuk menghitung upside dan downside dari modal sosial. Perspektif kedua ini menekankan pada pentingnya asosiasi vertikal dan horisontal antar individu serta hubungan inter dan antar organisasi yang saat ini dikenal dengan bonding (strong intra community ties) dan bridging social capital (weak extra community network). Modal sosial tidak selalu berupa manfaat tetapi juga merupakan biaya. Perspektif ini menganggap bahwa masyarakat dapat dicirikan oleh bawaan (endowment) mereka akan kedua dimensi modal sosial tersebut. Perbedaan kombinasi antar kedua dimensi akan mempengaruhi hasil yang diperoleh dari modal sosial.

Institutional view berpendapat bahwa jaringan kerja komunitas dan masyarakat merupakan hasil dari keadaan politik, hukum dan kelembagaan. Pandangan ini telah menghasilkan sejumlah metodologi dan fakta empiris yang kuat namun hanya untuk kebijakan makro. Terakhir, synergy view, berusaha untuk mengintegrasikan pandangan network dan institutional. Pembangunan yang inclusive akan tercapai bila terdapat forum bersama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, yang secara bersama mampu mengidentifikasi dan mencapai tujuan bersama.

Berbeda dengan pandangan Woolcock dan Narayan (2000), Lesser (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai kesejahteraan atau keuntungan yang terjadi karena adanya hubungan sosial antar individu. Ada tiga dimensi utama yang mempengaruhi perkembangan dari keuntungan ini, yaitu struktur hubungan, dinamika interpersonal yang terjadi dalam struktur, serta konteks dan bahasa umum yang digunakan oleh individu dalam struktur.

Menurut Collier (1998), modal sosial dapat mengatasi permasalahan oportunistik, kegagalan pasar terutama dalam hal informasi dan permasalahan pembonceng (free rider) sehingga memudahkan aksi kolektif. Ada hubungan yang erat antara modal sosial dan sumber daya manusia. Modal sosial adalah hasil dari hubungan antar individu yang memfasilitasi suatu tindakan dan terbentuk apabila setiap orang dalam kelompok tersebut memberikan kontribusi. Hubungan antara modal sosial dan sumber daya manusia ini memang tidak dapat digambarkan dalam bentuk hubungan yang sederhana. Investasi modal sosial, seperti halnya investasi dalam human capital, tidak memiliki tingkat depresiasi yang diperkirakan (Glaeser, Laibson dan Sacerdote, 2001). Modal sosial, sama dengan ilmu pengetahuan, bersifat intangible, selalu berkembang dan menjadi lebih produktif bila digunakan. Oleh karenanya, modal sosial perlu dipelihara agar tetap produktif. Tanpa curahan waktu, energi atau sumber daya lain pada modal sosial, hubungan antar individu cenderung akan terkikis oleh waktu. Bersama-sama dengan human capital dan physical capital, modal sosial memfasilitasi aktivitas yang produktif.

Konsep modal sosial merupakan konsep yang relevan baik di tingkat mikro, meso dan makro. Pada tingkat makro, modal sosial mencakup institusi

seperti pemerintah, aturan hukum, hak sipil dan kebebasan politik. Pada tingkat meso dan mikro, modal sosial merujuk pada jaringan kerja dan norma yang membangun interaksi antar individu, rumah tangga dan masyarakat. Interaksi yang membangun modal sosial dapat bersifat horisontal, yang menekankan pada hubungan setara antar anggota (Putnam, 1993), maupun hubungan vertikal yang dicirikan oleh adanya hubungan hierarki dan ketidaksamaan distribusi kekuasaan antar anggota (Coleman, 1988; 1990). Norma yang dibangun dan disepakati bersama akan mendorong individu untuk melakukan investasi pada aktivitas kelompok karena adanya keyakinan bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama dan masing-masing individu akan bertanggung jawab terhadap manfaat bersama.

