• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terbentuknya modal sosial membutuhkan proses yang cukup panjang dalam kehidupan suatu komunitas. Modal sosial tidak dapat lahir secara mendadak. Modal sosial digunakan oleh komunitas yang bersangkutan untuk bertahan hidup (survival strategy). Strategi mem-bangun diri, kelompok, komunitas, dan lingkungan membutuhkan modal sosial yang solid. Nilai-nilai dasar yang memiliki basis adat dan kultural untuk penguatan modal sosial (social capital) karena berkaitan dengan kepercayaan, norma, dan jaringan. Diskusi teoritis tentang modal sosial (social capital) dimaksudkan untuk menemukan basis pe-nguatan dalam modal sosial (social capital). Analisis mengenai modal sosial (social capital) yang dilakukan olek pemikir terkemuka yaitu Boundieu, Coleman, dan Putnam lebih lanjut dikemukakan oleh Field (2010) bahwa: pemikir pertama, yaitu Bourdieu mengenai modal sosial (social capital) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1973 tentang cara anggota kelompok profesional mengamankan posisi mereka (dan anak-anak mereka).

Pada awalnya Boundieu mendefinisikan modal sosial sebagai modal hubungan sosial yang jika diperlukan akan memberikan du-kungan-dukungan bermanfaat. Modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menarik para klien ke dalam posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik. Pendapat ini kemudian diperbaiki oleh Bourdieu dan Wacquant tahun 1992 yang mengatakan modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal-balik, perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasi. Pemikir kedua yaitu Coleman yang mengemukakan modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial ko-munitas yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat pen-ting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal manusia.

Pemikir ketiga, yaitu Putnam yang mengemukakan modal sosial me-rujuk pada bagian dari organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi.

Berdasarkan pemikiran dari ketiga pemikir mengenai modal so-sial (social capital) dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa Boundieu mencatat modal sosial dapat bertahan, maka individu harus meng-upayakan. Komentar awal Boundieu membawanya pada sketsa yang lebih panjang tentang modal sosial (social capital) yang banyak mem-bahas konsep ini sebagai tambahan atau bahkan dimensi modal budaya seperti dikemukakan oleh Robbins (2000). Pada hakikatnya pemikiran Boundieu tentang modal sosial (social capital) bahwa pokok perhatian-nya dahulu dan sekarang adalah pemahaman atas hierarki sosial. Dalam banyak hal Bourdieu membahas gagasan yang banyak dipengaruhi oleh sosiologi Marxis, dan menurutnya modal ekonomi adalah akar dari semua jenis modal lain. Ia tertarik pada bagaimana hal ini dapat di-kombinasikan dengan bentuk modal lain untuk menciptakan dan reproduksi ketimpangan. Mustahil memahami dunia sosial tanpa me-ngetahui peran modal dalam segala bentuknya, dan tidak sekedar dalam satu bentuk yang diakui oleh teori ekonomi. Dalam beberapa hal ia berargumen bahwa transmisi modal budaya merepresentasikan bentuk paling efektif transmisi modal melalui warisan, karena sebagian besar hal tersebut tersembunyi dan dengan demikian tidak mudah di-kendalikan, sementara itu warisan kekayaan ekonomi dapat dikendali-kan melalui kebijadikendali-kan pajak. Untuk itu istilah modal sosial adalah satu-satunya cara untuk menjabarkan prinsip-prinsip aset sosial yang men-jadi kentara manakala individu yang berlainan memperoleh hasil yang tidak setara dari modal yang ekuivalen (ekonomi atau budaya) dan se-jauh mana mereka mampu memobilisasi modal dari suatu kelompok (keluarga, mantan siswa sekolah elite, klub pilihan, kebangsawanan), dan lain sebagainya.

