BAB III STRATEGI PEMBACAAN
C. Model dan Matriks Cala Ibi
5. Model Lingkaran
yang kemudian melahirkan bayi, “Di hening malam terdengar tangis bayi pecah di udara” (hlm. 172), pada bab “Ilalang.”
5. Model Lingkaran
Untuk melengkapi model-model di atas yang bermuara pada penyatuan, di dalam Cala Ibi hadir pula model lingkaran.63 Pada bagian awal bab “Tuah Tanah,” Cala
62
Senada dengan konsep deferrance Derrida, sesuatu ada karena ada sesuatu yang lain, seperti “damai” ada karena “perang,” “siang” ada karena “malam,” dan sebagainya.
63
Lingkaran adalah simbol totalitas, kesempurnaan, kesatuan, dan keabadian, ketetapan sekaligus perubahan; selengkapnya dapat dilihat pada Jack Tresidder, Dictionary of Symbols: An
Ibi membawa Maia terbang mengitari pulau, “Kau dibawa terbang berputar mengelilingi pulau. Dari pelabuhan memutar ke belakang gunung, tiga ratus enam puluh derajat penuh, dan kembali ke titik itu. Entah berapa kali kau dibawa terbang melingkar-lingkar. Kalian berkitaran seperti bulan, dan setiap lingkar perjalanan adalah pergantian pemandangan. Tampakan kesilaman” (hlm. 50). Melalui kutipan tersebut dapat diketahui bahwa setiap gerak maju Cala Ibi dan Maia, “setiap lingkar perjalanan,” memiliki konsekuensi “pergantian pemandangan” dan “tampakan kesilaman,” atau dengan kata lain, gerak mundur, yaitu sejarah Maluku, Halmahera, dan Ternate. Hal yang demikian merupakan gambaran pembacaan Cala Ibi, setiap kali pembaca bergerak maju dari satu halaman ke halaman berikutnya maka yang terjadi adalah sekaligus gerak mundur karena terus-menerus menemui kata, frasa, kalimat, dan peristiwa identik. Pada dasarnya, pola gerak yang demikian adalah panduan pembacaan yang diberikan Cala Ibi, seperti dipertegas pada bab “Rumah Siput Berpaku,”
Kau berdiri, menatap isi sepetak dunia lama di balik kaca, relik-relik masa lalu berkomuni dengan kinimu, memancar dengan anehnya [...] Menarikmu (kau yang tak pernah benar-benar melihat isi lemari itu, bolak-balik tak peduli, begitu saja melewati). Hingga malam ini, segala yang ada telah lewat mengalir seperti sungai, apa-apa yang lewat hanyut, bagai menemukan muara (hlm. 83).
Melalui kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Maia pada akhirnya memberikan perhatian penuh pada isi lemarinya, “sepetak dunia lama,” setelah sekian lama tak peduli dan begitu saja melewati. Maia pun merasa bahwa segala yang telah lewat bagaikan menemukan muara, ketika “relik masa lalu berkomuni dengan kinimu,” seperti kata Cala Ibi, “Karena tanpa reruntuhan itu, tanpa ini semua, kau takkan pernah ada [...] Karena ini buku Dari Mana, sambungnya lagi (hlm. 66). Dengan begitu, pemahaman atas kekinian setiap manusia, bagaimana pun, tidak bisa lepas
Illustrated Guide to Traditional Images, Icons and Emblems (San Francisco: Chronicle Books,
dari kelampauannya, dan setiap pengulangan di dalam Cala Ibi bukanlah sekadar pengulangan, tetapi panduan pembacaan untuk menemukan gagasan-gagasan utamanya yang kelak akan bermuara pada pemahaman terhadap Cala Ibi.
Model lingkaran di dalam Cala Ibi tidak hanya hadir dalam bentuk yang eksplisit seperti di atas, tetapi juga implisit, seperti yang muncul di dalam diskusi antara Maya dan rekan-rekan kerjanya pada bab “Sekata Singgah,”
Prometheus? [...] ia si pencuri api dewa-dewa untuk manusia. Lalu kepala dewa, Zeus, menghukumnya. Ia digantung terikat rantai dengan kaki di atas kepala di bawah, setiap hari ada seekor elang datang mematuki hatinya. Hati yang mengutuh lagi di malam hari, dan elang kembali datang mematuki hatinya, begitu seterusnya.
Berulang tanpa akhir, seperti nasib semesta, tragedi yang pernah diperingatkan Nietsche64 (hlm. 112).
Mitologi Yunani tentang Prometheus juga memiliki model lingkaran. Siksaan yang dialaminya terus berulang tanpa akhir, semacam “siksaan” yang mungkin juga dialami pembaca sepanjang pembacaan Cala Ibi. Hadirnya kisah Prometheus tersebut apabila ditinjau lebih jauh tidak sekadar memperlihatkan model lingkaran di dalam Cala Ibi, tetapi sekaligus memberi penegasan bahwa “siksaan” pembacaan adalah konsekuensi yang ditanggung pembaca untuk mendapatkan “api dewa-dewa,” yang dapat dipahami sebagai segala bentuk pengetahuan, yang tentu saja bermuara pada pemahaman terhadap Cala Ibi. Model lingkaran dalam bentuknya yang implisit juga hadir di dalam bab “Mengibu-Anak,”
Dan hisapan keajaiban yang lain lagi. Kau rasa, kalimat-kalimat itu ditujukan padamu, ataukan kau yang menujukan kalimat-kalimat itu. Kau rasakan ajaib itu: sekan mengalami menjadi keduanya, kau sang ibu, kau bayi perempuan itu. Kau ibumu, kau anak ibumu, kau ibu anakmu, kau ibu ibumu, kau ibu dari ibu ibumu, kau para ibu
64
Bentuk-bentuk pengulangan tanpa akhir di dalam Cala Ibi pada dasarnya adalah sebuah
eternal return, yang dikenal sebagai salah satu konsep Nietzche. Secara sederhana, konsep tersebut
menyatakan bahwa alam semesta terdiri atas materi yang terbatas, yang telah dan akan berulang terus-menerus dalam bentuk yang mirip; selengkapnya dapat dilihat pada http://en.wikipedia.org/wiki/Eternal_return dan http://en.wikipedia.org/wiki/Nietzsche, diunduh 1 Juni 2008.
perempuan pendahulu, kau telah ada sejak berabad-abad lalu. Kau anak dari dalam tubuhmu, kau anak yang sedang terlelap dalam pangkuanmu, kau anak-anak yang belum lagi terlahir dari rahimmu, kau anak-anak yang belum lagi dari rahim anak-anakmu. Kau anak. Kau ibu (hlm. 177).
Melalui kutipan tersebut dapat diketahui bahwa Cala Ibi lagi-lagi menghadirkan bentuk yang tidak memiliki awal-akhir atau ujung-pangkal, seperti yang tampak pada garis-waktu kisah berupa angka delapan. Meskipun di dalam kutipan tersebut yang tampak adalah peristiwa antara dua perempuan, hal tersebut pada dasarnya berlaku secara umum pada manusia karena setiap anak tumbuh dewasa untuk kemudian menjadi orangtua dan memiliki anak yang kelak juga akan tumbuh dewasa untuk memiliki anaknya sendiri dan seterusnya. Jadi, setiap manusia adalah anak dan orangtua sekaligus.