• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pembelajaran SiMaYang merupakan model pembelajaran berbasis multipel representasi yang dikembangkan oleh Sunyono (2015) dengan mengkombinasikan teori faktor interaksi (tujuh konsep dasar) yang mempengaruhi kemampuan peserta didik untuk mempresentasikan fenomena sains ke dalam kerangka model IF-SO (Sunyono, 2015).

Tujuh konsep dasar peserta didik tersebut yang telah diidentifikasi oleh Shönborn dan Anderson (2009) adalah kemampuan penalaran peserta didik (Reasoning; R), pengetahuan konseptual peserta didik (Conceptual; C); dan keterampilan memilih metode representasi peserta didik (Representation modes; M). Faktor M dapat dianggap berbeda dengan faktor C dan R, karena faktor M tidak bergantung pada campur tangan manusia selama proses interpretasi dan tetap konstan kecuali jika ER (representasi eksternal) dimodifikasi, selanjutnya empat faktor lainnya adalah faktor R-C merupakan pengetahuan konseptual dari diri sendiri tentang ER, faktor R-M merupakan penalaran terhadap fitur dari ER itu sendiri, faktor C-M adalah faktor interaktif yang mempengaruhi interpretasi terhasap ER, dan faktor C-R-M adalah interaksi dari ketiga faktor awal (C-R-M) yang mewakili kemampuan seorang peserta didik untuk melibatkan semua faktor dari model agar dapat

11

menginterpretasikan ER dengan baik. Berdasarkan pertimbangan dari faktor interaksi R-C dan C-M maka dalam model pembelajaran diperlukan tahap kegiatan eksplorasi, dan pertimbangan terhadap interaksi R-M dan C-R-M diperlukan tahap kegiatan imajinasi. Pada konseptualisasi yang paling ditekankan adalah kegiatan eksplorasi yang akan menghadapi masalah-masalah sains dalam kegiatan diskusi, eksperimen laboratorium atau demonstrasi, dan pelacakan informasi melalui jaringan internet (webblog atau webpage). Pembayangan mental terhadap representasi eksternal level submikroskopik diperlukan kegiatan imajinasi,

sehingga dapat mentransformasikannya ke dalam level makroskopik atau simbolik atau sebaliknya. Kedua kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan dalam proses pembelajaran, sehingga kedua kegiatan tersebut digambarkan dengan panah bolak balik (Sunyono, 2015).

Hasil kegiatan eksplorasi dan imajinasi dapat diinternalisasikan dalam pembelajaran melalui tugas, presentasi, dan latihan sebagai wujud hasil dari eksplorasi dan imajinasi. Guru perlu melakukan orientasi kemampuan awal siswa sebelum kegiatan ekplorasi dan imajinasi, sebagai dalam untuk melakukan tahap tersebut. Tahap terakhir adalah evaluasi, yaitu sebagai tahap untuk mendapatkan umpan balik selama proses pembelajaran, maka dari itu, model pembelajaran SiMaYang, sintaks pembelajarannya terdiri dari 4 (empat) fase, yaitu orientasi, ekplorasi – imajinasi, internalisasi, dan evaluasi. Keempat fase dalam model pembelajaran ini memiliki ciri dengan akhiran “si” sebanyak lima “si”. Fase-fase tersebut tidak selalu berurutan bergantung pada konsep yang dipelajari oleh peserta didik, terutama pada fase dua (eksplorasi – imajinasi) (Sunyono, 2015). Oleh sebab

itu, fase-fase model pembelajaran SiMaYang disusun dalam bentuk layang-layang dan selanjutnya dinamakan si-5 layang-layang atau disingkat SiMaYang:

Fase I

Fase II

Fase III

Fase IV

Gambar 1. Fase-Fase Model Pembelajaran Si-5 Layang-Layang (SiMaYang) (Sunyono, 2015)

Fase I atau fase orientasi merupakan langkah peninjauan untuk menentukan sikap dan pandangan yang mendasari pikiran sehingga siswa dapat terfokus pada tujuan pembelajaran dan materi yang akan dipelajari. Fase II atau fase eksplorasi dan imajinasi yang saling berkaitan. Eksplorasi adalah kegiatan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru dari situasi yang baru. Pada kegiatan eksplorasi, guru melibatkan siswa dalam mencari dan menghimpun informasi, menggunakan media untuk memperkaya pengalaman mengelola informasi, memfasilitasi siswa berinteraksi sehingga siswa aktif, mendorong siswa mengamati berbagai gejala, menangkap tanda-tanda yang membedakan dengan gejala pada peristiwa lain, mengamati objek di lapangan dan labolatorium. Imajinasi hanya terdapat dalam pikiran siswa yang membayangkan gambar-gambar atau kata-kata. Fase III atau

Orientasi

Eksplorasi Imajinasi

Internalisasi

13

fase internalisasi merupakan proses pemasukan nilai pada seseorang yang akan membentuk pola pikirnya dalam melihat makna realitas pengalaman. Fase IV atau fase evaluasi yaitu, mereviu hasil pembelajaran yang telah diperoleh (Sunyono, 2012).

