• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Model Matematika Gerak Satelit

2.4.3 Model persamaan sistem gerak satelit

Dari persamaan gaya pada arah radial dan pada arah tangensial, sistem persamaan gerak pada satelit dapat dituliskan:

{

adalah fungsi waktu, maka sistem persamaan gerak satelit (2.10) dapat dituliskan menjadi:

{ 2.5 Analisis Sistem

Analisis dinamik model dilakukan untuk mengetahui perilaku sistem pada model. Pada penelitian ini dianalisis mengenai kestabilan, keterkontrolan, dan keteramatan sistem.

2.5.1 Titik kesetimbangan

Titik kesetimbangan merupakan titik tetap yang tidak berubah terhadap waktu.

21

Definisi 2.1[14]

Titik ๐‘ฅฬ… โˆˆ โ„๐‘› disebut titik kesetimbangan dari suatu sistem jika ๐‘“(๐‘ฅฬ…) = 0.

2.5.2 Analisis kestabilan

Karena model pada penelitian ini bersifat nonlinier, sehingga untuk melakukan analisis kestabilannya adalah dengan menggunakan cara menganalisis transformasi kestabilan lokal disekitar titik setimbangnya. Untuk melakukan analisis transformasi kestabilan lokal yaitu mencari suatu hampiran di sekitar titik setimbangnya terlebih dahulu.

Teorema 2.1[15]

Diberikan persamaan differensial ๐‘ฅฬ‡ = ๐ด๐‘ฅ dengan matriks A berukuran ๐‘›ร—๐‘› dan mempunyai nilai karakteristik yang berbeda ๐œ†1, โ€ฆ , ๐œ†๐‘˜ (๐‘˜ โ‰ค ๐‘›).

a. Titik asal ๐‘ฅฬ… = 0 adalah stabil asimtotik bila dan hanya bila ๐‘…๐‘’(๐œ†๐‘–) < 0 untuk semua ๐‘– = 1, โ€ฆ , ๐‘˜.

b. Titik asal ๐‘ฅฬ… = 0 adalah stabil bila dan hanya bila ๐‘…๐‘’(๐œ†๐‘–) โ‰ค 0 untuk semua ๐‘– = 1, โ€ฆ , ๐‘˜ dan untuk semua ๐œ†๐‘– dengan ๐‘…๐‘’(๐œ†๐‘–) = 0 multiplisitas aljabar sama dengan multiplisitas geometrinya.

c. Titik asal ๐‘ฅฬ… = 0 adalah tidak stabil bila dan hanya bila ๐‘…๐‘’(๐œ†๐‘–) > 0 untuk beberapa ๐‘– = 1, โ€ฆ , ๐‘˜ atau ada ๐œ†๐‘– dengan ๐‘…๐‘’(๐œ†๐‘–) = 0 dan multiplisitas aljabar lebih besar dari multiplisitas geometrinya.

2.5.3 Analisis keterkontrolan

Keterkontrolan sistem bermanfaat dalam menstabilkan sistem. Selain itu, solusi dari suatu permasalahan kontrol optimal mungkin tidak akan diperoleh jika sistem yang bersangkutan tidak terkontrol. Maka perlu dianalisa keterkontrolan sistem.

Teorema 2.2[15]

Jika terdapat persamaan matriks state sebagai berikut:

๐‘ฅฬ‡(๐‘ก) = ๐ด๐‘ฅ(๐‘ก) + ๐ต๐‘ข(๐‘ก)

๐‘ฆ(๐‘ก) = ๐ถ๐‘ฅ(๐‘ก) } (2.14) Syarat perlu dan cukup sistem terkontrol adalah:

Matriks ๐‘€๐‘ = ([๐ต ๐ด๐ต ๐ด2๐ต ๐ด3๐ต โ‹ฏ ๐ด๐‘›โˆ’1๐ต]) mempunyai rank yang sama dengan n.

2.5.4 Analisis keteramatan

Berikut ini akan diberikan definisi dari keteramatan yang merupakan dual dari keterkontrolan.

Definisi 2.2[15]

Bila setiap keadaan awal ๐‘ž(0) = ๐‘ž0 secara tunggal dapat diamati dari setiap pengukuran keluaran sistem dari waktu ๐‘ก = 0 ke ๐‘ก = ๐‘ก1, maka sistem dikatakan teramati.

Istilah dual di atas, kata โ€˜terkontrolโ€™ diganti dengan

โ€˜teramatiโ€™ masukan ๐‘ฅ(๐‘ก) diganti dengan keluaran ๐‘ฆ(๐‘ก), yaitu dalam terminologi keterkontrolan sebarang keadaan awal ๐‘ž0 dikontrol dengan suatu masukan ๐‘ฅ(๐‘ก) ke sebarang keadaan akhir ๐‘ž1 dimana 0 โ‰ค ๐‘ก โ‰ค ๐‘ก1, sedangkan dalam terminologi keteramatan sebarang keadaan awal ๐‘ž0 lewat sebarang pengukuran keluaran ๐‘ฆ(๐‘ก) diamati pada interval waktu 0 โ‰ค ๐‘ก โ‰ค ๐‘ก1. Terdapat syarat perlu dan syarat cukup untuk sistem yang teramati, yaitu:

Teorema 2.3[15]

Berdasarkan persamaan (2.14), syarat suatu sistem teramati jika matriks keteramatan

๐‘€0= [

๐ถ ๐ถ๐ด ๐ถ๐ด2

โ‹ฎ ๐ถ๐ด๐‘›โˆ’1] mempunyai rank yang sama dengan n.

23

2.6 Formulasi Masalah Kontrol Optimal

Pada prinsipnya, tujuan dari pengendalian optimal adalah menentukan signal atau kendali yang akan diproses dalam sistem dinamik dan memenuhi beberapa konstrain atau kendala, dengan tujuan memaksimumkan atau meminimumkan fungsi tujuan (๐ฝ) yang sesuai[16].

Pada umumnya, masalah kendali optimal dalam bentuk ungkapan matematik dapat diformulasikan sebagai berikut, dengan tujuan mencari kontrol ๐‘ข(๐‘ก) yang mengoptimalkan fungsi tujuan.