Pemikiran Coleman bagaimana modal sosial mencapai hasil yang diharapkan. Secara rasional Coleman berasumsi bahwa aktor individu biasanya mengejar kepentingan diri mereka sendiri. Jika mereka

me-milih bekerja sama, itu semua karena hal tersebut menjadi ke-pentingannya. Untuk itu dalam teori pilihan rasionalnya, kerja sama adalah perkecualian dari aturan longgar tentang aktor yang menyendiri dan penuh perhitungan, yang sibuk mengejar kepentingannya sendiri. Esai Coleman tentang modal sosial dan modal manusia, hubungan di-pandang membangun sumber modal dengan membantu menciptakan kewajiban dan harapan antar aktor, membangun kejujuran lingkungan sosial, membuka saluran informasi, dan menetapkan norma yang me-nopang bentuk-bentuk perilaku tertentu sambil menerapkan sanksi pada calon-calon penunggang bebas. Coleman menganggap kedekatan yaitu adanya hubungan yang memberikan manfaat timbal balik antar aktor dan institusi berbeda sebagai suatu yang esensial dalam menjalan-kan kewajiban, namun juga dijalanmenjalan-kannya sanksi.

Pemikiran Putnam memperkenalkan antara dua bentuk dasar modal sosial: menjembatani (atau inklusif) dan mengikat (atau eks-klusif). Modal sosial yang mengikat cenderung mendorong identitas eksklusif dan mempertahankan homogenitas. Modal sosial yang men-jembatani cenderung menyatukan orang dari beragam ranah sosial, dan masing-masing bentuk tersebut membantu menyatukan kebutuhan yang berbeda. Modal sosial yang mengikat adalah sesuatu yang baik untuk menopang resiprositas spesifik dan memobilisasi solidaritas, dan pada saat yang sama menjadi semacam perekat terkuat dalam me-melihara kesetiaan dalam kelompok dan memperkuat identitas-identitas spesifik. Teori modal sosial dari Putnam menunjukkan ke-samaan menonjol dengan pandangan Durkheimian tentang solidaritas. Tidak seperti Coleman, Putnam secara terang-terangan menolak pe-misahan yang dilakukan Tonnies antara komunitas organik ( gemein-schaft) dengan organisasi sosial teratur (gesellschaft) dengan kesimpul-an bahwa modernitas adalah musuh dari keberadabkesimpul-an. Studi ykesimpul-ang di-lakukan Putnam di Italia menunjukkan bahwa ranah sipil yang paling minim adalah wilayah desa-desa tradisional di selatan. Kekerabatan kalah penting sebagai sumber solidaritas bila dibandingkan dengan kenalan dan keanggotaan bersama asosiasi sekunder, yang dapat me-nyatukan individu dari kelompok-kelompok kecil yang berlainan dan terpisah satu sama lain. Ia juga berargumen bahwa ikatan vertikal bisa

jadi kalah membantu bila dibandingkan dengan ikatan horisontal, karena bisa jadi melemahkan kapasitas bagi tindakan kolektif dan cen-derung menciptakan kecurigaan.

Bertolak dari ketiga pemikiran mengenai modal sosial yang di-kemukakan Bourdieu, Coleman, dan Putnam secara berlainan tidak membedakan antara tipe modal sosial. Selanjutnya Michael Woolcook (2001) membuat pemisahan modal sosial (social capital) antara lain; (a) Modal sosial yang mengikat, yang berarti ikatan antara orang dalam situasi yang sama, seperti keluarga dekat, teman akrab dan ukuran tetangga; (b) Modal sosial menjembatani, yang mencakup ikatan yang lebih longgar dari beberapa orang, seperti teman jauh dan rekan se-kerja; (c) Modal sosial yang menghubungkan, yang menjangkau orang-orang yang berada pada situasi berbeda, seperti mereka yang sepenuh-nya ada di luar komunitas, sehingga mendorong anggotasepenuh-nya me-manfaatkan banyak sumber daya dari pada yang tersedia di dalam komunitas (Field, 2010: 68).

Kategori modal sosial (social capital) dapat menjembatani ke-hidupan suatu komunitas berdasarkan pertalian kekerabatan yang ber-sifat teritorial genealogis menunjukkan bahwa bonding social capital di kalangan komunitas makin kuat karena relasi saling percaya senantiasa tercipta, keterikatan pada norma sebagai aturan main, dan terbentuk jaringan yang makin kuat, sedangkan bridgin social capital dengan orang luar berada pada posisi yang lemah karena unsur-unsur modal sosial tidak memiliki tempat berlabuh yang sesuai. Untuk itu me-mahami relasi saling percaya yang kuat, norma, dan jaringan dapat memperkuat identitas yang memberikan penguatan pada modal sosial (social capital) yang solid dalam komunitas. Suatu hal yang turut memperkuat unsur-unsur modal sosial adalah suasana batin sebagai dasar kejiwaan yang membentuk identitas. Relasi sosial yang terbangun sangat kuat dan tidak pernah diketahui orang luar adalah ikatan batin

