• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum

Dalam dokumen BAB IV DESKIRPSI HASIL PENELITIAN (Halaman 105-110)

Berdasarkan paparan tersebut di atas secara logis ada keterkaitan (integrasi) antara SSM dan kolaborasi baik pada tataran proses maupun

B. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum

Mengacu rancangan model sementara yang telah dikemukakan di muka dalam penyusunan model kolaborasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum dirancang berdasarkan atau terpenuhi asumsi dan prasyarat dan konstruksi keefektifan model.

1. Asumsi – Asumsi Keefektifan Model

Keefektifan penerapan model kolaborasi dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum akan terwujud apabila terpenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut;

• Adanya perubahan mindset (pola pikir) stakeholder untuk menjadi organisasi pembelajar (learning organization).

Salah satu mindset yang perlu diubah adalah dengan melihat keseluruhan permasalahan dalam pengelolaan DAS Citarum sebagai masalah bersama. Dalam kerangka berpikir serbasistem hal ini merupakan ciri dari organisasi pembelajar, yaitu tidak saling menyalahkan atas permasalahan, tetapi secara bersama berupaya untuk mencari solusi karena kita adalah bagian dari masalah. Perubahan mindset ini akan membawa implikasi kepada upaya untuk merancang tujuan bersama - tujuan individu yang optimal.

• Struktur dan kapasitas stakeholder berimbang

Komitmen dan stamina akan efektif apabila didukung oleh struktur dan kapasitas yang memadai dari stakeholder, khususnya stakeholder non-state. Oleh karena itu, perlu ada pemberdayaan bagi stakeholder non-state untuk meningkatkan struktur dan kapasitas. Kapasitas aktor non-state dapat di tingkatkan kemampuannya pada bidang-bidang segi tertentu yang tidak dimiliki atau tidak dapat dijangkau oleh aktor state.

Kalaupun aktor state mampu, tetapi memerlukan cost yang sangat besar dalam penyediaan infrastruktur, organisasi dan personel, prasarana dan pembiayaan (3P)

• Customer dan Owners tidak terpisah

Dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai customer dan owners/ actor tidak terpisah. Pergeseran konsep C, O dan A yang semula terpisah menjadi tidak terpisah, harus disadari oleh seluruh stakeholder. Apa pun yang mereka lakukan dengan mengeksploitasi DAS secara berlebihan sebagai customer akan menjadi balikan bagi mereka sendiri sebagai akibat dan mereka harus menanggung akibat tersebut dalam posisi sebagai owners. Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi stakeholder untuk berperan sebagai customer dan owners/actor secara proporsional karena sustainability berada di pundak mereka sendiri.

2. Prasyarat Keefektifan Model

Dengan mencermati kesalingtergantungan berbagai aspek dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum, maka model yang optimal adalah model interdependensi. Untuk mengarah kepada model interdependensi tersebut, diperlukan sejumlah syarat yang harus dipenuhi sehingga model menjadi efektif. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah sebagai berikut;

• Komitmen dan stamina yang tinggi

Komitmen dan stamina yang tinggi hanya akan dicapai semua stakeholder berperan sebagai pengawal konsistensi atas komitmen masing-masing organisasi maupun bagi stakeholder lainnya. Komitmen yang tinggi dibangun oleh saling percaya (trust) dan struktur dan kapasitas yang memadai dari setiap stakeholder. Dimensi komitmen dan stamina juga merupakan titik sentral kolaborasi yang didukung oleh dimensi

struktur dan kapasitas pada dimensi collaborative strategy dan tujuan bersama, instrumen-aransemen serta collaborative governance

• Tujuan bersama yang clear

Komitmen dan stamina akan tinggi apabila tujuan bersama yang dirumuskan mencerminkan tujuan setiap individu organisasi secara jelas. Dalam tujuan bersama yang clear tidak ada hidden agenda dari setiap organisasi yang akan menyebabkan trust menjadi hancur

• Pengambilan keputusan demokratis

Proses menuju tujuan bersama yang clear dilakukan melalui penyusunan instrumen-aransemen yang berisikan “aturan main” (rule of the game. Dalam rule of the game tersebut harus tercermin kesejajaran, kesetaraan dan diputuskan secara demokratis.

Collaborative governance

Hasil-hasil keputusan diimplementasikan melalui tata pengaturan kerja bersama yang kolaboratif (collaborative governance). Dalam collaborative governance dijelaskan bentuk pembagian beban dan tanggung jawab pengadaan sumber daya dan manfaat yang akan diperoleh secara adil dan proporsional.