๐ฝ(๐‘ฅ) = ๐‘†(๐‘ฅ(๐‘ก๐‘“), ๐‘ก๐‘“) + โˆซ ๐‘‰(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐‘ก)๐‘ก๐‘ก๐‘“

0 ๐‘‘๐‘ก (2.15)

dengan sistem dinamik yang dinyatakan oleh

๐‘ฅฬ‡(๐‘ก) = ๐‘“(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐‘ก) (2.16)

dan kondisi batas

๐‘ฅ(๐‘ก0) = ๐‘ฅ0, ๐‘ฅ(๐‘ก๐‘“) = ๐‘ฅ๐‘“ (2.17)

2.7 Prinsip Minimum Pontryagin

Penyelesaian masalah kendali optimal dengan menggunakan metode tidak langsung dilakukan dengan menyelesaikan kondisi perlu kendali optimal. Berdasarkan prinsip maksimum/minimum pontryagin, kondisi perlu dari masalah kendali optimal yang harus diselesaikan adalah persamaan stasioner, state dan costate serta kondisi transversality.

Langkah-langkah penyelesaian dari masalah kendali optimal yang diformulasikan oleh persamaan (2.15) - (2.17) adalah sebagai berikut[16]:

1. Bentuk Hamiltonian

๐ป(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐œ†(๐‘ก), ๐‘ก) = ๐‘‰(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐‘ก) +๐œ†โ€ฒ(๐‘ก)๐‘“(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐‘ก) 2. Minimumkan H terhadap ๐‘ข(๐‘ก) yaitu dengan cara:

๐œ•๐ป

๐œ•๐‘ข = 0

sehingga diperoleh kondisi stasioner 4. Selesaikan persamaan state dan costate

๐‘ฅฬ‡โˆ—(๐‘ก) =๐œ•๐ปโˆ—

๐œ•๐œ† dan ๐œ†ฬ‡โˆ—(๐‘ก) = โˆ’๐œ•๐ปโˆ—

๐œ•๐‘ฅ

dengan kondisi batas yang diberikan oleh keadaan awal dan keadaan akhir yang disebut kondisi trasversality, yaitu:

(๐ปโˆ—+๐œ•๐‘†

dengan S adalah bentuk Meyer dari fungsi tujuan J, H adalah persamaan Hamiltonian, ๏ค menunjukkan variasi dan tanda * menunjukkan keadaan saat variabel kontrolnya stasioner.

5. Subtitusi hasil-hasil yang diperoleh pada langkah 4 ke dalam persamaan u*(t) pada langkah 2 untuk mendapatkan kendali yang optimal.

Kondisi batas transversality dibedakan menjadi lima tipe berdasarkan perbedaan antara ๐‘ก๐‘“ dan state pada waktu akhir (๐‘ฅ(๐‘ก๐‘“)), yaitu:

1. Waktu akhir dan state saat waktu akhir telah ditentukan atau diketahui.

๐‘ฅ(๐‘ก0) = ๐‘ฅ0 ๐‘ฅ(๐‘ก๐‘“) = ๐‘ฅ๐‘“

25

2. Waktu akhir belum ditentukan atau tidak diketahui dan state saat waktu akhir telah ditentukan atau diketahui.

๐‘ฅ(๐‘ก0) = ๐‘ฅ0

3. Waktu akhir telah ditentukan atau diketahui sedangkan state saat waktu akhir belum diketahui atau tidak ditentukan.

๐‘ฅ(๐‘ก0) = ๐‘ฅ0 ๐œ†โˆ—(๐‘ก๐‘“) = (๐œ•๐‘†

๐œ•๐‘ฅ)

โˆ—๐‘ก๐‘“

4. Waktu akhir belum ditentukan atau tidak diketahui dan state saat akhir belum ditentukan atau tidak diketahui dan nilainya bergantung pada sesuatu.

๐‘ฅ(๐‘ก0) = ๐‘ฅ0

5. Waktu akhir belum ditentukan atau tidak diketahui dan state saat akhir belum ditentukan atau tidak diketahui dan nilainya tidak bergantung pada sesuatu.

๐›ฟ๐‘ฅ(๐‘ก0) = ๐‘ฅ0

2.8 Metode Runge-Kutta Orde Empat

Metode Runge-Kutta adalah metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai awal dalam persamaan diferensial.

Metode Runge-Kutta memberikan error yang lebih kecil dibanding dengan metode numerik yang lain seperti metode Euler dan metode Heun. Metode Runge-Kutta orde empat banyak digunakan karena memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi.

Misal diberikan persamaan diferensial sebagai berikut:

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ= ๐‘“(๐‘ฅ, ๐‘ฆ) (2.18)

syarat batas ๐‘ฆ(๐‘ฅ0) = ๐‘ฆ0. Secara iterasi penyelesaian Runge-Kutta orde empat adalah sebagai berikut:

๐‘ฆ๐‘›+1= ๐‘ฆ๐‘›+โ„Ž

6(๐‘˜1+ 2๐‘˜2+ 2๐‘˜3+ ๐‘˜4) (2.19) dengan,

h = ฮ”๐‘ฅ

๐‘˜1= ๐‘“(๐‘ฅ๐‘›, ๐‘ฆ๐‘›) ๐‘˜2= ๐‘“(๐‘ฅ๐‘›+โ„Ž

2, ๐‘ฆ๐‘›+๐‘˜1 2) ๐‘˜3= ๐‘“(๐‘ฅ๐‘›+โ„Ž

2, ๐‘ฆ๐‘›+๐‘˜2 2) ๐‘˜4= ๐‘“(๐‘ฅ๐‘›+ โ„Ž, ๐‘ฆ๐‘›+ ๐‘˜3)

27 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan langkah-langkah sistematis yang dilakukan dalam proses pengerjaan Tugas Akhir. Kegiatan penelitian dalam Tugas Akhir ini terdiri atas: studi literatur, analisis sistem gerak satelit, formulasi masalah kontrol optimal, menentukan penyelesaian kontrol optimal, simulasi dengan software matlab, penarikan kesimpulan dan pemberian saran, serta penyusunan laporan Tugas Akhir.

3.1 Studi Literatur

Dalam tahap ini dilakukan identifikasi permasalahan dan studi literatur dari beberapa buku, jurnal, penelitian, paper, maupun artikel dari internet mengenai referensi gerak pada satelit, model matematika sistem gerak satelit, analisis sistem yang meliputi kestabilan, keterkontrolan, dan keteramatan, serta teori kontrol optimal dengan penyelesainnya menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin.