yang sesungguhnya merupakan bagian penting sehingga memiliki fungsi dan peran untuk menguatkan modal sosial (social capital) kahal ini tumbuh dari dalam diri (kejiwaan) dan terimplementasi ke luar membentuk sebagai strategi membangun diri dan komunitas.

Modal yang tidak kalah penting memberikan penguatan pada modal sosial yaitu modal kultural yang memiliki basis nilai budaya dalam komunitas, dan digunakan untuk bertahan hidup (survival strategy). Generasi pewaris suatu kebudayaan dalam memahami modal kultural (cultural capital) karena proses kelahirannya sebagai lembaga adat (custom institution) untuk kelangsungan hidup (survival strategy) memiliki basis nilai budaya yang kuat. Nilai diadaptasikan, dipahami, diwariskan, dan dilestarikan sebagai titik tolak dalam membangun diri dan komunitas. Menurut Vayda dan Rapport (dalam Keesing, 1981) dalam konteks ini bukan budaya yang berevolusi, karena budaya ber-beda dengan manusia, tidak dimakan oleh pemangsa, dibatasi oleh sandang pangan, diperlemah oleh penyakit.

Artinya dalam konteks pembangunan, fungsi dan peran nilai budaya turut memperkuat modal sosial maupun modal kultural yang mampu mendorong partisipasi aktif seluruh warga dalam berbagai aktivitas kehidupan keseharian. Modal tersebut biasanya digunakan untuk membangun diri dan komunitas. Perubahan terhadap hal ini tidak semudah seperti membalik telapak tangan karena modal kultural (cultural capital) yang telah memberi penguatan pada modal sosial (social capital) yang solid, memiliki makna ketahanan untuk bertahan hidup (survive). Perspektif ini dimaknai sebagai kelangsungan hidup yang cakap (survival strategy) dan memberikan isyarat pada orang lain, termasuk negara bahwa campur tangan pihak luar yang tidak meng-hargai nilai, adat-istiadat, budaya dan sebagainya pada dapat me-nimbulkan benturan maupun kegagalan program pembangunan, ke-rusakan alam, dan sebagainya.

Upaya perubahan yang hendak dilakukan pada komunitas yang masih kuat memegang adat, perlu dilakukan melalui cara membangun dari bawah atau bottom up planing karena dipercaya mampu men-dorong peranserta atau partisipasi aktif dari warga karena tidak ada unsur paksaan tetapi partisipasi itu karena sukarela. Banyak contoh menunjukkan bahwa strategi membangun dari atas sering menimbul-kan benturan dalam proses pembangunan, bahmenimbul-kan kegagalan. Sebagai contoh kasus dikemukakan bahwa pembangunan mengalami benturan

dan hambatan pada Orang Sakai di Sialang Rimbun yang mengalami hambatan dan kegagalan dalam program permukiman kembali karena sebagian warga diterbengkalaikan oleh petugas pembina, model pem-bangunan bersifat top down sehingga patisipasi warga bersifat semu, akibat partisipasi semu maka tidak dirasakan oleh warga manfaatnya (Suparlan, 1995).

Untuk melakukan perubahan pada komunitas yang mengalami isolasi geografi, sosial, dan lainnya perlu dilakukan secara hati-hati dan arif. Oleh Wilson dan Wilson (1945) dalam The Analysis of Social Change Based on Observation in Central Africa yaitu perubahan dari suatu masyarakat tradisional ke masyarakat masa kini tidak perlu me-nyebabkan hilangnya keseimbangan sehingga timbul konflik-konflik yang merusak, asalkan perubahan itu berlangsung dengan lambat dan terarah (Koentjaraningrat, 1990). Hal itu berarti poros untuk mem-bangun, mata-rantai penting yang harus menjadi pertimbangan dalam menggagas program pembangunan adalah peran institusi lokal. Selain itu tidak boleh mengabaikan lingkungan (hutan, tanah, dan gunung) sebagai kekuatan utama yang selama ini telah menyatukan jiwa dan raga dari anggota komunitas, baik secara individu maupun kelompok untuk kelangsungan hidup. Fenomena membangun seperti ini telah di-ingatkan oleh Kottak (dalam Carnea, 1988) bahwa mengutamakan manusia dalam campur tangan pembangunan berarti memenuhi ke-butuhan bagi perubahan yang mereka rasakan.