Penyusunan collaborative governance didasarkan kepada prinsip co-management 5 yaitu pembagian kewenangan (sharing power) dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya antara pemerintah dan pengguna sumberdaya di tingkat lokal. Penerapan co management 6 dicirikan oleh (1) masuknya pengambil keputusan non-tradisional (non state atau perusahaan (2) partisipasi komunitas lokal dalam pengelolaan

5

Information for Sustainable Development, IISD, diakses dari http://www.co-management/background.htm

6 Ibid

sumberdaya alam dalam berbagai kapasitas (3) pengambilan keputusan berbasiskan konsensus diantara berbagai aktor (4) menekankan negosiasi dibanding litigasi (penyelesaian pengadilan) dalam situasi konflik (5) mengkombinasikan pengetahuan ilmiah (scientific) dan pengetahuan tradisional (6) Memasukan tata cara (aransemen) dan persetujuan yang berasal inisiatif partisipasi publik dalam pembuatan keputusan.

Setiap mitra memainkan peran penting, sedangkan dalam bentuk asistensi administratif, keahlian teknologi dan legislasi (payung hukum). Sementara mitra lokal menyediakan sistem pengelolaan berdasarkan pengetahuan lokal dan praktik-praktik tradisional selama ini. Yurisdiksi kewenangan mitra lokal diatur dalam perundangan dan atas dasar kesepakatan bersama-sama dengan pemerintah.

Secara khusus Genskow dan Born mengemukakan beberapa karakteristik penting co management dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai.7

Pertama, menggunakan batas-batas Daerah Aliran Sungai sebagai unit pengelolaan. Kedua, masuknya berbagai kepentingan lokal dan non-pemerintah secara signifikan dan memberikan pengaruh atas keputusan. Ketiga, proses pembuatan keputusan menggambarkan informasi sosial dan pengetahuan lokal dan informasi spesifik di lapangan. Keempat berorientasi kepada perencanaan dan pemecahan masalah yang kolaboratif yang didalamnya menonjolkan konsensus, diskusi, negosiasi dan penyesuaian dengan situasi spesifik.

Mengacu kepada paparan di atas, collaborative governance berkaitan dengan pembagian kewenangan di antara stakeholder. Pembagian kewenangan dengan mengacu kepada collaborative governance dicirikan oleh (1) dalam pembagian kewenangan memasukan organisasi-organisasi non pemerintah, bukan hanya instansi pemerintah,

7

Genskow, Kenneth D. and Stephen M Born, Organizational Dynamics of Watershed Partnership: A Key to Integrated Water Resources Management, Journal of Contemporary Water Research and Education, Issue 135, pp 56-64, December 2006

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. (2) memasukan pengetahuan (kearifan lokal) dan kondisi setempat dalam penyusunan peraturan perundangan tentang pembagian kewenangan, tidak semata-mata hukum positif serta penyusunan yang hanya desk formulation 8

Berdasarkan asumsi dan prasyarat tersebut di atas, model interdependensi yang diasumsikan paling efektif. Hal ini didasarkan atas pemikiran model dependen dan independen berpotensi menjadi sumber konflik. Pada posisi dependen, ada kemungkinan terjadinya eksploitasi yang pada saat tertentu meledak menjadi konflik. Pada posisi independen, konflik menjadi lebih terbuka karena semua pihak merasa bebas bertindak sesuai dengan kepentingannya dan terjadilah benturan antarorganisasi. Adapun model negasi secara teoritis maupun praktis mustahil terjadi. Meskipun stakeholder tidak peduli dengan aktivitas organisasi lain, setidaknya masih peduli dengan tujuan masing-masing organisasinya. Analisis keterkaitan dinamis antara trust dan perubahan mindset sebagai titik sentral kolaborasi dengan berbagai dimensi pada variabel vertikal (aktivitas kolaborasi) dengan variabel horizontal (strategi kolaborasi) dirumuskan dalam gambar hexagon kolaborasi. Gambar tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan kerangka interaksi loosely coupled (pasangan) dan competing value framework (kerangka nilai yang bersaingan)

8

Pernyataan ini sekaligus mengkritik proses dan hasil penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007

Dalam dokumen BAB IV DESKIRPSI HASIL PENELITIAN (Halaman 105-110)

Dokumen terkait