3.2 Analisis Sistem Gerak Satelit

Pada tahap kedua akan dianalisis mengenai model matematika pada sistem gerak satelit, yaitu menganalisa kestabilan, keterkontrolan, dan keteramatan sistem. Langkah pertama yang dilakukan dalam analisis sistem adalah mencari titik setimbang.

Kemudian dilakukan pelinieran karena sistem gerak satelit adalah sistem nonlinier hingga terbentuk matriks Jacobian yang selanjutnya dapat dianalisis sistem tersebut stabil atau tidak berdasarkan nilai eigen yang didapatkan. Untuk menganalisis keterkontrolannya dapat dilakukan dengan membentuk matriks keterkontrolan dan menentukan jumlah rank dari matriks tersebut.

Begitu pula untuk menganalisis keteramatan suatu sistem dengan membentuk matriks keteramatan kemudian menentukan jumlah rank dari matriks tersebut.

3.3 Formulasi Masalah Kontrol Optimal

Dalam tahap ini dilakukan perancangan masalah kontrol optimal dari model matematika sistem gerak satelit yang meliputi membentuk fungsi objektif serta kondisi syarat batas yang harus dipenuhi.

3.4 Menentukan Penyelesaian Kontrol Optimal

Dalam tahap ini dilakukan penyelesaian kontrol optimal.

Karena telah diformulasikan masalah kontrol optimal, maka langkah selanjutnya yaitu penyelesaian kontrol optimal dari model matematika sistem gerak satelit dengan menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin. Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap ini sebagai berikut:

โ€ข Membentuk fungsi Hamiltonian

โ€ข Menentukan persamaan state dan costate

โ€ข Menentukan kondisi batas yang harus dipenuhi

โ€ข Menentukan kontrol optimal.

3.5 Simulasi dengan Software Matlab

Dalam tahap ini, dicari solusi numerik (menggunakan Runge-Kutta orde empat) dari permasalahan kontrol optimal pada model sistem gerak satelit dengan memanfaatkan persamaan state, costate, persamaan kontrol optimal serta kondisi-kondisi yang harus terpenuhi. Kemudian disimulasikan untuk melihat pengaruh kontrol sistem pada grafik yang dihasilkan dengan menggunakan software MATLAB versi R2010a keatas.

3.6 Penarikan Kesimpulan dan Pemberian Saran

Dari hasil pada tahap-tahap sebelumnya, maka penarikan kesimpulan dari penelitian ini dapat dilakukan sekaligus pemberian saran guna perbaikan dan pengembangan untuk penelitian selanjutnya.

29

3.7 Penyusunan Laporan Tugas Akhir

Pada tahap ini dilakukan penyusunan Tugas Akhir setelah mendapatkan penyelesaian dan simulasi serta penarikan kesimpulan dari topik ini.

Berikut adalah gambar diagram alir metode penelitian pada Tugas Akhir ini:

Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian Formulasi Masalah Kontrol

Optimal:

Pembentukan fungsi tujuan, kondisi syarat awal dan batas

Studi Literatur

Analisis Model Sistem Gerak Satelit:

Kestabilan, keterkontrolan, keteramatan

Penyelesaian Kontrol Optimal:

Membentuk fungsi Hamiltonian, menentukan persamaan state dan costate,

menentukan kondisi batas yang harus dipenuhi

Menentukan kontrol optimal.

Simulasi dengan Software Matlab

Penarikan Kesimpulan dan Pemberian Saran

Penyusunan Laporan Tugas Akhir

31 BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan ditentukan kontrol optimal dari model sistem gerak satelit. Namun, sebelum menentukan kontrol optimalnya, terlebih dahulu dilakukan analisa sistem terhadap model tersebut, yang meliputi mencari titik kesetimbangan, analisis kestabilan, keterkontrolan, dan keteramatan. Selanjutnya dicari penyelesaian kontrol optimalnya menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin dan diselesaikan secara numerik, serta hasilnya akan disimulasikan dengan menggunakan software MATLAB.

4.1 Analisis Sistem Gerak Satelit

Pada penelitian ini digunakan model sistem gerak satelit yang dihasilkan pada persamaan (2.13) sebagai berikut:

{

๐‘Ÿฬˆ(๐‘ก) = ๐‘Ÿ(๐‘ก)๐œƒฬ‡2(๐‘ก) โˆ’ ๐‘”

๐‘Ÿ2(๐‘ก)+ ๐‘ข1(๐‘ก) ๐œƒฬˆ(๐‘ก) =โˆ’2๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก)๐œƒฬ‡(๐‘ก)

๐‘Ÿ(๐‘ก) + 1

๐‘Ÿ(๐‘ก)๐‘ข2(๐‘ก)

Jika diberikan ๐‘ข1(๐‘ก) = ๐‘ข2(๐‘ก) = 0, konstan ๐œŽ dan ๐œ” memenuhi ๐‘” = ๐œŽ3๐œ”2 sehingga didapatkan titik setimbang dari model sistem gerak satelit sebagai berikut:

๐‘Ÿฬˆ(๐‘ก) = 0 ๐‘Ÿ(๐‘ก)๐œƒฬ‡2(๐‘ก) โˆ’๐œŽ3๐œ”2

๐‘Ÿ2(๐‘ก)+ 0 = 0 ๐‘Ÿ3(๐‘ก)๐œƒฬ‡2(๐‘ก) = ๐œŽ3๐œ”2 didapat, ๐‘Ÿ(๐‘ก) = ๐œŽ dan ๐œƒฬ‡(๐‘ก) = ๐œ”

๐œƒฬˆ(๐‘ก) = 0

โˆ’2๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก)๐œƒฬ‡(๐‘ก)

๐‘Ÿ(๐‘ก) + 0 = 0

โˆ’2๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก)๐œƒฬ‡(๐‘ก) ๐‘Ÿ(๐‘ก) = 0

karena ๐‘Ÿ(๐‘ก) โ‰  0 dan ๐œƒฬ‡(๐‘ก) โ‰  0 maka didapatkan ๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก) = 0