Model pembelajaran SiMaYang merupakan model pembelajaran sains yang mencoba menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains, sehingga topik-topik pembelajaran yang sesuai dengan model ini menurut penulis adalah topik-topik sains yang mengandung level submikroskopik, makroskopik, dan simbolik yang lebih bersifat abstrak (Sunyono, 2014). Selain hal tersebut, terlaksananya model SiMaYang dalam kelas harus meliputi: (1) penerapan sintaks, dimana setiap sintaks harus diterapkan dalam rencana pebelajaran. (2) penerapan sistem sosial yang fokus pada hubungan peran guru/dosen dengan pembelajar dan pembelajar dengan pembelajar lain. (3) penerapan prisnsip reaksi dimana merupakan prinsip yang terkait dengan bagaimana guru/dosen memperhatikan respon terhadap pertanyaan, jawaban, tanggapan, atau apa yang dilakukan pembelajar (Sunyono, 2013). Sintaks dari model pembelajaran SiMaYang diuraikan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Fase (tahapan) pembelajaran model SiMaYang (Sunyono, 2015).

Fase Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Fase I : Orientasi

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran.

2. Memberikan motivasi dengan berbagai fenomena sains yang terkait dengan pengalaman siswa.

1. Menyimak penyampaian tujuan sambil memberikan tanggapan.

2. Menjawab pertanyaan dan menanggapi.

Lanjutan Tabel 1. Fase (tahapan) pembelajaran model SiMaYang (Sunyono, 2015).

Fase Aktivitas Guru Aktivitas Siswa

Fase II : Eksplorasi – Imajinasi

1. Mengenalkan konsep dengan memberikan beberapa abstraksi yang berbeda mengenai

fenomena fenomena alam (demonstrasi dan juga visualisasi atau simulasi atau animasi, dan atau analogi) dengan melibatkan siswa.

2. Mendorong, membimbing, dan memfasilitasi diskusi siswa untuk membangun model mental dan membuat interkoneksi diantara level-level fenomena alam dan/atau membuat transformasi dari level fenomena yang satu ke level lain yang dituangkan ke dalam lembar kegiatan siswa (LKS).

1. Menyimak (Mengamati) dan tanya jawab dengan guru tentang fenomena yang diperkenalkan (Menanya). 2. Melakukan penelusuran

informasi melalui

webpage/weblog dan/atau

buku teks (Menggali informasi).

3. Bekerja dalam kelompok untuk melakukan imajinasi terhadap fenomena alam melalui LKS.

4. Berdiskusi dengan teman dalam kelompok dalam melakukan latihan imajinasi representasi

(Menalar/mengasosiasi). Fase III:

Internalisasi

1. Membimbing dan memfasilitasi siswa dalam mengartikulasikan/ mengkomunikasikan hasil perkiraannya melalui presentasi hasil kerja kelompok.

2. Memberikan latihan atau tugas dalam mengartikulasikan imajinasinya. Latihan individu tertuang dalam lembar kegiatan siswa yang berisi pertanyaan dan/atau perintah untuk membuat interkoneksi ketiga level

fenomena alam (makro, mikro/ sub-mikro, dan simbolik).

1. Perwakilan kelompok

melakukan presentasi terhadap hasil kerja kelompok

(Mengkomunikasikan). 2. Memberikan tanggapan /

pertanyaan terhadap kelompok yang sedang presentasi

(Menanya dan Menjawab). 3. Melakukan latihan individu

melalui LKS individu (Menggali informasi dan mengasosiasi).

Fase IV: Evaluasi

1. Mengevaluasi kemajuan belajar siswa dan mereviu hasil kerja siswa.

2. Memberikan tugas latihan interkoneksi tiga level fenomena alam (makro, mikro, dan

simbolik).

Menyimak hasil reviu dari guru dan menyampaikan hasil kerjanya (mengomunikasikan), serta bertanya tentang pembelajaran yang akan datang.

B. Scaffolding

Scaffolding merupakan kegiatan pembelajaran yang dikaitkan dengan dunia nyata untuk mencapai tujuan melalui penggunaan bahasa yang sederhana,

gambar-15

gambar yang diperlihatkan oleh guru, pembelajaran secara kooperatif, dan mempersiapkan perangkat pembelajaran sebelumnya oleh guru (Sutarmi, Suharsono, & Warpala, 2013). Strategi pembelajaran scaffolding adalah

pembelajaran yang berpusat pada siswa sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi agar dapat melatih kelancaran, kelenturan, orisinalitas dan erabolasi dalam proses berpikir. Kelancaran, kelenturan, orisinalitas dan erabolasi tersebut merupakan indikator kreativitas seseorang yang diperlukan dalam penyampaian ide atau gagasan (Sutarmi, Suharsono, & Warpala, 2013).