Berdasarkan menghadapi setiap kondisi lokal maka proses pem-bangunan yang berasal dari bawah (bottom up proces), maka pan-dangan-pandangan asli pada mereka menjadi penting untuk diangkat ke dalam kesadaran untuk mengatasi tantangan. Artinya pembangun-an ypembangun-ang dilakspembangun-anakpembangun-an kepada mereka memiliki muatpembangun-an ypembangun-ang bernilai inovatif, sehingga perlu direncanakan secara baik dan tepat sehingga tidak menimbulkan benturan dan kegagalan (Suseno, 1993). Untuk itu dalam melakukan pendekatan pembangunan yang tepat perlu dimulai dari pemahaman terhadap lingkungan teritorial genealogis (wilayah orang basudara atau roina kakal) dipastikan bisa memberikan hasil positif. Sebaliknya, mengabaikan kondisi seperti ini dipastikan dapat

menimbulkan benturan, bahkan sangat mungkin terjadi yaitu hambat-an dhambat-an bisa mengarah pada kegagalhambat-an maupun kehhambat-ancurhambat-an ekosistem yang tercipta dan sudah terbangun ratusan tahun. Hal ini berarti bahwa usaha pembangunan harus memperhitungkan penderitaan yang dipikul manusia. Sebab bentuk yang paling mengerikan adalah pen-deritaan kesengsaraan fisik. Penpen-deritaan atau biaya-biaya manusiawi itulah yang harus dihindari dan bagaimana juga tidak bisa dibenarkan. Itulah imperatif utama dalam etika politik yang diajukan oleh Berger (Berger, 2005).

Upaya pembangunan harus bisa mengintegrasikan kepentingan masyarakat, karena kegagalan melakukan integrasi melalui pem-bangunan dapat mengancam kelangsungan hidup (survival strategy) dari komunitas. Persoalan pembangunan menjadi penting karena pembangunan merupakan perubahan yang direncanakan. Realitas yang tidak bisa dihindari oleh siapa saja termasuk komunitas yang me-ngalami isolasi, maupun terasing. Sekalipun hal ini berlangsung secara cepat maupun lambat, tetapi suatu hal yang dapat dikemukakan bahwa hidup manusia maupun masyarakat tidak pernah permanen, kecuali perubahan. Contoh kasus mengenai kegagalan pembangunan pada Orang-Orang Maroon Suriname melalui kebijaksanaan integrasional pemerintah yang kurang adaptif melalui kajian tentang The factors responsible for their allof attitude and the failure of the Government’s integrational policy can be summarized as follows (Groot, 1977):

(1) The basic, deeprooted mutual the conditions on the plantations under slavery and the ensuing revolts, escape and guerrilla warfare; (2) The conflicts of attitude and ideas between the Maroons and the rest of the peace treaties. The Maronns considered themselves unvanquished, whereas the whites claimed that they had forced peace upon them; (3) Ignorance of each other’s way of life, as weel as mutual feeling of pride and prestige, which made discussions, compromises or concessions between the two parties, which made discussions, compromises or concessions between the two parties exceptionally difficult; (4) The fact that the government invariably took decision regarding the Maronns without deigning to oven consult the letter’s whishes or objection, much less to try and adapt them to their specific conditions”.