Selanjutnya dilakukan transformasi sistem gerak satelit dengan memisalkan suatu vektor baru. Diketahui bahwa:

๐‘Ÿ(๐‘ก) = ๐œŽ ๐œƒ(๐‘ก) = ๐œ”๐‘ก

๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก) = 0 ๐œƒฬ‡(๐‘ก) = ๐œ”

๐‘Ÿฬˆ(๐‘ก) = 0 ๐œƒฬˆ(๐‘ก) = 0

Sehingga vektor baru yang dapat diambil adalah:

๐‘ฅ1(๐‘ก) = ๐‘Ÿ(๐‘ก) โˆ’ ๐œŽ ๐‘ฅ2(๐‘ก) = ๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก)

๐‘ฅ3(๐‘ก) = ๐œŽ(๐œƒ(๐‘ก) โˆ’ ๐œ”๐‘ก) ๐‘ฅ4(๐‘ก) = ๐œŽ(๐œƒฬ‡(๐‘ก) โˆ’ ๐œ”) dengan ๐œŽ = 1

Berdasarkan ๐‘ฅ1(๐‘ก), ๐‘ฅ2(๐‘ก), ๐‘ฅ3(๐‘ก), ๐‘ฅ4(๐‘ก) diatas maka diperoleh ๐‘ฅ1ฬ‡ (๐‘ก), ๐‘ฅฬ‡2(๐‘ก), ๐‘ฅ3ฬ‡ (๐‘ก), ๐‘ฅ4ฬ‡ (๐‘ก) sebagai berikut:

๐‘ฅ1ฬ‡ (๐‘ก) = ๐‘Ÿฬ‡(๐‘ก) = ๐‘Ÿฬ‡ (4.18)

๐‘ฅ2ฬ‡ (๐‘ก) = ๐‘Ÿฬˆ(๐‘ก) = ๐‘Ÿฬˆ

= 3๐œŽ๐œ”2โˆ’ 2๐œŽ๐œ”2+ (โˆ’3๐œŽ๐œ”2+ 2๐œŽ๐œ”2) + ๐‘ข1

= (3๐œŽ๐œ”2โˆ’ 3๐œŽ๐œ”2) + (2๐œŽ๐œ”2โˆ’ 2๐œŽ๐œ”2) + ๐‘ข1

= 3๐œ”2(๐œŽ โˆ’ ๐œŽ) + 2๐œŽ๐œ”(๐œ” โˆ’ ๐œ”) + ๐‘ข1

= 3๐œ”2(๐‘Ÿ โˆ’ ๐œŽ) + 2๐œŽ๐œ”(๐œƒฬ‡ โˆ’ ๐œ”) + ๐‘ข1 (4.19)

๐‘ฅ3ฬ‡ (๐‘ก) = ๐œŽ(๐œƒฬ‡ โˆ’ ๐œ”) (4.20)

33

๐‘ฅ4ฬ‡ (๐‘ก) = ๐œŽ๐œƒฬˆ

dengan mensubstitusi ๐œƒฬˆ =โˆ’2๐‘Ÿฬ‡๐œƒฬ‡

๐‘Ÿ +1

Persamaan (4.18) โ€“ (4.21) diatas dapat ditulis ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:

[ Sehingga matriks (4.22) dapat dipandang sebagai suatu sistem linier ๐’™ฬ‡(๐‘ก) = ๐‘จ๐’™(๐‘ก) + ๐‘ฉ๐’–(๐‘ก) dengan

๐‘จ = [ satelit dengan pusat bumi dan ๐‘ฆ2 sebagai pengukuran sudut yang dibentuk dari pergerakan satelit yang dapat diukur sedemikian hingga ๐‘ฅ1(๐‘ก) = ๐‘Ÿ(๐‘ก) โˆ’ ๐œŽ, ๐‘ฅ3(๐‘ก) = ๐œŽ(๐œƒ(๐‘ก) โˆ’ ๐œ”๐‘ก) juga dapat diukur. Maka output gerak satelit dapat dinyatakan dalam bentuk matriks ๐’š(๐‘ก) = ๐‘ช๐’™(๐‘ก) + ๐‘ซ๐’–(๐‘ก) sebagai berikut:

4.1.1 Analisis kestabilan

Untuk menentukan tipe kestabilan sistem gerak satelit digunakan teorema 2.1 yaitu dengan mencari nilai eigennya.

Diberikan fungsi karakteristik dari matriks A sebagai berikut:

๐‘จ = [

Kemudian dicari determinan dari (๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ)

|๐ด โˆ’ ๐œ†๐ผ| = |

35

Dengan menggunakan ekspansi kofaktor sepanjang baris pertama diperoleh: multiplisitas aljabar sama dengan multiplisistas geometrinya, sedangkan sistem dikatakan tidak stabil jika multiplisitas aljabarnya lebih besar dari multiplisitas geometri.

Selanjutnya dilakukan analisis terhadap multiplisitas aljabar dan multiplisitas geometri.

Untuk ๐œ†1= ๐œ†2= 0

Terlihat bahwa multiplisitas aljabarnya adalah 2 dan multiplisitas geometrinya adalah 1, sehingga multiplisitas aljabar lebih dari multiplisitas geometri, maka menurut teorema 2.1 dapat disimpulkan sistem gerak satelit adalah sistem yang tidak stabil.

4.1.2 Analisis keterkontrolan

Pada transformasi sistem gerak satelit diatas telah diketahui matriks A dan matriks B sedemikian sehingga

๐‘จ = [

Untuk matriks ๐‘จ๐‘ฉ diperoleh:

๐‘จ๐‘ฉ = [

37

Selanjutnya dimisalkan nilai dari hasil perkalian matriks ๐‘จ dan ๐‘ฉ tersebut dengan ๐‘ญ.

Selanjutnya dimisalkan nilai dari hasil perkalian matriks ๐‘จ dan ๐‘ญ tersebut dengan ๐‘ฎ.

Selanjutnya dimisalkan nilai dari hasil perkalian matriks ๐‘จ dan ๐‘ฎ tersebut dengan ๐‘ฏ.

Dengan didapatkannya matriks keterkontrolan diatas, maka dapat diamati bahwa rank(๐‘€๐‘) = 4, sehingga menurut teorema 2.2 sistem gerak satelit adalah sistem yang terkontrol.