Scaffolding merupakan penerapan teori kognitif sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky (Mustaqim, 2013). Lambas (dalam Mustaqim, 2013) mengatakan bahwa Vygotsky menyatakan, interaksi sosial merupakan faktor terpenting dalam mendorong perkembangan kognitif seseorang. Perkembangan kognitif akan membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari seseorang yang lebih mampu. Konsep bantuan yang dikemukakan Vygotsky ini disebut dengan scaffolding.

Scaffolding merupakan salah satu strategi pembelajaran dimana guru mambantu siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas secara bertahap dari awal pembelajaran kemudian guru mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas-tugasnya secara mandiri (Trianto,2010). Scaffolding diberikan dengan berbagai bentuk scaffold selama proses penyelesaian tugas dan mengupayakan siswa mencapai ZPD (zone proximal development) (Trianto,2010).

Kebanyakan orang mengenal scaffolding adalah gedung yang baru dibangun Burns dan Joyce (2005). Pada bangunan scaffolding berguna untuk mengokohkan bangunan pada awal pembangunan. Burns dan Joyce (2005) menyatakan dalam konteks interaksi kelas, scaffolding adalah istilah yang diambil untuk

menggambarkan bantuan sementara yang menyediakan guru bagi siswa untuk membantu menyelesaikan tugas atau mengembangkan pemahaman baru, sehingga mereka nantinya akan dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik.

Veeramuthu (dalam Sutarmi, Suharsono, & Warpala, 2013) mengemukakan tujuan dan pengertian pembelajaran scaffolding tersebut antara lain : (1) memacu perkembangan siswa, (2) merangsang kreativitas siswa, (3) meningkatkan dan memperbaiki proses pengajaran, (4) membantu pengembangan konsep diri siswa, (5) memberi perhatian dan bimbingan pada siswa, (6) merangsang refleksi siswa, dan (7) membantu dan meluruskan tujuan pembelajaran.

Menurut Hammond (2001), scaffolding dan bantuan adalah kedua hal yang berbeda. Perbedaan antara scaffolding dan bantuan kita misalkan dalam contoh keadaan misalnya pada kegiatan belajar mengeja, dalam situasi ini, guru bisa membantu dengan dengan memberikan ejaan yang benar (Hammond, 2001). Pada situasi yang lain guru me-scaffold bagaimana berpikir tentang ejaan, misalnya, mendorong peserta didik untuk berpikir tentang suara dari kata itu, dan bagaimana mereka dapat dibaca. Secara kualitatif scaffolding berbeda dari bantuan untuk mendukung siswa untuk menyelesaikan tugas dalam konteks baru yaitu untuk mengetahui bagaimana berpikir, tidak hanya apa yang harus dipikirkan (Hammond, 2001).

17

Menurut Depdiknas (2006) strategi scaffolding dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

1. Mencapai persetujuan dan menetapkan fokus belajar.

2. Memeriksa hasil belajar sebelumnya (pretes) dalam hal ini kita menentukan ZPD (zone of proximal development) awal siswa.

3. Mengelompokkan siswa berdasarkan ZPD awal yang hampir atau relatif sama. Siswa dengan ZPD rendah diberi perlakuan khusus.

4. Merancang tugas-tugas belajar (aktifitas belajar scaffolding):

a. Menjabarkan tugas-tugas dengan memberikan pemecahan masalah ke dalam tahap- tahap yang rinci sehingga dapat membantu siswa melihat zona atau sasaran tugas yang diharapkan akan mereka lakukan.

b. Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penjelasan, peringatan, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan dan pemberian contoh.

5. Memantau dan memediasi aktifitas belajar:

a. Mendorong siswa untuk bekerja dan belajar diskusi dengan pemberian dukungan sepenuhnya, kemudian secara bertahap guru mengurangi dukungan langsungnya dan membiarkan siswa menyelesaikan tugas mandiri.

b. Memberikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata (reminders), dorongan, contoh atau hal lain yang dapat memancing siswa ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.

6. Memeriksa dan mengevaluasi hasil belajar:

a. Hasil belajar yang dicapai, bagaimana kemajuan belajar tiap siswa.

b. Proses belajar yang digunakan, apakah siswa tergerak ke arah kemandirian dan pengaturan diri dalam belajar.

Scaffolding baik digunakan dalam kegiatan pembelajaran, karena scaffolding mendukung siswa menyelesaikan tugas-tugas dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu strategi pembelajaran scaffolding memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh strategi pembelajaran konvensional. Keunggulan tersebut tercermin pada tingginya kreativitas siswa, menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, meningkatkan kemampuan berpikir secara sistematis dan terorganisasi sehingga menghasilkan karya yang terbaik (Sutarmi, Suharsono, & Warpala, 2013).

Dokumen terkait