Sumber dan Dimensi Modal Sosial

Pengelompokan sumber modal sosial disesuaikan dengan pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial tersebut. Pantoja (1999) mengelompokkan modal sosial berdasarkan sumber terbentuknya menjadi enam, yaitu: (1) Hubungan kekeluargaan yang terjadi karena kelahiran; (2) Kehidupan berorganisasi yang meliputi semua organisasi horisontal dan vertikal; (3) Jaringan kerja; (4) Masyarakat politik; (5) Aturan formal dan norma yang mengatur kehidupan publik serta (6) Nilai-nilai. Dimensi modal sosial yang terbangun dari berbagai sumber modal sosial tersebut adalah: (1) Rasa percaya, (2) Norma dan (3) Jaringan Kerja.

Rasa Percaya (Trust)

Rasa percaya adalah dasar dari perilaku moral dimana modal sosial dibangun. Moralitas menyediakan arahan bagi kerjasama dan koordinasi sosial dari semua aktivitas sehingga manusia dapat hidup bersama dan berinteraksi satu dengan lainnya. Membangun rasa percaya adalah bagian dari proses kasih sayang yang dibangun sejak awal dalam suatu keluarga. Sepanjang adanya rasa percaya dalam perilaku dan hubungan kekeluargaan, maka akan terbangun prinsip-prinsip resiprositas dan pertukaran (Bordieu, 1986; Fukuyama, 1995).

Rasa percaya merupakan alat untuk membangun hubungan yang dapat menekan biaya transaksi, yaitu biaya yang muncul dalam proses pertukaran dan biaya untuk melakukan kontak, kontrak dan kontrol. Rasa saling percaya dapat menekan biaya pemantauan (monitoring) terhadap perilaku orang lain agar orang tersebut berperilaku seperti yang diinginkan. Percaya berarti siap menerima risiko dan ketidakpastian. Casson dan Godley (2000), mendefinisikan rasa percaya sebagai menerima dan mengabaikan kemungkinan bahwa sesuatu akan tidak benar. Rasa percaya memudahkan terjalinnya kerjasama. Semakin tebal rasa saling percaya semakin kuat kerjasama yang terbangun antar individu.

Rasa saling percaya dapat dibangun namun dapat pula hancur. Rasa percaya yang berkelanjutan terbangun dari adanya interaksi personal yang berulang-ulang (personalized trust), pengetahuan terhadap populasi maupun insentif-insentif yang diperoleh (generalized trust) dan tidak dapat dibangun tanpa menunjukkan kebenaran. Sifat rasional manusia yang terbatas (bounded rationality) berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu, batas rasionalitas manusia harus diperluas melalui komunikasi dan ketersediaan informasi yang dapat dipercaya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rasa percaya secara nyata dan positif berhubungan dengan keberhasilan pencapaian indikator pertumbuhan ekonomi melalui proses produksi yang lebih efisien. Sebaliknya, keberhasilan pemerintah mewujudkan tingkat pembangunan ekonomi yang lebih baik dapat pula memperkuat rasa percaya sosial masyarakat.

Norma (Share Value)

Teori tradisional tentang kelompok menyatakan bahwa organisasi dan kelompok memiliki sifat ada dimana-mana (ubiquitous) karena kecenderungan hakiki manusia untuk bergabung dan membentuk asosiasi. Mosca dalam Olson (1982) menyatakan bahwa manusia memiliki insting untuk bergerombol bersama (herding together) dan bersaing dengan gerombolan lainnya (fighting with other herds). Insting ini meningkat dalam suatu masyarakat tertentu dengan alasan moral.

Selama ini, terbentuk anggapan umum bahwa kelompok individu dengan kepentingan bersama (common interest), paling tidak mencakup tujuan ekonomi, akan berusaha mengembangkan tujuan bersama tersebut. Kelompok individu diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan dengan kepentingan individu. Anggapan tersebut mengasumsikan bahwa individu dalam kelompok akan bertindak di luar keinginan pribadinya. Sesungguhnya, individu dalam kelompok akan berusaha untuk mencapai tujuan bersama hanya jika individu tersebut juga memperoleh keuntungan, dengan kata lain, tindakan untuk mencapai tujuan bersama tersebut bukanlah sukarela. Oleh karena itu, diperlukan norma yang berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga keuntungan setiap anggota proporsional dengan usahanya dalam kelompok tersebut.