4.1.3 Analisis keteramatan

Pada transformasi sistem gerak satelit diatas telah diketahui matriks A dan matriks C sedemikian sehingga

๐‘จ = [

Selanjutnya dicari Rank dari ๐‘€0= [ ๐ถ

Selanjutnya dimisalkan nilai dari hasil perkalian matriks ๐‘ช dan ๐‘จ tersebut dengan ๐‘ท.

39

Selanjutnya dimisalkan nilai dari hasil perkalian matriks ๐‘ท dan ๐‘จ tersebut dengan ๐‘ธ.

Selanjutnya dimisalkan nilai dari hasil perkalian matriks ๐‘ธ dan ๐‘จ tersebut dengan ๐‘บ.

Dengan didapatkannya matriks keteramatan diatas, maka dapat dilihat bahwa rank(๐‘€0) = 4, sehingga menurut teorema 2.3 sistem gerak satelit adalah sistem yang teramati.

4.2 Formulasi Masalah Kontrol Optimal

Pada penelitian ini tujuan dari penyelesaian kontrol optimal adalah untuk menstabilkan posisi satelit pada posisi geostasionernya dengan kontrol (๐‘ข1(๐‘ก)) dan kontrol (๐‘ข2(๐‘ก)).

Sehingga sistem dinamik dari sistem persamaan gerak satelit (4.22) menjadi:

Fungsi tujuan untuk model diatas diberikan sebagai berikut:

๐ฝ(๐‘ฅ) =1

2โˆซ (๐‘1๐‘ข12+ ๐‘2๐‘ข22)

๐‘ก๐‘“

๐‘ก0

Dari model diatas menujukkan fungsi energi yang berhubungan dengan sistem gerak satelit. Parameter ๐‘1 dan ๐‘2 adalah bobot pada kontrol gaya dorong radial per massa dan bobot pada gaya dorong tangensial per massa, dengan bobot ๐‘1 dan ๐‘2 yaitu berupa impuls dikali waktu per satuan jarak.

Jika satelit akan dikembalikan posisinya ke posisi geostasionernya setelah terkena pengaruh atau gangguan, maka sebuah vektoring roket atau โ€œthrusterโ€ akan dihidupkan secara impuls (memberikan gaya dorong sesaat) sehingga satelit akan mengalami percepatan atau perlambatan yang mengubah arah dan besar kecepatan serta posisinya.

41

Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan adanya suatu kontrol optimal untuk menstabilkan posisi satelit akibat gangguan atau pengaruh dari luar yang terjadi pada gerak satelit. Sehingga dengan model sistem dinamik pada persamaan (2.24) โ€“ (2.27) akan didapatkan kontrol ๐‘ข1(๐‘ก) dan ๐‘ข2(๐‘ก) yang optimal sehingga mampu meminimalkan fungsi tujuan tersebut.

4.3 Penyelesaian dengan Prinsip Minimum Pontryagin Masalah kontrol optimal pada sistem gerak satelit ini diselesaikan dengan menggunakan Prinsip Minimum Pontryagin.

Adapun langkah-langkah penyelesaian kontrol optimal sistem gerak satelit dengan Prinsip Minimum Pontryagin adalah sebagai berikut:

1. Membentuk fungsi Hamiltonian

๐ป(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐œ†(๐‘ก), ๐‘ก) = ๐‘‰(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐‘ก) + ๐œ†โ€ฒ(๐‘ก)๐‘“(๐‘ฅ(๐‘ก), ๐‘ข(๐‘ก), ๐‘ก)

=12 (๐‘1๐‘ข12+ ๐‘2๐‘ข22) + ๐œ†1(๐‘ฅ2) + ๐œ†2(๐‘ฅ1๐‘ฅ42โˆ’๐œŽ3๐œ”2

x12 + ๐‘ข1) + ๐œ†3(๐‘ฅ4) + ๐œ†4(โˆ’2๐‘ฅ๐‘ฅ2๐‘ฅ4

1 +๐‘ข๐‘ฅ2

1) =1

2๐‘1๐‘ข12+1

2 ๐‘2๐‘ข22+ ๐œ†1๐‘ฅ2+ ๐œ†2๐‘ฅ1๐‘ฅ42โˆ’

๐œŽ3๐œ”2

x12 ๐œ†2+ ๐œ†2๐‘ข1+ ๐œ†3๐‘ฅ4โˆ’

2๐‘ฅ2๐‘ฅ4+๐‘ข2

๐‘ฅ1 ๐œ†4 (4.28)

2. Meminimalkan H terhadap ๐‘ข(๐‘ก)

๐œ•๐ป

๐œ•๐‘ข = 0

โ€ข Kontrol ๐‘ข1

๐œ•๐ป

๐œ•๐‘ข1= 0 ๐‘1๐‘ข1+ ๐œ†2= 0

Sehingga didapat kontrol optimal ๐‘ข1 yaitu:

๐‘ข1โˆ— = โˆ’๐œ†2 ๐‘1 ๐‘ข1โˆ— = 1

๐‘1(โˆ’๐œ†2)

โ€ข Kontrol ๐‘ข2

๐œ•๐ป

๐œ•๐‘ข2= 0 ๐‘2๐‘ข2+๐œ†4

๐‘ฅ1= 0

Sehingga didapat kontrol optimal ๐‘ข2 yaitu:

๐‘ข2โˆ— = โˆ’ ๐œ†4 ๐‘2๐‘ฅ1 ๐‘ข2โˆ— = 1

๐‘2๐‘ฅ1(โˆ’๐œ†4)

Karena nilai kontrolnya terbatas, dimana 0 โ‰ค ๐‘ข1โ‰ค 1 dan 0 โ‰ค ๐‘ข2โ‰ค 1, maka:

๐‘ข1โˆ— = min {1, max (0,1

๐‘1(โˆ’๐œ†2))} (4.29)

๐‘ข2โˆ— = min {1, max (0, 1

๐‘2๐‘ฅ1(โˆ’๐œ†4))} (4.30) Selanjutnya dilakukan uji turunan kedua untuk menunjukkan bahwa ๐ป mempunyai nilai minimum di ๐‘ข(๐‘ก).