Berdasarkan pandangan teoritis yang dikemukakan, ternyata ke-gagalan integrasional pemerintah pada Orang-Orang Maron Suriname melalui pembangunan pada masyarakat yang mengalami tekanan (presure) ternyata tidak mudah. Untuk itu usaha memahami survival strategy (kelangsungan hidup) dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan perubahan. Survival strategy pada komunitas ter-abaikan dapat memberikan pemahaman bahwa strategi saling menjaga dan melindungi meliputi manusia, hutan, gunung, dan sumber daya alam lainnya memiliki nilai kelangsungan hidup jangka panjang. Melindung (Protection)1

Sukhburhg (2008) menunjukkan hal ini pada Orang Sungai Ria ketika membangun sistem politik dan sistem sosial yang kompleks. Melalui strategi ini ternyata mereka mampu mengontrol dan men-distribusi sumber daya, melakukan pergulatan politik ekspansi dan ko-lonisasi, edukasi, demokratisasi yang dikenal dan digunakan sampai saat ini oleh masyarakat dunia. Selain organisasi menjadi konsep kunci dalam survival strategy, maka konsep ini juga perlu ditunjang oleh ko-munikasi dan inovasi. Analisis tentang cara bertahan hidup (survive)

) terhadap hak milik artinya tidak memberikan kesempatan pada orang lain atau pihak luar untuk masuk dalam wilayah kekuasaan atau ruang hidup mereka secara leluasa, dapat ber-arti bahwa usaha membangun yang berbasis nilai kelangsungan hidup seperti dicontohkan oleh Sukhburhg mengenai kemampuan ber-organisasi dan mengber-organisasi diri maupun kelompok secara baik untuk bertahan hidup (survive) dapat dianggap relevan dan sesuai dengan kenyataan.

1)Lihat dan perhatikan pada materi yang berkaitan dengan makna Masiwang yang

artinya ingat bahwa di gunung ada orang. Maksudnya yaitu, ingat di gunung ada Orang

Bati. Jalan masuk ke Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) cukup banyak, tetapi ada yang

menjaga dan menlindungi secara baik. Jalan yang masuk ke Tanah Bati (Atamae Batu)

yang tepat, dan selama ini merupakan pintu masuk ke Tanah Bati (Atamae Batu) yang

tidak diketahui orang luar adalah Masiwang yang terletak di bagian utara Pulau Seram

Bagian Timur. Jangan pernah mengabaikan Masiwang sebagai pintu masuk ke Tanah

Bati (Atamae Batu) karena hal itu dapat menimbulkan rintangan maupun tantangan

dalam mewujudkan niat ke Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu). Selain itu butuh hati

yang bersih, niat yang tulus bagi setiap orang yang menggunakan Masiwang sebagai

pintu masuk untuk menuju ke Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu). Peringatan ini adalah

suara hati yang berasal dari nurani manusia yang sangat dalam untuk memasuki

wilayah Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) yang dikenal sebagai wilayah sakral

pada manusia, dalam perjalanannya dijumpai pada ketrampilan ber-organisasi sejak permulaan sistem pertanian pada ribuan tahun yang lampau, dan disebut fertile crescent. Kemampuan berorganisasi dan cara mengorganisir diri dapat dilihat sejak 4000 tahun SM ketika ber-kembang peradaban manusia di Sungai Ria dari Mesopotamia dan Mesir, berupa keragaman teknik bidang pertanian, khususnya irigasi. Dua peradaban ini telah melakukan long-distance trade atau dapat di-katakan sebagai perdagangan jauh untuk mendapatkan sumber daya alam yang penting, karena tidak terdapat di wilayah mereka. Untuk mendukungnya, komunikasi menjadi penting, kemudian berkembang tradisi menulis. Sebab melalui tradisi menulis, warisan budaya ko-munitas dapat bertahan dan terjadi transfer ilmu pengetahuan antar generasi (survival pada tingkat individu). Artinya strategi ini mem-butuhkan hubungan adaptasi dengan ekosistem lingkungan di mana manusia berada dapat memunculkan kecakapan hidup pada setiap in-dividu maupun kelompok. Konsep adaptasi manusia untuk bertahan hidup (survive) tidak dapat dipisahkan dari adaptasi budaya, dan ling-kungan sehingga oleh Vayda dan Rapaport (dalam Kesing, 1981) pada prinsipnya adaptasi berlangsung melalui medium budaya, dan proses-nya sangat bergantung pada hukum-hukum yang sama dari seleksi alam yang mengatur adaptasi biologis. Sebab titik tolak bukan budaya yang berevolusi, karena budaya berbeda dengan manusia, tidak di-makan oleh pemangsa, dibatasi oleh sandang pangan, diperlemah oleh penyakit.

Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa dalam pendekatan ekologi-budaya, adaptasi dalam membangun diri dan lingkungan dalam kondisi terisolasi dan terasing merupakan proses kemunculan, pe-meliharaan, dan transformasi berbagai konfigurasi budaya. Hakikatnya ada pada dua konsep sentral yakni lingkungan (enviroment) dan adaptasi (adaptation) yaitu lingkungan umumnya disamaartikan de-ngan ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami se-perti cuaca, flora dan fauna, tanah, pola hujan, bahkan ada mineral di bawahnya. Ekologi-budaya mendukung suatu pandangan yang disebut posibelisme lingkungan (enviromental posibelism). Pandangan ini memperhatikan ciri-ciri habitat alami, bukan sebagai penyandang

peran penentu melainkan peran pemberi kemungkinan atau pemberi batas. Ciri habitat alami memberikan peluang terbuka untuk me-nempuh arah tertentu sambil melarang meme-nempuh arah lain. Ling-kungan bukan seperangkat benda alami, ia merupakan seperangkat pe-mahaman dari suatu produk kebudayaan.

Hubungan antara suatu masyarakat dengan lingkungan hanya dapat dipahami bila menyimak cara pengorganisasian lingkungan itu dalam kategori-kategori verbal yang disusun oleh mereka yang meng-gunakannya. Penegasan Julian Steward tentang cultural ecology untuk

Encyclopedia of The social Sciences edisi 1968 bahwa lingkungan itu adalah produk budaya, maka upaya untuk menjelaskan budaya se-hubungan dengan lingkungan menjadi bersifat tautologis (Kaplan, 1999). Kemampuan melakukan adaptasi pada manusia dengan ling-kungan untuk bertahan hidup (survive), karena manusia memiliki ke-budayaan dan senantiasa berpacu memproduksi keke-budayaan. Relasi antara manusia dan budaya serta lingkungan di mana manusia berada selalu bersifat interdependensi (saling ketergantungan), serta terdapat relasi saling menunjang dan mempengaruhi.

Apapun kondisinya, kehidupan manusia dan budaya memiliki fenomena berbeda, tetapi keterkaitannya tidak dapat dipisahkan, se-hingga menurut Geertz (1992) hubungan manusia dan budaya dimaknai sebagai binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri”. Artinya terdapat basis nilai budaya untuk memberikan penguatan pada individu, keluarga, kelompok, dan ko-munitas untuk bertindak sesuai dengan komitmen yang dicapai secara bersama ketika mereka menjalani kehidupan bersama. Cara seperti ini apabila menggunakan teori Talcot Parson (1902-1979) dalam The Structure of Social Action, di mana teori aksi (action theory) di mana ini menuju titik sentral konsep perilaku voluntaristik. Konsep ini mengandung pengertian kemampuan individu menentukan cara dan alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Sesuai penjelasan Parsons, kerangka redefinisi tindakan me-ngandung pengertian bahwa suatu tindakan secara logis menyangkut hal-hal sebagai berikut; (1). Tindakan mengisyaratkan pelaku atau yang

biasa kita sebut dengan aktor. Aktor merupakan pemburu tujuan. Ia punya alat, cara, dan teknik; (2). Guna keperluan, definisi tindakan harus ada tujuannya (suatu keadaan masa depan yang akan dikejar tindakan itu; (3). Tindakan harus dimulai dalam situasi yang cenderungan-kecenderungannya berbeda dalam satu atau lebih ke-adaan yang akan dikejar aktor, sedangkan situasi itu ada yang bisa di-kendalikan dan ada pula yang tidak biasa didi-kendalikan atau dijaga supaya tidak berubah; (4). Situasi yang biasa dikendalikan disebut kondisi-kondisi tindakan, sedangkan situasi yang tidak biasa di-kendalikan disebut sarana; (5). Dalam pilihan atas beragam alaternatif, terdapat orientasi normatif (Susilo, 2008 ; 115-116).

Strategi adaptasi mewujudkan kelangsungan hidup (survival stragey) yang menjadi perhatian Sosiolog maupun Antropolog untuk membedakan antara konsep masyarakat dan konsep kebudayaan oleh

Dokumen terkait