Norma adalah nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999), menyatakan modal sosial sebagai norma informal yang bersifat instan yang dapat mengembangkan kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma yang merupakan modal sosial dapat disusun dari norma resiprositas antar teman. Norma sosial yang menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu juga dipahami sebagai prinsip keadilan yang mengarahkan pelaku untuk berperilaku yang tidak mementingkan diri sendiri. Jaringan Kerja (Network)

Dasgupta dan Serageldin (2002), mengasumsikan bahwa setiap orang mampu berinteraksi dengan orang lain tanpa harus memilih. Namun sesungguhnya, setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu. Jaringan kerja pada awalnya merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication channel) untuk melindungi dan mengembangkan hubungan interpersonal. Membangun saluran komunikasi ini membutuhkan biaya yang dikenal dengan biaya transaksi. Keinginan untuk bergabung dengan orang lain, sebagian disebabkan oleh adanya nilai-nilai bersama. Jaringan kerja juga berperan dalam membangun koalisi dan koordinasi. Secara umum dikatakan bahwa keputusan

melakukan investasi dalam saluran tertentu disebabkan oleh adanya kontribusi saluran tersebut terhadap kesejahteraan ekonomi individu.

Jaringan kerja menekankan pada pentingnya organisasi vertikal dan horisontal antar manusia serta hubungan inter dan intra organisasi tersebut. Granovetter (1973), menyatakan bahwa ikatan kuat antar masyarakat (strong ties) diperlukan untuk memberikan identitas pada keluarga dan masyarakat serta tujuan bersama. Pandangan ini juga menganggap bahwa lemahnya ikatan antar masyarakat (weak ties) yang menghubungkan berbagai organisasi sosial akan mendorong ikatan horisontal yang kuat (strong ties) menjadi dasar untuk mewujudkan keinginan kelompok yang terbatas.

Modal sosial adalah suatu keadaan dimana individu-individu menggunakan keanggotaannya dalam suatu kelompok untuk memperoleh manfaat. Modal sosial tidak dapat dievaluasi tanpa pengetahuan mengenai dimana individu tersebut berada, karena interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakatnya. Coleman (1988), berpendapat bahwa kepadatan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama dalam suatu organisasi. Menurutnya, modal sosial adalah jumlah dari ”relational capital” yang dimiliki beberapa individu dan dibangun berdasarkan norma resiprositas. Hubungan sosial yang terbangun dalam suatu penutupan (closure) struktur sosial, tidak hanya penting untuk membangun norma yang efektif tetapi juga membangun kepercayaan karena penutupan jaringan kerja (network closure) tersebut menghasilkan eksternalitas ekonomi positif melalui proses fasilitasi terhadap aksi bersama (collective action).

Woolcock (2000), membedakan secara tegas antara modal sosial yang mengikat, menyambung dan mengait (bonding, bridging dan linking social capital). Menurutnya, modal sosial yang bersifat mengikat (bonding) umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan sahabat. Anggota dalam kelompok ini umumnya berinteraksi secara intensif, face-to-face dan saling mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging) terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekwensi yang relatif lebih rendah seperti kelompok agama, etnis, atau tingkat pendapatan tertentu. Modal sosial yang bersifat mengait (linking) umumnya terbentuk dari hubungan formal

antar berbagai pihak seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, pertanian, kepariwisataan dan sebagainya.

Pengukuran Modal Sosial

Sabatini (2005), menyatakan bahwa banyaknya kajian empiris mengenai modal sosial belum mampu mengatasi keberagaman metode pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial di suatu wilayah dapat dilakukan melalui pengukuran determinan sosial kehidupan berkelompok dan hasil (outcome) dari modal sosial itu sendiri. Stone dan Hughes (2002) dari Australian Institute of Family Studies, mengusulkan pengukuran inti modal sosial yang dikaitkan dengan determinan dan hasil (outcome) modal sosial seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Kerangka Pemikiran Pengukuran Modal Sosial