๐œ•2๐ป

๐œ•๐‘ข12 = ๐‘1> 0

๐œ•2๐ป

๐œ•๐‘ข22 = ๐‘2> 0

43

Karena turunan kedua ๐ป terhadap semua kontrol bernilai positif, maka uji turunan kedua terpenuhi. Sehingga ๐ป mempunyai nilai minimum di ๐‘ข1 dan ๐‘ข2.

3. Menentukan ๐ปโˆ— yang optimal

Dengan cara mensubtitusikan ๐‘ขโˆ— yang didapat pada langkah 2 ke dalam bentuk Hamiltonian.

๐ปโˆ—(๐‘ฅโˆ—(๐‘ก), ๐‘ขโˆ—(๐‘ก), ๐œ†โˆ—(๐‘ก), ๐‘ก) = ๐ป(๐‘ฅโˆ—(๐‘ก), ๐œ†โˆ—(๐‘ก), ๐‘ก)๐ปโˆ—

4. Menyelesaikan persamaan state dan costate

Penyelesaian persamaan state dan costate untuk memperoleh persamaan sistem yang optimal diberikan sebagai berikut:

a. Persamaan state

b. Persamaan costate ๐œ†ฬ‡1(๐‘ก) = โˆ’ (๐œ•๐ป

45

4.4 Solusi Numerik

Persamaan state dan costate yang diperoleh merupakan persamaan nonlinier sehingga sulit untuk diselesaikan secara analitik, sehingga dalam Tugas Akhir ini persamaan state dan costate akan diselesaikan secara numerik. Penyelesaian numerik ini dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde empat karena galat yang dihasilkan kecil. Metode Runge-Kutta banyak digunakan dalam menyelesaikan persamaan diferensial. Metode ini mempunyai suatu galat pemotongan โ„Ž, dimana โ„Ž adalah langkah waktu (step size).

Persamaan state dan costate yang digunakan dalam metode ini adalah persamaan state (4.32) sampai (4.35) dan persamaan costate (4.36) sampai (4.37). Karena pada state diketahui nilai awal maka untuk menyelesaikan persamaan state digunakan metode forward sweep. Sedangkan untuk persamaan costate digunakan metode backward sweep Karena nilai akhir costate diketahui berdasarkan kondisi tranversality, Sehingga metode yang digunakan adalah forward-backward sweep dengan solusi numerik yang digunakan adalah Runge-Kutta orde empat.

Langkah 1:

Interval waktu ๐‘ก = [0, ๐‘ก๐‘“] dibagi sebanyak ๐‘› subinterval. Sehingga persamaan state dan costate dapat ditulis sebagai berikut:

โ€ข State

๐‘ฅโƒ—1= (๐‘ฅ11, โ€ฆ , ๐‘ฅ1๐‘›+1) ๐‘ฅโƒ—2 = (๐‘ฅ21, โ€ฆ , ๐‘ฅ2๐‘›+1) ๐‘ฅโƒ—3 = (๐‘ฅ31, โ€ฆ , ๐‘ฅ3๐‘›+1) ๐‘ฅโƒ—4 = (๐‘ฅ41, โ€ฆ , ๐‘ฅ4๐‘›+1)

โ€ข Costate

๐œ†โƒ—1= (๐œ†11, โ€ฆ , ๐œ†1๐‘›+1) ๐œ†โƒ—2= (๐œ†21, โ€ฆ , ๐œ†2๐‘›+1) ๐œ†โƒ—3= (๐œ†31, โ€ฆ , ๐œ†3๐‘›+1) ๐œ†โƒ—4= (๐œ†41, โ€ฆ , ๐œ†4๐‘›+1)

Artinya terdapat ๐‘› + 1 titik disepanjang waktu ๐‘ก, sehingga diperoleh selisih antara setiap titiknya โ„Ž = (๐‘ก๐‘“โˆ’ ๐‘ก0)/๐‘›.

Langkah 2:

Memberikan inisialisasi nilai awal ๐‘ข1, ๐‘ข2, ๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2, ๐‘ฅ3, ๐‘ฅ4, ๐œ†1, ๐œ†2, ๐œ†3, dan ๐œ†4 dalam bentuk vektor nol sebanyak ๐‘›.

Langkah 3:

Menggunakan nilai awal ๐‘ข1(0) = ๐‘ข10, ๐‘ข2(0) = ๐‘ข20, ๐‘ฅ1(0) = ๐‘ฅ10, ๐‘ฅ2(0) = ๐‘ฅ20, ๐‘ฅ3(0) = ๐‘ฅ30, ๐‘ฅ4(0) = ๐‘ฅ40. Langkah 4:

Menghitung nilai ๐‘ข1โˆ— = min {1, max (0,๐‘1

1(โˆ’๐œ†2))} dan ๐‘ข2โˆ— = min {1, max (0, 1

๐‘2๐‘ฅ1(โˆ’๐œ†4))}.

Langkah 5:

Menyelesaikan persamaan state secara forward sweep. Integrasi numerik dari persamaan state (4.32) sampai (4.35) dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde empat dapat dinyatakan sebagai berikut:

๐‘ฅ1 ๐‘›+1 = ๐‘ฅ1 ๐‘›+1

6(๐‘˜1, ๐‘ฅ1+ 2๐‘˜2, ๐‘ฅ1+ 2๐‘˜3, ๐‘ฅ1+ ๐‘˜4, ๐‘ฅ1) ๐‘ฅ2 ๐‘›+1= ๐‘ฅ2 ๐‘›+1

6(๐‘˜1, ๐‘ฅ2+ 2๐‘˜2, ๐‘ฅ2+ 2๐‘˜3, ๐‘ฅ2+ ๐‘˜4, ๐‘ฅ2)

47

๐‘˜3, ๐‘ฅ1 = โ„Ž๐‘“ (๐‘ฅ1๐‘›+๐‘˜2, ๐‘ฅ1

Menyelesaikan persamaan costate secara backward sweep.

Integrasi numerik dari persamaan costate (4.36) sampai (4.39) dengan menggunakan metode Runge-Kutta orde empat dapat dinyatakan sebagai berikut:

49

๐œ†1 ๐‘›โˆ’1= ๐œ†1 ๐‘›โˆ’1

6(๐‘˜1, ๐œ†1+ 2๐‘˜2, ๐œ†1+ 2๐‘˜3, ๐œ†1+ ๐‘˜4, ๐œ†1) ๐œ†2 ๐‘›โˆ’1= ๐œ†2 ๐‘›โˆ’1

6(๐‘˜1, ๐œ†2+ 2๐‘˜2, ๐œ†2+ 2๐‘˜3, ๐œ†2+ ๐‘˜4, ๐œ†2) ๐œ†3 ๐‘›โˆ’1= ๐œ†1 ๐‘›โˆ’1

6(๐‘˜1, ๐œ†3+ 2๐‘˜2, ๐œ†3+ 2๐‘˜3, ๐œ†3+ ๐‘˜4, ๐œ†3) ๐œ†4 ๐‘›โˆ’1= ๐œ†4 ๐‘›โˆ’1

6(๐‘˜1, ๐œ†4+ 2๐‘˜2, ๐œ†4+ 2๐‘˜3, ๐œ†4+ ๐‘˜4, ๐œ†4) dengan,

๐‘˜1, ๐œ†1 = โ„Ž๐‘“(๐œ†1๐‘›, ๐œ†2๐‘›, ๐œ†3๐‘›, ๐œ†4๐‘›, ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›) ๐‘˜1, ๐œ†2 = โ„Ž๐‘“(๐œ†1๐‘›, ๐œ†2๐‘›, ๐œ†3๐‘›, ๐œ†4๐‘›, ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›) ๐‘˜1, ๐œ†3 = โ„Ž๐‘“(๐œ†1๐‘›, ๐œ†2๐‘›, ๐œ†3๐‘›, ๐œ†4๐‘›, ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›) ๐‘˜1, ๐œ†4 = โ„Ž๐‘“(๐œ†1๐‘›, ๐œ†2๐‘›, ๐œ†3๐‘›, ๐œ†4๐‘›, ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›)

๐‘˜2, ๐œ†1= โ„Ž๐‘“ (๐œ†1๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†1

2 , ๐œ†2๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†2

2 , ๐œ†3๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†3 2 , ๐œ†4๐‘›

โˆ’๐‘˜1, ๐œ†4

2 , ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›) ๐‘˜2, ๐œ†2= โ„Ž๐‘“ (๐œ†1๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†1

2 , ๐œ†2๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†2

2 , ๐œ†3๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†3 2 , ๐œ†4๐‘›

โˆ’๐‘˜1, ๐œ†4

2 , ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›) ๐‘˜2, ๐œ†3= โ„Ž๐‘“ (๐œ†1๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†1

2 , ๐œ†2๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†2

2 , ๐œ†3๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†3 2 , ๐œ†4๐‘›

โˆ’๐‘˜1, ๐œ†4

2 , ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›)

๐‘˜2, ๐œ†4 = โ„Ž๐‘“ (๐œ†1๐‘›โˆ’๐‘˜1, ๐œ†1

51

๐‘˜4, ๐œ†4= โ„Ž๐‘“(๐œ†1๐‘›โˆ’ ๐‘˜3, ๐œ†1, ๐œ†2๐‘›โˆ’ ๐‘˜3, ๐œ†2, ๐œ†3๐‘›โˆ’ ๐‘˜3, ๐œ†3, ๐œ†4๐‘›

โˆ’ ๐‘˜3, ๐œ†4, ๐‘ฅ1๐‘›, ๐‘ฅ2๐‘›, ๐‘ฅ3๐‘›, ๐‘ฅ4๐‘›, ๐‘ข1๐‘›, ๐‘ข2๐‘›) Langkah 7:

Memperbarui nilai ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 dengan mensubtitusikan nilai ๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2, ๐‘ฅ3, ๐‘ฅ4, ๐œ†1, ๐œ†2, ๐œ†3, dan ๐œ†4 yang baru ke dalam karakterisasi kontrol optimal. Dalam hal ini nilai ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 diberikan pada persamaan (4.29) dan (4.30).

4.5 Analisis Hasil Simulasi

Pada subbab ini akan dilakukan simulasi pada model persamaan sistem gerak satelit (2.11) yang sudah ditransformasi pada subbab 4.1. Simulasi yang dilakukan meliputi simulasi sistem awal yaitu sebelum diberi kontrol, simulasi gangguan terhadap jarak antara bumi dan satelit dari posisi geostasionernya sebelum dan sesudah diberi kontrol, gangguan kecepatan radial satelit dari kecepatan radial geostasionernya sebelum dan sesudah diberi kontrol, gangguan pada sudut yang dibentuk dari pergerakan satelit dari posisi geostasionernya sebelum dan sesudah diberikan kontrol, serta gangguan yang terjadi pada kecepatan tangensial geostasionernya sebelum dan sesudah diberikan kontrol, dengan menggunakan parameter:

Tabel 4.1 Nilai Parameter Parameter Nilai

๐œŽ 1

๐œ” 1

Simulasi dengan metode numerik Runge-Kutta dengan nilai awal yang diberikan adalah sebagai berikut[6]:

๐‘ฅ1(0) = 1 ๐‘˜๐‘š ๐‘ฅ2(0) = 1 ๐‘˜๐‘š/๐‘  ๐‘ฅ3(0) = 1 ๐‘‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘—๐‘Ž๐‘ก ๐‘ฅ4(๐‘ก) = 1 ๐‘‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘—๐‘Ž๐‘ก/๐‘ 

dengan ๐‘ฅ1 menyatakan besar pergeseran jarak antara bumi dan satelit dari posisi geostasionernya, ๐‘ฅ2 menyatakan besar perubahan kecepatan radial satelit dari kecepatan radial geostasionernya, ๐‘ฅ3 menyatakan besar pergeseran sudut yang dibentuk dari pergerakan satelit dari posisi geostasionernya, ๐‘ฅ4 menyatakan besar perubahan kecepatan tangensial dari kecepatan tangensial geostasionernya.

Simulasi dilakukan dengan ๐‘ก0 = 0 dan ๐‘ก๐‘“ = 60s. Simulasi pertama yang dilakukan adalah ketika sistem awal sebelum pemberian kontrol atau diasumsikan ๐‘ข1 = ๐‘ข2= 0. Artinya tidak ada kontrol terhadap pergeseran atau perubahan yang terjadi pada sistem gerak satelit karena pengaruh perturbasi orbital.