Determinan Modal sosial Modal Sosial Outcome modal sosial Jaringan kerja Karakteristik jaringan kerja Karakteristik individu Umur Jenis Kelamin Kesehatan Karakteristik keluarga Status perkawinan Status hubungan Jumlah anak Sumber daya Pendidikan Tenaga kerja Kepemilikan Prilaku Toleransi Partisipasi Karakteristik wilayah Rural/urban

Tingkat sosial ekonomi

Proporsi lokal network

Pendidikan Keamanan Ikatan informal

Ikatan kekeluargaan

Aturan keluarga

Teman

Tetangga

Rekan kerja Hubungan yang umum • Hubungan antar orang lokal Hubungan kelembagaan

Hubungan sistem kelembagaan

Ikatan kekuatan Kesejahteraan keluarga

Peningkatan kapasitas Kesejahteraan masyarakat

Kesehatan masyarakat

Kesukarelaan

Kerjasama masyarakat

Toleransi

Penurunan kriminalitas Kesejahteraan politik

Partisipasi dalam demokrasi

Kualitas pemerintahan Kesejahteraan ekonomi

Kemakmuran

Pengurangan inequality

Ukuran dan ekstensif

Jumlah ikatan

informal

Jumlah tetangga

dekat

Jumlah rekan kerja dekat Kerapatan dan Closure

teman dekat masing-masing anggota keluarga

Mengenal orang-orang lokal

Keragaman etnis, pendidikan, budaya

Indikator Proximal adalah indikator yang mengukur hasil modal sosial yang berhubungan langsung dengan komponen inti dari jaringan kerjasama, rasa percaya dan resiprositas seperti penggunaan civic engagement sebagai indikator dari jaringan kerja sosial. Indikator Distal adalah hasil tidak langsung dari modal sosial seperti indeks harapan hidup, status kesehatan, kehamilan remaja, tingkat kriminalitas, tingkat partisipasi dalam pendidikan, tingkat pengangguran dan tenaga kerja, tingkat pendapatan rumah tangga, korupsi, kepercayaan terhadap lembaga negara, kriminalitas dan keamanan serta ikatan politik, pertumbuhan GDP atau pertumbuhan lapangan pekerjaan.

Tabel 3 Aspek Struktural dan Kognitif Modal Sosial

Struktural Kognitif

Sumber dan manifestasi ƒ Peran dan aturan

ƒ Network dan hubungan interpersonal lannya

ƒ Tata cara dan keteladanan

ƒ Norma

ƒ Nilai

ƒ Sikap

ƒ Kepercayaan

Domain ƒ Organisasi sosial ƒ Kebudayaan Masyarakat Faktor dinamis ƒ Keterkaitan horisontal

ƒ Keterkaitan vertikal

ƒ Rasa percaya

ƒ Solidaritas

ƒ Kerjasama

ƒ Kedermawanan

Elemen Umum Harapan yang mengarah pada perilaku bekerjasama yang menghasilkan manfaat bersama

Sumber: Uphoff, 1999 dalam Dasgupta dan Serageldin, 2002

Ada dua pandangan yang berbeda dalam membahas kontribusi aspek kognitif dan struktural modal sosial, yaitu pandangan Uphoff (1999) dalam Dasgupta dan Serageldin (2002), yang tidak membedakan secara terinci antara tingkat mikro, meso dan makro (Tabel 3) serta pandangan Grootaert dan Van Bastelaer (2002), yang mengaitkan antara sumber modal sosial dan tingkat modal sosial tersebut (Gambar 5). Pada beberapa kasus, modal sosial di tingkat makro merupakan hasil aggregasi dari modal sosial di tingkat mikro. Namun pada kasus tertentu, hal tersebut tidak dapat diberlakukan.

Sumber : Grootaert dan Van Bastelaer (2002)

Gambar 5 Bentuk dan Ruang Lingkup Modal Sosial

Keterkaitan antara modal sosial dan kinerja pemerintahan ditunjukkan pada Gambar 6. Kinerja pemerintahan yang baik dan modal sosial yang kuat, tidak saja mewujudkan kesejahteraan ekonomi namun juga kesejahteraan sosial. Sebaliknya, jika tidak disertai dengan modal sosial yang kuat, akan berpeluang

Dokumen terkait