Gambar 4.1 Grafik ๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2, ๐‘ฅ3, dan ๐‘ฅ4 tanpa kontrol Pada gambar 4.1 terlihat bahwa sistem gerak satelit sebelum diberikan kontrol maka untuk ๐‘ก menuju tak hingga keadaan sistem gerak satelit yaitu ๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2, ๐‘ฅ3, dan ๐‘ฅ4 mengalami fluktuasi naik turun serta sistem tidak dapat kembali pada keadaan geostasionernya.

53

Selanjutnya dari kondisi awal tersebut dilakukan simulasi dengan pemberian kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 dengan bobot yang diberikan adalah 10 dan 50. Berikut jika diberikan kondisi bobot kontrol ๐‘ข1 lebih besar dari ๐‘ข2, bobot dari kontrol ๐‘ข1 lebih kecil dari ๐‘ข2, dan bobot dari kontrol ๐‘ข1 sama dengan ๐‘ข2.

1. Bobot dari kontrol ๐‘ข1 lebih besar dari ๐‘ข2 (๐‘1> ๐‘2)

Kondisi ini diberikan dengan pemberian bobot ๐‘1= 50 dan ๐‘2= 10 menghasilkan nilai ๐ฝ = 0.0452.

Gambar 4.2 Jarak (๐‘ฅ1) dengan bobot ๐‘1> ๐‘2

Dari gambar 4.2 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada pergeseran jarak satelit dengan bumi pada posisi geostasionernya sebesar 1 ๐‘˜๐‘š dan sebelum diberikan kontrol, grafik sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan tidak dapat kembali ke posisi geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang diberikan pada sistem dapat mengembalikan jarak antara satelit dan bumi pada posisi

geostasionernya. Sehingga dapat dilihat pada grafik sistem gerak satelit setelah diberikan kontrol akan stabil berada pada keadaan geostasionernya.

Gambar 4.3 Kecepatan (๐‘ฅ2) dengan bobot ๐‘1> ๐‘2

Dari gambar 4.3 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada perubahan kecepatan radial satelit dengan kecepatan geostasionernya sebesar 1 ๐‘˜๐‘š/s dan sebelum diberikan kontrol, grafik sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan tidak dapat kembali ke keadaan geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang diberikan pada sistem dapat menstabilkan kecepatannya. Sehingga dapat dilihat pada grafik sistem gerak satelit setelah diberikan kontrol, kecepatan satelit akan stabil pada keadaan geostasionernya.

55

Gambar 4.4 Sudut (๐‘ฅ3) dengan bobot ๐‘1 > ๐‘2

Dari gambar 4.4 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada pergeseran sudut satelit dengan bumi pada posisi geostasionernya sebesar 1 ๐‘‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘—๐‘Ž๐‘ก menyebabkan grafik sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan semakin menjauhi posisi geostasionernya serta tidak dapat kembali ke keadaan geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang telah diberikan pada sistem dapat mengembalikan ke keadaan geostasionernya. Sehingga dapat dilihat pada grafik sistem gerak satelit setelah diberikan kontrol akan stabil berada pada keadaan geostasionernya.

Gambar 4.5 Kecepatan sudut (๐‘ฅ4) dengan bobot ๐‘1 > ๐‘2 Dari gambar 4.5 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada perubahan kecepatan tangensial satelit dengan kecepatan geostasionernya sebesar 1 ๐‘‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘—๐‘Ž๐‘ก/๐‘  menyebabkan grafik dari sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan tidak dapat kembali ke keadaan geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang telah diberikan pada sistem dapat mengembalikan ke keadaan geostasionernya. Sehingga dapat dilihat pada grafik sistem gerak satelit setelah diberikan kontrol akan stabil berada pada keadaan geostasionernya.

57

2. Bobot dari kontrol ๐‘ข1 lebih kecil dari ๐‘ข2 (๐‘1< ๐‘2) Kondisi ini diberikan dengan pemberian bobot ๐‘1 = 10 dan ๐‘2= 50 menghasilkan nilai ๐ฝ = 0.0452.

Gambar 4.6 Jarak (๐‘ฅ1) dengan bobot ๐‘1< ๐‘2

Dari gambar 4.6 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada pergeseran jarak satelit dengan bumi pada posisi geostasionernya sebesar 1 ๐‘˜๐‘š dan sebelum diberikan kontrol, grafik sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan tidak dapat kembali ke posisi geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang diberikan pada sistem dapat mengembalikan jarak antara satelit dan bumi pada posisi geostasionernya. Sehingga dapat dilihat pada grafik sistem gerak satelit setelah diberikan kontrol akan stabil berada pada keadaan geostasionernya.

Gambar 4.7 Kecepatan (๐‘ฅ2) dengan bobot ๐‘1< ๐‘2

Dari gambar 4.7 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada perubahan kecepatan radial satelit dengan kecepatan geostasionernya sebesar 1 ๐‘˜๐‘š/s dan sebelum diberikan kontrol, grafik sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan tidak dapat kembali ke keadaan geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang diberikan pada sistem dapat menstabilkan kecepatannya. Sehingga dapat dilihat pada grafik sistem gerak satelit setelah diberikan kontrol, kecepatan satelit akan stabil pada keadaan geostasionernya.

59

Gambar 4.8 Sudut (๐‘ฅ3) dengan bobot ๐‘1 < ๐‘2

Dari gambar 4.8 tersebut terlihat bahwa ketika sistem gerak satelit mengalami perturbasi orbital yang berpengaruh pada pergeseran sudut satelit dengan bumi pada posisi geostasionernya sebesar 1 ๐‘‘๐‘’๐‘Ÿ๐‘Ž๐‘—๐‘Ž๐‘ก menyebabkan grafik sistem gerak satelit mengalami fluktuasi naik turun dan semakin menjauhi posisi geostasionernya serta tidak dapat kembali ke keadaan geostasionernya.

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang telah diberikan pada sistem dapat mengembalikan ke keadaan geostasionernya. Sehingga

Tetapi ketika sistem gerak satelit tersebut diberikan kontrol ๐‘ข1 dan ๐‘ข2 maka kontrol yang telah diberikan pada sistem dapat mengembalikan ke keadaan geostasionernya. Sehingga

Dokumen terkait